"Kenapa Kakak menanyakan hal itu? kak Furqon udah siap nikah?" Mayang balik bertanya. "Belum sih, masih mau lanjut S2.""Terus kenapa malah mau pergi dari kota ini, bukankah Kak Furqon bisa juga lanjut S2 di tempat Kakak menuntut ilmu sekarang.""Aku akan S2 di Madinah."Hening. Sesaat yang lalu, Mayang merasa bahagia dengan gombalan dan angan tentang Furqon. Namun saat mendengar perkataan lelaki itu, yang hendak melanjutkan studi di Madinah membuatnya bersedih. Butuh waktu beberapa lama mereka terpisah jarak yang begitu jauh. Apa Furqon akan tetap ingat padanya saat berada di kota tempat Masjid Nabawi itu berada. "Aku akan tetap menghubungimu meskipun ada di sana," ucap Furqon, seakan dia bisa membaca kekhawatiran Mayang. "Aku akan memberitahumu nomor baruku, kamu juga bisa menghubungiku lewat media sosial," sambungnya lagi. "Atau kamu mau aku beri nomor telepon Kakak perempuanku, biar kamu bisa telponan dengannya?" Lagi, Furqon berusaha meyakinkan Mayang, karena tidak ada jawaban
Motor yang dikendarai oleh ojek pangkalan menebus jalanan kota kecil ini. Hendak mengatarkan seorang gadis bertemu kekasih hati. Mayang akhirnya memutuskan untuk mengikuti ajakan Furqon bertemu dengannya tanpa Afifah. Awalnya Furqon menawarkan untuk menjemputnya, tapi gadis itu memilih untuk menemuinya dan mereka bertemu di tempat biasa, di depan Masjid Agung Kota.Saat Mayang turun dari kendaraan roda dua tersebut, dari tempatnya berdiri, di pinggir jalan, gadis itu sudah bisa melihat seorang pemuda sedang menunggunya di tangga masjid. Senyum mengembang saat matanya bersitatap dengan mata Mayang. Membuat jantung gadis itu ikutan berdebar kencang. Pelan, Mayang mengayunkan langkah menuju tempat di mana Furqon sedang menunggunya. Saat jarak mereka sudah cukup dekat, Furqon menuruni tangga untuk menghampiri Mayang di anak tangga paling bawah. "Sudah lama menunggu, Kak?" tanya Mayang tanpa berani menatap wajah pria yang ada di depannya."Belum terlalu lama, ayo!" ajak Furqon sambil ber
Furqon tersenyum melihat Mayang yang terlihat tegang, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Aku hanya bercanda, aku akan menyimpannya saat nanti kita sudah terikat dengan janji suci." Furqon berkata sambil melangkahkan kakinya mundur ke belakang.Mayang mengangkat wajahnya dan menarik nafas lega. Bagaimana jadinya jika pria itu benar-benar mengajaknya melakukan hal tersebut. Apa dia akan sanggup menolaknya. "Ayo pergi dari sini sebelum kita ikutan kesambet," ajak Furqon sambil tertawa. Mayang mengikuti langkah kaki Furqon, mereka keluar dari taman tersebut. Taman itu memang sangat nyaman, sejuk dan juga tenang, tapi ternyata di dalamnya menyimpan sesuatu yang tidak bisa dibayangkan. "Ngobrol di sana, yuk!" ajak Furqon sambil menunjuk tempat orang berjualan makanan yang ada di seberang jalan. Warung itu tidak terlalu ramai, tampak luas dan bersih. Furqon mengulurkan tangannya pada Mayang saat hendak menyeberang jalan. Mayang menatap ke arah Furqon tanpa berniat menyambut uluran tangan
"Kamu bilang, kamu adalah Doraemon yang akan mengabulkan semua permintaanku. Jangankan mengabulkan permintaan, bahkan kamu sudah menghilang tanpa berita." Mayang berbicara pada boneka Doraemon pemberian Furqon sambil terisak-isak. "Sudahlah, May. Luapkan dia, mungkin dia memang bukan jodohmu. Sekarang fokuslah lagi ke kuliah dan studi," tegur Afifah. Afifah tidak ingin sahabatnya larut dalam kesedihan seperti itu. Sudah seminggu Mayang seperti itu, bersedih, menangis dan mogok makan."Selama ini, aku tetap fokus kuliah, Afif," sanggah Mayang tidak terima. "Bukan itu maksudku, May. Sebentar lagi kita kan akan KKN. Kamu yang jadi sekertarisnya. Udah siapin proposal yang diminta oleh Kak Syahid, belum?" tanya Afifah mengingatkan sahabatnya akan tugas yang harus dia lakukan. Seperti sebuah karma, Mayang benar-benar harus satu team dengan Syahid saat melakukan Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa, dan Mayang menjadi sekretarisnya. Orang yang mengurus berbagai hal dalam bentuk laporan tuga
