“Terima kasih atas bantuanmu. Biarlah aku sendiri yang hadapi dia. Karena yang punya perjanjian hanya aku dengannya,” ucap Indarti yang tetap tersenyum terhadap bayangan di cermin.Sosok tersebut tak bisa berbuat banyak karena wanita didepannya punya perjanjian gaib. Kini, waktu yang diinginkan sendiri oleh Indarti.“Sang Ratu, aku telah siap kau jemput. Tak ada berontak lagi karena aku telah serahkan diri sejak awal menyembahmu,” ucap Indarti mantap yang telah berdiri sembari menghadap sebuah 1mabkhara.1[tempat bakar dupa]Dalam wadah tersebut Indarti telah membakar kemenyan. Asap mengebul hasil dari pembakaran. Indarti menghidupkan sebuah dupa lalu dengan mata terpejam memegang dupa di kedua tangan lalu mengangkat kedua siku. Dari kedua bibir wanita ini meluncur mantra pemanggil.Dalam beberapa detik, tampak asap beraroma bangkai memenuhi ruangan. Indarti geming tak goyah oleh bau tersebut. Asap semakin menggumpal lalu menyelubungi sosok yang benar-benar mengerikan.Sekujur tubuh di
“Tubuh dengan roh lain. Anak kami diselamatkan dari ancaman Ratu Ular.”“Maaf, Pak. Saya jadi bingung.”“Pak Sopir bermalam di sini. Besok, tolong antar saya melihat keadaan panti asuhan. Sesuai surat ini, saya belum boleh menemui anaksaya secara langsung. Agar sama-sama aman.”“Baik, Pak. Oh, ya. Ini titipan dari Ibu juga,” ucap sang sopir segera menyodorkan sebuah tas kecil kepada Pak Wardoyo.Dalam surat beramplop cokelat disebutkan bahwaada tas kecil di tempat tersembunyi dalam mobil. Kini tas tersebut telah disampaikan ke Pak Wardoyo. Pria ini segera membuka tas lalu menilik isinya.Ada beberapa buku tabungan beserta kartu ATM di masing-masing buku. Pak Wardoyo kaget bukan main melihat jumlah total nominal saldo yang tercantum.Dalam sebuah surat yang terdapat dalam tas, tertulis bahwa separuh harta adalah hak milik anak. Tertera nama seorang notaris di samping nama Indarti di surat tersebut.“Sekarang Ibu ada di mana?” tanya Pak Wardoyo setelah memasukkan kembali surat wasiat ke
“Cepat lari! Biar aku hadang belatungnya.”Terdengar teriakan dari makhluk tersebut dan kedua pria ikuti perintahnya. Mereka berlari tanpa henti hingga kehabisan tenaga dan jatuhpingsan.•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••“Pak, udah enakan?” tanya seseorang menyapa Pak Wardoyo sesaat setelah siuman.Pak Wardoyo mencoba mengamati sosok yang berdiam di pinggir ranjang. Dengan pandangan mata yang masih kabur, ia mencoba tersenyum. Kedua mata memidai keliling ruangan dan hanya ada tembok dan tirai berwarna putih.“Aku ada di mana?” tanya pria berwajah bersih yang kini pucat pasi.“Bapak ada di rumah sakit. Tenang dulu,” jawab sosok pria yang tak lain adalah Pak Brahim.Pak Wardoyo merasa tangannya perih dan berat, ternyata selang infus sedang terpasang di lengan kiri.“Kenapa aku di sini? Pak Sopir di mana?” tanya pria ini sembari melihat penampakan Pak Brahim yang semakin jelas.“Maaf. Pak Sopir meninggal dunia tertabrak mobil,” jawab Pak Brahim dengan ekspresi sedih.“Jenazahnya sudah dikuburkan oleh
“Boleh saya jujur? Agar Pak Wardoyo tahu kebenaran tentang makhluk hijau tersebut,” pungkas Pak Brahim memberanikan diri.“Silakan, Pak! saya memang penasaran sekali mengenai hubungan makhluk itu dengan istri saya.”Pak Wardoyo yang terbaring berkata sembari membenahi letak lengan yang dipasang infus.“Sebenarnya kami ...mencari pesugihan.”Pak Wardoyo seketika terperangah mendengar pengakuan dari mulut pria berkepala plontos barusan. Pak Wardoyo berharap perkataan teman bisnis sang istri tersebut hanya sebuah kelakar semata. Namun, nyatanya tak ada ekspresi tersenyum di wajah Pak Brahim. Pria berkepala plontos ini tampak serius dengan pandangan menunduk.“Maafkan saya! Itulah kenyataannya,” tegas Pak Brahim“Jadi usaha istri saya laris selama ini karena pesugihan?” tanya Pak Wardoyo dengan tergagap.Pak Brahim mengangguk pelan demi menjaga hati pria di hadapannya. Memang terasa berat dan menyesakkan dada dari kedua pihak. Namun, Pak Brahim harus berani mengungkap semua sekarang, kare
