Bab 5
Saling Membuka Hati
Tanpa terasa, pernikahan mereka sudah berjalan 3 bulan. Selama ini, mereka rutin setiap Minggu mengunjungi orang tua mereka. Mereka tidak pernah mengizinkan orang tua mereka mengunjungi apartemen. Takut ketahuan tidur terpisah. He……
Ting... tong….
Bel rumah berbunyi.
Begitu pintu terbuka," Kejutan…."
Naura hanya bisa melongo melihat siapa yang datang.
"Mama? Bunda?"
"Kenapa wajah kamu seperti itu? Sepertinya tidak senang melihat kami datang," tanya bunda Bagas.
"Bukan begitu, Bun. Naura hanya kaget saja. Ayo masuk, Bun, Ma!" ujar Naura.
"Bagas belum pulang?"
"Belum Bun. Katanya hari ini mau lembur. Tapi dia janji sudah pulang pas makan malam."
"Dia sering lembur gitu?"
"Gak kok, Ma. Hanya sesekali saja."
"Ya udah, ayo, Mama bantu siapkan makan malam. Tadi, kita udah masak banyak. Nanti kita makan sama-sama."
"Iya,ma. Ayo!"
"Ra, Bunda mau ke toilet dulu ya!"
"Iya, Bun. Sudah tahu letaknya kan?"
"Sudah. Tenang saja. Kamu masak sana sama mamamu."
*************
"Lama amat, Jeng, di toiletnya?" tanya Mama ketika melihat melihat bunda datang.
Bunda hanya tersenyum tanpa menjawab. Ada yang aneh dengan ekspresi wajahnya. Duh, kok aku jadi grogi ya.
"Ada apa, Jeng? Kok kelihatan tegang gitu?" tanya Mama.
Sepertinya, Mama juga menyadari ada yang tidak beres dengan bunda.
"Naura, Bunda mau bicara."
"Ada apa ini Jeng?" tanya Mama penasaran. Kami duduk bersama di ruang makan.
"Naura!"
"Iya, Bun! Ada apa ya?" jawab Naura grogi. Dia bingung, apa yang terjadi sebenarnya?
"Kamu jawab pertanyaan Bunda dengan jujur. Apa benar dugaan Bunda kalo selama ini kalian tidur terpisah? Kalian tidak tidur sekamar?"
"Apa? Jeng Salma serius? Naura, apa benar yang dikatakan Jeng Salma? Ayo, jawab!"
Naura menunduk terdiam. Dia bingung harus menjawab apa.
"Nura! Kenapa diam saja! Ayo, jawab!" ujar Mamanya emosi.
"Sabar, Jeng! jangan dibentak! Naura, jawablah dengn jujur!"
"I … iya, Bun," jawabku sambil menunduk.
"Kenapa?"
"Sebenarnya….." Belum sempat Naura memberikan alasan, tiba-tiba Bagas datang.
"Assalamualaikum…." Mereka serentak menoleh.
Alhamdulillah, kak Bagas sudah pulang. Batin Naura. Jadi, dia gak harus menghadapi ini sendiri.
"Bunda! Mama! Kok main ke sini gak bilang-bilang dulu sih?"
Kak Bagas menatap kami curiga.
"Ada apa ini, Bun?"
"Bagas, duduk!" perintah Bunda.
"Sekarang Bunda mau tanya. Dan jawab pertanyaan Bunda dengan jujur. Apa benar selama ini kalian tidak tidur sekamar?"
Bagas menatap Naura dengan tanda tanya. Yang ditatap hanya bisa menunduk. Tak tahu harus bagaimana.
"Siapa yang bilang seperti itu, Bun?"
"Tidak ada. Tadi Bunda ke toilet dan melihat-lihat apartemen kamu. Ternyata, barang-barang kalian ada di kamar yang terpisah. Dan Naura juga sudah mengakuinya. Kenapa, Bagas? Kalian ini sudah sah menjadi suami istri."
"Maafkan kami, Bun! Pernikahan kami terlalu mendadak. Kami belum siap. Kami juga tidak saling mencintai."
"Itu bukan alasan. Kalian ini sudah menikah. Harusnya kalian belajar saling terbuka. Bukan malah tidur sendiri-sendiri," omel Bunda.
"Bagas, sekarang kamu bantu Naura memindahkan semua barang-barangnya ke kamar kamu. Mulai sekarang kalian harus tidur sekamar. Apa perlu, Bunda tinggal disini untuk mengawasi kalian?"
"Gak usah, Bun. Gak perlu. Kami akan melakukannya. Ayo, Ra! Kita pindahkan barang-barangmu!" jawab Bagas dengan grogi. Dia segera menarik tangan Naura.
"Ayo, Kak!"
Mereka segera menuju ke kamar Naura dan memindahkan semua barang-barang. Mereka bekerja dalam diam. Pikiran mereka berkecamuk.
"Bagaimana ini, Jeng? Apa sebaiknya mereka kita ajak tinggal di rumah saja agar lebih mudah mengawasi?" tanya mama Naura.
"Saya rasa tidak perlu, Jeng. Kita lihat dulu perkembangannya. Mereka jangan terlalu ditekan. Takutnya malah tidak nyaman. Untuk sementara ini sudah cukup."
"Baiklah, Jeng. Saya ikut kata Jeng Salma saja. Ya udah, ayo, lanjut menyiapkan makan malam. Ini kurang sedikit lagi. Mereka pasti lapar setelah kerja keras."
"Iya, Jeng. Mari saya bantu."
Tepat pukul 19.00 WIB, Naura dan Bagas sudah selesai. Mereka sangat kelelahan dan terduduk lemas di sofa.
"Duh, Ra! Barang lo banyak banget! Gila, gue capek banget!" ujar Bagas.
"Emangnya gue gak capek? Itu aja masih berantakan semua."
"Udah, beresinnya ntar aja sambil jalan. Yang penting, semua sudah dipindahkan ke sini."
"Waduh … capek banget kayaknya! Ayo, makan dulu! Ntar dilanjut lagi beberesnya!"
Mereka makan sambil berbincang ringan. Suasana seperti inilah, yang dirindukan Naura. Setelah selesai makan malam, Mama Naura dan Bunda Bagas pamit.
"Bagas, Bunda pulang dulu. Kunci kamar satunya Bunda bawa. Awas, kalo sampai ketahuan kalian tidur terpisah lagi, apartemen ini Bunda pasang cctv!"
"Iya, Bun! Kami akan tidur sekamar. Ya kan, Ra?"
"Kok masih Ra panggilnya? Pake panggilan sayang dong!" perintah sang Bunda.
Bagas hanya bisa menghela nafas menanggapi permintaan sang bunda.
"Iya, Bun! Kami akan tidur sekamar. Ya kan, Sayang?" ucap Bagas akhirnya.
"I … iya, Sayang. Bunda gak usah kuatir," jawab Naura gugup.
"Ya sudah, Bunda pamit dulu. Titip mantu Bunda. Jangan dibikin nangis! Naura sayang, Bunda pulang dulu ya."
"Iya, Bun. Hati-hati di jalan!"
"Naura, Mama pulang dulu. Bagas, Mama pulang ya!"
"Iya, Ma. Hati-hati! Salam buat Papa!"
Setelah melepas kepergian Mama dan Bunda, mereka masuk ke kamar. Bagas langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu ganti Naura. Sambil menunggu Naura, Bagas bermain ponsel sambil duduk bersandar di tempat tidur.
"Naura, Kakak mau bicara sebentar! Ayo, duduk sini!" ujar Bagas saat melihat Naura keluar.
"Iya, Kak. Ada ada?"
"Kamu tahu kan, maksud permintaan Bunda tadi? Bunda bukan hanya minta kita tidur satu kamar, tapi beliau juga ingin kita menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Kakak tahu kamu tidak nyaman, begitu juga Kakak. Tapi, seperti yang Bunda bilang tadi. Kita sudah sah menikah."
"Maksud Kakak apa? Apa Kakak mau minta kita melakukan itu?" tanya Naura sambil tergidik ngeri.
Bagas tersenyum simpul.
"Tidak. Kakak tahu kamu belum siap. Kita mulai dari yang sederhana saja. Pertama, hilangkan kata lo gue. Kedua, Kakak minta mulai sekarang kita mulai saling membuka hati. Bagaimana menurutmu?"
Naura mengangguk tanda setuju.