May, kenapa kamu, May," ucap Afifah lagi seraya menguncang bahu temannya. Tidak ada jawaban dari Mayang, gadis itu hanya terus menangis dan makin kencang saja tangisnya. Sedu sedannya seakan menunjukkan jika gadis itu begitu sedih. Tidak mendapatkan jawaban dari temannya, Laily segera melihat ponsel Mayang, tapi sambungan telepon sudah terputus. "Kenapa kamu, May. Siapa yang menelponmu, pria itu bukan? Kenapa kamu menangis seperti ini, jangan membuat kami khawatir." Laily berkata sambil memeluk tubuh temannya, berusaha untuk menenangkan. "Furqon yang telepon?" tanya Afifah penasaran. Mayang menggeleng sambil terisak-isak. "Lalu siapa? Emak atau Bapak, mereka sakit?" tanya Laily dengan khawatir. Lagi-lagi Mayang menggeleng."Lalu siapa, May. Jangan bikin kami khawatir!" bentak Afifah dengan gemas. "Wanita itu, wanita itu, bilang, hiks ... hiks," Mayang kembali menangis sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Minum dulu," ucap Laily sambil menyodorkan segelas air pada Mayang. Mayan
"Ada yang salah, Dek Mayang?" tanya sang Ustadz yang sedang mengisi kajian. "Tidak, Pak Us. Maaf tadi ada nyamuk yang menganggu saya, mau ditepok malah kena meja," jawab Mayang beralasan. "Oh, saya kira ada masalah dengan yang saya sampaikan. Boleh saya melanjutkan penjelasan?" "Silahkan, Pak," jawab Mayang sambil mengangguk. Barusan Mayang dengan geramnya menepuk meja karena teringat akan Furqon yang mungkin saja memang terpikat dengan wanita lain, yang lebih segala-galanya dari dirinya. Semua remaja yang berada di Masjid tersebut kembali fokus dengan apa yang di jelaskan oleh Ustadz Rahmat. "Sampai mana tadi?" tanya Ustadz Rahmat. "Sampai laki-laki terpikat oleh wanita lain, Ust," sahut Afifah. "Halah, bocah ini sengaja banget kayaknya mau nyidir aku!" batin Mayang sambil melotot pada sahabatnya. "Iya, gimana jadinya kalau setelah berkomitmen tau-tau salah satunya malah menikah dengan orang lain? Ya gak gimana-gimana, wong mereka belum terikat pada pernikahan jadi sah-sah s
"Ada yang bisa dibantu, Nak?" tanya Bu Muslim, nama wanita yang sudah melahirkan Syahid dan juga Ustadz Rahmat. Afifah menyikut badan Mayang, meminta gadis itu untuk menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah itu. Sedangkan pikiran Mayang masih kosong, mengembara entah kemana. "Kami ingin bertemu dengan Ustadz Rahmat, Bu," jawab Afifah pada akhirnya. "Oh, orangnya masih di ladang. Mungkin sebentar lagi pulang, mau menunggu?" tanya Bu Muslim. "Boleh tidak, Bu, kami titip pesan saja. Kami minta tolong agar beliau mengisi acara buka bersama sekaligus penutupan acara kami di desa yang berada di atas sana," ucap Mayang menjelaskan. "Wah, kok mendadak sekali. Khawatirnya dia ada acara sendiri, jadi kalian tunggu saja sebenar, ya," pinta Bu Muslim. Mayang menghela nafas panjang, harus menunggu dalam keadaan seperti ini. Rasanya dia ingin pergi ke kamar mandi, mendadak pengen buang air kecil. "Tunggu saja, May. Kalau bukan Ustadz Rahmat, siapa yang mau ngisi acara?" bisik Af
Balai warga mulai rame dipenuhi oleh warga kampung dari dua jam sebelum bedug Magrib. Acara buka bersama di adakan di tempat itu, di samping balai warga ada Mushola, jadi bisa juga lanjut shalat tarawih di tempat itu bagi yang berminat. Saat Syahid dan teman-temannya mengatakan ingin mengadakan acara penutupan sekaligus buka bersama, warga langsung antusias. Mereka mengusulkan untuk membuat makanan sendiri-sendiri, jadi setiap rumah akan menyerahkan 5 bungkus nasi dan lauk, serta takjil untuk mendukung acara itu. Sekental itu memang rasa kekeluargaan di desa, jadi semua ditanggung bersama-sama. Kursi-kursi plastik sudah tersusun rapi dan terisi orang-orang yang memenuhi ruangan balai desa, dibagian depan terpasang beground hasil karya anak-anak, bertuliskan tema acara. Terdapat juga meja dan kursi untuk pengisi acara. Di bagian teras berjejer meja-meja yang sudah terisi dengan berbagai jenis makanan. Makanan berat berupa nasi sudah dibungkus tiap porsi. Tapi makanan ringan, gorenga