POV ALYAAku bergelung dalam selimut sambil memeluk erat tubuh pria yang sudah menjadi suamiku, Kak Harun. Matahari sudah bersinar terang, terlihat jelas dari balik jendela kamar. Tadi setelah salat subuh, kami memutuskan untuk tidur lagi setelah aku dipaksa minum susu ibu hamil oleh Kak Harun. Hari libur, sering kali membuat kami enggan beranjak dari tempat tidur. Apa lagi di usia kehamilanku yang masih muda, baru dua bulan. Jika sedang rajin aku akan memasak, jika tidak ya beli. Meskipun tidak bisa memasak dengan baik, tapi aku bisa memasak dengan lezat. Sekarang ini semua serba mudah, banyak bumbu jadi yang dibuat oleh pabrik. Mau bikin soto, sop, sayur asam, oseng kangkung, ikan goreng, ayam goreng, semua ada bumbu jadinya. Bahkan di tukang sayur, ada juga bumbu hand made yang masih fresh, seandainya tidak suka bumbu pabrikan. Ada bumbu rendang, opor ayam, ayam goreng. Jadi kalaupun gak bisa bedain bumbu-bumbu dapur tetap bisa masak dengan nikmat. Cara memasak tinggal lihat tuto
Di antara hiruk-pikuk pengunjung bazar buku, berjalan seorang lelaki berusia dua puluhan dengan tergesa. Matanya tidak fokus ke jalanan yang dia lewat hingga tidak sengaja menubruk tubuh pengunjung wanita.Buku dalam genggaman wanita jatuh berserakan di lantai. "Maaf, saya buru-buru," ucap lelaki dengan pakaian super rapi meminta maaf pada lawannya yang tidak sengaja ditabrak karena berjalan dengan tergesa. Wanita itu bergegas memunguti beberapa buku yang masih terbungkus rapi dalam plastik, buku-buku baru yang hendak dibeli olehnya. "Tidak apa-apa," sahutnya seraya menerima buku yang di sodorkan lelaki itu padanya. Meskipun lelaki itu mengatakan buru-buru tapi dia tetap membantu sang wanita memunguti buku tersebut. Mata mereka bersirobok. "Kamu?" gumam wanita itu pelan. "Ya Allah, May. Mimpi apa kamu bisa bertemu lagi dengan pria ini. Setelah sekian lama tidak bertemu, bahkan mencarinya bagaikan mencari jarum diatas tumpukkan jerami," ucap Mayang dalam hati. ***Setahun lalu,
"Kemana saja sih, May," tanya Afifah sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi novel-novel milik Mayang, tentunya sudah dibayar terlebih dahulu menggunakannya uang Afifah. "Menemui takdirku," sahut Mayang dengan senyum mengembang.Afifah mengerutkan keningnya, bingung dengan maksud ucapan sahabatnya. "Maksudmu, kamu menemui pria yang dulu suka kamu lihat di toko buku?" tanya Laily. Mereka sebenarnya adalah tiga sahabat yang bertemu sejak masa mengenyam pendidikan Madrasah Aliyah, Mayang, Afifah dan Laily. Namun saat kuliah, Laily memutuskan untuk tidak berkuliah. Gadis itu memilih untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Makanya Mayang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Afifah dibanding dengan Laily yang sibuk di tempat jualan orang tuanya."Tepat sekali!" seru Mayang sambil menjentikkan jarinya. "Tanpa kuliah pun, analisamu selaku tepat," sambung Mayang dengan wajah makin sumringah. Afifah dan Laily kompak menggelengkan kepalanya. Mayang kumat lagi, sepertinya mereka
Senyum Mayang mengembang sempurna, ingin rasanya dia berguling-guling di atas kasur lantainya. Pria di ujung telepon itu menyambut namanya. Nama yang terdengar merdu di pendengaran Mayang, Furqon yang artinya pembeda. Mudah-mudahan laki-laki itu benar-benar beda dengan yang lain. Soleh, dan bisa menjadi imam yang baik untuk dirinya. Belum apa-apa hayalan gadis itu sudah melantur kemana-mana."Berarti ini jodoh, kan, Ya Allah," batin Mayang, sedikit memaksakan kehendaknya. "Oh, Kak Furqon. Kuliah di Institut Agama Islam Negeri, juga? tanya Mayang dengan menyebutkan kampusnya.Modus memberitahu dimana dia sedang mengenyam pendidikan. Tidak perlu menyebut nama institusi tersebut dengan lengkap, di kota ini hanya ada satu saja. Pertanyaan ini masih masuk akal menurut Mayang, karena diawal dia mengatakan tentang proposal untuk KKN. Lagi-lagi secara tidak langsung, Mayang menyalahkan Afifah salah memberinya nomor telepon."Fakultas apa?" Sambungnya masih dengan suara yang lembut. Padahal
