"Kamu bilang, kamu adalah Doraemon yang akan mengabulkan semua permintaanku. Jangankan mengabulkan permintaan, bahkan kamu sudah menghilang tanpa berita." Mayang berbicara pada boneka Doraemon pemberian Furqon sambil terisak-isak. "Sudahlah, May. Luapkan dia, mungkin dia memang bukan jodohmu. Sekarang fokuslah lagi ke kuliah dan studi," tegur Afifah. Afifah tidak ingin sahabatnya larut dalam kesedihan seperti itu. Sudah seminggu Mayang seperti itu, bersedih, menangis dan mogok makan."Selama ini, aku tetap fokus kuliah, Afif," sanggah Mayang tidak terima. "Bukan itu maksudku, May. Sebentar lagi kita kan akan KKN. Kamu yang jadi sekertarisnya. Udah siapin proposal yang diminta oleh Kak Syahid, belum?" tanya Afifah mengingatkan sahabatnya akan tugas yang harus dia lakukan. Seperti sebuah karma, Mayang benar-benar harus satu team dengan Syahid saat melakukan Kuliah Kerja Nyata di sebuah desa, dan Mayang menjadi sekretarisnya. Orang yang mengurus berbagai hal dalam bentuk laporan tuga
May, kenapa kamu, May," ucap Afifah lagi seraya menguncang bahu temannya. Tidak ada jawaban dari Mayang, gadis itu hanya terus menangis dan makin kencang saja tangisnya. Sedu sedannya seakan menunjukkan jika gadis itu begitu sedih. Tidak mendapatkan jawaban dari temannya, Laily segera melihat ponsel Mayang, tapi sambungan telepon sudah terputus. "Kenapa kamu, May. Siapa yang menelponmu, pria itu bukan? Kenapa kamu menangis seperti ini, jangan membuat kami khawatir." Laily berkata sambil memeluk tubuh temannya, berusaha untuk menenangkan. "Furqon yang telepon?" tanya Afifah penasaran. Mayang menggeleng sambil terisak-isak. "Lalu siapa? Emak atau Bapak, mereka sakit?" tanya Laily dengan khawatir. Lagi-lagi Mayang menggeleng."Lalu siapa, May. Jangan bikin kami khawatir!" bentak Afifah dengan gemas. "Wanita itu, wanita itu, bilang, hiks ... hiks," Mayang kembali menangis sebelum menyelesaikan kalimatnya. "Minum dulu," ucap Laily sambil menyodorkan segelas air pada Mayang. Mayan
"Ada yang salah, Dek Mayang?" tanya sang Ustadz yang sedang mengisi kajian. "Tidak, Pak Us. Maaf tadi ada nyamuk yang menganggu saya, mau ditepok malah kena meja," jawab Mayang beralasan. "Oh, saya kira ada masalah dengan yang saya sampaikan. Boleh saya melanjutkan penjelasan?" "Silahkan, Pak," jawab Mayang sambil mengangguk. Barusan Mayang dengan geramnya menepuk meja karena teringat akan Furqon yang mungkin saja memang terpikat dengan wanita lain, yang lebih segala-galanya dari dirinya. Semua remaja yang berada di Masjid tersebut kembali fokus dengan apa yang di jelaskan oleh Ustadz Rahmat. "Sampai mana tadi?" tanya Ustadz Rahmat. "Sampai laki-laki terpikat oleh wanita lain, Ust," sahut Afifah. "Halah, bocah ini sengaja banget kayaknya mau nyidir aku!" batin Mayang sambil melotot pada sahabatnya. "Iya, gimana jadinya kalau setelah berkomitmen tau-tau salah satunya malah menikah dengan orang lain? Ya gak gimana-gimana, wong mereka belum terikat pada pernikahan jadi sah-sah s
"Ada yang bisa dibantu, Nak?" tanya Bu Muslim, nama wanita yang sudah melahirkan Syahid dan juga Ustadz Rahmat. Afifah menyikut badan Mayang, meminta gadis itu untuk menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah itu. Sedangkan pikiran Mayang masih kosong, mengembara entah kemana. "Kami ingin bertemu dengan Ustadz Rahmat, Bu," jawab Afifah pada akhirnya. "Oh, orangnya masih di ladang. Mungkin sebentar lagi pulang, mau menunggu?" tanya Bu Muslim. "Boleh tidak, Bu, kami titip pesan saja. Kami minta tolong agar beliau mengisi acara buka bersama sekaligus penutupan acara kami di desa yang berada di atas sana," ucap Mayang menjelaskan. "Wah, kok mendadak sekali. Khawatirnya dia ada acara sendiri, jadi kalian tunggu saja sebenar, ya," pinta Bu Muslim. Mayang menghela nafas panjang, harus menunggu dalam keadaan seperti ini. Rasanya dia ingin pergi ke kamar mandi, mendadak pengen buang air kecil. "Tunggu saja, May. Kalau bukan Ustadz Rahmat, siapa yang mau ngisi acara?" bisik Af