"Iya, Kak, saya setuju. Tapi……"
"Tapi apa, Ra?"
"Tapi ... apa kakak sudah bisa melupakan kak Kirana?" tanya Naura hati-hati.
"Jujur, kakak belum 100% move on. Tapi, dia sudah meninggalkan Kakak. Jadi, dia sudah Kakak anggap sebagai masa lalu. Dan, kamu adalah masa depan Kakak."
Naura yang mendengar perkataan Bagas tersipu malu.
"Bagaimana kalau suatu saat kak Kirana kembali dan ngajak kakak balikan?" tanya Naura sendu. Sebenarnya, ini yang dia takutkan. Itulah kenapa, selama ini,dia berusaha menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta kepada Bagas.
Kebersamaan merek selama tiga bulan, memberikan warna tersendiri kepada Naura. Dia sudah mulai merasakan kenyamanan saat bersama Bagas.
"Gak usah mikir yang gak-gak. Pikirin aja yang sekarang. Bagaimana hubunganmu dengan Nico?" lanjut Bagas.
Bab 6Tidur Sekamar"Bagaimana hubunganmu dengan Nico?" lanjut Bagas."Hubungan apaan? Gue sama Nico gak ada hubungan apa-apa.""Beneran? Sepertinya, dia suka sama lo.""Iya sih, memang benar dia suka sama gue, malah dia pernah nembak gue. Hanya saja, gue nganggap dia teman doang.""Kenapa?""Ya … gak papa. Kan, emang perasaan gak bisa dipaksain.""Dia ganteng, lho! Pasti banyak yang suka. Meskipun, masih gantengan gue jauh sih!"Naura tertawa terpingkal mendengar kepedean Bagas."Ha … ha … ha…. Ih … Kak Bagas! Orang lagi serius juga, bisa aja bercanda
Bab 7Naura Cemburu" Kak Bagas …!" panggil wanita itu seraya mencium pipi kanan dan kiri Bagas.Bagas yang tak siap, tak sempat menghindar."Kamu …." ucapan Bagas terputus saking terkejutnya."Iya … ini aku. Kakak apa kabar?" ujar wanita itu."Aku … baik. Sama siapa?" tanya Bagas."Sendiri aja. Kak Ronald masih di Aussie, ngurusin bisnisnya. Kakak sama siapa?"Bagas ingin menjawab, tapi didahului oleh Naura."Sayang … dia siapa?" tanya Naura sambil bergelayut manja di lengan Bagas."Ow … iya, Sayang! Kenalin! Ini Alice, adiknya Ronald, sahabat aku pas kuliah."Naura
Bab 8Bagas Sakit"Kalo cewek gak mau, ya jangan dipaksa!" sela Bagas yang tiba-tiba sudah muncul."Emangnya lo siapa? Gak usah ikut campur!" ujar Nico ngegas."Lo belum tahu siapa gue? Dengarkan baik-baik. Gue suaminya Naura. Jadi, jangan pernah lo coba ganggu dia lagi! Ngerti lo!" ujar Bagas."Apa benar yang dia katakan, Ra?" tanya Nico kepada Naura."Udah dibilangin, masih saja ngeyel!" ejek Bagas."Gue tanya sama Naura, bukan sama lo!" ujar Nico sambil menunjuk muka Bagas."Apa lo pake nunjuk-nunjuk?" Bagas tersulut emosinya."Kur*ng aj*r!" teriak Nico.Bugh …. Nico menghantam wajah Bagas.Bagas yang tak siap, tak sempat meng
Bab 9Bulan MaduPukul 08.00 WIB Naura terbangun. Dia berjalan perlahan ke kamar mandi. Rasanya nyeri sekali. Tapi dia bahagia. Hari ini, dia sudah menjadi istri Bagas seutuhnya.Dia sadar, selama ini dia sudah mulai jatuh cinta pada sang suami. Cinta yang dia pendam sendiri, karena menunggu sang pujaan hati benar-benar siap membuka hati. Wajahnya merona saat ingat kejadian tadi."Masih sakit?" tanya Bagas lembut saat mendapati Naura keluar perlahan dari kamar mandi."Gak kok! Udah mendingan."Bagas menghampiri Naura, lalu membopongnya menuju tempat tidur."Istirahatlah! Kamu pasti capek!""Aku mau masak, Kak! Ini sudah siang!""Gak usah masak! Kita order saja! Satu lagi! Jangan panggil aku kak la
Bab 10Tamu Tak DiundangMereka tiba di Jakarta pukul 19.00 WIB. Mereka sepakat untuk pulang ke apartemen dahulu untuk berisitirahat. Besok mereka baru akan ke rumah orang tua mereka untuk mengantar oleh-oleh.Pagi ini, saat bangun tidur, Naura merasa mual hebat. Dia langsung berlari menuju kamar mandi.Bagas yang terkejut, langsung menyusulnya. Dia memijit lembut tengkuk Naura."Bagaimana, Sayang? Sudah enakan?" tanya Bagas.Naura hanya melambaikan tangannya dengan lemas. Setelah selesai, Bagas segera membopong tubuh istrinya ke tempat tidur. Setelah menidurkan istrinya, dia bergegas menuju dapur untuk membuat teh hangat."Diminum dulu, tehnya! Biar enakan! Habis ini kita ke dokter, ya! Wajah kamu pucat banget, gitu!" ucap Bagas.
