"Ada yang bisa saya bantu? " tanya dokter ramah itu.
"Begini dok. Saya ... mau tanya tentang ... surrogasy," Tanya Aini sedikit terbata. Ia terlihat gugup dan memilin ujung jilbabnya.
"Baik bu, akan saya jelaskan tentang surrogate mother atau sewa rahim atau lebih dikenal dengan ibu pengganti, adalah seorang wanita yang disewa rahimnya dengan perjanjian tertentu. Ia bertugas untuk mengandung, melahirkan dan menyerahkan bayi kembali kepada keluarga yang menyewanya. Pembuahan terjadi memakai metode InVitro Fertilization atau lebih dikenal dengan program bayi tabung. Akan tetapi di indonesia surrogate mother di larang keras. Karena bertentangan dengan etika dan norma. Pelakunya bisa dipidanakan."
Penjelasan dari dokter, membuat wajah Aini berubah masam. Dia terlihat sangat gelisah dan tidak nyaman dengan jawaban dari dokter yang tak sesuai dengan keinginannya.
"Apa ada jalan lain dok bagi seusia kami untuk mempunyai anak?"
"Bapak dan ibu bisa mencoba program bayi tabung. Walaupun tingkat keberhasilannya kecil, mengingat usia anda sudah di atas empat puluh tahun."
"Tapi saya sudah tidak punya rahim, Dok. Maka dari itu saya membutuhkan surrogate mother. Apa dokter bisa membantu saya? "Aini bertanya penuh harap.
"Maaf, tidak bisa, Bu. Yang diperbolehkan, pembuahan sperma dan ovum itu dari pasangan suami istri yang sah dan ditanam kembali di rahim istri, tidak bisa memakai ibu pengganti. Itu kalau aturan di sini. Maaf hanya itu yang bisa saya jelaskan. Atau mungkin ibu bisa mencoba keluar negeri. Mungkin saja di sana masalah ibu bisa teratasi."
"Dok, tolong bantu saya. Saya mohon!"
"Sudahlah Aini, ayo kita pulang. Terima kasih dok!" Erlangga menjabat tangan dokter Elsa dan menarik lengan istrinya keluar ruangan.menuju tempat parkir. Sepanjang perjalanan, dada Erlangga terasa meletup. Gejolak emosi yang disebabkan oleh istri pertama.
"Masuk! Bikin malu saja!" Erlangga membuka pintu mobil dan memaksa Aini masuk ke dalam mobil. Erlangga kesal dengan sikap Aini yang memaksa dokter itu membantunya. Itu hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Sepanjang perjalanan mereka terdiam. Aini menatap keluar jendela. Ia merasa beban hidupnya sangat berat.
Pandangannya tertuju kepada anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan.
Ingatannya kembali ke masa kecil saat masih tinggal di panti asuhan. Ia merasa bahagia walau tidak tahu siapa ayah dan ibu kandungnya. Ibu asuh panti menemukan Aini saat masih bayi di depan pintu panti asuhan.
Dan pada usia dua belas tahun, Ayah Martha membawa Aini ke rumahnya untuk dijadikan anak asuh. Keluarga mereka sangat baik, dan Aini diperlakukan sama seperti Martha, anak kandung mereka.
Pada saat usia Aini menginjak 25 tahun, Erlangga, pria yang mengisi hari-harinya sejak tujuh tahun lalu menyuntingnya dan bersumpah di depan penghulu dengan wali hakim. Indah sekali saat Aini mengenang masa-masa itu.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di rumah. Wajah Erlangga masih terlihat kesal. Ia turun dari mobil tanpa mempedulikan Aini.
“Mas, tungguin dong!” Teriak Aini.
Erlangga membalikkan badan. “Apa?! Mau dibukakan pintu mobil seperti di sinetron-sinetron, begitu?!” jawab Erlangga dengan kesal.
Bibir Aini mengerucut. Dia sudah sangat hafal dengan sifat suaminya jika sedang kesal.
Erlangga memencet bel berkali-kali hingga pintu dibuka oleh Martha. Pria yang sedang kesal itu masuk tanpa sepatah katapun terucap. Terlihat sekali kekesalan masih menyelimuti wajahnya.
