Gadis bertubuh langsing dengan balutan gamis pesta berwarna ungu muda, tampak sedang memaut diri di sebuah cermin besar. Senyum mengembang di bibirnya melihat pantulan dirinya sendiri. Dua hari setelah merengek pada Pak Ismail, akhirnya Mayang akan dinikahkan juga. Malam itu setelah gagal membangunkan sang ayah, Mayang merengek di pagi hari. Terus meminta pada Pak Ismail untuk menghubungi temannya sekaligus orang tua si pria misterius. Mayang meminta seakan-akan gadis itu sudah kebelet nikah. Bahkan sang ayah mencurigai Mayang sudah melakukan hal-hal yang dilarang hingga terjadi sesuatu tidak diinginkan, kemudian gadis itu ngebet pengen nikah. Sampai-sampai Mayang menantang Pak Ismail untuk melakukan tes kehamilan, keperawanan kalau perlu, gara-gara diragukan oleh sang ayah. Akhirnya setelah merengek, Pak Ismail menelpon calon besan dan mengatakan semuanya. Meminta dilakukan pernikahan secepatnya. Alasannya, Mayang tidak ingin membuat calonnya menunggu lagi.Karena serba mendadak,
"Ada apa, Dek?" tanya Hamid seakan ikut terkejut. Padahal dialah yang menjadi sebab keterkejutan Mayang. "Iya, kenapa Nduk?" tanya Bapak mertuanya setelah menghentikan laju kendaraan dengan mendadak."Maaf, Pak. Jadi bikin kaget Bapak. Itu, anu, eemmm...." Mayang kebingungan hendak menjawab apa. Tidak mungkin juga dia mengatakan kaget karena sang suami mengengam tangannya. "Ada apa, Nduk?" tanya Bu Muslim."Ada yang kelupaan, saya mau kirim pesan dulu ke Bapak," ucap Mayang sambil mencari ponselnya yang berada di dalam tas selempang. Mobil kembali berjalan, Mayang pura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Padahal dia hanya memegang tanpa melakukan apapun, pikirannya masih berkelana kemana-mana. Ponsel yang berada di tangannya berdering dan bergetar, dari notifikasi pop up terlihat ada pesan masuk dari nomor baru. Dengan penasaran Mayang membukanya.~Dek, aku hanya ingin memegang tanganmu, tolong jangan teriak~Mayang menoleh pada pria di sampingnya. Pria itu juga sedang memegan
Mayang menutup telinga dengan telapak tangannya, memejamkan mata lalu berteriak."Mas Hamid ...." pekik Mayang kencang. "Allahu Akbar ...." Hamid terlonjak kaget dan memundurkan tubuhnya. "Maaf, refleks," ucap Mayang sambil tersenyum jahil. "Aku pikir suamiku tidak suka aku berbicara lembut, jadi meminta diulang terus. Akhirnya kuputuskan untuk berteriak," sambung Mayang menjelaskan. Mayang merasa suaminya seperti menikmati sekali menggodanya karena dirinya yang jadi kalem dan malu-malu, bagaimana jika dia tidak lagi malu-malu apa yang akan dilakukan oleh suaminya, itu yang dipikirkan sesaat sebelum tadi berteriak."Ada apa, Le?" terdengar ketukan pintu sekaligus panggilan khawatir Bu Muslim dari arah luar. "Nggak apa-apa, Bu." "Mas, buka pintunya," teriak Syahid tak mau kalah. Si jahil itu mungkin ingin mengetahui apa yang terjadi hingga kakak iparnya berteriak keras di malam hari. "Tidak ada apa-apa, kalian bisa pergi," seru Hamid dari dalam kamar, tak berniat untuk membukaka
"Dek, mau ikut aku nggak?" tanya Hamid pada istrinya. Ini adalah hari ke tiga Mayang menjadi istri Hamid, namun sesuai permintaannya untuk menunda sesuatu yang intim, gadis itu masih belum tersentuh. Setiap malam mereka menghabiskan malam untuk bercerita dan berdiskusi."Ikut ke mana?" tanya Mayang."Mau ke Universitas Darussalam. Aku ada urusan di sana," jawab Hamid, tangan pria itu tetap sibuk menulis nama-nama pada undangan. Saat ini mereka ada di kamar, dan pria itu sibuk mengisi undangan pernikahan untuk diberikan pada kenalan dan juga teman-temannya."Universitas Darussalam?" Mayang mengulang perkataan suaminya. "Memangnya mau diberikan kepada siapa undangan tersebut?" sambung Mayang bertanya dengan penasaran. "Pada teman-temanku yang masih ada di sana. Aku alumni sana dan program Pascasarjanaku juga masih di sana," terang Hamid.Untuk sepersekian detik Mayang terdiam, mencerna perkataan sang suami, namun detik berikutnya gadis itu berteriak histeris sambil memeluk tubuh pri
Gapura megah bertuliskan selamat datang dan nama tempat tersebut menyambut kedatangan Hamid and Mayang, motor mereka melaju masuk melewati gerbang tersebut. Di sebelah kanan mereka berdiri megah sebuah masjid milik Universitas tersebut, masjid berwarna putih itu tampak indah dan megah. Hamid membawa sang istri menuju ke Wisma dan meminta Mayang untuk menunggunya di sana. Di tempat ini biasanya digunakan untuk menginap tamu atau wali santri yang berasal dari luar kota. "Mau masuk atau di luar aja?" tanya Hamid pada Mayang."Di luar saja, sambil lihat-lihat pemandangan," jawab Mayang sambil tersenyum. Gadis itu sudah memikirkan sesuatu yang seru."Aku nggak akan lama," ucap Hamid sebelum meninggalkan sang istri.Setelah kepergian sang suami, Mayang memindai tempat tersebut. Wisma itu terdiri dari dua lantai. Seperti gedung bertingkat pada umumnya, bagian depan lantai dua dibatasi pagar besi sebagai pengaman.Di lantai satu terdapat teras sepanjang kamar layaknya koridor, dengan taman
Mayang tidak enak hati dengan perintah suaminya, ditambah pria itu hendak meninggalkannya di dalam kamar sendirian. Bergegas gadis itu memegang pergelangan tangan suaminya dan menahannya. "Apa maksudnya, tidak ada masalah yang belum selesai antara aku dan dia, Mas." "Lalu kenapa kamu menangis?""Aku hanya menyesali kenapa dulu aku bersikeras untuk dekat dan mengenalnya. Padahal aku tidak tahu siapa jodohku. Seandainya aku tidak melakukan itu, maka aku tidak akan pernah patah hati. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan disakiti dan menyakitkan. Seandainya aku tidak melakukan itu, aku tidak akan memberikan hati yang pernah ada nama lain pada suamiku. Seandainya ...." "Sssttt, berhentilah mengatakan seandainya. Itu bisa menjadi celah syaitan untuk mengingkari bahwa segala sesuatu adalah takdir dari Allah. Semua sudah terjadi, cukup disesali dan diperbaiki, tapi tidak bisa diubah." Hamid berkata sambil meletakkan telunjuknya pada bibir Mayang. "Aku sudah pernah mengatakan
Canda tawa bergema dari arah ruang tamu di sebuah rumah. Mayang dan kedua sahabatnya, Laily dan Afifah sedang bersama. Seperti biasanya, mereka bertemu di rumah Laily. Suami Mayang yang masih sibuk menyebar undangan membuatnya harus sering keluar rumah, sedangkan Mayang untuk hari ini tidak ikut dan meminta untuk diantar ke rumah temannya. Nanti saat pulang, dia akan di jemput oleh suaminya kembali. "Bagaimana bisa kamu menikah buru-buru dengan Ustadz Rahmat?" tanya Afifah penasaran. "Ternyata Mas Hamid adalah pria yang melamar langsung ke Bapak. Jadi setelah meminta Kak Syahid bertanya padaku dan kamu tahu kan jawabanku, eh malah dia langsung ke rumah dengan membawa Bapaknya yang ternyata teman bapakku, dan terjalinlah hubungan itu," papar Mayang menjelaskan. "Cieee Mas Hamid, ni yee," goda Afifah. Mayang mendelik tajam, tidak suka dengan godaan dari sahabatnya tersebut."Ya sudah aku nggak mau cerita kalau kayak gitu," rajuk Mayang."Halah gitu aja ngambek, pengantin baru udah
Dalam gelapnya kamar, Hamid langsung bangkit dari tempat tidur dan meraba-raba meja belajar yang ada di kamarnya. Mencari tombol stopkontak untuk menyalakan lampu belajar. Bisa-bisanya sang istri langsung mematikan lampu kamar begitu saja membuat semuanya menjadi gelap gulita.Nyala lampu itu hanya fokus pada satu titik yaitu meja belajar, namun pantulan cahayanya cukup bisa menerangi sisi kamar yang lain. Dengan mudah pria itu bisa menatap ke arah istrinya yang tampak menawan. Baju yang dia kenakan begitu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang terlihat sempurna. Membuat sesuatu yang berada dalam diri pria itu seakan dibangunkan."Kenapa dimatikan sih, Dek?" Tanya Hamid pada Mayang. Pria itu berjalan ke arah sang istri, mengikis jarak antar mereka. "Biar gak kelihatan," sahut Mayang seraya memundurkan langkahnya karena melihat suaminya semakin mendekatkan diri."Kalau gak kelihatan bagaimana bisa aku melihatmu. Bagaimana bisa kita melakukan ibadah yang kata kamu hanya bisa dilakukan ole
"Memangnya Dara gak kerja lagi di tempat biasanya, bukannya dia sedang hamil. Kalau dihitung-hitung belum ada sembilan bulan dari masa kehamilannya," tanyaku pada Santoso "Lah, kamu gak tahu kalau dia keguguran. Kayaknya kecapean, jalan kerja naik motor bolak balik setiap hari sendirian. Padahal suaminya punya mobil. Eh tapi suaminya kan kerja sendiri juga ya, gak bisa antar jemput dia. Lagipula, kudengar dia harus mengantikan kerugian tempatnya bekerja akibat kelalaiannya. Makanya orang tuanya jual sawah, selain untuk itu, dia pakai juga untuk biaya ke luar negeri. Kamu tahu gak, untuk bekerja di luar negeri apalagi di pabrik gitu, perlu dana besar. Kudengar minimal tigapuluh juta. Tapi emang nanti balik modal juga sih." Santoso ini memang cocok jadi reporter berita gosip. Segala hal dia tahu. Tapi dia tak tahu kalau tempat Dara bekerja itu ada andilku juga di sana. "Kalau dia nikah denganmu, mungkin nasibnya gak kayak gini. Setidaknya kalau memang ingin bekerja dia bisa ikutan me
POV Tama"Aldo, aku tidak setuju dengan mengikhlaskan sisanya pada mereka berdua. Bukan apa-apa, Dara masih bekerja di sini, jika sekarang kita tidak memberi efek jera pada mereka, bisa saja nanti diulangi lagi. Toh kita juga tidak memecat Dara. Terserah bagaimanapun mereka mau membayarnya, yang penting aku mau mereka membayar full." Aku mengungkapkan apa yang aku pikirkan pada Aldo. Meskipun keputusan ada padanya tapi aku harap dia mendengar perkataanku, setelah melihat mereka berdua keluar dari tempat itu tadi, aku rasa mereka sedang memainkan sandiwara lagi. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi aku yakin sebenarnya Daffa dan Dara sudah kembali bersama. "Kamu tidak sedang meluapkan amarah dan kebencianmu pada mereka karena masalah pribadi kan , Tam?"Aku menghela nafas panjang. "Terserah kalau begitu, Do. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku pikirkan. Sekali orang dikasih hati, maka dia akan meminta jantung. Ini bisnis, Do. Kita harus bertindak profesional, beda urusan kalau ini b
