“Sarah? Ada apa?” tanya Aditya. Roman muka Aditya setengah terkejut mendapati
Sarah sudah ada di ruang tamu. Wanita itu duduk di sofa yang biasa digunakan untuk menerima tamu.
Sementara, Pak Handoyo terlihat terpaksa menemaninya karena tidak ada orang lain di rumah selain dirinya.
Saat Bu Handoyo masuk rumah dan melihat Sarah di dalam, raut mukanya serta merta berubah menjadi suram. Tak seulas senyum pun terbit dari wajahnya, meski Sarah langsung menyambut untuk menyapa dan menyalaminya.
Wanita paruh baya itu memilih segera masuk ke dalam tanpa kata disbanding ikut menemui tamu anaknya itu di ruang tamu.
Sarah menatap ibunda Aditya yang meninggalkan ruang tamu itu dengan sendu. Ada rasa kaget sekaligus syok saat melihat ekspresi penolakan dari wanita yang telah melahirkan kekasih hatinya itu.
Selama ini, tak seorangpun yang pernah menampakkan raut tak suka padanya. Gelimang harta yang dimiliki, membuat semua orang hormat dan tunduk padanya. Ditambah sikapnya yang selalu ramah, menambah kekaguman setiap orang terhadapnya.
“Om tinggal dulu, ya, Nak Sarah,” pamit Pak Handoyo seraya mengikuti istrinya ke belakang karena sudah merasa ada Aditya yang menemani tamunya.
Sarah mengangguk. Ada rasa lega karena ayah Aditya sangat ramah padanya, bertolak belakang dengan ibundanya.
“Kenapa kamu kesini?” Aditya segera duduk di sofa yang beradu pojok dengan sofa yang diduduki Sarah.
Bagi Aditya, kedatangan Sarah ke rumahnya terlalu nekat, tanpa pemberitahuan padanya. Apalagi, mamanya sejak lama menentang kedekatannya dengan Sarah, meski Aditya tak pernah menceritakan itu pada wanita di hadapannya ini.
“Ponselmu kenapa?” tanya Sarah sambil menatap Aditya dengan cemas.
“Oh, ketinggalan di kamar,” jawab Aditya datar.
Tak menyangka, tindakannya mematikan ponsel, justru membuat Sarah datang ke rumah dan bertemu dengan mamanya.
“Kamu kenapa ngga jawab pertanyaanku kemaren? Jadi ‘kan hari ini kenalan sama papa?” tanya Sarah penuh harap.
Cintanya pada Aditya seolah menggugurkan batas yang tercipta. Dia tak peduli akan status ekonomi Aditya yang berbeda, yang selama ini menjadi alasan utama mamanya Aditya menentang hubungan itu.
Aditya menarik napas dengan berat. Dia memang enggan menjawabnya. Tak tahu jawaban apa yang pantas diberikan.
Jika dia menjawab iya, apakah dia sudah siap dengan segala konsekuensianya. Jika menjawab tidak, apakah dia benar-benar lelaki pecundang yang tak jelas kemana arah sebuah hubungan?
Mendadak pandangan mata Aditya tertuju ke meja tamu. Sarah belum diberi minum dari tadi.
“Kamu mau minum apa?” tanya Aditya mengalihkan pembicaraan.
“Atau, kita minum di luar?” tawar Aditya lagi.
Mungkin akan lebih nyaman membawa Sarah keluar rumah dibanding tetap di rumah dengan menerima sikap penolakan mamanya.
Tak menunggu waktu lama, Sarah mengangguk setuju.
“Pamit dulu sama mama dan papamu,” pinta Sarah.
Wanita itu tak mau kehilangan kesempatan untuk mengambil hati kedua orang tua Aditya. Dengan bersikap sopan, tentu saja akan menambah nilai plus baginya.
Aditya mengangguk sebelum kemudian memanggilkan kedua orang tuanya agar Sarah dapat berpamitan.
Hanya Pak Handoyo yang menyunggingkan senyum.
Sementara, Bu Handoyo masih dingin saat mereka berpamitan.
“Mamamu kenapa? Tampaknya tidak suka denganku?” tanya Sarah saat mereka sudah di mobil. Mobil milik Sarah.
“Ngga papa, mungkin Mama sedang capek saja karena habis dari luar,” jawab Aditya beralasan. Tak tega rasanya memberikan kejujuran jika mamanya tak menyetujui hubungan mereka.
***ETW***
Aditya meminggirkan mobil Sarah di depan sebuah café.
Sejak mengenal Sarah, Aditya lebih sering mengunjungi ke café atau restoran dibanding warung makan tenda pinggir jalan, seperti kebiasaan sebelum mengenal Sarah.
“Kenapa saldo rekeningmu tidak bertambah?” tanya mamanya saat mengecek buku tabungannya.
Sejak mengenal Sarah, Aditya cenderung boros. Pengeluaran untuk jajan tentu tak dipedulikannya, mengingat dia masih lajang dan masih tinggal dengan orang tuanya.
Namun, mamanya selalu mengingatkan, kalau Aditya harus mulai memikirkan masa depan, terutama tabungan. Tidak boros seperti anak kuliahan lagi.
Tak dipungkiri, Aditya memang terpaksa harus mengimbangi gaya hidup Sarah.
“Sebenarnya aku bisa kok makan di tempat biasa,” kata Sarah suatu hari.
Tapi Aditya tidak tega. Apa iya mobil semewah itu akan parkir di depan warung tenda. Bukankah warung tenda pengunjungnya sebagian besar mengendarai motor.
“Kenapa kamu ngga mau segera kenalan sama papaku? Apa weekend besok kamu juga ngga jadi datang ke acara kakakku?” tanya Sarah sambil menunggu pesanan minuman mereka.
“Kamu tahu dari mana alamat rumahku?” Aditya mengalihkan pembicaraan.
“Dari Seno. Ngga papa kan aku tahu rumahmu?” jawab Sarah Sarah.
Aditya menggeleng.
Bukan masalah tidak boleh tahu alamat rumahnya. Tapi, masalahnya mama Aditya belum bisa menerima hubungan mereka.
Jika Sarah nekat datang seperti ini, bukan membuat mama Aditya menerima, justru sebaliknya. Memperkeruh suasana.
“Mas, aku ngga ingin kamu seperti yang lain,” tutur Sarah seraya menghela nafas.
Kata-katanya terhenti sejenak karena pelayan café menyajikan pesanan mereka.
Secangkir kopi late panas yang asapnya mengepul digeser ke hadapan Sarah. Gadis itu lalu menuang gula dalam kemasan saset, kemudian mengaduknya dengan sendok kecil.
Sementara, Aditya yang memesan es capucino mengaduk kopi dalam gelas tersebut dengan sedotan berlubang besar. Embun di gelas sudah membasahi, menunjukkan betapa dinginnya cairan di dalamnya.
“Mereka tidak ada yang mau dekat denganku karena keluargaku. Aku juga tidak mau dilahirkan dari keluarga kaya. Aku ingin seperti kalian, hidup biasa saja,” ujar Sarah seolah menumpahkan kekesalah akan nasibnya.
Selama ini, dia merasa sendiri. Setiap ada pria yang mendekat, mundur teratur Ketika hendak dikenalkan pada keluarganya. Padahal, keluarga mereka bukanlah keluarga yang turun-termurun memiliki kekayaan berlimpah. Papanya dulu juga pernah merasakan masa-masa sulit sebelum kemudian seperti sekarang.
Aditya menunduk. Tangannya masih mengaduk-aduk es capucino miliknya. Pikirannya mencoba memahami bahwa Sarah memang berbeda, tidak seperti yang mamanya khawatirkan. Aditya menjadi sedikit yakin jika tidak ada yang salah dengan Sarah. Dirinya saja yang terlalu khawatir. Mungkin karena banyak dipengaruhi oleh kecemasan mamanya.
“Apa besok kamu ke rumah?” tanya Sarah lagi. Sarah tidak menghiraukan kebisuan pemuda di hadapannya itu.
“Akan aku pikirkan,” jawab Aditya ragu.
“Kalau kamu tidak datang, besok aku jemput,---” ujar Sarah menggantung.
Bola mata Aditya membulat.
Kalau sampai Sarah menjemput, mamanya bisa makin tak menyukainya. Padahal, dia harus dapat mengambil hati mamanya, jika dia benar-benar berharapkan hubungan dengan Sarah berlanjut ke tahap serius.
“Lebih baik jangan. Biar aku yang ke rumahmu,” kata Aditya kemudian.
Sebuah senyum bahagia terulas di bibir Sarah.
Keduanya berjalan keluar dari café setelah menghabiskan minumannya.
“Ngga usah diantar, Mas. Aku bisa sendiri. Aku antar kamu saja,” kata Sarah saat Aditya mau membelokkan mobil ke arah rumah Sarah.
***ETW***
“Apa bagusnya gadis yang nekat datang ke rumah laki-laki?” ujar Bu Handoyo saat Aditya masuk rumah.
Wanita paruh baya itu sedang menanti putranya di ruang tamu. Ia duduk di sofa dengan raut muka masam, seperti saat Sarah masih ada.
“Ma, tadi saat Adit mengantar Mama ke pasar, ponsel Adit ada di rumah. Jadi, Sarah ngga bisa menghubungi,” jelas Aditya. Lelaki itu kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan posisi duduk mamanya.
“Itu bukan alasan. Apa dia tidak bisa bersabar, sampai harus datang ke rumah?” tanya Bu Handoyo retoris.
Wajah wanita yang sudah berganti baju dengan dres rumahan itu tampak muram. Bagi Wanita yang selama ini menjunjung tinggi tatakrama dan adab pergaulan konvensional, mendatangi rumah teman laki-laki adalah hal yang melanggar etika. Apalagi datang seorang diri dengan maksud yang tidak jelas.
Berbeda halnya, jika kedatangannya dengan banyak teman dan hendak mengerjakan pekerjaan sekolah atau pekerjaan kantor. Itupun kalua bisa dihindari.
“Mama tidak suka perempuan seperti itu. Tidak bisa menjaga diri. Tidak bisa menjaga kehormatan,” lanjut Bu Handoyo.
Baginya, datangnya wanita ke rumah lelaki apapun alasannya tidak dapat ditolerir. Apalagi hubungan keduanya belum jelas. Selain mengurangi nilai di mata orang tua keluarga lelaki, juga tak patut dilihat oleh tetangga sekitar.
“Mama, itu bukan masalah kehormatan,” sahut Aditya sambil menurunkan tensi suaranya, agar tetap terdengar sopan di telinga ibundanya.
“Lalu apa? Apakah dia punya harga diri jika datang ke rumah laki-laki, bahkan kita belum mengenalnya?” Suara bu Handoyo kembali meninggi. Ia mencoba menekankan dimana letak kesalahan wanita tambatan hati putranya itu. Bu Handoyo merasa putranya belum paham apa yang selama ini menjadi keresahannya, mengapa ia tak menyetujui hubungan mereka.
Aditya tertunduk lesu. Dia menyadari mamanya memang sudah tidak menyukai Sarah sejak awal. Sehingga apa yang dilakukan Sarah akan selalu terlihat salah. Tak ada untungnya mendebat mamanya.
“Sudah, Ma. Adit, kamu masuk kamar saja,” kata Pak Handoyo berusaha menengahi. Lelaki paruh baya yang sedari tadi duduk sambil membaca majalah ini paham gelagat istrinya jika sudah tidak suka pada sesuatu. Apapun akan tampak tak baik.
Pemuda itu beranjak, lalu melangkah lesu ke kamarnya. Bayang-bayang Sarah dan mamanya bergantian di pelupuk matanya. Bagaimana dia bisa menyatukan dua wanita yang dicintainya.
Drttttt…
[Jangan lupa, ya, Mas. Besok kalau kamu ngga datang, aku jemput] Pesan dari Sarah terbaca di layar ponselnya.
Aditya menghela napas, ia tidak punya keinginan untuk membalasnya.
Dalam hati Aditya bergumam, mungkinkah semua Wanita seperti ini? Mau menang sendiri dan tidak ada yang mau mengalah. Begitu rumitnya hidup dengan wanita. Tapi bukankah suatu masa dia harus hidup dengan wanita?
Sepanjang hidup Aditya, memang hanya mama, wanita satu-satunya. Aditya tiga bersaudara, ketiganya laki-laki. Mungkin, itu juga yang membuat Aditya sulit memahami wanita.