Bab 11Kirana KembaliTing … tong….Bel rumah berbunyi.Naura bergegas membuka pintu. Saat pintu terbuka, Naura tertegun melihat siapa yang datang."Siapa, Sayang?" tanya Bagas sembari berjalan ke depan. Dia pun tertegun. Suasana pun sesaat menjadi canggung. "Selamat pagi! Maaf mengganggu waktunya! Boleh saya masuk?" tanya Kirana.Ya, tamu mereka pagi ini adalah Kirana. Naura hanya mampu menatap wanita itu dengan pandangan yang entah. Sulit untuk diterjemahkan."Pergilah!" ujar Bagas."Kak, ijinkan aku menjelaskan semuanya! Setelah selesai, terserah bagaimana penilaianmu! Aku hanya ingin menjelaskan semuanya!" mohon Kirana."Tidak ada yang perlu dijelaskan! Pergilah! Aku tidak ingin melihat mukamu lagi!""Tolong, beri aku waktu sebentar saja! Aku mohon!""Pergi, kataku!" Bagas berteriak keras. Naura terkaget. Baru kali ini, dia melihat Bagas semarah itu. Selama ini, Bagas terlihat tenang, bahkan saat mereka terpaksa menikah, dia terlihat pasrah. "Baiklah, aku akan pergi! Aku harap
Bab 12Dalang Gagalnya Pernikahan Bagas-Kirana"Iya. Terpaksa. Aku tidak akan tenang kalau belum jelasin semua!"Bagas menghela napas. Melihat situasinya, Anita segera meminta izin untuk kembali ke kantor terlebih dahulu."Sepuluh menit! Aku beri kamu waktu sepuluh menit!""Sayang, maafkan aku! Aku ta—.""Jangan panggil sayang. Kau bukan siapa-siapa ku!" ujar Bagas dingin.Kirana menunduk. Matanya sudah mulai berkaca-kaca."Em … Kak … aku … minta maaf. Maaf … karena aku sudah melakukan kesalahan besar sama kamu. Aku melakukannya karena aku disuruh.""Siapa yang menyuruhmu?" tanya Bagas dingin.Kirana diam dan menunduk. Dia tidak berani mengangkat kepalanya."Kenapa diam saja? Siapa yang menyuruhmu?" bentak Bagas. "Kak Ronald," jawab Kirana lirih.Bagas mencelos. Semua ini, diluar perkiraannya. "Kenapa?" tanya Bags lirih."Dia ingin membalas sakit hatinya. Dulu, saat kamu menolak Alice, dia sempat depresi dan mencoba bunuh diri. Perlu waktu cukup lama untuk menyembuhkan adiknya. Bahk
Bab 13Penyesalan Kirana"Kamu tidak mau menjadi kekasihku?" tanya Ronald."Tentu saja aku mau, Kak. Itu adalah impianku sejak lama. Tapi … kenapa?" tanya Kirana bingung."Kenapa? Tentu saja karena aku menginginkan kamu," jawab Ronald santai."Tapi … ini seperti mustahil. Bagaimana bisa?" Kirana masih kebingungan."Tentu saja bisa. Bahkan, aku akan menikahimu," ujar Ronald."Kakak serius?" tanya Kirana memastikan."Tentu saja. Aku akan menikahi kamu, asalkan kamu mau membantuku.""Membantu apa?" tanya Kirana."Membalas dendam kepada Bagas," sahut Ronald mantap."Apa? Tidak. Aku tidak bisa menyakiti dia. Dia terlalu baik.""Terserah kamu. Itu berarti, kamu lebih memilih menyakiti diri kamu sendiri. Apakah kamu benar-benar akan melewatkan kesempatan menikah denganku?""Kak, aku memang mencintai kamu. Tapi, tidak seperti ini.""Kirana, hidup itu pilihan. Dan sekarang, saatnya kamu memilih. Tetap bersama dia atau menikah denganku."Kirana terdiam. "Aku akan menemui kamu seminggu lagi. Pi
Bab 51EKSTRA PART"Sayang, besok aku izin keluar ya!" ujar Kirana kepada Ronald."Mau kemana?" tanya Ronald."Ke rumah sakit.""Kamu sakit?" tanya Ronald panik."Gak, Sayang! Jadi, ceritanya itu akhir-akhir ini kan Axel sering sakit, trus beberapa kali mimisan. Akhirnya, aku periksakan ke dokter. Nah, sama dokternya disuruh periksa ke lab. Takutnya, ada yang serius." Kirana memberi penjelasan."Kenapa gak pernah cerita? Itu periksa ke labnya kapan?""Sekitar … dua minggu sebelum pernikahan kita," ujar Kiran sambil mengingat-ingat."Sebelum kamu nemuin Papa dan nglamar aku.""Itu sudah lama sekali, lho!" protes Ronald."Iya sih. Kata petugas labnya, perkiraan dua minggu hasilnya keluar. Tapi kemarin itu ternyata lebih. Baru tiga hari yang lalu dikabari kalau hasilnya sudah keluar.""Trus, kenapa gak langsung diambil?" "Lha kita kan posisinya masih bulan madu. Aku gak mau merusak suasana. Kalau sekarang kan, kita sudah di rumah. Makanya mau tak ambil."Ronald menghela nafas panjang."
Bab 50PERTEMUAN PERTAMA“Oya, siapa nama anak kita?” tanya Ronald.” Axel Dharmendra Wibawa,” sahut Kirana.“Kamu tidak memasukkan namaku?” protes Ronald.“Aku gak yakin kamu mau mengakuinya, jadi aku memasukkan nama Papa.”“Setelah kita menikah, aku akan menggantinya menjadi Axel Dharmendra Baskoro,” ujar Ronald.“Terserah kamu sajalah.”“Oya, dia pulang sekolah jam berapa?” tanyanya.“Jam 14.00 WIB.”“Nanti aku ikut jemput, ya?” tanya Ronald.“Yakin?”“Iya, dong! Aku sudah tidak sabar!” ujar Ronald.“Dia pasti senang,” ujar Kirana.“Apa yang kamu katakan padanya saat dia menanyakan Papanya?” tanya Ronald penasaran.“Aku bilang sama dia kalau Papanya sedang bekerja di tempat yang jauh mencari uang yang banyak buat dia.”“Trus, dia jawab apa?”“Awalnya gak banyak protes, tapi akhir-akhir ini dia selalu bilang kalau dia tidak butuh uang yang banyak. Dia hanya ingin punya Papa seperti teman-temannya,” sahut Kirana. Dia tampak sedih mengingat pembicaraannya dengan Axel kala itu.Ronald
Bab 49PERJUANGAN RONALD"Aku sudah meletakkan surat pengunduran diriku di meja Pak Ronald.""Kamu yakin? Aku bisa memindahkan kamu ke divisi lain kalau tidak suka disana.""Gak perlu, Pak! Saya ada alasan lain mengapa harus resign.""Baiklah, kalau memang itu keinginanmu. Aku tidak memaksa.""Ya sudah, Pak, saya pamit ya!" Usai Kirana meninggalkan kantor, tak lama kemudian Ronald datang. Dia sangat terkejut mendapati surat pengunduran diri Kirana. Dia lebih terkejut lagi mendapati hasil tes DNA delapan tahun yang lalu."Jadi, anak itu adalah anakku," ujar Ronald lirih. Ronald tampak syok. Bergegas dia melangkah ke ruangan Sakti."Apa Kirana tadi kesini?" tanya Ronald."Iya Pak, hanya mampir sebentar lalu pulang. Ada apa Pak?" tanya Sakti heran."Gak ada. Terimakasih," ujarnya, lalu meninggalkan ruangan Sakti. Sakti memandang kepergian Ronald dengan miris. Dia tahu, ada sesuatu antara Kirana dan Ronald. Sepertinya, dia harus bersiap patah hati. Ronald segera melajukan kendaraanny