POV Dara Tidak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Daffa menghubungiku lagi. Padahal saat kuberitahu aku sedang hamil dia tak merespon sama sekali. Tak berminat untuk rujuk denganku setelah kata talak yang dia ucapkan di depan Mas Tama dan temannya. Hatiku hancur saat dia mentalakku, meskipun dia pernah mengancamku tapi sejak saat aku bekerja lagi, dia mulai manis padaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama seperti pengantin baru lagi. Hingga akhirnya kecurangan yang aku lakukan diketahui oleh Mas Tama. Kupikir dengan jujur pada Mas Tama, aku akan mendapat maaf seperti yang telah lalu. Pria itu tidak menuntut mengembalikan uang yang dia keluarkan untuk kuliahku saat aku berkhianat padanya. Tapi tidak kali ini, dia marah besar pada Mas Daffa dan meminta suamiku untuk mengembalikan uangnya, kemudian berakhir dengan Mas Daffa menceraikan aku.Setelah kata cerai itu, aku berusaha untuk kembali padanya. Menjadi janda, bukan hal yang pernah ada dalam anganku. Sampai-sampai ak
Permintaan Dara makin aneh-aneh saja, aku hendak dilibatkan dalam urusan rumah tangganya. Tentu saja aku tidak mau, tak peduli kalau suaminya mengatakan mentalak Dara karena aku. Orang waras juga tahu kalau aku tidak lagi menginginkan Dara. Sekilas dipandang mata, Aulia dan Dara jauh berbeda. Siapa orang bodoh yang mau menukar istri sah dengan mantan yang pernah berkhianat. Aku tidak ingin terjebak dalam pusaran kemelut rumah tangga mereka. Tak ingin berbaik hati apalagi sok peduli dengan urusan orang lain lagi. Biarlah mereka sendiri yang menyelesaikan masalah mereka. Selain itu, Aulia juga tidak suka aku dekat dengan wanita itu. Bahkan sampai mengajakku mengungsi ke rumah orang tuanya. Aku yakin tak hanya karena dia kangen dengan ibunya tapi agar Dara tidak menemuiku untuk sementara waktu. Bisa saja kami pindah ke tempat lain atau tinggal di rumah orang tua Aulia, tapi kasian Ibu jika ditinggalkan sendirian. "Yang kamu harus lakukan hanya fokus padaku, jangan melihat wanita lai
POV AuliaSuasana dan tempat berbeda begitu terasa saat kami bangun tidur pagi ini. Sudah dua hari aku dan Mas Tama tinggal di rumah orang tuaku. Aku mengajak Mas Tama menginap di rumah orang tuaku, dengan alasan aku kangen pada mereka. Sejak menikah, kami hanya ke sini tanpa pernah menginap. Ibu mertuaku juga mengijinkannya, dan mengatakan agar aku dan Mas Tama tidak perlu khawatir padanya. Ibu masih kuat dan bisa melakukan apapun sendirian, bukan seorang manula yang tidak biasa apa-apa, begitu kata beliau saat kami akan meminta orang untuk menemaninya. Lagi pula banyak tetangga dekat, jadi tak perlu khawatir. Untuk beberapa saat ini, aku ingin menjauhkan Dara dari Mas Tama. Suamiku juga tidak pernah datang ke Berdikari Mart setelah kejadian Dara diceraikan suaminya. Urusan di sana, lebih banyak diserahkan pada Aldo. Aku dengar, perceraian Dara juga belum resmi. Baru secara agama yang diucapkan saat ada di Berdikari Mart. "Lia, itu ada Alvi yang mau ketemu kamu," ucap Ibu padaku y
POV Aulia "Jangan ngarang kamu, Dara! Kamu pikir aku ini siapa hingga harus membantumu untuk rujuk kembali dengan suamimu. Petugas mediasi?" Mas Tama berkata dengan nada emosi. Entah apa yang diinginkan wanita ini, dia mantannya Mas Tama. Sejak aku menikah dengan Mas Tama, wanita ini kerap kali aku lihat. Dia datang ke rumahku saat kami menikah dulu. Dengan wajah menunduk dan mata berair, menangis? Aneh sekali. Meskipun dia mantannya Mas Tama, tapi wanita inilah yang meninggalkan dan mencampakkan laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku itu. Bahkan setelah segala pengorbanan yang dilakukan Mas Tama padanya. Aku tahu semua cerita itu dari media sosial milik teman Mas Tama. Lalu sekarang, dia meminta suamiku untuk membujuk suaminya yang sudah menceraikannya agar mau rujuk. Aneh sekali memang wanita ini. "Tapi Mas Daffa menganggap kamu masih berharap padaku, hingga sengaja memperpanjang masalah yang terjadi di Berdikari Mart. Oleh sebab itulah dia menceraikan aku, Mas." Dara be
"Bro, apa yang kamu lakukan. Kenapa jadi begini. Apa yang sebenarnya terjadi," bisik Bagus sambil menatap pada Dara yang mulai menangis tanpa suara. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi, pria gila itu tiba-tiba menjatuhkan talak pada istrinya di depan kami. Dia yang bersalah memberikan ide sesat pada istrinya tapi sekarang berbuat sesuatu yang menjadikan kami seperti seorang yang sudah melakukan dosa. Mendorong dia menceraikan istrinya. "Aku permisi dulu," pamit Dara pada kami. Tanpa menunggu persetujuan dari kami, wanita itu langsung pergi begitu saja. Entah kemana. "Kejar dia, Bro! Dia temanmu kan, suaminya bilang dia mantanmu. Dia habis dicampakkan suaminya, bagaimana jika wanita itu melakukan hal yang tidak-tidak," cerocos Aldo. Membuatku makin dilema. Tidak, aku tidak akan mengejarnya, lalu berakhir dengan wanita itu menangis dalam pelukanku. Mengenang masa lalu yang sudah lewat. "Kamu saja sana yang kejar dia, aku tidak mau," tolakku. "Kalau dia bunuh diri gimana
Aulia cemberut setelah Dara pulang, pasti aku salah bicara. Entah bagian yang mana. Daripada banyak berspekulasi, lebih baik bertanya saja sebelum meninggalkannya dan pergi ke toko."Dek, aku salah apa. Jangan kau jawab suruh mikir sendiri. Aku sudah banyak berpikir tapi tak pernah benar dengan hasil pemikiranku tentang apa yang dipikirkan wanita, karena aku bukan cenayang," tuturku panjang lebar "Kamu itu, Mas, bisa-bisanya bilang suruh Dara buang suaminya. Kamu tahu, arti tanggung jawab itu bisa saja dia mau kamu menikahinya. Dia mau jadi istri kedua. Dasar pria, kalau sudah sukses aja langsung gak cukup beristri satu," omel Aulia tanpa jeda.nOh, jadi bagian itu yang salah. Pantas saja tadi istriku itu langsung menginjak kakiku. "Aku hanya asal bicara. Kesal sekali hatiku mendengar pengakuannya. Dia tidak pernah berubah, selalu saja memanfaatkan kebaikan orang." Aku menghela nafas dalam-dalam. "Kamu yakin akan meminta mereka untuk bertanggung jawab, Mas?" tanya Aulia. Kurasa dia
"Tama, Le!" Terdengar seruan Ibu dari luar kamar. Aku menatap pada wanita berkeringat yang ada dalam pelukanku. Sepertinya kami terlalu lama ada di dalam kamar sehingga membuat Ibu penasaran. Untung sudah selesai."Iya, Bu!" Aku menjawab dari dalam kamar. "Ini laptopnya istrimu tiba-tiba mati, gak tahu kenapa. Padahal ibu gak apa-apain." "Biarin saja, Bu. Mungkin kehabisan baterai. Sebentar lagi aku kesitu."Tidak terdengar lagi pertanyaan dari Ibu, seperti wanita itu sudah puas dengan jawaban dariku. "Kamu kenapa sih, Mas? Pulang-pulang langsung menerkam.""Banyak kerjaan yang menguras tenaga dan pikiran di sana tadi. Aku butuh relaksasi.""Memangnya ada masalah apa, berat kah?""Biasalah, masalah yang biasa terjadi dalam dunia usaha.""Serius banget masalahnya sampai malam baru pulang?""Iya, berhubungan dengan nama baik. Ada orang yang masuk kerja ke sana bawa-bawa namaku, lalu setelah dia bekerja malah banyak kerugian."Wanita itu langsung menatapku dengan pandangan bertanya-t