Telepon genggam milik Mayang berdering saat gadis itu hendak tertidur. Badannya lelah setelah tadi acara wisuda, ditambah lagi dia harus kucing-kucingan dengan Ustadz Rahmat yang terus saja berusaha untuk mendekat padanya. Bahkan tadi Mayang melihat keluarga mereka sempat terlihat akrab dengan Bapak dan Emak Mayang. Terlihat tertawa bersama, lalu setelah itu, Ustadz Rahmat tidak lagi berusaha mendekati Mayang. Mayang berpikir jika Bapaknya telah menolak Kakaknya Syahid tersebut, sehingga dia tak lagi berusaha berbicara padanya.Mayang hanya memandang dengan rasa malas untuk mengangkat telpon genggamnya yang terus meraung, yang menelpon adalah nomor baru tidak ada di dalam kontaknya sehingga gadis itu malas menerimanya. Hingga panggilan ke-tiga, Mayang baru menerima panggilan tersebut. Mungkin saja sang penelepon memang sedang ada perlu. "Assalamualaikum...." sapa Mayang setelah gadis itu menggeser tombol bergambar telepon berwarna hijau."Wa'alaikumsalam, May."Deg! Jantung Mayang
Gadis bertubuh langsing dengan balutan gamis pesta berwarna ungu muda, tampak sedang memaut diri di sebuah cermin besar. Senyum mengembang di bibirnya melihat pantulan dirinya sendiri. Dua hari setelah merengek pada Pak Ismail, akhirnya Mayang akan dinikahkan juga. Malam itu setelah gagal membangunkan sang ayah, Mayang merengek di pagi hari. Terus meminta pada Pak Ismail untuk menghubungi temannya sekaligus orang tua si pria misterius. Mayang meminta seakan-akan gadis itu sudah kebelet nikah. Bahkan sang ayah mencurigai Mayang sudah melakukan hal-hal yang dilarang hingga terjadi sesuatu tidak diinginkan, kemudian gadis itu ngebet pengen nikah. Sampai-sampai Mayang menantang Pak Ismail untuk melakukan tes kehamilan, keperawanan kalau perlu, gara-gara diragukan oleh sang ayah. Akhirnya setelah merengek, Pak Ismail menelpon calon besan dan mengatakan semuanya. Meminta dilakukan pernikahan secepatnya. Alasannya, Mayang tidak ingin membuat calonnya menunggu lagi.Karena serba mendadak,
"Ada apa, Dek?" tanya Hamid seakan ikut terkejut. Padahal dialah yang menjadi sebab keterkejutan Mayang. "Iya, kenapa Nduk?" tanya Bapak mertuanya setelah menghentikan laju kendaraan dengan mendadak."Maaf, Pak. Jadi bikin kaget Bapak. Itu, anu, eemmm...." Mayang kebingungan hendak menjawab apa. Tidak mungkin juga dia mengatakan kaget karena sang suami mengengam tangannya. "Ada apa, Nduk?" tanya Bu Muslim."Ada yang kelupaan, saya mau kirim pesan dulu ke Bapak," ucap Mayang sambil mencari ponselnya yang berada di dalam tas selempang. Mobil kembali berjalan, Mayang pura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Padahal dia hanya memegang tanpa melakukan apapun, pikirannya masih berkelana kemana-mana. Ponsel yang berada di tangannya berdering dan bergetar, dari notifikasi pop up terlihat ada pesan masuk dari nomor baru. Dengan penasaran Mayang membukanya.~Dek, aku hanya ingin memegang tanganmu, tolong jangan teriak~Mayang menoleh pada pria di sampingnya. Pria itu juga sedang memegan
Mayang menutup telinga dengan telapak tangannya, memejamkan mata lalu berteriak."Mas Hamid ...." pekik Mayang kencang. "Allahu Akbar ...." Hamid terlonjak kaget dan memundurkan tubuhnya. "Maaf, refleks," ucap Mayang sambil tersenyum jahil. "Aku pikir suamiku tidak suka aku berbicara lembut, jadi meminta diulang terus. Akhirnya kuputuskan untuk berteriak," sambung Mayang menjelaskan. Mayang merasa suaminya seperti menikmati sekali menggodanya karena dirinya yang jadi kalem dan malu-malu, bagaimana jika dia tidak lagi malu-malu apa yang akan dilakukan oleh suaminya, itu yang dipikirkan sesaat sebelum tadi berteriak."Ada apa, Le?" terdengar ketukan pintu sekaligus panggilan khawatir Bu Muslim dari arah luar. "Nggak apa-apa, Bu." "Mas, buka pintunya," teriak Syahid tak mau kalah. Si jahil itu mungkin ingin mengetahui apa yang terjadi hingga kakak iparnya berteriak keras di malam hari. "Tidak ada apa-apa, kalian bisa pergi," seru Hamid dari dalam kamar, tak berniat untuk membukaka
