“Pak, tolong antar saya,” ucap Indarti sembari melihat sang putri kecil sedang tertidur pulas dalam dekapan.“Ke mana, Bu?”“Jalan aja dulu. Nanti juga tau,”Pak Sopir mengiringi langkah sang majikan dengan perasaan was-was. Pria ini merasakan ada keadaan darurat yang dialami sang majikan atau bayinya. Namun, tak terlihat wajah kecemasan di raut wajah majikan wanitanya. Selama perjalanan Indarti tak banyak ngomong dan lebih mengherankan di mata sang sopir, bayi mungil dalam gendongan tak rewel sama sekali.Ada masalah apa?Siapa yang sakit?Pak Sopir sibuk memikirkan keadaan majikan dan bayinya.Pria yang sedang mengemudi ini terkejut, tiba-tiba Indarti berteriak, “Putar balik, Pak! Kita ke Panti Asuhan Siti Hajar yang barusan tadi.”“Kok ke panti asuhan, Bu?” tanya sang sopir yang semakin keheranan oleh perilaku majikan wanitanya ini.“Udah, ikuti saya, aja,” tegas Indarti sambil menatap kedepan saat mobil balik arah.Mobil jalan perlahan agar tak terlewat lagi. Beberapa meter di dep
“Terima kasih atas bantuanmu. Biarlah aku sendiri yang hadapi dia. Karena yang punya perjanjian hanya aku dengannya,” ucap Indarti yang tetap tersenyum terhadap bayangan di cermin.Sosok tersebut tak bisa berbuat banyak karena wanita didepannya punya perjanjian gaib. Kini, waktu yang diinginkan sendiri oleh Indarti.“Sang Ratu, aku telah siap kau jemput. Tak ada berontak lagi karena aku telah serahkan diri sejak awal menyembahmu,” ucap Indarti mantap yang telah berdiri sembari menghadap sebuah 1mabkhara.1[tempat bakar dupa]Dalam wadah tersebut Indarti telah membakar kemenyan. Asap mengebul hasil dari pembakaran. Indarti menghidupkan sebuah dupa lalu dengan mata terpejam memegang dupa di kedua tangan lalu mengangkat kedua siku. Dari kedua bibir wanita ini meluncur mantra pemanggil.Dalam beberapa detik, tampak asap beraroma bangkai memenuhi ruangan. Indarti geming tak goyah oleh bau tersebut. Asap semakin menggumpal lalu menyelubungi sosok yang benar-benar mengerikan.Sekujur tubuh di
“Tubuh dengan roh lain. Anak kami diselamatkan dari ancaman Ratu Ular.”“Maaf, Pak. Saya jadi bingung.”“Pak Sopir bermalam di sini. Besok, tolong antar saya melihat keadaan panti asuhan. Sesuai surat ini, saya belum boleh menemui anaksaya secara langsung. Agar sama-sama aman.”“Baik, Pak. Oh, ya. Ini titipan dari Ibu juga,” ucap sang sopir segera menyodorkan sebuah tas kecil kepada Pak Wardoyo.Dalam surat beramplop cokelat disebutkan bahwaada tas kecil di tempat tersembunyi dalam mobil. Kini tas tersebut telah disampaikan ke Pak Wardoyo. Pria ini segera membuka tas lalu menilik isinya.Ada beberapa buku tabungan beserta kartu ATM di masing-masing buku. Pak Wardoyo kaget bukan main melihat jumlah total nominal saldo yang tercantum.Dalam sebuah surat yang terdapat dalam tas, tertulis bahwa separuh harta adalah hak milik anak. Tertera nama seorang notaris di samping nama Indarti di surat tersebut.“Sekarang Ibu ada di mana?” tanya Pak Wardoyo setelah memasukkan kembali surat wasiat ke
“Cepat lari! Biar aku hadang belatungnya.”Terdengar teriakan dari makhluk tersebut dan kedua pria ikuti perintahnya. Mereka berlari tanpa henti hingga kehabisan tenaga dan jatuhpingsan.•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••“Pak, udah enakan?” tanya seseorang menyapa Pak Wardoyo sesaat setelah siuman.Pak Wardoyo mencoba mengamati sosok yang berdiam di pinggir ranjang. Dengan pandangan mata yang masih kabur, ia mencoba tersenyum. Kedua mata memidai keliling ruangan dan hanya ada tembok dan tirai berwarna putih.“Aku ada di mana?” tanya pria berwajah bersih yang kini pucat pasi.“Bapak ada di rumah sakit. Tenang dulu,” jawab sosok pria yang tak lain adalah Pak Brahim.Pak Wardoyo merasa tangannya perih dan berat, ternyata selang infus sedang terpasang di lengan kiri.“Kenapa aku di sini? Pak Sopir di mana?” tanya pria ini sembari melihat penampakan Pak Brahim yang semakin jelas.“Maaf. Pak Sopir meninggal dunia tertabrak mobil,” jawab Pak Brahim dengan ekspresi sedih.“Jenazahnya sudah dikuburkan oleh
