Rasanya, menetap di kampung ini tidak mungkin. Kami tetap harus kembali ke kota Jakarta. Pulang sesekali ke kampung, atau biasa disebut dengan pulang kampung adalah moment yang seru. Aku dan Kak Harun akan menikmatinya saja seperti ini. Menikmati kebersamaan dengan mereka -semua keluarga di sini- sesekali saja, aku pernah dengar istilah saudara itu jika jauh bau bunga tapi dekat bau kotoran. Keseruan yang tercipta di antara kami, salah satu faktor pendukungnya adalah jarak yang memisahkan dan rasa kerinduan. Ah iya, masalah Mbak Dewi, wanita yang pernah curhat padaku malam itu juga sudah dapat solusi. Banyak orang yang memiliki nasib sama, banyak yang mau berbagi tips dan trik menghadapi datangnya bulan suci Ramadhan tanpa rasa was-was. Mbak Dewi sangat terharu dengan semua masukan dari nitizen yang rata-rata adalah wanita. Terimakasih semuanya ( ini beneran yaa, hehehe) "Bagaimana kalau kita bikin sesi curhat juga, Mbak?" Usul Fitriana saat melihat Mbak Dewi begitu senang dengan k
Hawa dingin terasa menusuk hingga ke tulang, sepertinya hujan semalam makin membuat hawa semakin dingin. Tidak hujan pun, di sini sudah dingin, apa lagi ditambah hujan makin menjadi-jadi rasanya. Di pagi hari, air di kamar mandi tak ubahnya seperti air yang berasal dari dalam kulkas, seakan bisa membekukan badan. Aku menggeliat dan merenggangkan otot-otot tubuhku. Bangun tidur di kampung, rasanya lebih segar daripada bangun tidur di kota. Badan terasa enteng dan tidurpun seakan begitu nyenyak. Jauh berbeda dengan di kota, kadangkala saat bangun tidur, badan rasanya pegal-pegal semua, bahkan kadang kepala juga pening. Aku terlonjak kaget menyadari tubuhku yang polos, hanya selimut yang menutupi tubuh kami berdua. Aku lihat baju-bajuku dan Kak Harun teronggok di lantai, di samping tempat tidur. Pantas saja aku kedinginan. Ini semua gara-gara Kak Harun, harusnya sebelum tidur kami membersihkan diri dulu, setidaknya berwudhu kalau tidak ingin mandi besar agar tidak berhadats seluruh tu
"Ciee yang malam-malam mau masak bocah, tahunya sedang berkonspirasi," goda Fitriana setiap kali melewati aku dan Mbak Mayang. Sejak tadi pagi, bocah itu terus saja menggodaku dan juga Mbak Mayang. Mungkin setelah bangun, dia sadar dengan apa yang kami lakukan sebelum subuh tadi. Alhasil dia terus saja menggoda kami."Nggak diajak jemput Mbak Zainab, nanti sama Harun baru tahu rasa," seru Mbak Mayang yang sedang sibuk memasak untuk makan siang. Sebentar lagi, memang Kak Harun akan ke rumah Mas Bayu untuk menjemput mereka. Malam ini adalah malam terakhir aku dan Kak Harun disini, besok kami akan balik ke Jakarta. Selain menjemput Kakaknya agar menginap disini, Kak Harun juga mengambil makanan kecil untuk kami bawa serta ke Jakarta. "Biarin, hampir tiap hari aku ke rumah Mbak Zainab, gak ke sana hari ini juga gak apa-apa," sahut Fitriana santai. Gadis itu memang hampir tiap hari ke rumah Mbak Zainab, selama lima hari ini dia live jualan selama itu juga katanya banyak pesanan. Jadi s
POV MAYANG Kedatangan adik iparku, Dek Alya, sepertinya merupakan berkah buat keluarga kami. Gadis itu datang dalam keluarga kami menambah keseruan dan kebahagiaan. Dek Alya yang tidak pernah merasa lebih pandai dari siapapun meskipun dia secara academy ada di atasku maupun Harun. Tidak pernah merasa minder atau berkecil hati meskipun dalam hal urusan rumah tangga dan urusan dapur dia tidak banyak mengerti. Bahkan dengan keceriaannya, Gadis itu bisa mengubah sifat tertutup Mbak Zainab. Tak hanya itu, Dek Alya juga bisa mengarahkan kegiatan bermedia sosialnya Fitriana ke arah yang positif. Tidak cuma sekedar posting-posting video dan kegiatannya yang tidak jelas. Lewat media sosial, sekarang Fitriana malah bisa menghasilkan uang lewat jualan online. Lewat jualan online itu pula Mbak Zainab bisa memasarkan dagangannya, aku lihat karena itu juga Mbak Zainab lebih percaya diri.Menjadi ibu rumah tangga bukanlah suatu hal yang patut direndahkan. Namun di masyarakat kita saat ini, banyak
POV Mayang Gerimis membasahi halaman kontakan yang kami tempati, rintik air itu sudah turun sejak lima belas menit yang kalau. Aku duduk di bangku teras rumah sambil menunggu kedatangan Mas Hamid. Meskipun sama-sama mengajar, tapi kami mengajar di tempat yang berbeda. Aku mengajar di sekolah menengah pertama dan pulang pergi ke tempat itu dengan mengendarai motor. Sedangkan Mas Hamid mengajar di kampus dan pulang pergi menggunakan mobil. Kami sengaja memilih mengontrak di kota, dekat dari tempatku mengajar dan tidak terlalu jauh dari tempat mengajar Mas Hamid. Hanya sebulan sekali kami pulang dan menginap di rumah Emak maupun ibunya.Sebulan lebih sudah berlalu dari kepergian Dek Alya kembali ke kota. Kami sudah mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, sesekali berbagai kabar dengan melakukan video call. Dari kejauhan, terlihat mobil milik Mas Hamid berjalan perlahan menuju ke arah rumah kami. Senyumku mengembang untuk menyambut kekasih hatiku, lelaki yang sejak lima tahun terak
POV ALYAAku bergelung dalam selimut sambil memeluk erat tubuh pria yang sudah menjadi suamiku, Kak Harun. Matahari sudah bersinar terang, terlihat jelas dari balik jendela kamar. Tadi setelah salat subuh, kami memutuskan untuk tidur lagi setelah aku dipaksa minum susu ibu hamil oleh Kak Harun. Hari libur, sering kali membuat kami enggan beranjak dari tempat tidur. Apa lagi di usia kehamilanku yang masih muda, baru dua bulan. Jika sedang rajin aku akan memasak, jika tidak ya beli. Meskipun tidak bisa memasak dengan baik, tapi aku bisa memasak dengan lezat. Sekarang ini semua serba mudah, banyak bumbu jadi yang dibuat oleh pabrik. Mau bikin soto, sop, sayur asam, oseng kangkung, ikan goreng, ayam goreng, semua ada bumbu jadinya. Bahkan di tukang sayur, ada juga bumbu hand made yang masih fresh, seandainya tidak suka bumbu pabrikan. Ada bumbu rendang, opor ayam, ayam goreng. Jadi kalaupun gak bisa bedain bumbu-bumbu dapur tetap bisa masak dengan nikmat. Cara memasak tinggal lihat tuto
Di antara hiruk-pikuk pengunjung bazar buku, berjalan seorang lelaki berusia dua puluhan dengan tergesa. Matanya tidak fokus ke jalanan yang dia lewat hingga tidak sengaja menubruk tubuh pengunjung wanita.Buku dalam genggaman wanita jatuh berserakan di lantai. "Maaf, saya buru-buru," ucap lelaki dengan pakaian super rapi meminta maaf pada lawannya yang tidak sengaja ditabrak karena berjalan dengan tergesa. Wanita itu bergegas memunguti beberapa buku yang masih terbungkus rapi dalam plastik, buku-buku baru yang hendak dibeli olehnya. "Tidak apa-apa," sahutnya seraya menerima buku yang di sodorkan lelaki itu padanya. Meskipun lelaki itu mengatakan buru-buru tapi dia tetap membantu sang wanita memunguti buku tersebut. Mata mereka bersirobok. "Kamu?" gumam wanita itu pelan. "Ya Allah, May. Mimpi apa kamu bisa bertemu lagi dengan pria ini. Setelah sekian lama tidak bertemu, bahkan mencarinya bagaikan mencari jarum diatas tumpukkan jerami," ucap Mayang dalam hati. ***Setahun lalu,
"Kemana saja sih, May," tanya Afifah sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi novel-novel milik Mayang, tentunya sudah dibayar terlebih dahulu menggunakannya uang Afifah. "Menemui takdirku," sahut Mayang dengan senyum mengembang.Afifah mengerutkan keningnya, bingung dengan maksud ucapan sahabatnya. "Maksudmu, kamu menemui pria yang dulu suka kamu lihat di toko buku?" tanya Laily. Mereka sebenarnya adalah tiga sahabat yang bertemu sejak masa mengenyam pendidikan Madrasah Aliyah, Mayang, Afifah dan Laily. Namun saat kuliah, Laily memutuskan untuk tidak berkuliah. Gadis itu memilih untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Makanya Mayang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Afifah dibanding dengan Laily yang sibuk di tempat jualan orang tuanya."Tepat sekali!" seru Mayang sambil menjentikkan jarinya. "Tanpa kuliah pun, analisamu selaku tepat," sambung Mayang dengan wajah makin sumringah. Afifah dan Laily kompak menggelengkan kepalanya. Mayang kumat lagi, sepertinya mereka