"Dek, mau ikut aku nggak?" tanya Hamid pada istrinya. Ini adalah hari ke tiga Mayang menjadi istri Hamid, namun sesuai permintaannya untuk menunda sesuatu yang intim, gadis itu masih belum tersentuh. Setiap malam mereka menghabiskan malam untuk bercerita dan berdiskusi."Ikut ke mana?" tanya Mayang."Mau ke Universitas Darussalam. Aku ada urusan di sana," jawab Hamid, tangan pria itu tetap sibuk menulis nama-nama pada undangan. Saat ini mereka ada di kamar, dan pria itu sibuk mengisi undangan pernikahan untuk diberikan pada kenalan dan juga teman-temannya."Universitas Darussalam?" Mayang mengulang perkataan suaminya. "Memangnya mau diberikan kepada siapa undangan tersebut?" sambung Mayang bertanya dengan penasaran. "Pada teman-temanku yang masih ada di sana. Aku alumni sana dan program Pascasarjanaku juga masih di sana," terang Hamid.Untuk sepersekian detik Mayang terdiam, mencerna perkataan sang suami, namun detik berikutnya gadis itu berteriak histeris sambil memeluk tubuh pri
Gapura megah bertuliskan selamat datang dan nama tempat tersebut menyambut kedatangan Hamid and Mayang, motor mereka melaju masuk melewati gerbang tersebut. Di sebelah kanan mereka berdiri megah sebuah masjid milik Universitas tersebut, masjid berwarna putih itu tampak indah dan megah. Hamid membawa sang istri menuju ke Wisma dan meminta Mayang untuk menunggunya di sana. Di tempat ini biasanya digunakan untuk menginap tamu atau wali santri yang berasal dari luar kota. "Mau masuk atau di luar aja?" tanya Hamid pada Mayang."Di luar saja, sambil lihat-lihat pemandangan," jawab Mayang sambil tersenyum. Gadis itu sudah memikirkan sesuatu yang seru."Aku nggak akan lama," ucap Hamid sebelum meninggalkan sang istri.Setelah kepergian sang suami, Mayang memindai tempat tersebut. Wisma itu terdiri dari dua lantai. Seperti gedung bertingkat pada umumnya, bagian depan lantai dua dibatasi pagar besi sebagai pengaman.Di lantai satu terdapat teras sepanjang kamar layaknya koridor, dengan taman
Mayang tidak enak hati dengan perintah suaminya, ditambah pria itu hendak meninggalkannya di dalam kamar sendirian. Bergegas gadis itu memegang pergelangan tangan suaminya dan menahannya. "Apa maksudnya, tidak ada masalah yang belum selesai antara aku dan dia, Mas." "Lalu kenapa kamu menangis?""Aku hanya menyesali kenapa dulu aku bersikeras untuk dekat dan mengenalnya. Padahal aku tidak tahu siapa jodohku. Seandainya aku tidak melakukan itu, maka aku tidak akan pernah patah hati. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan disakiti dan menyakitkan. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan memberikan hati yang pernah ada nama lain pada suamiku. Seandainya ...." "Sssttt, berhentilah mengatakan seandainya. Itu bisa menjadi celah syaitan untuk mengingkari bahwa segala sesuatu adalah takdir dari Allah. Semua sudah terjadi, cukup disesali dan diperbaiki, tapi tidak bisa diubah." Hamid berkata sambil meletakkan telunjuknya pada bibir Mayang. "Aku sudah pernah mengatakan
Canda tawa bergema dari arah ruang tamu di sebuah rumah. Mayang dan kedua sahabatnya, Laily dan Afifah sedang bersama. Seperti biasanya, mereka bertemu di rumah Laily. Suami Mayang yang masih sibuk menyebar undangan membuatnya harus sering keluar rumah, sedangkan Mayang untuk hari ini tidak ikut dan meminta untuk diantar ke rumah temannya. Nanti saat pulang, dia akan di jemput oleh suaminya kembali. "Bagaimana bisa kamu menikah buru-buru dengan Ustadz Rahmat?" tanya Afifah penasaran. "Ternyata Mas Hamid adalah pria yang melamar langsung ke Bapak. Jadi setelah meminta Kak Syahid bertanya padaku dan kamu tahu kan jawabanku, eh malah dia langsung ke rumah dengan membawa Bapaknya yang ternyata teman bapakku, dan terjalinlah hubungan itu," papar Mayang menjelaskan. "Cieee Mas Hamid, ni yee," goda Afifah. Mayang mendelik tajam, tidak suka dengan godaan dari sahabatnya tersebut."Ya sudah aku nggak mau cerita kalau kayak gitu," rajuk Mayang."Halah gitu aja ngambek, pengantin baru udah