“Boleh saya jujur? Agar Pak Wardoyo tahu kebenaran tentang makhluk hijau tersebut,” pungkas Pak Brahim memberanikan diri.“Silakan, Pak! saya memang penasaran sekali mengenai hubungan makhluk itu dengan istri saya.”Pak Wardoyo yang terbaring berkata sembari membenahi letak lengan yang dipasang infus.“Sebenarnya kami ...mencari pesugihan.”Pak Wardoyo seketika terperangah mendengar pengakuan dari mulut pria berkepala plontos barusan. Pak Wardoyo berharap perkataan teman bisnis sang istri tersebut hanya sebuah kelakar semata. Namun, nyatanya tak ada ekspresi tersenyum di wajah Pak Brahim. Pria berkepala plontos ini tampak serius dengan pandangan menunduk.“Maafkan saya! Itulah kenyataannya,” tegas Pak Brahim“Jadi usaha istri saya laris selama ini karena pesugihan?” tanya Pak Wardoyo dengan tergagap.Pak Brahim mengangguk pelan demi menjaga hati pria di hadapannya. Memang terasa berat dan menyesakkan dada dari kedua pihak. Namun, Pak Brahim harus berani mengungkap semua sekarang, kare
Pak Wardoyo bergegas memegang gelang giok dengan jemari. Wanita renta ini meludah ke arah Pak Wardoyo dan ajaib ludah tersebut berubah menjadi asap sebelum menyentuh kulit wajah pria tersebut. Tentu saja, sang nenek tampak berang melihat lontaran ilmunya tak berefek ke sasaran.“Bangsat! Mustafaaa, keluar kamu ...!” teriak wanita renta ini dengan wajah merah padam.Ajaibnya! Teriakan sang nenek yang bergema seisi ruangan, tak berpengaruh terhadap sekeliling. Terbukti, tak ada siapa pun, termasuk perawat yang masuk ke ruangan. Aktivitas di luar kamar perawatan terdengar normal, tak ada yang mencurigakan.Pria berumur 50 tahunan ini mencoba bersikap tenang, meski detak jantung berpacu bagai laju roda kereta. Nenek berwajah bengis ini tak berhenti sampai di situ. Ia semakin emosi karena teriakannya tak ada tanggapan dari Mustafa.“Kamu mau bermain-main denganku rupanya, jin bau kencur. Baiklah! Akan kuturuti. Manusia ini, kayaknya asik juga untuk hiburan,” ucapnya sambil tertawa terkekeh
“Saya gak punya keluarga di sini. istri dan anak ada di luar kota. Biarlah saya sendiri sampai sembuh. Kapan sayabl boleh pulang? Biaya perawatan segera saya bayar," ucap Pak Brahim yang membuat perawat ikut prihatin dengan keadaannya.“Tunggu pemeriksaan dokter. Banyak istirahat, Pak. Usahakan jangan banyak gerak,” pungkas perawat sambil memasukkan alat-alat kembali.Pak Brahim menanggapi semua saran perawat dengan anggukan. Pak Brahim merasakan nyeri di punggung mulai berkurang setelah obat bereaksi.“Bu, tolong kasih obat yang bisa mempercepat pengeringan luka. Berapa pun harganya saya bayar sekarang,” kata Pak Brahim sembari berganti posisi.“Coba nanti dikonsultasikan dengan dokter. Saya tinggal dulu. Permisi,” balas perawat lalu beranjak meninggalkan ruangan.Sepeninggal perawat, tinggal Pak Brahim merenungi peristiwa yang telah ia alami setelah ikut ritual pesugihan bersama mendiang Indarti. Hanya kenangan bersama wanita ini yang tak bisa dilupakan begitu saja.Apalagi kini, an
“Ada apa lagi dengan Mbak Dinda?” tanya Pak Kiai sembari mendekat ke arah mereka.Sedangkan sang pemuda mengiringi langkah Pak Kiai dengan pandangan memidai seisi ruangan. Pak Kiai yang mengetahui perilaku sang pemuda hanya tersenyum. Ia juga paham yang dirasakan oleh pemuda tersebut.“Mas Gito merasakan juga?” tanya Pak Kiai masih dengan senyum ramahnya.“Iya, Kiai. Ada hawa yang berbeda dalam ruangan ini. Ada kekuatan tak kasat mata mengelilingi pasien ini,” jawab pemuda tersebut tetap dengan pandangan mata menatap seluruh ruangan.“Nanti kita bicarakan lebih lanjut. Sekarang kita disembuhkan pasien dulu,” jelas Pak Kiai sembari bersiap membaca doa.Kemudian pria bersorban ini meminta tolong yang lain untuk ikut membaca surat Al-Fatihah dilanjut dengan surat Yasin. Setelah pembacaan kedua surat selesai, ia meminta ketua panti dan kedua perawat memegangi kedua kaki Dinda dan juga tangannya.Pak Kiai dibantu Gito mulai membaca surat khusus rukiah. Di tengah pembacaan surat-surat terse
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu