POV MAYANG Kedatangan adik iparku, Dek Alya, sepertinya merupakan berkah buat keluarga kami. Gadis itu datang dalam keluarga kami menambah keseruan dan kebahagiaan. Dek Alya yang tidak pernah merasa lebih pandai dari siapapun meskipun dia secara academy ada di atasku maupun Harun. Tidak pernah merasa minder atau berkecil hati meskipun dalam hal urusan rumah tangga dan urusan dapur dia tidak banyak mengerti. Bahkan dengan keceriaannya, Gadis itu bisa mengubah sifat tertutup Mbak Zainab. Tak hanya itu, Dek Alya juga bisa mengarahkan kegiatan bermedia sosialnya Fitriana ke arah yang positif. Tidak cuma sekedar posting-posting video dan kegiatannya yang tidak jelas. Lewat media sosial, sekarang Fitriana malah bisa menghasilkan uang lewat jualan online. Lewat jualan online itu pula Mbak Zainab bisa memasarkan dagangannya, aku lihat karena itu juga Mbak Zainab lebih percaya diri.Menjadi ibu rumah tangga bukanlah suatu hal yang patut direndahkan. Namun di masyarakat kita saat ini, banyak
POV Mayang Gerimis membasahi halaman kontakan yang kami tempati, rintik air itu sudah turun sejak lima belas menit yang kalau. Aku duduk di bangku teras rumah sambil menunggu kedatangan Mas Hamid. Meskipun sama-sama mengajar, tapi kami mengajar di tempat yang berbeda. Aku mengajar di sekolah menengah pertama dan pulang pergi ke tempat itu dengan mengendarai motor. Sedangkan Mas Hamid mengajar di kampus dan pulang pergi menggunakan mobil. Kami sengaja memilih mengontrak di kota, dekat dari tempatku mengajar dan tidak terlalu jauh dari tempat mengajar Mas Hamid. Hanya sebulan sekali kami pulang dan menginap di rumah Emak maupun ibunya.Sebulan lebih sudah berlalu dari kepergian Dek Alya kembali ke kota. Kami sudah mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing, sesekali berbagai kabar dengan melakukan video call. Dari kejauhan, terlihat mobil milik Mas Hamid berjalan perlahan menuju ke arah rumah kami. Senyumku mengembang untuk menyambut kekasih hatiku, lelaki yang sejak lima tahun terak
POV ALYAAku bergelung dalam selimut sambil memeluk erat tubuh pria yang sudah menjadi suamiku, Kak Harun. Matahari sudah bersinar terang, terlihat jelas dari balik jendela kamar. Tadi setelah salat subuh, kami memutuskan untuk tidur lagi setelah aku dipaksa minum susu ibu hamil oleh Kak Harun. Hari libur, sering kali membuat kami enggan beranjak dari tempat tidur. Apa lagi di usia kehamilanku yang masih muda, baru dua bulan. Jika sedang rajin aku akan memasak, jika tidak ya beli. Meskipun tidak bisa memasak dengan baik, tapi aku bisa memasak dengan lezat. Sekarang ini semua serba mudah, banyak bumbu jadi yang dibuat oleh pabrik. Mau bikin soto, sop, sayur asam, oseng kangkung, ikan goreng, ayam goreng, semua ada bumbu jadinya. Bahkan di tukang sayur, ada juga bumbu hand made yang masih fresh, seandainya tidak suka bumbu pabrikan. Ada bumbu rendang, opor ayam, ayam goreng. Jadi kalaupun gak bisa bedain bumbu-bumbu dapur tetap bisa masak dengan nikmat. Cara memasak tinggal lihat tuto
Di antara hiruk-pikuk pengunjung bazar buku, berjalan seorang lelaki berusia dua puluhan dengan tergesa. Matanya tidak fokus ke jalanan yang dia lewat hingga tidak sengaja menubruk tubuh pengunjung wanita.Buku dalam genggaman wanita jatuh berserakan di lantai. "Maaf, saya buru-buru," ucap lelaki dengan pakaian super rapi meminta maaf pada lawannya yang tidak sengaja ditabrak karena berjalan dengan tergesa. Wanita itu bergegas memunguti beberapa buku yang masih terbungkus rapi dalam plastik, buku-buku baru yang hendak dibeli olehnya. "Tidak apa-apa," sahutnya seraya menerima buku yang di sodorkan lelaki itu padanya. Meskipun lelaki itu mengatakan buru-buru tapi dia tetap membantu sang wanita memunguti buku tersebut. Mata mereka bersirobok. "Kamu?" gumam wanita itu pelan. "Ya Allah, May. Mimpi apa kamu bisa bertemu lagi dengan pria ini. Setelah sekian lama tidak bertemu, bahkan mencarinya bagaikan mencari jarum diatas tumpukkan jerami," ucap Mayang dalam hati. ***Setahun lalu,
"Kemana saja sih, May," tanya Afifah sambil menyerahkan kantong plastik yang berisi novel-novel milik Mayang, tentunya sudah dibayar terlebih dahulu menggunakannya uang Afifah. "Menemui takdirku," sahut Mayang dengan senyum mengembang.Afifah mengerutkan keningnya, bingung dengan maksud ucapan sahabatnya. "Maksudmu, kamu menemui pria yang dulu suka kamu lihat di toko buku?" tanya Laily. Mereka sebenarnya adalah tiga sahabat yang bertemu sejak masa mengenyam pendidikan Madrasah Aliyah, Mayang, Afifah dan Laily. Namun saat kuliah, Laily memutuskan untuk tidak berkuliah. Gadis itu memilih untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Makanya Mayang lebih banyak menghabiskan waktu dengan Afifah dibanding dengan Laily yang sibuk di tempat jualan orang tuanya."Tepat sekali!" seru Mayang sambil menjentikkan jarinya. "Tanpa kuliah pun, analisamu selaku tepat," sambung Mayang dengan wajah makin sumringah. Afifah dan Laily kompak menggelengkan kepalanya. Mayang kumat lagi, sepertinya mereka
Senyum Mayang mengembang sempurna, ingin rasanya dia berguling-guling di atas kasur lantainya. Pria di ujung telepon itu menyambut namanya. Nama yang terdengar merdu di pendengaran Mayang, Furqon yang artinya pembeda. Mudah-mudahan laki-laki itu benar-benar beda dengan yang lain. Soleh, dan bisa menjadi imam yang baik untuk dirinya. Belum apa-apa hayalan gadis itu sudah melantur kemana-mana."Berarti ini jodoh, kan, Ya Allah," batin Mayang, sedikit memaksakan kehendaknya. "Oh, Kak Furqon. Kuliah di Institut Agama Islam Negeri, juga? tanya Mayang dengan menyebutkan kampusnya.Modus memberitahu dimana dia sedang mengenyam pendidikan. Tidak perlu menyebut nama institusi tersebut dengan lengkap, di kota ini hanya ada satu saja. Pertanyaan ini masih masuk akal menurut Mayang, karena diawal dia mengatakan tentang proposal untuk KKN. Lagi-lagi secara tidak langsung, Mayang menyalahkan Afifah salah memberinya nomor telepon."Fakultas apa?" Sambungnya masih dengan suara yang lembut. Padahal
Suasana di gedung fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan mulai sepi, sebagai mahasiswa sudah pulang, hari sudah mulai senja, Matahari semakin tergelincir. Mayang dan Afifah masih asyik duduk di depan gedung fakultas. Bangunan dengan tiga lantai yang menjulang megah itu adalah gedung dimana keduanya menuntut ilmu. Mayang dan Afifah memang lebih senang menghabiskan waktu dengan berada di kampus daripada di kos-kosan. Di kampus tempat luas dan suasana lebih ramai. Mereka akan kembali pulang saat hampir Maghrib. Mayang dengan semangat empat lima bercerita tentang Furqon, gadis itu mengatakan jika dia saat ini bisa berhubungan dengan pria itu melalui smartphone. Tentu saja dia tidak menceritakan bagaimana kekonyolan malam itu dengan berpura-pura salah sambung.Afifah mendengarkan cerita temannya dengan seksama, berusaha menjadi pendengar yang baik meskipun hatinya kurang setuju dengan yang dilakukan oleh Mayang saat ini. "Belum pada pulang?" Sapa seorang laki-laki menghentikan keseruan m
Afifah terus saja merepet meskipun mereka sudah kembali berdua saja di kamar kost mereka. Tidak jauh berbeda dengan Afifah, Mayang pun melakukan hal yang sama, terus mengomel pada Afifah karena perkataan yang diucapkan gadis itu pada Syahid untuk mengakhiri perdebatan mereka. "Kalau aku jadi kamu, lebih baik aku terima ajakan nikah seseorang yang sudah siap menikah dan siap memberi nafkah, daripada sibuk mengejar orang yang tidak tahu bakalan didapatkan atau enggak," omel Afifah tanpa henti. "Memangnya Kak Syahid ngajak nikah," sela Mayang dengan nada kesal. "Dari ucapannya udah jelas, May. Kan dia emang udah mandiri, punya usaha sendiri, tempat fotocopy dan penjilidan di belakang kampus itu punya dia. Saat orang lain masih sibuk kuliah dan bersenang-senang, dia sudah sibuk kuliah sambil cari uang. Dia juga pintar dan baik hati." Afifah mengabsen segala kelebihan dari pria yang baru saja mereka temui tadi di kantin. "Enggak, dia hanya bertanya aku siap atau tidak," sanggah Mayang.