Balai warga mulai rame dipenuhi oleh warga kampung dari dua jam sebelum bedug Magrib. Acara buka bersama di adakan di tempat itu, di samping balai warga ada Mushola, jadi bisa juga lanjut shalat tarawih di tempat itu bagi yang berminat. Saat Syahid dan teman-temannya mengatakan ingin mengadakan acara penutupan sekaligus buka bersama, warga langsung antusias. Mereka mengusulkan untuk membuat makanan sendiri-sendiri, jadi setiap rumah akan menyerahkan 5 bungkus nasi dan lauk, serta takjil untuk mendukung acara itu. Sekental itu memang rasa kekeluargaan di desa, jadi semua ditanggung bersama-sama. Kursi-kursi plastik sudah tersusun rapi dan terisi orang-orang yang memenuhi ruangan balai desa, dibagian depan terpasang beground hasil karya anak-anak, bertuliskan tema acara. Terdapat juga meja dan kursi untuk pengisi acara. Di bagian teras berjejer meja-meja yang sudah terisi dengan berbagai jenis makanan. Makanan berat berupa nasi sudah dibungkus tiap porsi. Tapi makanan ringan, gorenga
"Buk, gimana dengan anak gadis yang beberapa hari lalu ke sini?" seorang pria bertanya pada wanita yang usianya jauh lebih tua dari padanya, wanita itu baru selesai membaca Alquran. "Gadis yang mana, Ham?" sang ibu balik bertanya."Mayang Bu, Mayang," terang Pria itu dengan gemas. Gemas karena ibunya pura-pura tidak tahu. Padahal sang ibu sudah diberitahu sejak awal sebelum Mayang datang mencarinya. Dia mengatakan kalau Mayang adalah gadis yang dia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya. Meminta Mayang pergi ke rumah Ustadz Rahmat menjelang hari H acara penutupan hanyalah akal-akalan syahid saja.Syahid dan sang Kakak, Rahmatullah Hamid, yang jika di rumah dipanggil Hamid itu, bersekongkol agar gadis itu datang ke rumah dan ibunya melihat sendiri bagaimana gadis itu. "Anaknya baik, sopan, cantik, cerdas, dan sepertinya gampang bergaul," tutur Bu Muslim. "Ibu setuju aku dengannya?" tanya Hamid"Yang jadi masalah, dia setuju apa tidak menikah dengan kamu, Mas," sahut Syahid samb
"May, tapi Kakakku itu-"Mayang langsung menutup telinganya, tidak mendengar perkataan Syahid. Gadis itu langsung bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Syahid dan Afifah. "Afifah, kamu mau ikut aku atau tetap di situ," seru Mayang tanpa menoleh lagi. "May, tapi kakakku mau bantuin kami kerjain skripsi biar cepat kelar dan nikah." Syahid berteriak sambil tertawa. Kapan lagi bisa menggoda calon kakak iparnya. Sedangkan orang yang digoda tak peduli dan tetap melangkahkan kaki dengan tangan masih menutupi telinganya. Mayang pergi dari kelas menuju taman yang ada di kampus, mencari angin dan duduk di bawah pepohonan rindang lebih baik daripada mendengarkan ocehan Syahid, temannya. "May, kamu yakin mau menikah dengan pria pilihan Bapak yang kamu tidak kenal itu dan menolak Ustadz Rahmat?" tanya Afifah sambil ikutan duduk di samping Mayang. "Iya," jawab Mayang pendek. "Apa kami gak akan menyesalinya. Pria pilihan Bapak, kamu gak kenal. Tapi Ustadz Rahmat, kamu udah kenal. Set
Telepon genggam milik Mayang berdering saat gadis itu hendak tertidur. Badannya lelah setelah tadi acara wisuda, ditambah lagi dia harus kucing-kucingan dengan Ustadz Rahmat yang terus saja berusaha untuk mendekat padanya. Bahkan tadi Mayang melihat keluarga mereka sempat terlihat akrab dengan Bapak dan Emak Mayang. Terlihat tertawa bersama, lalu setelah itu, Ustadz Rahmat tidak lagi berusaha mendekati Mayang. Mayang berpikir jika Bapaknya telah menolak Kakaknya Syahid tersebut, sehingga dia tak lagi berusaha berbicara padanya.Mayang hanya memandang dengan rasa malas untuk mengangkat telpon genggamnya yang terus meraung, yang menelpon adalah nomor baru tidak ada di dalam kontaknya sehingga gadis itu malas menerimanya. Hingga panggilan ke-tiga, Mayang baru menerima panggilan tersebut. Mungkin saja sang penelepon memang sedang ada perlu. "Assalamualaikum...." sapa Mayang setelah gadis itu menggeser tombol bergambar telepon berwarna hijau."Wa'alaikumsalam, May."Deg! Jantung Mayang