Suasana di gedung fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan mulai sepi, sebagai mahasiswa sudah pulang, hari sudah mulai senja, Matahari semakin tergelincir. Mayang dan Afifah masih asyik duduk di depan gedung fakultas. Bangunan dengan tiga lantai yang menjulang megah itu adalah gedung dimana keduanya menuntut ilmu. Mayang dan Afifah memang lebih senang menghabiskan waktu dengan berada di kampus daripada di kos-kosan. Di kampus tempat luas dan suasana lebih ramai. Mereka akan kembali pulang saat hampir Maghrib. Mayang dengan semangat empat lima bercerita tentang Furqon, gadis itu mengatakan jika dia saat ini bisa berhubungan dengan pria itu melalui smartphone. Tentu saja dia tidak menceritakan bagaimana kekonyolan malam itu dengan berpura-pura salah sambung.Afifah mendengarkan cerita temannya dengan seksama, berusaha menjadi pendengar yang baik meskipun hatinya kurang setuju dengan yang dilakukan oleh Mayang saat ini. "Belum pada pulang?" Sapa seorang laki-laki menghentikan keseruan m
Afifah terus saja merepet meskipun mereka sudah kembali berdua saja di kamar kost mereka. Tidak jauh berbeda dengan Afifah, Mayang pun melakukan hal yang sama, terus mengomel pada Afifah karena perkataan yang diucapkan gadis itu pada Syahid untuk mengakhiri perdebatan mereka. "Kalau aku jadi kamu, lebih baik aku terima ajakan nikah seseorang yang sudah siap menikah dan siap memberi nafkah, daripada sibuk mengejar orang yang tidak tahu bakalan didapatkan atau enggak," omel Afifah tanpa henti. "Memangnya Kak Syahid ngajak nikah," sela Mayang dengan nada kesal. "Dari ucapannya udah jelas, May. Kan dia emang udah mandiri, punya usaha sendiri, tempat fotocopy dan penjilidan di belakang kampus itu punya dia. Saat orang lain masih sibuk kuliah dan bersenang-senang, dia sudah sibuk kuliah sambil cari uang. Dia juga pintar dan baik hati." Afifah mengabsen segala kelebihan dari pria yang baru saja mereka temui tadi di kantin. "Enggak, dia hanya bertanya aku siap atau tidak," sanggah Mayang.
Afifah memarkirkan motornya di halaman masjid, pada akhirnya gadis itu tidak mau membiarkan sahabatnya datang sendirian menemui pria bernama Furqon itu. Sebuah masjid megah dengan dua lantai. Lantai ke dua langsung dihubungkan oleh tangga menuju halaman masjid. Mayang janjian dengan Furqon untuk bertemu di masjid agung kota selepas ashar. Awalnya Mayang diajak bertemu di sebuah tempat makan, tapi gadis itu menolaknya. Senekat-nekatnya dirinya, tetap sungkan jika harus makan bersama orang lain yang belum terlalu dekat dengannya. Saat bersama Syahid kala makan di kantin, itu karena terpaksa sudah berada di tempat tersebut. [Kak, aku sudah di parkiran] Mayang mengirim pesan pada Furqon. Mata gadis itu menatap layar ponselnya menunggu balasan dari laki-laki yang janjian dengannya. [Tunggu, sebentar lagi aku keluar] Tak lama setelah pesan terbaca, Furqon membalasnya. "Mana orangnya?" Tanya Afifah setelah selesai memarkirkan motornya. "Sebentar lagi keluar, tungguin saja di tangga,"
"Ngapain kalian ada di sini?" Syahid kembali bertanya karena tidak mendapatkan jawaban. "Kakak sendiri ngapain di sini?" Mayang balik bertanya. Gadis itu mulai tidak nyaman dengan keberadaan Syahid yang selalu berada di mana saja dia berada. Sejak obrolan mereka di kantin waktu itu, seakan-akan Syahid selalu mengawasi dirinya. "Kalau mampir ke masjid ya mau salat, Mey. Masa mau belanja," jawab syahid dibarengi dengan candaan."Berarti kami pun sama, Kak. Kami ada di sini juga untuk itu," timpal Mayang. Syahid memperhatikan dengan seksama kedua gadis yang ada di depannya."Kalian habis beli buku?" tanya Syahid saat melihat sebuah paper bag berisi buku-buku yang berada dalam genggaman Mayang."Iya, Kak." Kali ini Afifah yang menjawab."Jika kalian butuh buku-buku lagi, kalian bisa meminjam padaku daripada membelinya. Kakakku punya banyak buku yang sepertinya bisa menjadi referensi saat kita mendapatkan tugas. Aku juga bisa membantu kalian jika kalian mau," tutur Sahid menawarkan ban
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t