Tanpa basa basi, Aini mengekor di belakang suaminya.
"Bagaimana Erlangga?" Martha mencoba bertanya. Erlangga menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Martha.
"Kamu tanya sama adik kamu itu! Bikin malu saja!" Erlangga balik badan dan berjalan menaiki anak tangga satu persatu.
"Bagaimana, Aini?"
"Nanti aku ceritakan, ayo kita susul mas Erlangga kak. "
Aini dan Martha menyusul suami mereka.***
"Mas, malam ini kan jatah malam kak Martha." Aini mengingatkan suaminya saat akan membuka pintu kamarnya.
"Terserah! mau di mana saja juga sama tetap nganggur!"
Erlangga berbalik arah menuju ke kamar Martha. Langkahnya terhalang oleh Adelia dan temannya.
"Pah, Adel. ijin mau nganter bunga dulu, boleh? " Erlangga menatap ke arah teman Adelia.
Matanya melotot nyaris keluar, rahangnya gemerutuk menahan amarah."Kamu?! ngapain kamu ke rumah saya?! keluar kamu dari sini!" Erlangga berteriak seperti orang kesetanan.
Teman Adelia ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Adelia.
"Ada apa sih Mas? itu Bunga, temen adel sama Ratih." Aini mencoba menjelaskan kepada suaminya.
"Dia itu Room service di hotel kita! Aku tidak suka anak kita berteman dengan dia!" jawab pengusaha dibidang perhotelan yang terbilang sukses dan kaya raya."Mas, aku tidak pernah mengajarkan kepada anak- anak kita untuk pilih-pilih dalam berteman."
"Bukan itu masalahnya., Aini!"
"Lalu apa?"
"Dia berani menamparku saat aku masuk ke kamar tempat biasa aku beristirahat. Aku tidak tahu kalau ada dia sedang membersihkan kamar. Dia pikir aku akan menggodanya! Cuihh. aku tidak sudi. Bawa Dia keluar sekarang juga!" Amarah Erlangga kian memuncak."I ... Iya pah." Adelia menarik lengan Bunga dan segera berlalu dari hadapan papahnya.
Erlangga berlalu dengan kesal dan masuk ke dalam kamar di ikuti oleh Martha.
***
Martha menyiapkan baju tidur untuk suaminya. Erlangga segera menyambar pakaiannya dan pergi ke kamar mandi.
Martha duduk di depan meja rias yang berada di dekat pintu. Ia sengaja menaruhnya di situ supaya bisa leluasa memandang suami yang mulai dicintai.
Awalnya pernikahan ini hanya untuk menyelamatkan kehormatan Martha dari Yudi mantan suaminya. Yudi menceraikannya dengan alasan tidak bisa 'di pakai' lagi karena kanker serviks yang dideritanya. Dia jijik kepada istri yang sangat setia itu.
Bahkan Yudi merendahkan dirinya dengan mengatakan tidak akan ada lelaki yang mau menikahi wanita penyakitan seperti Martha. Saat itulah Aini menyelamatkan dengan menjadikan Martha sebagai madunya.
Awalnya Erlangga menolak mentah-mentah keinginanAini. Namun Aini memaksa suaminya. Akhirnya Dia mau menikahi Martha dengan syarat untuk tidak tidur dengannya. Martha menyetujuinya. Pernikahan tanpa cintapun terjadi hingga kini.
Tapi kini benih cinta mulai tumbuh di hati Martha. Kebaikan dan ketulusan hati sang suami membuat Martha jatuh hati kepadanya. Salahkah Aku? pertanyaan itu yang tidak akan pernah terjawab.
Erlangga keluar dari kamar mandi. Pria dengan dada bidang dan berbulu itu memakai kaos singlet yang mencetak dadanya yang bidang. Ia terlihat sangat gagah. Ditambah kulitnya yang putih bersih benar-benar membuat jantung Martha berdebar dan menginginkan sang suami.
Malam ini Ia ingin melakukan sesuatu untuk menarik suaminya. Martha pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaian tidur.
Martha keluar dari kamar mandi. Ia mematung di depan pintu kamar mandi. Jantungnya berdebar sangat kencang Ia merasa tidak percaya diri mengenakan lingerie yang super transparan berwarna biru muda.
Wanita berusia lima puluh tahun tapi masih terlihat sepuluh tahun lebih muda itu menatap suaminya yang sedang asyik dengan ponsel di atas ranjang. Memejamkan mata sejenak dan berdo’a dalam hati. Lalu memberanikan diri untuk menarik perhatian suaminya. Ia berjalan menuju meja rias dan melewati depan ranjang. Sengaja dilakukan untuk memancing perhatian suaminya.
Benar saja Erlangga menatap ke arah Martha dan membuat jantung wanita itu berdetak kian kencang.
"Martha! Apa-apa an kamu?! Apa kamu sedang berusaha menarik perhatianku?!" Erlangga terlihat tidak suka. Ia bukan orang yang pandai berbasa basi.
Pertanyaan itu membuat Martha terpojok. Tak menyangka dengan respon yang ternyata tak sesuai dengan harapannya.
“Jawab, Martha!”
"Ti ... tidak! aku hanya sedang mencoba baju lama saat ...."
"Saat kau akan bercinta dengan Yudi?! iya kan?!"" Tidak Erlangga, aku ...."Martha sangat ketakutan. Tangannya bergetar. Keringat mengucur deras di wajahnya.
Mengambil tissu dengan tangan gemetar, lalu membersihkan cucuran keringat pada wajah. Martha merasa serba salah. Jemarinya saling meremas, menandakan kegelisahan yang tengah dirasakan olehnya.
Erlangga meletakkan ponsel di ranjang dan berjalan mendekat ke arah Martha hingga membuat istri keduanya itu makin gelisah.
Erlangga menyentuh kedua bahu Martha yang tak tertutup kain membuat desiran halus dalam darahnya. Pria mana yang tidak menginginkan istri kedua yang begitu cantik dan menggoda. Namun Erlangga terlanjur mengunci hasratnya demi perjanjian yang telah disepakati dengan istri pertamanya. Entah untuk berapa lama dia harus menahan diri..
"Martha, maafkan aku yang tidak bisa memenuhi keinginanmu," ucap Erlangga dengan berat. Dia juga tidak ingin menyakiti hati istri keduanya yang begitu baik. Selama menjadi istrinya, dia bisa mengurus semua keperluannya dengan sempurna.
"Apa karena penyakitku?" Martha menyentuh lengan suaminya dan mengalungkan di leher jenjangnya.
"Bukan hanya itu.” Erlangga melepas tangannya, “Aku yakin kamu tahu alasanku."
"Karena Aini’ kan?" Martha beranjak dari tempat duduknya, lalu membalikkan badan.Kini keduanya saling berhadapan.
"Tapi aku juga istrimu Erlangga.Walaupun kita tidak bisa menjalani kehidupan suami istri yang sebenarnya, setidaknya biarkan aku tidur dalam pelukanmu. Setidaknya berikan kecupan di keningku sekali saja." Martha mulai terisak. Sekian lama dia menahan keinginannya."Sudahlah. Aku ngantuk." Erlangga memutar badan. Lalu berjalan menuju ranjang.
"Jangan lupa besok aku mau meeting dengan investor dari Turkey. Siapkan pakaian yang pantas." Erlangga menarik selimut dan menggigit bibirnya. Lalu menenggelamkan wajahnya di atas bantal untuk memusnahkan hasrat kelelakiannya yang mulai tergoda.Jika boleh jujur, Erlangga sangat menginginkan menyentuh tubuh molek dan menggiurkan. Lagi-lagi benteng kokoh yang telah dibentangkan oleh istri pertama, membuatnya lebih memilih meredam hasratnya.
Martha menghapus airmatanya. Rasanya terlampau pedih. Selalu saja begini saat dia membicarakan tentang hal ini. Tak ada respon ataupun jawaban yang membuat Martha puas. Selalu menghindar dari jawaban.
Martha mematikan lampu dan beranjak menuju peraduan dan tidur di samping suami yang sangat dicintainya.
Martha menatap wajah suaminya. Ia yakin suaminya hanya berpura-pura tidur.
Mencoba memejamkan matanya. Ia harus tidur dengan pulas karena besok harus mempersiapkan keperluan suaminya.
Seperti biasa Martha dan Aini berbagi tugas. Bagi yang mendapat jatah malam Ia harus mempersiapkan keperluan ke kantor dan juga sarapan pagi sekaligus makan malam. Erlangga jarang pulang di siang hari jadi tidak perlu mempersiapkan makan siang untuknya.
Sajian lengkap sudah tersedia di masing-masing piring yang ada di meja makan. Erlangga selalu membiasakan keluarga untuk berdisiplin dan menghargai waktu. Karena baginya orang yang tidak disiplin dan tidak bisa menghargai waktu sama saja tidak menghargai diri sendiri dan juga orang lain.Begitu juga dengan jam makan. Di waktu yang telah ditentukan mereka harus berkumpul di meja makan. Tidak ada yang harus menunggu lama ataupun tidak sarapan karena kesiangan. Semua harus pandai memanage waktu sendiri,Masing-masing sandwich dan segelas susu sudah berpindah ke dalam perut mereka. Adelia dan Ratih berpamitan untuk berangkat kuliah. Mereka mencium tangan Ayah dan kedua ibu mereka,Erlangga berdiri dan menenteng tas kerjanya. "Ayo, aku antar ke mobil, Mas!" Aini mengambil tas yang ada di tangan Erlangga.Erlangga melirik ke arah Martha yang sedang sibuk membereskan meja makan di bantu oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama lima belas tahun.Erlangga teringat ucapan Martha sem
Brakk..suara pintu di buka dengan kasar.“Mamah tunggu!“ suara Adelia mengejutkan kedua orangtuanya. Gadis itu berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Dadanya naik turun tak beraturan.Erlangga menurunkan tubuh Aini dari gendongannya.“Ganggu orang tua aja!“ Erlangga menggerutu.“Ada apa, Sayang?“ Aini menyentuh wajah putrinya.“Mamah, tolongin Bunga!“ Adelia menggandeng tangan Aini.“Iya. Tapi ada apa, Sayang? cerita sama Mamah!““Ayo, Mah! Cepetan! Nanti ceritanya di Mobil. Papah juga ikut!“ Adelia menarik lengan kedua orang tuanya.“Papah baru pulang kerja Adel. Cape!” Erlangga berusaha menolak ajakan putrinya.“Sebentar doang, Pah! “Walau kesal, Erlangga terpaksa mengikuti kemauan putrinya. Namun Aini mencoba untuk menenangkan suaminya. Dia yakin pasti ada sesuatu yang serius yang menimpa sahabat putrinya.Sopir pribadi juga sudah siap mengantar mereka. Mobilpun segera meluncur ke lokasi.****Mobil berhenti di depan rumah sederhana bernuansa betawi. Terlihat Bunga yang sedang
Bunga bermalam di kamar Adelia dan berbaring di samping sahabatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi matanya belum mampu terpejam. Dia terlihat begitu gelisah.Ucapan ayah sahabatnya itu masih terngiang jelas di telinganya. Ucapan yang sangat menusuk dan membuat hatinya hancur. Namun semua ucapan Pak Er memang benar. Tidak seharusnya Ia merepotkan orang lain karena perbuatannya sendiri.Namun tidak semuanya benar. Bunga dan keluarganya tidak menggunakan uang itu untuk berfoya-foya, melainkan untuk membiayai pengobatan ayahnya yang menjadi korban tabrak lari oleh pengendara sepeda motor. Ayahnya mengalami retak di bagian tulang rusuknya yang menyebabkan ayahnya harus berada di kursi roda sementara ini hingga kesembuhannya.Bunga menatap langit-langit kamar dan kembali memikirkan perkataan pria yang biasa Ia sebut dengan panggilan Pak Er. Kalau saja mau menerima si Boss gila yang sudah mempunyai istri empat dan entah berapa simpanan yang tak terhitung itu, mungkin saja
Hari masih pagi, sang mentari menyembunyikan sinar hangatnya. Suasana dapur sudah ramai. Terdengar ada sedikit keributan. Suara Aini berbicara dengan nada tinggi membuat Erlangga risih mendengarnya.Erlangga mengenakan kaos dan celana olahraga, siap untuk jogging yang sudah menjadi rutinitasnya disetiap pagi. Pria berkacamata itu menghampiri dapur untuk melihat apa yang terjadi.“Ada apa sih ribut-ribut?““Ini Mas. Bunga mau pamit pulang. Tapi aku khawatir kalau preman-preman itu datang lagi.“ Aini berusaha menjelaskan kepada suaminya.“Kenapa kamu yang repot?! Kalau dia mau pulang, pulang saja. Ngapain ditahan-tahan! Dia punya otak yang bisa digunakan untuk berfikir! “ ujar Erlangga berpura-pura cuek. Padahal jauh dalam hatinya tak ingin gadis itu pergi dari rumahnya.Bunga terdiam, Ia mencoba mencerna perkataan pria itu. Walaupun terkesan kasar, setiap kata yang terlontar dari mulut sadisnya penuh makna.Bunga mencoba mengulang memory di otak tentang kejadian semalam. Keberuntungan
Bunga tersadar dan menatap langit-langit kamar dan juga sekelilingnya. Pandangannya kabur. Namun perlahan dapat melihat jelas orang di sekelilingnya. Adik lelaki dan ibunya duduk di tepi ranjang sambil memijit kakinya. Ayahnya duduk di kursi roda, Aini dan juga Martha duduk di kursi dan memegang lengannya seraya menguntai senyum manis penuh ketulusan.“Kenapa Bunga ada di sini, Tante? bukan kah tadi Bunga ....”“Bunga. Kamu tadi pinsan di jalan dan ada orang yang mengantar kamu kesini.”Aini membelai rambut Bunga dengan lembut.Bunga membisu. Ia tidak melihat Pak Er ada di sini. Bunga ingat betul tadi dirinya yang mengantar ke rumah Suryo. Bagaimana nasib beliau kini. Apakah beliau mengalami kesulitan.Bunga tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau gara-gara menolong dirinya, Pak Er jadi celaka. Bunga beranjak dari tempat tidur dan semua orang menahannya.“Bunga. Kamu mau kemana? istirahatlah dulu.” Martha berusaha mencegahnya.“Tidak, Tante, Bunga harus menolo
”Siapa, Bunga? katakan!” Aini makin penasaran dan terus mendesak Bunga.“Bunga sendiri, Tante,” Jawab Bunga lirih. Dan semakin menundukkan kepala lebih dalam. “Apa?!” jawab Martha dan Aini berbarengan.“Kamu jangan bercanda, Bunga. Tante enggak suka!” ucap Aini.“Bunga serius, Tante. hanya dengan cara ini Bunga bisa membalas budi kepada keluarga Tante. “ Bunga memberanikan diri menatap wanita yang sangat dihormatinya. Seorang wanita yang berhati mulia tapi mendapat cobaan yang sangat berat.“Tidak, Bunga. Tante tidak setuju! Kamu masih muda. Tante tidak akan membiarkan kamu terkungkung dalam ikatan ini. Lagi pula Kami tidak pernah mengharapkan balasan apapun dari kamu, sayang, Tante ikhlas.”“Justru karena Bunga masih muda dengan harapan berhasil lebih besar. Bunga juga ikhlas Tante. Masa depan Bunga bisa drajut kembali setelah tugas selesai.” Bunga menggenggam jemari Aini dan mencoba meyakinkannya.“Cukup Bunga! Tante tidak mau merusak masa depan kamu. Kamu masih gadis. Kalau kamu
“Justru karena aku mencintai kamu. aku ingin kamu bahagia dan punya anak dari benih kamu, Mas. Berkali-kali aku sudah membicarakan ini.” Aini juga berdiri dan balas menatap tajam suaminya.“Aku tidak mau! punya istri dua saja Aku belum bisa bertindak adil kepada Martha. Aku banyak dosa padanya! dan itu menjadikan aku beban di dunia dan akhirat! mikir enggak sih kamu! belum lagi perkataan orang lain di luar sana, mereka akan menganggap aku lelaki hidung belang yang doyan main perempuan! asal kamu tahu, biarpun aku tidak pernah mendapat kepuasan bathin dari kamu tapi aku tidak pernah jajan sekalipun, aku setia Aini!” Erlngga berteriak di depan wajah Aini persis. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada istri tercintnya itu.“Aku tahu Mas. maka dari itu aku ingin kamu bahagia dengan menikahi Bunga untuk menjalankan program bayi tabung. Itu saja, bukan untuk menyuruhmu ‘tidur’ dengannya!” Aini menyentuh lengan suaminya untuk melembutkan hatinya. Namun Erlangga menepisnya dengan kasar.“B
“Kamu mikir apa sih?” Erlangga membuang muka. Ia tidak ingin istrinya tahu perubahan wajahnya.Erlangga memegang kedua bahu Martha dan menatapnya tajam.“Martha, tolong bantu aku untuk berbicara kepada Aini. Aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Lupakan keinginan untuk mempunyai anak kandung. Aku sudah punya Adelia dan Ratih, mereka anak-anakku.”Martha menatap kedua bola mata suaminya. Sulit bagi Martha untuk mengartikannya. Nalurinya mengatakan ada yang berbeda antara ucapan dan tatapan mata yang penuh keraguan.“Martha, Kamu dengar ucapanku?” Erlangga mengguncang bahu istri keduanya.Pertanyaan suaminya membuat Martha terkejut hingga membuyarkan semua lamunannya. “Iya, aku bantu.” Martha tersenyum sembari mengerjapkan matanya.“Terima Kasih, Martha.” Erlangga memeluk Martha begitu erat. Ada sedikit ringan di dadanya sekaligus kepedihan di hatinya. Ia akan kehilangan permata itu untuk selamanya.Martha tak menyangka suaminya akan memeluknya seerat ini. Ini adalah pelukan per
Aini menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan menutup mulutnya dengan bantal. Buliran bening membasahi pipinya. Sakit sekali rasanya. Terasa ada luka dalam dadanya. Walau berusaha untuk ikhlas tapi tetap saja sangat sulit menjalaninya. Mencoba mematikan rasa cinta juga tak semudah membalik telapak tangan. Pernikahan yang di jalani hampir separuh dari usianya. Tak mudah untuk melupakan kenangan indah begitu saja. Rasanya jijik kalau tubuh ini harus tersentuh oleh pria yang pernah merendahkan harga dirinya. Tangisan Aini semakin keras dan diapun berusaha untuk meredamnya.Terdengar pintu di buka dari luar. Aini buru-buru menghapus airmatanya dan berpura-oura tidur. Dia tahu pasti suaminya yang mendatanginya. Rasa kesal dalam hati masih belum bisa terlupakan. Seandainya bisa memilih, Aini tak mau kembali bersama suaminya. Namun rasa tanggung jawabnya sebagai orang yang telah menghancurkan rumah tangganya sendiri, Aini memilih untuk bertahan walau tak mudah. Ia akan mencoba memperbaiki s
Erlangga lalu beranjak dan mendekati ibu Aini, lalu mencium punggung tangan wanita yang seumuran dengan ayahnya. “Ibu, tolong restui kami.”“Iya Nak, ibu merestui kalian. Tolong, jangan sakiti lagi putriku lagi.”“Iya bu, saya janji.” Erlangga lalu memeluk ibu mertuanya.Warga yang berkumpul juga menjadi saksi penyatuan kembali dua hati yang pernah terpisah. Kebahagiaan tengah menyelimuti hati mereka. Duka lara telah lenyap dan berganti dengan kebahagiaan yang membayang di pelupuk mata.****Erlangga duduk santai bersama ketiga istrinya di ruang keluarga. Hatinya begitu lega. Masalah rumit yang menghampiri sedikit terurai. Istri pertama yang begitu dicintai telah menyatu kembali dalam bingkai suci. Erlangga begitu bahagia. Tak sedetikpun tatapan matanya lepas dari pandangannya.“Aini.”“Ya.”“Seperti yang telah aku katakan, Marta dan Bunga akan menempati rumah mereka masing-masing. Dan rumah itu masih di renovasi. Sebelum rumah itu jadi, aku mohon, tolong ijinkan mereka untuk tinggal
Bunga memegang tangan Aini, “Tidak tante, Pak Er suami tante, surga tante ada bersamanya. Tante yang harus kembali padanya, menjadi satu-satunya permaisuri. Bunga tidak punya hak apapun, biarkan Bunga yang pergi.” Ucap Bunga disela tangisnya. Ia melepas tangan Aini dan hendak berlari. Namun Aini menghentikannya dengan memegang lengan Bunga.“Jangan pergi, kamu juga punya hak terhadap suamimu. Hanya kamu yang bisa membuat Mas Erlangga bahagia. Percayalah pada tante. Jangan pernah meninggalkan suamimu.”“Tidak Aini, Kalau kamu bersikeras untuk bercerai, kami juga memilih untuk bercerai. Itu baru namanya adil!” ucap Marta tegas.“Tante Marta benar.”Erlangga melangkah mendekati ketiga istrinya. “Aini, aku janji akan berbuat adil kepada kalian. Aku akan memisahkan kalian. Rumah yang kita tempati akan menjadi milikmu, beserta separuh harta bersama yang kita peroleh saat hanya ada kita berdua. Aku akan segera mengurusnya ke notaris. Aku juga akan membelikan rumah kepada Bunga dan Marta, wala
“Tidak bisa begitu Aini! Erlangga tidak menghianati siapapun! Bunga juga istrinya. Dan jangan lupa, semua terjadi karena kebodohanmu yang membawanya masuk kedalam kehidupan rumah tanggamu, termasuk juga diriku! Apa artinya aku juga menghianatimu?!” Marta berusaha mengingatkan kesalahan fatal yang Aini lakukan.Aini terkejut dengan kehadiran Marta. Ia menggelengkan kepala lalu menunduk lebih dalam dan makin larut dalam tangis. Tubuh Aini terasa lemas lalu duduk dikursi kayu.Marta berlutut dihadapan Aini dan menggenggam kedua tangannya erat.“Aini, ingat, semua ide dari kamu. Dan saat itu Erlangga sudah menolak mentah-mentah keinginanmu. Dia manusia biasa yang pasti punya khilaf. Dia menolak, untuk menjaga hatinya hanya untukmu. Namun kamu mengabaikan dan terus mendorong suamimu untuk menikahiku dan juga Bunga. Tolong berfikirlah, Erlangga tidak pernah berkhianat. Hatinya hanya milikmu.”“Apa yang di lakukan bersama Bunga itu adalah kewajibannya sebagai suami dan juga memenuhi kebutuh
Rombongan para dermawan telah datang, Mereka mengendarai dua mobil mewah yang membuat berdecak kagum warga yang tengah menanti kehadirannya. Apalagi setelah rombongan turun dari mobil, benar-benar seperti melihat para bidadari yang sangat cantik dan seorang malaikat yang sangat tampan walaupun sudah cukup umur tapi penuh kharisma. Kulit mereka putih bersih bak mutiara. Benar-benar keluarga sempurna.Warga mengira-ngira tiga orang gadis yang seumuran dan berambut sama panjang itu kemungkinan anak dari pria tampan dan wanita berhijab yang teramat cantik. Namun aneh, satu dari tiga gadis itu menggandeng mesra lengan pria yang pantas menjadi ayahnya itu. Entahlah, mereka tidak peduli. Yang mereka inginkan adalah pembagian kotak nasi yang sudah membuat perut keroncongan.Setelah berbasa basi menyapa warga, para dermawan segera membagikan nasi kotak kepada warga yang mengelilingi mereka. Ada yang berpencar membagikan ke rumah warga yang tidak ikut berkumpul.Aini tersenyum menyaksikan warga
Marta turun dari mobil memakai pakaian kantor dan terlihat begitu cantik dan elegan. Benar-benar pantas menjadi seorang wanita karier yang sukses dalam pekerjaan dan urusan rumah tangga. Bukan hal yang baru bagi Marta, saat menjadi istri Yudi, Ia pun sudah sering menggantikan posisi suaminya saat sibuk dengan urusan pribadinya.Di tangan Marta, hotel milik Yudi makin ramai pengunjung. Gedung yang ada didalam hotelpun tidak pernah sepi dari penyewa. Marta melakukan pembenahan diseluruh aspek. Mulai dari perawatan kamar dengan menambahkan bunga hidup dan juga pemasangan wallpaper di dinding kamar, dengan tujuan membuat tamu betah berlama-lama menginap. Namun sayangnya, begitu hotel ramai, Yudi mengambil alih dan menyuruh Marta kembali menjadi ibu rumah tangga saja. Ia tidak suka dikalahkan oleh istrinya dalam segala hal.Marta masuk ke dalam rumah dengan pintu yang sudah terbuka. Ia melihat Erlangga tengah termenung disofa tamu. Marta mengecup punggung tangan suaminya lalu menghempaska
“Cari lebih teliti lagi. Sisir setiap sudut rumah yang ada disini! Tunjukan foto istriku! Siapa tau mereka ada yang pernah melihatnya! Kalau perlu tambah personil lagi! Kerja begitu saja tidak becus!” Erlangga begitu kesal. Rasa takut kehilangan Aini semakin mengikat bathinnya.“Baik pak, akan saya tambah personil lagi.”“Jangan hanya disatu titik saja! Perkampungan pemulung itu banyak! Sisir di setiap tempat, jangan sampai ada yang terlewat satupun! Aku tunggu di mobil, nafasku bisa sesak berada lebih lama disini!” tanpa menanti jawaban, Erlangga membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Roni menuju mobil. Dia tidak kuat kalau harus menahan nafas lebih lama lagi.Erlangga duduk dibelakang kemudi. Sudah hampir satu jam dia menunggu tapi belum ada kabar juga. Berkali-kali Ia menelpon Roni, tapi masih nihil. Erlangga menepuk-nepuk setir. Sesekali Ia memukul kemudi dengan kesal dan menyugar rambutnya lalu menghela nafas dan menghembuskannya kasar. Rasanya sudah tidak sabar dengan semu
Erlangga dan Marta datang ke panti asuhan begitu mendengar kabar dari ibunya kalau Aini pergi dari panti asuhan untuk tinggal bersama keluarga kandungnya. Hati Erlangga tak tenang, semalaman matanya tak mampu terpejam. Kesedihan dan rasa takut kehilangan Aini benar-benar mengguncang jiwanya. Tak henti-hentinya Erlangga mengutuk dirinya sendiri yang sudah menyakiti Aini. Karena perbuatannya, kini Ia harus kehilangan jejak wanita yang sangat dicintai.Erlangga turun dari mobil dan berlari menuju ibu kandungnya yang tengah mondar-mandir di teras. Erlangga langsung memeluk ibunya dan menangis dibahunya. “Ibu, kenapa ibu tidak mencegah Aini pergi?”Risma melepas pelukan putranya. “Ibu sudah berusaha Nak, bahkan seluruh penghuni panti juga sudah berusaha mencegahnya, tapi Aini bersikeras untuk tinggal bersama keluarganya. Dan itu sudah menjadi haknya.”“Terus, dimana dia sekarang?”“Ibu juga tidak tau Nak. Aini sama sekali tidak mau memberitau ibu, dimana orangtuanya tinggal. Dia hanya bila
Aini tiba dirumah orantuanya disambut oleh keenam adik dan juga seorang kakak yang semuanya perempuan. Kakaknya hanya selisih satu setengah tahun dari usianya, Ia belum menikah. Saat Aini bertanya kepada Kakaknya kenapa belum menikah, Kakaknya hanya menjawab, bagaimana ada lelaki yang mau sama orang miskin seperti kakak. Yang ada hanya orang-orang kaya yang mau menikahinya secara kontrak, dan dia tidak mau.Walaupun mereka orang miskin, tapi kedua orantua mereka selalu mengajarkan nilai-nilai luhur dan juga menjaga martabat dan harga diri. Wajahnya memang cantik, tapi sayang belum bertemu dengan jodohnya.Adik-adik Ainipun sama belum ada yang menikah, mereka berumur 37, 32, 28, 25, 20 dan 16 tahun. Mereka rata-rata menjadi pemulung membantu ibunya dan juga ada yang bekerja sebagai buruh cuci di laundry.Keterbatas pendidikan mereka yang rata-rata hanya lulusan SLTP membuat mereka susah untuk mencari pekerjaan. Hanya si bungsu yang masih menempuh pendidikan di salah satu SLTA negeri. G