“Saya gak punya keluarga di sini. istri dan anak ada di luar kota. Biarlah saya sendiri sampai sembuh. Kapan sayabl boleh pulang? Biaya perawatan segera saya bayar," ucap Pak Brahim yang membuat perawat ikut prihatin dengan keadaannya.“Tunggu pemeriksaan dokter. Banyak istirahat, Pak. Usahakan jangan banyak gerak,” pungkas perawat sambil memasukkan alat-alat kembali.Pak Brahim menanggapi semua saran perawat dengan anggukan. Pak Brahim merasakan nyeri di punggung mulai berkurang setelah obat bereaksi.“Bu, tolong kasih obat yang bisa mempercepat pengeringan luka. Berapa pun harganya saya bayar sekarang,” kata Pak Brahim sembari berganti posisi.“Coba nanti dikonsultasikan dengan dokter. Saya tinggal dulu. Permisi,” balas perawat lalu beranjak meninggalkan ruangan.Sepeninggal perawat, tinggal Pak Brahim merenungi peristiwa yang telah ia alami setelah ikut ritual pesugihan bersama mendiang Indarti. Hanya kenangan bersama wanita ini yang tak bisa dilupakan begitu saja.Apalagi kini, an
“Ada apa lagi dengan Mbak Dinda?” tanya Pak Kiai sembari mendekat ke arah mereka.Sedangkan sang pemuda mengiringi langkah Pak Kiai dengan pandangan memidai seisi ruangan. Pak Kiai yang mengetahui perilaku sang pemuda hanya tersenyum. Ia juga paham yang dirasakan oleh pemuda tersebut.“Mas Gito merasakan juga?” tanya Pak Kiai masih dengan senyum ramahnya.“Iya, Kiai. Ada hawa yang berbeda dalam ruangan ini. Ada kekuatan tak kasat mata mengelilingi pasien ini,” jawab pemuda tersebut tetap dengan pandangan mata menatap seluruh ruangan.“Nanti kita bicarakan lebih lanjut. Sekarang kita disembuhkan pasien dulu,” jelas Pak Kiai sembari bersiap membaca doa.Kemudian pria bersorban ini meminta tolong yang lain untuk ikut membaca surat Al-Fatihah dilanjut dengan surat Yasin. Setelah pembacaan kedua surat selesai, ia meminta ketua panti dan kedua perawat memegangi kedua kaki Dinda dan juga tangannya.Pak Kiai dibantu Gito mulai membaca surat khusus rukiah. Di tengah pembacaan surat-surat terse
Waktu menjelang salat Isya, Dinda tak datang juga. Ia adalah gadis lugu yang tak pernah mau membeli ponsel, meski dari jerih payah sendiri. Kini, Bu Lastri hanya bisa mengandalkan komunikasi dengan pihak swalayan saja dan ternyata Dinda telah pulang dari jam 4 sore tadi.“Ke mana Nduk Dinda, ya?” tanya Bu Lastri seraya mondar-mandir di teras panti. Kedua mata wanita ini tak lepas dari jalan raya yang berjarak 100 meter dari ia berdiri.“Bu, biar saya cari ke ke tempat temannya,” usul perawat paling senior di panti tersebut.“Oh, ya, Mbak. Minta tolong. Tau sendiri, adikmu itu sering syok. Moga aja, gak ada apa-apa. Ya Allah, lindungi dia,” timpal Bu Lastri seraya mengelus lengan Murti perlahan.“Aamiin. Baiklah, saya pamit dulu, Bu.”“Ati-ati di jalan, Mbak.”Murti pun segera beranjak pergi dan kini tinggal Bu Lastri menatap kepergiaan sang anak asuh dengan motornya.•••¤•°•¤•••“Maaf, Nyonya. Saya harus segera pulang, udah sore,” ucap Dinda sembari bangkit dari sofa dalam ruang tamu d
“Wanita ini yang akan dijodohkan sama aku, Bu,”sahut Gito dengan tersenyum lalu menoleh ke arah Dinda.“Lah, kok bisa? Kenapa ini?” Bu Teti—ibu Gito—semakin heran dengan ucapan putranya. Wanita separuh baya ini pun mempersilakan Dinda untuk duduk. Wanita muda berpakaian lusuh ini duduk dengan hati-hati karena sedikit merasa nyeri di luka lututnya setelah berusaha kabur barusan.“Dek Dinda ini, yang akan dijodohkan dengan aku. Barusan aku tolong, dia lari ketakutan dari panti. Kayaknya di antara penghuni panti ada yang disusupi siluman yang buru dia ini,” jelas Gito yang buru-buru mengintip dari balik tirai ke arah jalan sambil menunjuk ke arah Dinda.Gito barusan dengar suara Bu Lastri dan dokter yang merawat luka Dinda sedang menuju arah teras. Pria muda ini merasa ada ‘sesuatu’ dengan dokter wanita yang telah jadi dokter tetap untuk asrama putri.“Dek, Mas antar ke ponpes, aja,” ucap Gito lirih lalu berlari ke arah kamar mengambil jaket, senter, sarung dan juga dua pasang kaus tang
“Siapa yang menzalimi Mbak Dinda? Kami berusaha agar gak membahayakan orang lain,” sahut Bu Dokter bernada jengkel karena merasa tersinggung dengan perkataan Pak Kiai.Seisi ruangan seketika menoleh heran ke arah Bu Dokter, sedang Pak Kiai hanya tersenyum penuh arti. Gito cepat tanggap dengan jetikkan jari tangan Pak Kiai, dia segera masuk lalu kembali membawa botol bekas sirup.Ketiga wanita di hadapan mereka keheranan melihat yang dibawa Gito. Kedua pria tersebut segera melafazkan doa dan zikir. Mereka khusyuk melakukannya, hingga tiba-tiba terdengar suara lengkingan dari mulut Bu Dokter.“Aach ....!”Tubuh wanita berjas putih tersebut kejang sesaat lalu tanpa diduga melayang hingga hampir menyentuh plafon ruang tamu. Tak ada suara maupun gerakan dari Bu Dokter. Tubuh tersebut diam dan melayang bagai kapas.“Astaghfirullah hal azhim!” teriak histeris Bu Teti bersama Bu Lastri.“Bantu baca Al-Fatihah, Ibu-ibu,”saran Pak Kiai sembari mendongak melihat tubuh yang terlentang menghadap p
“Saya minta maaf pada semua. Saya dalam keadaan gak sadar itu. Kasian Mbak Dinda. Ke mana dia?” tanya Bu Dokter sembari menitikkan air mata.Tampak penyesalan dari raut wajahnya dan Bu Teti sekilas memandang permata warna hijau di ujung liontin kalung yang dipakai oleh Bu Dokter. Wanita berumur separo abad ini kenal betul dengan permata tersebut.Bu Teti mengingat hal tersebut sampai Bu Lastri dan Bu Dokter beranjak pulang. Namun, belum juga bisa tahu jawabannya. Akhirnya, saat Gito hendak berpamitan antar Pak Kiai, wanita separuh baya ini baru bisa mengingat soal permata hijau.“Le, Ibu tadi liat permata hijau di liontin Bu Dokter barusan,”ujar Bu Teti pada anak semata wayangnya ini.“Emang kenapa, Bu?” tanya Gito sembari melihat Pak Kiai yang sudah menunggu di dekat motor.“Itu milik yang punya rumah kosong dekat warung Bu Hesti,” ungkap Bu Teti yang seketika membuat Gito terperanjat.“Hah! Kenapa ada di Bu Dokter? Entar kita bahas. Aku mau antar Pak Kiai dulu. Assalammu’alaikum,” k
“Permaisuriku. Akhirnya kita bisa bertemu. Kini tak ada lagi yang bisa menghalangi kita,” ucap sosok berbulu lebat lirih bersama embusan dinginnya udara pagi.“Siapa kamu? Lepaskan dia!” teriak Gito bersama Pak Kiai yang berjalan setengah berlari ke arah sosok tersebut.Sosok tersebut menghilang dan tubuh Dinda tergeletak di bawah pohon mangga. Gito melepas jaket lalu membopong tubuh wanita muda tersebut naik ke bentor yang telah dipesan dari semalam.“Saya pamit, Kiai. Assalammu’alaikum,” ucap Gito sembari menyalami Pak Kiai lalu segera naik ke bentor.“Wa’alaikummussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Disegerakan saja, Mas. Semoga ini jalan kalian.”“Aamiin. Insyaallah, Kiai.”Bentor pun meninggalkan lingkungan ponpes menuju panti asuhan. Selama perjalanan, Gito membisikkan ayat-ayat suci agar sang wanita yang telah berhasil membawa separuh jiwanya ini segera siuman.“Sayang, ada apalagi ini? Mas jadi khawatir dengan keselamatanmu,” ucap Gito sembari memeluk tubuh Dinda yang menggigil
Paaakk ... lariii ...!” teriak sang sopir sambil menyeret lengan sang bos.Pak Brahim segera tersadar langsung berlari ke arah mobil dan segera berlalu. Sepeninggal kedua pria, tampak di tengah air muncul kepala naga amat besar dengan mata membara dan lidah berapi menjulur yang gagal mendapat mangsa.“Kurang ajar, kau, Brahim!” Tiba-tiba kuncen Gunung Kemukus muncul di pinggir pantai tak jauh dari jilatan kepala naga yang membara. Pria renta ini sangat murka dengan kelakuan menyimpang sang murid. Gagal sudah memberi makan peliharaan Ratu Gunung. Kuncen tersebut sibuk putar otak agar mendapat darah suci anak hasil ritual.Sekilat cahaya tubuh pria renta ini lenyap. Hanya tersisa desiran angin bersama lenyapnya cahaya kehijauan mutiara serpihan sirip ajaib sang ratu.Berjarak tiga puluh kilometer dari pantai, mobil milik Pak Brahim telah sampai ke sebuah hutan kecil. Pria berkepala plontos ini meminta sang sopir memarkir mobil di pinggiran hutan. Setelah turun dari mobil, berdua dengan