BAB 48MENGUNDURKAN DIRI“Saya temannya Mama kamu,” sahut Bagas.“Oya? Wah ... kebetulan sekali! Apa kamu juga teman Papa aku?” tanya Axel polos.Bagas memandang Mama Kirana mencari jawaban.“Axel, ayo temannya diajak masuk!” ujar Mama Kirana.“Gak usah, Tante! Kami langsung pulang saja!” sahut Bagas.“Papa, kami mau kue!” rengek Kayla.“Mau kue yang mana? Sini, Oma ambilkan!”Mama Kirana menggiring Kayla dan Keysha ke bagian etalase kue.Sekarang, tinggal Bagas berdua dengan Axel.“Om, apa Om kenal dengan Papa aku?” tanya Axel lagi."Memangnya Mama kamu bilang apa?" tanya Bagas."Kata Mama, Papa sedang bekerja di tempat yang jauh. Kalau Om ketemu Papaku, tolong katakan padanya, aku gak minta uang yang banyak. Aku juga gak akan minta dibelikan mainan. Aku hanya ingin Papa pulang. Gak papa kita gak punya banyak uang, asalkan bisa selalu bersama," ujar Axel sendu."Bagas terharu mendengar ucapan Axel, lalu menghela napas panjang."Om memang kenal Papa kamu, tapi Om gak tahu dimana dia s
BAB 47QUEEN CAKE ‘N BAKERY"Pa, bagaimana kalau kita antar Axel pulang dulu? Dia belum dijemput!" ujar Kayla kepada Papanya saat dijemput pulang sekolah. Tampak, di taman Axel sedang bermain sendirian ditemani sang wali kelas. "Iya, Pa! Kasihan dia nanti sendirian!" sahut Keysha."Memangnya Axel belum dijemput?" tanya Bagas."Belum!" sahut mereka serempak."Sebentar! Papa tanya wali kelas kalian dulu!"Bagas, Kayla, dan Keysha segera menghampiri wali kelas mereka. "Selamat siang, Bu!” sapa Bagas.“Selamat siang, Pak Bagas! Ada apa, ya?” tanya Bu Dyah, walikelas mereka.“Axel kok belum pulang? Memangnya, dia belum dijemput, Bu?" tanya Bagas."Belum, Pak! Barusan mamanya telfon, katanya jemputnya agak terlambat," sahut sang wali kelas. "Bagaimana kalau dia kami antar saja? Rumahnya mana?" Wali kelas tersebut menyebutkan sebuah alamat."Kami satu arah. Bagaimana, Bu?" "Apa tidak merepotkan, Pak?""Tidak, Bu. Lagipula, sepertinya anak-anak dekat dengan dia. Mereka gak tega meninggal
Bab 46MENJADI SEKRETARIS RONALD"Maaf, Pak! Saya pinjam Ibu Kirana sebentar. Ada keperluan mendesak," ujar Sakti.Ronald memandang Sakti dengan tajam. "Urusan apa? Bukankah ini masih jam kerja? Lagipula, wawancaranya belum selesai," sahut Ronald tak suka."Maaf, Pak! Ini masalah keluarga dan sangat penting. Mohon pengertiannya!" ujar Sakti sopan.Ronald menatap Sakti dan Kirana bergantian. Apa hubungan Sakti dengan Kirana? Batinnya.Kirana pun memandang Sakti dengan tanda tanya."Apa kamu keluarganya?" tanya Ronald lagi.Sakti tersenyum tipis."Bukan, Pak! Hanya saja, baru saja keluarganya menghubungi," sahut Sakti."Ya sudah! Bawa dia pergi!" ujar Ronald pasrah."Terimakasih, Pak! Ayo!" ajak Sakti kepada Kirana. Dengan penuh tanda tanya, Kirana mengikuti langkah Sakti. "Ada apa?" tanya Kirana saat mereka sudah di luar ruangan."Tadi Mama kamu nelfon. Sebenarnya, beliau sudah menghubungi kamu tapi gak bisa, jadi beliau menghubungi nomor kantor," ujar sakti."Ada apa Mama nelpon?"
Bab 45SANG CEOKirana melajukan mobilnya dengan kencang. Namun, dia tetap terhalang kemacetan panjang. Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh lima menit, akhirnya Kirana tiba di kantor. Kirana melirik jam di pergelangan tangannya. Dia sudah hampir terlambat. Setelah memarkirkan kendaraannya, Kirana melangkah terburu-buru ke ruangannya. Saking terburu-burunya, dia tidak memperhatikan langkahnya.Bruk.Tabrakan pun tak terelakkan.Berkas-berkas di tangan Kirana jatuh berhamburan."Maaf, Pak!" ujar Kirana sembari menunduk. Lalu, dia berjongkok mengambil berkas-berkas tersebut."Maaf, Pak, atas kecerobohan karyawan saya!" ujar Sakti merasa tak enak. Saat ini, Sakti sedang menemani sang CEO menuju ruangannya."Hm!" Sang CEO hanya berdehem, lalu melanjutkan langkahnya ke ruangannya."Kenapa terlambat? Kemarin kan aku sudah bilang harus tepat waktu?" omel Sakti sembari membantu Kirana mengumpulkan berkas-berkas yang berceceran."Maaf, Pak! Semalam Axel demam, jadi ….""Bagaimana ke
Bab 44UNGKAPAN HATI SAKTIPagi ini, lalu lintas cukup lancar. Taksi yang ditumpanginya melaju dengan tenang. Ronald memandang setiap sudut jalanan."Kota ini sudah banyak berubah," ujarnya dalam hati.Saat di lampu merah, sekilas dia melihat seorang wanita sedang menyetir seorang diri. Ronald memperhatikan wanita itu dengan seksama. Benar saja, wanita itu adalah Kirana. Sesaat kemudian,lampu hijau menyala."Ikuti mobil merah itu, Pak!" ujar Ronald kepada sopir taksinya. "Baik, Pak!" sahut sang sopir taksi. Sopir taksi tersebut berusaha mengikuti mobil Kirana. Dua puluh menit kemudian, mobil Kirana memasuki pelataran parkir sebuah perusahaan. "Stop, Pak!" ujar Ronald. Dia mengamati kantor tersebut dari dalam taksi. Setelah puas, dia meminta sopir taksi tersebut meninggalkan lokasi."Jalan, Pak! Kembali ke tujuan awal!" ujar Ronald. "Baik, Pak!" sahut sopir taksi tersebut. Ronald menyandarkan tubuhnya ke kursi sembari memejamkan matanya. Dia tersenyum tipis. Sekarang, dia tahu haru
Bab 43❤️Delapan Tahun kemudian ❤️"Ma, aku gak mau masuk sekolah lagi!" ujar Axel sendu."Kenapa begitu, Sayang?" tanya Kirana. Dia tampak terkejut dengan pernyataan putra semata wayangnya."Teman-teman jahat, Ma!""Jahat bagaimana?""Mereka tidak mau berteman dengan aku. Mereka juga mengolok-olok aku, Ma!" ujar Axel lirih.Kirana terhenyak. Selalu begitu. Tak bisakah mereka membiarkan putranya bisa bersekolah dengan tenang? Yang melakukan kesalahan adalah orang tuanya. Jadi, biar orang tuanya yang menanggung. Jangan bebankan kepada anaknya. Anak yang masih polos dan tak tahu apa-apa. Sejak awal bersekolah, selalu masalah yang sama. Ini sekolah ketiga yang dia datangi. Di dua sekolah sebelumnya, Axel mengalami masalah yang sama. "Sayang … kita tidak mungkin pindah sekolah lagi. Apa semua teman kamu menjauhi kamu?" tanya Kirana.Axel menggeleng."Ada dua anak kembar yang berteman dengan aku. Tapi, teman-teman yang lain mencoba menghasutnya untuk menjauhi aku," ujar Axel lirih."Lalu