“Ada apa lagi dengan Mbak Dinda?” tanya Pak Kiai sembari mendekat ke arah mereka.Sedangkan sang pemuda mengiringi langkah Pak Kiai dengan pandangan memidai seisi ruangan. Pak Kiai yang mengetahui perilaku sang pemuda hanya tersenyum. Ia juga paham yang dirasakan oleh pemuda tersebut.“Mas Gito merasakan juga?” tanya Pak Kiai masih dengan senyum ramahnya.“Iya, Kiai. Ada hawa yang berbeda dalam ruangan ini. Ada kekuatan tak kasat mata mengelilingi pasien ini,” jawab pemuda tersebut tetap dengan pandangan mata menatap seluruh ruangan.“Nanti kita bicarakan lebih lanjut. Sekarang kita disembuhkan pasien dulu,” jelas Pak Kiai sembari bersiap membaca doa.Kemudian pria bersorban ini meminta tolong yang lain untuk ikut membaca surat Al-Fatihah dilanjut dengan surat Yasin. Setelah pembacaan kedua surat selesai, ia meminta ketua panti dan kedua perawat memegangi kedua kaki Dinda dan juga tangannya.Pak Kiai dibantu Gito mulai membaca surat khusus rukiah. Di tengah pembacaan surat-surat terse
Waktu menjelang salat Isya, Dinda tak datang juga. Ia adalah gadis lugu yang tak pernah mau membeli ponsel, meski dari jerih payah sendiri. Kini, Bu Lastri hanya bisa mengandalkan komunikasi dengan pihak swalayan saja dan ternyata Dinda telah pulang dari jam 4 sore tadi.“Ke mana Nduk Dinda, ya?” tanya Bu Lastri seraya mondar-mandir di teras panti. Kedua mata wanita ini tak lepas dari jalan raya yang berjarak 100 meter dari ia berdiri.“Bu, biar saya cari ke ke tempat temannya,” usul perawat paling senior di panti tersebut.“Oh, ya, Mbak. Minta tolong. Tau sendiri, adikmu itu sering syok. Moga aja, gak ada apa-apa. Ya Allah, lindungi dia,” timpal Bu Lastri seraya mengelus lengan Murti perlahan.“Aamiin. Baiklah, saya pamit dulu, Bu.”“Ati-ati di jalan, Mbak.”Murti pun segera beranjak pergi dan kini tinggal Bu Lastri menatap kepergiaan sang anak asuh dengan motornya.•••¤•°•¤•••“Maaf, Nyonya. Saya harus segera pulang, udah sore,” ucap Dinda sembari bangkit dari sofa dalam ruang tamu d
“Wanita ini yang akan dijodohkan sama aku, Bu,”sahut Gito dengan tersenyum lalu menoleh ke arah Dinda.“Lah, kok bisa? Kenapa ini?” Bu Teti—ibu Gito—semakin heran dengan ucapan putranya. Wanita separuh baya ini pun mempersilakan Dinda untuk duduk. Wanita muda berpakaian lusuh ini duduk dengan hati-hati karena sedikit merasa nyeri di luka lututnya setelah berusaha kabur barusan.“Dek Dinda ini, yang akan dijodohkan dengan aku. Barusan aku tolong, dia lari ketakutan dari panti. Kayaknya di antara penghuni panti ada yang disusupi siluman yang buru dia ini,” jelas Gito yang buru-buru mengintip dari balik tirai ke arah jalan sambil menunjuk ke arah Dinda.Gito barusan dengar suara Bu Lastri dan dokter yang merawat luka Dinda sedang menuju arah teras. Pria muda ini merasa ada ‘sesuatu’ dengan dokter wanita yang telah jadi dokter tetap untuk asrama putri.“Dek, Mas antar ke ponpes, aja,” ucap Gito lirih lalu berlari ke arah kamar mengambil jaket, senter, sarung dan juga dua pasang kaus tang
“Siapa yang menzalimi Mbak Dinda? Kami berusaha agar gak membahayakan orang lain,” sahut Bu Dokter bernada jengkel karena merasa tersinggung dengan perkataan Pak Kiai.Seisi ruangan seketika menoleh heran ke arah Bu Dokter, sedang Pak Kiai hanya tersenyum penuh arti. Gito cepat tanggap dengan jetikkan jari tangan Pak Kiai, dia segera masuk lalu kembali membawa botol bekas sirup.Ketiga wanita di hadapan mereka keheranan melihat yang dibawa Gito. Kedua pria tersebut segera melafazkan doa dan zikir. Mereka khusyuk melakukannya, hingga tiba-tiba terdengar suara lengkingan dari mulut Bu Dokter.“Aach ....!”Tubuh wanita berjas putih tersebut kejang sesaat lalu tanpa diduga melayang hingga hampir menyentuh plafon ruang tamu. Tak ada suara maupun gerakan dari Bu Dokter. Tubuh tersebut diam dan melayang bagai kapas.“Astaghfirullah hal azhim!” teriak histeris Bu Teti bersama Bu Lastri.“Bantu baca Al-Fatihah, Ibu-ibu,”saran Pak Kiai sembari mendongak melihat tubuh yang terlentang menghadap p