Aditya sedang mematut diri. Dari pagi dia sudah beberapa kali berganti T-shirt. Mungkin karena grogi, rasanya semua bajunya seperti tidak pantas dipakainya. [Sudah siap? Papa sudah menunggumu] Sebuah pesan dari Sarah masuk Kembali ke ponsel Aditya. Jika sebelumnya Aditya sangat bersuka hati pergi dengan Sarah, hari ini, dia menjadi kesal. Dia bingung, apakah harus benar-benar datang, atau lebih baik mencari alasan. Ah, lelaki macam apa aku ini? Jangan sampai dibilang pengecut, batin Aditya terus saja berperang. “Kamu yakin mau ke sana?” tanya Bu Handoyo saat melihat Aditya turun dari lantai dua. Penampilan Aditya sudah rapi dengan kaus berkerah warna biru donker polos yang dimasukkan ke dalam celana jin warna senada, hingga memberi kesan santai namun elegan. Tak lupa ikat pinggang menambah penampilannya sedikit berwibawa. Ibunda Aditya itu masih tampak tidak meyakini jika anak bungsunya akan benar-benar datang untuk berkenalan dengan keluarga Sarah. “Jadilah dirimu sendiri
Intan masih sibuk dengan persiapan baksosnya esok hari.Sejak tidak tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan menyibukkan diri dengan kegiatan kampus. Sejak dulu, dia sudah aktif di kegiatan kampus, meski tidak seaktif saat ini. Kalau dulu jam lima sore sudah harus meninggalkan kampus, karena khawatir pulang terlalu malam. Jarak yang tidak dekat dan kadang macet, tentu membuat badannya lelah jika terlalu larut dalam kegiatan kampus. Namun, sekarang dia bisa sampai malam di kampus, apalagi kosannya hanya belakang kampus. Packing-packing hampir selesai setelah seharian sibuk menyortir pakaian pantas pakai. Intan kesal dengan perilaku orang-orang yang menyumbang pakaian tidak layak pakai. Kadang-kadang acara baksos seperti ini dijadikan ajang membuang barang. Padahal tidak seharusnya seperti itu. Seharusnya orang-orang mulai menyadari untuk memberikan pakaian terbaiknya untuk orang yang membutuhkan. Bukan sebaliknya. Jika kita tidak mau memakai, apalagi orang lain. Akhirnya Intan malah men
Sudah hampir dua jam Aditya mematut diri di depan cermin. Entah apa yang salah. Dia merasa tidak menjadi dirinya. Rasa kurang percaya diri tiba-tiba menyeruak. Padahal, selama ini dia adalah pribadi yang penuh percaya diri. Selain tampan menawan, pendidikan pun tak bisa diremehkan, demikian pula pekerjaan untuk lelaki seusia dirinya. Namun, rupanya hanya untuk pergi ke rumah Sarah menghadiri acara makan malam saja, semua yang dimilikinya seolah runtuh. Malam ini adalah acara makan malam keluarga di rumah orang tua Sarah bertepatan dengan perkenalan keluarga dengan calon suami kakak Sarah. Aditya terlanjur sudah menyanggupi untuk hadir di acara keluarga tersebut. Selain itu, rasanya perlu untuk mendekatkan diri ke keluarga Sarah, jika dia memang serius hendak menjalin hubungan dengan putri bungsu keluarga itu. Bu Handoyo dan Intan seharian sibuk memasak. Intan sengaja sudah membawa dus kemasan kue dan makanan. Ibu Intan adalah pengusaha catering di kota kelahirannya. Intan sudah ter
“Makasih, ya, Mas. Kata mamaku, makananya enak. Beli dimana?” tanya Sarah. Siang itu, mereka makan siang seperti biasa di kantin kantor. Mendengar pernyataan Sarah, Aditya yang duduk di hadapannya sambil mengaduk es jeruk tersenyum. “Buatan mama, Sar,” sahut Aditya penuh kebanggaan. Dia ingin menghadirkan pada Sarah, bahwa meskipun dia berasal dari keluarga biasa, namun ada kelebihan yang patut dibanggakan.“Ohya? Mamamu bisa bikin kue seenak itu?” tanya Sarah. Terlihat raut muka tak menyangka, bercampur dengan bahagia. Aditya mengangguk. Meski di benaknya, tiba-tiba bayangan Intan menari-nari. ‘Maaf Tan, aku terpaksa berbohong.’ batinnya. Intan dan mamanya memang senang berkolaborasi dalam memasak. Tapi, biasanya Intan yang banyak berkontribusi. Bagaimanapun remaja putri itu anak dari pengusaha catering di kota kelahirannya. Trik-trik masak sudah mumpuni dikuasai. Dan karena itu pula, mamanya makin suka pada gadis itu saat dia tinggal di rumahnya. “Wah, nanti mamaku bisa pesen
“Adit, Mama minta sama kamu. Jangan memberi harapan palsu ke orang lain. Jika kamu tidak yakin, tinggalkan. Jangan dilanjutkan,” nasehat Bu Handoyo usai makan malam. Sebagai seorang ibu, dia dapat meraba keraguan putranya. Ketika seorang sudah yakin dengan pilihannya, tentu akan diperjuangkan. “Adit yakin, Ma. Hanya, Adit perlu waktu,” sahut pemuda itu. Wajah Aditya masih tertunduk. Dia tahu, mamanya pasti menatap tajam padanya, seperti sebelum-sebelumnya jika membahas mengenai Sarah. Pemuda itu tetap tak paham, mengapa mamanya demikian tak menyukainya. Hanya karena status sosial. Bahkan, Sarah pun pasti tak menginginkan diterima sebagai dirinya, apa adanya. “Mama hanya belum kenal Sarah saja. Adit yakin, jika Mama sudah mengenalnya, pasti dapat menerimanya,” sambung Aditya. Bu Handoyo bergeming. Dalam hati, wanita paruh baya ini mencoba memahami kata-kata putranya. Benar dia belum mengenal Sarah. Tapi, sebagai wanita yang punya banyak pengalaman hidup dan telah berinterak
Tapi, Intan hanya bisa menaikkan kedua pundaknya. Takut tidak sopan, karena ada pakde dan budenya, yang harusnya memimpin pembicaraan. Baik Pak Handoyo dan Bu Handoyo tidak ada bahan untuk ditanyakan. Mereka memang tidak mau menyelidik siapa Sarah. Kalau bu Handoyo mungkin memang tidak mau tahu. Sedangkan Aditya merasa mati kutu. Sesekali diliriknya sang mama yang mengamati Sarah dengan lekat seperti hendak menguliti. “Supnya enak, Tante …” Akhirnya Sarah membuka suara. Dia ingin memuji untuk mencairkan suasana yang beku dan kaku. “Intan yang masak…” jawab Bu Handoyo dingin. Wanita itu tak hendak memperpanjang pembicaraan. Sarah menatap ke Intan. Gadis yang ditatapnya menganggukkan kepala sambil tersenyum. Sementara dalam benak Sarah masih bertanya-tanya. Siapa gadis ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia duduk satu meja dengannya? Apa posisinya di rumah ini? Saudara? Atau asisten rumah tangga? Sarah mulai frustasi dengan kondisi makan siang yang garing. Isi piringnya
Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
“Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal
Sementara, di belahan timur pulau jawab, Sarah sudah tiba di hotel. “Wi, jadi kan kita ketemu?” Sarah mengirim pesan singkat ke Dewi, teman kuliahnya dulu. Meski dulu tak akrab dengannya, namun kekuatan sosial media, membuat mereka menjadi dekat. Banyak nostalgia di grup kadang membuat dulunya berjarak, menjadi akrab. “Jadi, dong. Apa yang enggak buat kamu." Dewi mengirimkan nama sebuah cafe di salah satu mall terkenal di kota pahlawan itu. “Wah, ini sih deket sama hotelku. Sampe ketemu ya!” Balas Sarah dengan riang. “Nanti aku ke sana pulang kerja, ya. Lagi banyak orderan bos. Nggak enak klo izin.” Meski janjiannya masih lama, di mall, Sarah tidak mati gaya. Dia berniat jalan-jalan berkeliling dulu di mall itu sambil membunuh waktu. Hingga kemudian, dia mengecek kembali waktu. Saat sudah dekat waktu janjiian, Sarah segera bergegas ke cafe yang dijanjikan. Suasana cafe tid
“Mau kemana, Mas?” tanya Intan, sesaat sebelum Aditya menutup pintu itu. Lelaki itu tersenyum menatap istrinya yang raut wajahnya menampakkan wajah cemburu. Aditya menanggapi kemarahan Intan dengan santai. Jika selama ini yang banyak mengalah adalah Intan, kini dunia seolah terbalik. Intan sedang dirundung rasa kesal terhadap suaminya yang sudah terlalu memperlakukan temannya yang sedang jatuh cinta padanya. “Aku mau ke bawah. Kamu nitip apa?" tanya Aditya datar. Tak terlihat ada rasa bersalah. Aditya sudah tahu, biasanya amarah Intan akan sedikit reda jika ditawarkan makanan. “Martabak?” tawar Aditya dengan sedikit mencondongkan kepalanya. Alisnya pun satu diangkat ke atas, hendak menggoda Intan. “Serah!” ketus Intan menjawab seraya menutup pintu. Aditya hanya menanggapinya dengan senyum. Kepalanya menggeleng. Dia teringat mamanya kalau ngambek sama papanya, persis seperti itu. Nanti j
Di kompleks perkantoran tempat mereka magang tak hanya di gedung yang berisi banyak kantor. Namun, di sebelah gedungnya pun juga perkantoran lain. Belum diseberang jalan. Apalagi, saat jam pulang kerja begini, maka akan mudah ditemui pekerja yang pulang kantor dan berjalan menuju tempat tinggal masing-masing. Di kompleks pemukiman belakang kantor itu, ada berbagai macam tipe rumah tinggal. Dari yang apartemen, kos-kosan elit, kos-kosan tipe menengah, hingga kamar yang disewakan bersama dengan pemilik rumah. Mau tipe yang ada AC dan internet plus kamar mandi di dalam, atau tipe dengan kipas angin pun tersedia. Harganya bervariasi. “Intan!” panggil Runi ketika melihat temannya tak sengaja menoleh ke arahnya. Sebenarnya Runi ingin menghindar saja dan menunggu Intan masuk. Namun, kepalang basah. Intan sudah lebih dahulu melihatnya. Mau-tak mau Runi harus menyapanya. Suasana lorong apartemen yang sepi membuat suara Run
Sarah menatap nanar ke arah Dimas yang duduk di ruang tunggu bandara. Meskipun lelaki itu pamit hendak keluar kota alasan bisnis, Sarah tidak mempercayainya begitu saja. Sudah sebulan Sarah bekerja di kantor milik papanya yang kini dikelola Dimas. Semua pembukuan sudah diambil alih olehnya. Sesuai dengan keahliannya sebelum bekerja di kantor itu. Hana, staf lama, yang dicurigai memiliki kedekatan dengan Dimas pun sudah sebulan dipindahkan ke kantor cabang. Sarah sudah menyelidiki semua pembukuan kantor itu. Tak satu pun transaksi mencurigakan ditemukan. Bahkan, transaksi atas nama Dimas, tak satupun mencurigakan. Mungkin, itu pula yang membuat hidup Dimas tak banyak berubah, meski perusahaan makin menggeliat. Bahkan, rumah pun masih tinggal di tempat yang sama. Dimas pun masih setia dengan motornya, meski kadang-kadang membawa mobil operasional kantor. Namun, kesederhanaan itu justru yang membuat Sarah makin curiga. Jangan-jangan, ada belanja yang lain diluar untuk keluarganya, s
“Mas, bisa nggak sih kalo kerja nggak pake main mata?” tanya Intan sambil menggigit satenya. Meski seharian dibuat gusar oleh tingkah Runi dan juga Aditya yang sok bijak di depan Runi hingga membuat gadis itu makin blingsatan, Intan sudah mulai belajar mengendalikan diri. Berkali-kali dia meneguk air mineral agar melarutkan emosi dalam darahnya. Sore tadi, sepulang kerja, Intan berpesan ke Aditya agar membeli sate di warung tenda belakang. Dia kesal dengan Aditya dan itu membuatnya malas memasak, khusus hari itu saja. Dia ingin menunjukkan kalau dia tengah marah. Apalagi, sejak Aditya tahu kalau teman-teman Intan juga magang di kantornya, Aditya makin malas pergi keluar dengan Intan. Bahkan lelaki itu rela membeli makan sendiri, demi agar tidak diketahui kedekatannya dengan sang istri. Bahkan, mereka pun pulang dan pergi terpaksa melewati jalan dan waktu yang berbeda, agar tidak diketahui hubungan keduanya. “Siapa juga yang mai
Kebetulan Runi dan Mira tinggal di kosan yang sama. Sementara Intan beralasan ikut kakaknya. Jadi tidak gabung saat mencari kosan. Sedangkan Arfan, tentu tinggal di kosan khusus laki-laki. “Ehhh, maaf, Run. Nggak bisa. Kan aku sudah bilang, kalau aku tinggal sama kakakku cowo. Dia orangnya pemalu. Emang mau ngapain?” tanya Intan setelah menjelaskan alasannya.Selama ini, Intan selalu beralasan ikut di tempat kakak laki-lakinya. Jadi dia tak mengijinkan satu pun temannya untuk berkunjung. Bisa-bisa Aditya ngamuk kalau sampai ada yang berani datang. Lelaki itu sangat ketat terhadap privasi. “Nggak ada, sih. Cuma mau main aja. Habis dari magang, suka bengong di kontrakan,” kata Runi. Runi memang tidak terlalu cocok dengan Mira. Mira anaknya gaul, mudah dekat sama cowok. Sedangkan Runi cenderung pemalu. Mengobrol dengan Mira pun sering tidak nyambung. Karena keduanya berbeda selera. “Yaudah, aku saja yang main ke kosanmu ya,” kata Intan menawarkan diri. Kalau dengan Intan, Runi agak
“Tadi ada anak baru magang di kantorku,” kata Aditya sambil mengambil rawon ke mangkuknya. Biasanya makan nasi rawon, Intan selalu memisahkan rawon dengan nasinya.Intan sudah mencicil membeli perabot masak seadanya. Yang penting ada buat goreng, ngrebus, ngukus. Bahkan, kadang dia terpaksa menggunakan bumbu instan, karena tak memungkinkan bumbu lengkap. Ulekan atau blender belum dimilikinya. Lagi pula beli bumbu lengkap juga bakal busuk klo jarang-jarang masak.Intan hampir tersedak mendengar ucapan Aditya.“Minum dulu. Denger magang saja, kok kamu tersedak,” ucap Aditya datar.Lelaki itu sama sekali tak curiga. Malah dengan santainya menyendok telur asin yang sengaja digunakan untuk pendamping nasi rawon. Intan sengaja membawa telor asin dari rumah mertuanya. Praktis buat lauk. Tinggal membuat perkedel dan goreng emping saja buat pelengkap nasi rawon.“Ya maaf kalau aku nggak bantuin kam
Aditya masih sibuk dengan pekerjaannya, saat Hanafi, karyawan HRD masuk ke ruang kerjanya bersama seorang gadis dengan penampilan tertutup alias berjilbab rapi. “Dit, ini ada anak magang baru, ditempatkan di divisi ini. Kata Pak Bos, kamu yang akan pegang,” kata Hanafi sambil memperkenalkan gadis yang meskipun tampilannya tertutup namun, terlihat ramah. Sejenak Aditya terdiam. Namun kemudian dia teringat pesan atasannya yang sedang keluar kantor, kalau memang dia akan ditugaskan membimbing anak magang tiga bulan kedepan. “Oh Iya, Pak. Makasih ya,” sahut Aditya kemudian. “Runi, ini Pak Adit. Nanti Pak Adit yang akan membimbing kamu selama magang di sini.” Hanafi memberi pesan pada mahasiswi bernama Runi itu. Gadis itu menangguk takzim. Hanafi lalu meninggalkan ruangan Aditya. “Duduk dulu.” Aditya mempersilahkan Runi duduk. Mereka mengobrol di sofa yang biasa digunakan untuk menunggu tamu di ruangan itu. “Jadi nama kamu Runi?” Aditya membaca berkas dokumen yang diberikan Hanafi.
Intan bersikap biasa tatkala pagi hari, seolah tak pernah terjadi sesuatu tadi malam. Dia sengaja tak membahasnya hingga Aditya membuka percakapan. “Bener kamu nggak ingat semalam kamu ngapain?” ulang Aditya. Pagi itu Hari Minggu. Intan memasak nasi goreng untuk sarapan. Semalam, Intan sengaja memasak nasi agak lebih agar dapat dimasak untuk pagi hari. Dia sudah hafal kalau Aditya tak suka nasi kemarin, kecuali dibuat nasi goreng. Intan menggeleng. Dalam hati Intan berujar, “Aku nggak tahu kamu ngapain saja di sana, Mas.” Aditya menghela napas. Dia khawatir hal itu akan terjadi lagi saat malam hari dia tidak di rumah. “Mengerikan,” batinnya. “Kalau begitu, sebaiknya siang ini kita pulang. Rasanya lebih aman kamu di rumah dibanding di sini,” tambah Aditya. Di rumahnya, ada mamanya yang bisa mengawasi. Kalau di apartemen, saat dia pergi seperti semalam, siapa yang dapat menjamin Intan nggak kemana-mana.