Pak Wardoyo bergegas memegang gelang giok dengan jemari. Wanita renta ini meludah ke arah Pak Wardoyo dan ajaib ludah tersebut berubah menjadi asap sebelum menyentuh kulit wajah pria tersebut. Tentu saja, sang nenek tampak berang melihat lontaran ilmunya tak berefek ke sasaran.“Bangsat! Mustafaaa, keluar kamu ...!” teriak wanita renta ini dengan wajah merah padam.Ajaibnya! Teriakan sang nenek yang bergema seisi ruangan, tak berpengaruh terhadap sekeliling. Terbukti, tak ada siapa pun, termasuk perawat yang masuk ke ruangan. Aktivitas di luar kamar perawatan terdengar normal, tak ada yang mencurigakan.Pria berumur 50 tahunan ini mencoba bersikap tenang, meski detak jantung berpacu bagai laju roda kereta. Nenek berwajah bengis ini tak berhenti sampai di situ. Ia semakin emosi karena teriakannya tak ada tanggapan dari Mustafa.“Kamu mau bermain-main denganku rupanya, jin bau kencur. Baiklah! Akan kuturuti. Manusia ini, kayaknya asik juga untuk hiburan,” ucapnya sambil tertawa terkekeh
“Saya gak punya keluarga di sini. istri dan anak ada di luar kota. Biarlah saya sendiri sampai sembuh. Kapan sayabl boleh pulang? Biaya perawatan segera saya bayar," ucap Pak Brahim yang membuat perawat ikut prihatin dengan keadaannya.“Tunggu pemeriksaan dokter. Banyak istirahat, Pak. Usahakan jangan banyak gerak,” pungkas perawat sambil memasukkan alat-alat kembali.Pak Brahim menanggapi semua saran perawat dengan anggukan. Pak Brahim merasakan nyeri di punggung mulai berkurang setelah obat bereaksi.“Bu, tolong kasih obat yang bisa mempercepat pengeringan luka. Berapa pun harganya saya bayar sekarang,” kata Pak Brahim sembari berganti posisi.“Coba nanti dikonsultasikan dengan dokter. Saya tinggal dulu. Permisi,” balas perawat lalu beranjak meninggalkan ruangan.Sepeninggal perawat, tinggal Pak Brahim merenungi peristiwa yang telah ia alami setelah ikut ritual pesugihan bersama mendiang Indarti. Hanya kenangan bersama wanita ini yang tak bisa dilupakan begitu saja.Apalagi kini, an
“Ada apa lagi dengan Mbak Dinda?” tanya Pak Kiai sembari mendekat ke arah mereka.Sedangkan sang pemuda mengiringi langkah Pak Kiai dengan pandangan memidai seisi ruangan. Pak Kiai yang mengetahui perilaku sang pemuda hanya tersenyum. Ia juga paham yang dirasakan oleh pemuda tersebut.“Mas Gito merasakan juga?” tanya Pak Kiai masih dengan senyum ramahnya.“Iya, Kiai. Ada hawa yang berbeda dalam ruangan ini. Ada kekuatan tak kasat mata mengelilingi pasien ini,” jawab pemuda tersebut tetap dengan pandangan mata menatap seluruh ruangan.“Nanti kita bicarakan lebih lanjut. Sekarang kita disembuhkan pasien dulu,” jelas Pak Kiai sembari bersiap membaca doa.Kemudian pria bersorban ini meminta tolong yang lain untuk ikut membaca surat Al-Fatihah dilanjut dengan surat Yasin. Setelah pembacaan kedua surat selesai, ia meminta ketua panti dan kedua perawat memegangi kedua kaki Dinda dan juga tangannya.Pak Kiai dibantu Gito mulai membaca surat khusus rukiah. Di tengah pembacaan surat-surat terse
Waktu menjelang salat Isya, Dinda tak datang juga. Ia adalah gadis lugu yang tak pernah mau membeli ponsel, meski dari jerih payah sendiri. Kini, Bu Lastri hanya bisa mengandalkan komunikasi dengan pihak swalayan saja dan ternyata Dinda telah pulang dari jam 4 sore tadi.“Ke mana Nduk Dinda, ya?” tanya Bu Lastri seraya mondar-mandir di teras panti. Kedua mata wanita ini tak lepas dari jalan raya yang berjarak 100 meter dari ia berdiri.“Bu, biar saya cari ke ke tempat temannya,” usul perawat paling senior di panti tersebut.“Oh, ya, Mbak. Minta tolong. Tau sendiri, adikmu itu sering syok. Moga aja, gak ada apa-apa. Ya Allah, lindungi dia,” timpal Bu Lastri seraya mengelus lengan Murti perlahan.“Aamiin. Baiklah, saya pamit dulu, Bu.”“Ati-ati di jalan, Mbak.”Murti pun segera beranjak pergi dan kini tinggal Bu Lastri menatap kepergiaan sang anak asuh dengan motornya.•••¤•°•¤•••“Maaf, Nyonya. Saya harus segera pulang, udah sore,” ucap Dinda sembari bangkit dari sofa dalam ruang tamu d