Afifah terus saja merepet meskipun mereka sudah kembali berdua saja di kamar kost mereka. Tidak jauh berbeda dengan Afifah, Mayang pun melakukan hal yang sama, terus mengomel pada Afifah karena perkataan yang diucapkan gadis itu pada Syahid untuk mengakhiri perdebatan mereka. "Kalau aku jadi kamu, lebih baik aku terima ajakan nikah seseorang yang sudah siap menikah dan siap memberi nafkah, daripada sibuk mengejar orang yang tidak tahu bakalan didapatkan atau enggak," omel Afifah tanpa henti. "Memangnya Kak Syahid ngajak nikah," sela Mayang dengan nada kesal. "Dari ucapannya udah jelas, May. Kan dia emang udah mandiri, punya usaha sendiri, tempat fotocopy dan penjilidan di belakang kampus itu punya dia. Saat orang lain masih sibuk kuliah dan bersenang-senang, dia sudah sibuk kuliah sambil cari uang. Dia juga pintar dan baik hati." Afifah mengabsen segala kelebihan dari pria yang baru saja mereka temui tadi di kantin. "Enggak, dia hanya bertanya aku siap atau tidak," sanggah Mayang.
Afifah memarkirkan motornya di halaman masjid, pada akhirnya gadis itu tidak mau membiarkan sahabatnya datang sendirian menemui pria bernama Furqon itu. Sebuah masjid megah dengan dua lantai. Lantai ke dua langsung dihubungkan oleh tangga menuju halaman masjid. Mayang janjian dengan Furqon untuk bertemu di masjid agung kota selepas ashar. Awalnya Mayang diajak bertemu di sebuah tempat makan, tapi gadis itu menolaknya. Senekat-nekatnya dirinya, tetap sungkan jika harus makan bersama orang lain yang belum terlalu dekat dengannya. Saat bersama Syahid kala makan di kantin, itu karena terpaksa sudah berada di tempat tersebut. [Kak, aku sudah di parkiran] Mayang mengirim pesan pada Furqon. Mata gadis itu menatap layar ponselnya menunggu balasan dari laki-laki yang janjian dengannya. [Tunggu, sebentar lagi aku keluar] Tak lama setelah pesan terbaca, Furqon membalasnya. "Mana orangnya?" Tanya Afifah setelah selesai memarkirkan motornya. "Sebentar lagi keluar, tungguin saja di tangga,"
"Ngapain kalian ada di sini?" Syahid kembali bertanya karena tidak mendapatkan jawaban. "Kakak sendiri ngapain di sini?" Mayang balik bertanya. Gadis itu mulai tidak nyaman dengan keberadaan Syahid yang selalu berada di mana saja dia berada. Sejak obrolan mereka di kantin waktu itu, seakan-akan Syahid selalu mengawasi dirinya. "Kalau mampir ke masjid ya mau salat, Mey. Masa mau belanja," jawab syahid dibarengi dengan candaan."Berarti kami pun sama, Kak. Kami ada di sini juga untuk itu," timpal Mayang. Syahid memperhatikan dengan seksama kedua gadis yang ada di depannya."Kalian habis beli buku?" tanya Syahid saat melihat sebuah paper bag berisi buku-buku yang berada dalam genggaman Mayang."Iya, Kak." Kali ini Afifah yang menjawab."Jika kalian butuh buku-buku lagi, kalian bisa meminjam padaku daripada membelinya. Kakakku punya banyak buku yang sepertinya bisa menjadi referensi saat kita mendapatkan tugas. Aku juga bisa membantu kalian jika kalian mau," tutur Sahid menawarkan ban
Afifah masuk ke warung milik orang tua Laily dengan kesal dan tanpa salam, kemudian gadis itu membanting tas punggungnya begitu saja di samping meja lesehan.Afifah tentu saja berani melakukan hal tersebut karena di tempat itu hanya ada Laily seorang, jika saja ada kedua orang tuanya ataupun pelanggan, tentu Afifah tidak akan berani melakukannya.Orang tua Laily berjualan mie ayam dan bakso di sebuah lapak pinggir jalan. Sebenarnya jarak warung dan kampusnya cukup jauh, tapi karena rasa kesalnya pada Mayang, membuatnya jauh-jauh datang ke tempat itu. Mendatangi sahabatnya, Laily. Warung ini adalah sebuah bangunan yang cukup luas, menyatu dengan rumah orang tua Laily. Gerobak dagangan berada di teras, sedangkan orang-orang yang makan akan masuk ke bagian dalam bangunan. Para pelanggan akan makan dengan posisi lesehan. Halaman bangunan tersebut cukup luas dengan beberapa pohon mangga di depannya, pepohonan yang rindang itu membuat suasana lebih sejuk. Selain itu halamannya juga digun
"Kalau bukan Kakak, lalu siapa, Kak?" Mayang mengulang perkataan Syahid yang terpotong. "Bukan siapa-siapa." "Kak!" Seru Mayang, masih berusaha meminta penjelasan. Bagaimanapun juga, tentu saja dia penasaran dengan seseorang di balik perkataan teman kampusnya itu. Kalau bukan dia siapa, Mayang jadi memikirkan semua teman laki-laki yang mungkin dekat dengan Syahid. Apa ada salah satu diantara mereka. Kenapa tidak bicara langsung saja padanya, kenapa harus lewat perantara. "Aku datang ke sini hendak menawarkan bantuan, bukan untuk memberikan penjelasan. Mau gak aku antar, daripada jalan kaki. Udah dua hari ini kamu terlihat jalan kaki, kalian marahan?""Bukan urusan Kakak.""Okelah, bukan urusanku. Jadi mau nggak aku antar. Kamu sok-sokan menolak aku antar tapi malah pacaran.""Aku bilang, aku gak pacaran, Kak.""Lalu apa namanya kalau kamu suka sama seseorang dan berinteraksi dengannya.""Kami hanya berteman.""Okelah, teman. Teman tapi mesra.""Sana pergi kalau mau bikin aku tamba
"Mayang sudah punya pacar. Sudahlah, Mas! Tak perlu mengejar, menunggu ataupun mengharapkan dia," seru Syahid seraya menghempaskan bobot tubuhnya ke atas kursi ruang tamu. Rasa kesal mendominasi hatinya sepulang dari mengantarkan Mayang tadi. Syahid merasa usahanya akan sia-sia karena gadis itu mengatakan kalau dia sudah mengagumi seseorang. "Darimana kamu tahu?" tanya sang Kakak penasaran. Laki-laki yang di panggil Mas itu adalah Kakak laki-laki Syahid. "Dia yang mengatakan sendiri kalau sedang mengagumi seseorang.""Kagum belum tentu pacaran, Syahid.""Lalu namanya apa!" Seru Syahid dengan kesal. Entah kenapa Kakaknya ini bisa tertarik dengan wanita seperti Mayang, hanya karena terpesona pada pandangan pertama. Kagum dengan pemikiran dan kedewasaannya. Sampai-sampai dia harus jadi tumbal, bertanya tentang kesiapan Mayang untuk menikah. Dan sekarang dia dianggap mengejar-ngejar wanita keras kepala itu. "Kalau kamu suka sama dia, datangi langsung saja bapaknya, Mas. Jangan kayak
Tepat saat Mayang membuka pintu kosan, terlihat olehnya laki-laki sedang duduk di atas motor, seolah menunggu dirinya. Waktu sudah beranjak malam. Tadi saat hendak keluar kamar, dan melihat jam yang ada di ponselnya menunjukkan angka 20.30, tergolong malam untuk ukuran kota kecil seperti kotanya ini. "Kakak nungguin Afifah?" tanya Mayang, begitu jarak mereka sudah cukup dekat.Bukan tanpa sebab Mayang bertanya begitu. Syahid sendiri mengatakan kalau dia tidak tertarik pada Mayang. Pria itu bertanya tentang kesiapan Mayang menikah saat di kantin dulu, karena disuruh seseorang. Kemudian tadi siang dia melihat pemuda itu berbicara dengan Afifah, tentu saja membuat Mayang berpikir kalau Syahid mungkin saja mencari temannya, Afifah."Naiklah aku akan mengantarmu ketemu dengan Afifah, tunjukkan jalannya," sahut Syahid tanpa mau menjawab pertanyaan Mayang."Dari mana kakak tahu aku akan bertemu dengan Afifah.""Sudah naik saja tidak perlu banyak bertanya aku akan mengantarmu daripada kamu n
"Dialah permata yang dicari...." Afifah bersenandung, menyanyikan lagu nasyid yang digemari oleh Mayang.Mayang mendengus kesal merasa dikerjai oleh sahabatnya. Bibirnya cemberut, matanya mendelik pada Afifah. "Sudahlah, toh kamu tidak mau dengan laki-laki itu, kan. Untuk apa kamu mengenalnya," celetuk Laily."Penasaran saja, Ly," sahut Mayang dengan wajah masih cemberut."Kalau pengen tahu, bilang saja sama Kak Syahid, suruh pria itu menampakkan diri. Kenapa kamu tidak coba bertemu dengannya saja, siapa tahu suka," sela Afifah. "Aku belum siap menikah, kan dia menanyakan kesiapan pernikahan. Aku tidak mau memberi harapan pada anak orang," sahut Mayang. "Tidak siap menikah tapi siap pacaran," gerutu Afifah. " Aku gak pacaran, Mey. Mulai deh," sahut Mayang. "Sudah, sudah, tidak usah berdebat lagi. Lebih baik kita tidur. Dan besok segera angkat kaki dari rumah ini." Laily melerai perdebatan mereka. "Kamu mengusir kami?" seru Afifah dan Mayang bersamaan. Laily tidak menjawab, hany