“Saya minta maaf pada semua. Saya dalam keadaan gak sadar itu. Kasian Mbak Dinda. Ke mana dia?” tanya Bu Dokter sembari menitikkan air mata.Tampak penyesalan dari raut wajahnya dan Bu Teti sekilas memandang permata warna hijau di ujung liontin kalung yang dipakai oleh Bu Dokter. Wanita berumur separo abad ini kenal betul dengan permata tersebut.Bu Teti mengingat hal tersebut sampai Bu Lastri dan Bu Dokter beranjak pulang. Namun, belum juga bisa tahu jawabannya. Akhirnya, saat Gito hendak berpamitan antar Pak Kiai, wanita separuh baya ini baru bisa mengingat soal permata hijau.“Le, Ibu tadi liat permata hijau di liontin Bu Dokter barusan,”ujar Bu Teti pada anak semata wayangnya ini.“Emang kenapa, Bu?” tanya Gito sembari melihat Pak Kiai yang sudah menunggu di dekat motor.“Itu milik yang punya rumah kosong dekat warung Bu Hesti,” ungkap Bu Teti yang seketika membuat Gito terperanjat.“Hah! Kenapa ada di Bu Dokter? Entar kita bahas. Aku mau antar Pak Kiai dulu. Assalammu’alaikum,” k
“Permaisuriku. Akhirnya kita bisa bertemu. Kini tak ada lagi yang bisa menghalangi kita,” ucap sosok berbulu lebat lirih bersama embusan dinginnya udara pagi.“Siapa kamu? Lepaskan dia!” teriak Gito bersama Pak Kiai yang berjalan setengah berlari ke arah sosok tersebut.Sosok tersebut menghilang dan tubuh Dinda tergeletak di bawah pohon mangga. Gito melepas jaket lalu membopong tubuh wanita muda tersebut naik ke bentor yang telah dipesan dari semalam.“Saya pamit, Kiai. Assalammu’alaikum,” ucap Gito sembari menyalami Pak Kiai lalu segera naik ke bentor.“Wa’alaikummussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Disegerakan saja, Mas. Semoga ini jalan kalian.”“Aamiin. Insyaallah, Kiai.”Bentor pun meninggalkan lingkungan ponpes menuju panti asuhan. Selama perjalanan, Gito membisikkan ayat-ayat suci agar sang wanita yang telah berhasil membawa separuh jiwanya ini segera siuman.“Sayang, ada apalagi ini? Mas jadi khawatir dengan keselamatanmu,” ucap Gito sembari memeluk tubuh Dinda yang menggigil
Paaakk ... lariii ...!” teriak sang sopir sambil menyeret lengan sang bos.Pak Brahim segera tersadar langsung berlari ke arah mobil dan segera berlalu. Sepeninggal kedua pria, tampak di tengah air muncul kepala naga amat besar dengan mata membara dan lidah berapi menjulur yang gagal mendapat mangsa.“Kurang ajar, kau, Brahim!” Tiba-tiba kuncen Gunung Kemukus muncul di pinggir pantai tak jauh dari jilatan kepala naga yang membara. Pria renta ini sangat murka dengan kelakuan menyimpang sang murid. Gagal sudah memberi makan peliharaan Ratu Gunung. Kuncen tersebut sibuk putar otak agar mendapat darah suci anak hasil ritual.Sekilat cahaya tubuh pria renta ini lenyap. Hanya tersisa desiran angin bersama lenyapnya cahaya kehijauan mutiara serpihan sirip ajaib sang ratu.Berjarak tiga puluh kilometer dari pantai, mobil milik Pak Brahim telah sampai ke sebuah hutan kecil. Pria berkepala plontos ini meminta sang sopir memarkir mobil di pinggiran hutan. Setelah turun dari mobil, berdua dengan
“Kalo gitu, mending Mas Gito berbicara dengan polisi soal ini. Agar cepat terungkap penyebab kematiannya,” kata Bu Lastri sambil mulai meneteskan buliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillahi wa’ innalillaihi raji’un, meski saya tak ingin mempercayainya dan berharap ini adalah salah mayat hanya karena kesamaan nama semata,” ucap Gito dengan raut muka sedih.Akhirnya, Bu Lastri mengajak Gito untuk berbicara dengan para polisi demi menjelaskan tentang kejadian sebenarnya. Mereka akhirnya telah duduk berhadapan dengan kedua polisi tersebut. Gito menyatakan kalau tak tahu jika Bu Dokter dalam pencarian selama seminggu.Pria muda ini menceritakan semua kejadian semalam kepada dua polisi tersebut. Polisi meminta kesediaan Bu Lastri dan Gito untuk datang ke kantor sebagai saksi dalam kasus meninggalnya Bu Dokter. Bu Lastri bersedia ikut bersama mobil polisi, sedangkan Gito akan datang setelah selesai urusan dari Pak Kiai.Kedua polisi pamit dengan mengajak Bu Lastri ikut serta dan Gito
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu