“Gawat, bayi Nyonya Soraya hilang!”
Medicamento Hospital langsung dilanda kepanikan.
Bukan kepanikan yang gaduh, akan tetapi kepanikan yang senyap. Merambat tanpa kendali menembus benak dan hati hampir setiap dokter dan perawat, terutama mereka yang berada di lantai delapan.
Beberapa orang dokter dan perawat terlihat berjalan cepat setengah berlari di sepanjang koridor, bercampur dengan puluhan petugas keamanan yang melangkah tergesa-gesa dengan raut wajah cemas dan bingung.
Semua bergerak menuju ke ruang perawatan VVIP, tempat seorang wanita cantik berkulit putih yang belum genap berusia 22 tahun sedang menjalani perawatan pasca melahirkan.
Wanita muda itu adalah Soraya Clint, istri kedua Charles Sanjaya.
Beberapa jam yang lalu, dia baru saja melahirkan putra pertamanya. Dia baru melahirkan seorang bayi gemuk dan sehat yang merupakan cucu laki-laki satu-satunya dari Kakak Sanjaya, orang paling kaya dan paling berpengaruh di seantero negeri.
Bayi laki-laki itu adalah calon tunggal penerus dan pewaris tahta keluarga terkuat Morenmor!
Namun bayi itu hilang!
Bayi laki-laki itu diculik bahkan sebelum diberi nama!
Bayi kaya raya itu hilang tanpa sempat menyandang nama besar Keluarga Sanjaya sama sekali. Hanya sebuah tanda lahir berbentuk dua segitiga unik berwarna kecoklatan di bahu kirinya – yang menandakan bahwa dia adalah anggota Keluarga Sanjaya dari garis keturunan asli dan lurus.
“Maafkan saya, Nyonya!”
Seorang lelaki setengah baya bertubuh kekar berlutut memohon belas kasihan.
Dia adalah Roni, seorang pengawal Keluarga Sanjaya yang bertanggung-jawab menjaga keamanan Soraya dan bayinya. Terlihat sekali gurat ketakutan dan kepanikan menghiasi wajahnya yang masih menyisakan garis-garis ketampanan masa muda.
Soraya melirik Roni sekilas lalu bergumam pelan, “Cari sampai dapat! Temukan bayiku dan habisi penculiknya berikut seluruh keluarganya. Aku mau putraku sudah kembali sebelum matahari terbenam, atau – kamu dan seluruh keluargamu akan kehilangan kepala saat matahari terbit besok pagi!”
“Siap, Nyonya!”
Sesaat kemudian, lebih dari 80 orang pria bertubuh tegap yang mengenakan pakaian serba hitam dengan model potongan rambut pendek seperti tentara mulai bekerja.
Para pengawal yang semuanya mengenakan kacamata hitam dan perangkat komunikasi canggih seperti headset yang melingkar di kepala mereka itu terlihat memasuki dan menggeledah setiap ruangan tanpa kecuali.
Mereka memeriksa siapapun yang berada di gedung rumah sakit.
Semua dokter dan perawat dikumpulkan di aula dan ditanyai satu persatu. Beberapa di antaranya bahkan dipaksa meninggalkan pasien yang sedang ditangani.
Seperti kehilangan empati dan prikemanusiaan, para pengawal Keluarga Sanjaya itu bergerak tanpa peduli bahwa tindakan mereka sebenarnya terlalu berlebihan, hingga bahkan membuat pasien yang sebenarnya hampir sembuh – akhirnya kembali mengalami gejala yang justru lebih parah daripada sebelumnya!
Senyap dan rapi, akan tetapi brutal dan tanpa ampun!
Semua cara mereka lakukan untuk menemukan jejak sang pewaris yang hilang.
Namun, bayi Soraya tetap tak dapat diketemukan. Bayi itu hilang begitu saja, seolah memang tak diizinkan untuk mewarisi kekayaan dan kejayaan leluhurnya.
Matahari akhirnya terbenam dan tenggat waktu yang ditetapkan Soraya pun berakhir.
Roni pun pasrah.
Dengan langkah gontai, dia kembali ke ruang perawatan Soraya, lalu berlutut di hadapan nyonya kaya itu. Kepalanya tertunduk dalam, menyembunyikan wajahnya yang kini tak lagi berwarna.
Badannya yang kekar terlihat gemetar dilanda ketakutan dan rasa bersalah tanpa batas. Sementara keringat dingin sebesar-besar jagung tampak berlomba-lomba membasahi kening dan sekujur tubuhnya yang berotot.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya telah gagal. Saya mohon ijin, pamit undur diri. Besok pagi sebelum matahari terbit, saya beserta seluruh keluarga saya akan menghadap Tuan Besar untuk menerima hukuman!” ujar Roni lemah.
Soraya mendengus kesal.
Dia sebenarnya sudah memperkirakan bahwa Roni akan gagal.
Bagaimanapun, hanya kekuatan dan kekuasaan tanpa batas sajalah yang bisa melangkahi otoritas keamanan rumah sakit Medicamento Hospital. Apalagi, sampai berhasil menculik cucu orang paling berpengaruh di Morenmor.
Tentu itu akan berada jauh di luar jangkauan Roni yang cuma pengawal pribadi Soraya!
“Bukan salahmu!” desis Soraya datar dan dingin, mulai bisa menduga siapa sesungguhnya dalang penculikan ini.
Sebagai seorang istri kedua yang dinikahi karena istri pertama tidak mampu memberi keturunan laki-laki yang dapat menjadi penerus trah Keluarga Sanjaya, dia tentu menyadari maksud dan tujuan di balik tindakan gila penculik bernyawa seribu ini.
Soraya tahu, satu-satunya alasan peculikan bayinya adalah karena status bayi itu sebagai calon tunggal pewaris tahta Keluarga Sanjaya.
Bagaimanapun juga, pernikahannya dengan Charles baru diakui secara resmi lima bulan yang lalu. Dia baru diakui sebagai Nyonya Muda Keluarga Sanjaya ketika hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa dia tengah mengandung seorang bayi laki-laki.
Akan tetapi, sekarang … bayi itu hilang!
Tanpa bayi itu, Soraya hanya akan dianggap sebagai wanita pelakor yang tak tahu malu. Bukan tidak mungkin, dia juga akan segera diceraikan tanpa belas kasihan.
Soraya mengembuskan napas berat beberapa kali.
Sebuah rencana gila tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam benaknya.
Dia adalah Nyonya Muda Keluarga Sanjaya, tak mungkin akan membiarkan diri dipecundangi begitu saja tanpa melawan. Jika pihak lain ingin bermain, maka dia pun siap untuk bermain. Untuk kekayaan dan kekuasaan yang meliputi hampir sepertiga dunia, maka tidak akan ada kata menyerah!
“Ini bukan salahmu! Kamu tidak perlu menghadap Tuan Besar. Bahkan sebaliknya, Tuan Besar tidak boleh sampai tahu bahwa cucunya hilang. Peristiwa ini harus dirahasiakan. Perintahkan setiap orang untuk menutup mulut mereka rapat-rapat. Siapapun yang melanggar akan dihukum mati dan seluruh keluarganya juga akan dimusnahkan!” lanjut Soraya, dingin dan bengis tanpa kompromi.
Roni terperangah.
Dia hampir tak percaya pada pendengarannya sendiri. Kepalanya mendongak begitu saja, langsung menampakkan sepasang matanya yang memandang bingung ke arah Soraya.
Sekilas, dia dapat melihat kilatan jahat yang misterius memancar dari wajah nyonya muda Keluarga Sanjaya itu.
“Tapi bagaimana jika Tuan Besar ingin menengok cucunya?” tanya Roni, cemas.
“Kamu pasti tahu apa yang harus dilakukan!” jawab Soraya, ambigu.
“Baik – saya mengerti, Nyonya!” sahut Roni patuh.
Selanjutnya, pengawal pribadi Soraya itu segera beranjak meninggalkan ruangan.
Tak lama berselang, dia sudah kembali sambil menggendong seorang bayi merah berjenis kelamin laki-laki. Sementara di belakangnya, dua orang anak buahnya mengikuti sambil menyeret seorang wanita muda yang terlihat sekarat.
Sekujur tubuh wanita malang itu penuh dengan luka lebam, sementara wajahnya rusak dan tak dapat dikenali lagi karena dipukuli habis-habisan. Wanita itu meninggal dunia beberapa jam kemudian, tanpa pernah tahu kenapa dia harus bernasib semalang itu.
Roni kemudian menyerahkan bayi yang digendongnya kepada Soraya dan berkata, “Bayinya sudah ada, Nyonya!”
Bayi itu kemudian diberi nama Edward Sanjaya!
Tujuh tahun kemudian, Edward tumbuh menjadi seorang anak manja yang sulit di atur.
Semua keinginannya harus dipenuhi. Kalau tidak, dia akan menghancurkan apapun yang berada dalam jangkauannya. Jika sudah begitu, maka hanya Kakek Sanjaya yang dapat membujuknya.
Hari ini, Edward mengamuk lagi dan Kakek Sanjaya pun kembali harus membujuknya.
Kakek Sanjaya mengajak Edward berkeliling kota menggunakan sebuah mobil sedan klasik mewah berukuran besar warna putih yang ada hiasan patung perempuan bersayap di kap depan.
Mereka berkeliling Morenmor, memanjakan mata dengan beragam keindahan dan kemewahan yang ditampilkan di sepanjang jalan.
Orang-orang saling berpapasan tanpa saling menyapa. Sementara mobil-mobil meluncur tertib dalam pengaturan yang aneh. Tidak ada lampu merah atau rambu lalu lintas, namun mobil-mobil yang lebih murah akan selalu memberikan prioritas jalan pada mereka yang lebih mewah dan mahal.
Sepertinya, semua orang memang tahu persis mobil mana yang paling berhak untuk melaju tanpa hambatan!
Di sebuah perempatan, mobil mereka terpaksa berhenti.
Bukan karena ada mobil lain yang lebih mewah. Mereka berhenti karena ada sekelompok barisan tentara yang melintas.
Bagaimanapun, uang dan senjata adalah hukum satu-satunya di Morenmor. Walaupun uang dan senjata bisa membawa kemewahan, namun tak semua kemewahan mewakili uang dan senjata. Sudah sewajarnya jika kemewahan akan selalu tunduk pada senjata!
Edward sungguh terpesona melihat penampilan para tentara itu.
Seluruh tentara itu membawa senjata otomatis, namun tidak seorangpun yang mengenakan baju. Mereka hanya mengenakan celana loreng hitam, seakan ingin memamerkan dada bidang mereka yang berotot kepada seluruh penduduk kota.
Para tentara berlari sambil bernyanyi dalam barisan yang rapi dengan iringan suara derap sepatu boots yang mengalunkan irama penindasan tanpa batas.
“Aku mau jadi tentara!” Edward tiba-tiba berseru dengan antusias.
Kakek Sanjaya tersenyum, “Itu tidak masalah. Kamu bisa bergabung dengan militer kalau sudah besar nanti. Sejak dulu, keluarga kita memang banyak yang menjadi tentara. Bahkan, ayahmu sendiri adalah seorang Jenderal. Tapi untuk bisa menjadi tentara, kamu harus sehat dan kuat. Kamu juga harus rajin berlatih ilmu beladiri. Apa kamu siap?”
“Aku siap, Kek!” kata Edward cepat, bahkan tanpa berpikir.
Edward mulai berlatih ilmu beladiri satu minggu kemudian. Dia berlatih di bawah bimbingan Martin, Kepala Pelayan Keluarga Sanjaya yang juga merupakan orang kepercayaan Kakek Sanjaya. Kakek Sanjaya datang memantau perkembangan latihan Edward setiap beberapa hari sekali. “Bagaimana? Apakah kamu menyukai latihanmu?” tanya Kakek Sanjaya suatu hari. “Saya suka, Kek. Tapi aku bosan jika harus berlatih sendirian terus!” jawab Edward manja. “Jangan khawatir. Kakek akan menyuruh Martin agar mencarikan teman berlatih untukmu,” janji Kakek Sanjaya. Edward tersenyum senang. Dua hari kemudian seorang bocah kurus datang bersama Martin. Dia datang untuk menemani Edward berlatih ilmu beladiri. Nama bocah itu adalah Leon, tanpa nama keluarga di belakangnya. Dia adalah seorang anak yatim piatu berusia tujuh tahun yang diambil Martin dari sebuah panti asuhan. Kabarnya, dulu – tujuh tahun yang lalu – Leon ditinggalkan begitu saja di depan panti asuhan saat masih bayi merah. Waktu itu, tali pusarny
“Bangun!” Sebuah tendangan teriring bentakan keras memaksa Leon meninggalkan alam mimpi. Dia terbangun bahkan tanpa sempat mengumpulkan setengah dari kesadarannya. Tubuhnya terjatuh dari atas landasan treadmill yang selama beberapa jam terakhir telah menjadi ranjang tidurnya. Terhuyung-hutung, Leon berusaha bangkit dan berdiri. Dia mengejapkan matanya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang ternyata sudah lama meninggalkan peraduan. Samar-samar, dia akhirnya berhasil mengenali sesosok tubuh yang telah menendang perutnya yang bahkan belum diisi sejak kemarin. “Ma … maafkan saya, Tuan Muda. Saya kesiangan,” ujar Leon ketakutan. “Keterlaluan kamu! Bukankah aku sudah mengatakan agar kamu menjauhi barang-barang milikku? Tapi lihat – kamu bukan hanya menyentuh treadmill itu, kamu bahkan justru tidur di situ! Sepertinya, kamu benar-benar menganggap remeh ucapanku! Apa maksudmu sebenarnya, hah?!?” sahut Edward, membentak dengan sengit. “Maaf, Tuan Muda. Tadi mal
Waktu terus berlalu. Hari demi hari, Leon akhirnya mulai terlatih untuk menahan rasa sakit dan amarah. Perlahan tapi pasti, tubuhnya pun menjadi lebih kuat dan tangguh. Saat ini, dia tidak lagi mudah untuk dijatuhkan. Bahkan, segalanya kini mulai terasa jauh lebih ringan baginya. Seiring tubuhnya yang terus tumbuh menjadi semakin besar dan kuat, Leon pun menjadi jauh lebih tabah dan percaya diri dalam menjalani hari-harinya bersama Edward. Apalagi, pada kenyataannya, tubuhnya sekarang memang sudah lebih besar dan lebih kuat daripada cucu lelaki Kakek Sanjaya itu. Namun, walaupun tubuhnya telah tumbuh menjadi lebih tinggi dan lebih besar, Leon tak berubah menjadi tinggi hati dan besar kepala. Dia tetap membiarkan Edward memukulinya dan menjadikannya sebagai samsak hidup hampir setiap hari. Apalagi, saat ini pukulan Edward sudah tak lagi terasa menyakitkan baginya! Lebih dari itu, terkadang Leon justru menerima semua pukulan itu sambil tersenyum atau tertawa dalam hati. Entah bag
Nama lengkap Martin adalah Martin Sindoro. Dia sebenarnya bukan orang sembarangan. Sesungguhnya, dia adalah seorang master seni beladiri yang merupakan pengawal pribadi sekaligus orang kepercayaan Kakek Sanjaya. Selain ahli beladiri, dia juga memiliki keahlian pengobatan tradisional tingkat tinggi. Tidak berlebihan sama sekali jika dikatakan bahwa Martin adalah orang yang paling bertanggung jawab atas keselamatan dan kesehatan pemimpin Keluarga Sanjaya. Ahli beladiri dengan banyak keahlian itu sudah menjadi pengawal tersembunyi keluarga Sanjaya sejak usianya baru menginjak 20 tahun. Pada masa itu dia bertugas mendampingi sekaligus melindungi Charles Sanjaya, yaitu ketika putra tunggal orang terkaya di Morenmor itu masih menjalani pendidikan di universitas. Kemudian – saat masa awal Charles bergabung dengan militer – dia tetap melindungi putra Kakek Sanjaya itu secara rahasia. Saat itu, dia menyamar sebagai instruktur pelatih seni beladiri. Bahkan ketika Charles sudah menjadi perwi
Leon masih ingat betul pertemuan pertamanya dengan Martin dua tahun yang lalu. Orang kepercayaan Kakek Sanjaya itu datang ke panti asuhan dan mengajaknya untuk pindah ke kediaman Keluarga Sanjaya. Waktu itu, Leon dijanjikan akan diajarkan ilmu beladiri dan berlatih bersama-sama cucu Tuan Besar Keluarga Sanjaya. Siapa yang tidak mau? Mana ada orang di Morenmor yang tidak ingin tinggal di istana Keluarga Sanjaya yang terkenal megah dan mewah? Anak kecil mana yang tidak akan bangga bisa berlatih bersama seorang tuan muda dari Keluarga Sanjaya yang kaya raya? Tidak ada! Hanya orang gila yang tidak ingin hidup mewah bersama orang-orang kaya yang berkuasa. Namun, apa yang terjadi? Leon memang diizinkan untuk tinggal di istana Keluarga Sanjaya. Akan tetapi, dia hanya boleh memasuki tiga tempat saja. Yang pertama adalah wisma pelayan, tempatnya tidur bersama puluhan pelayan Keluarga Sanjaya yang lain. Lalu yang kedua adalah dapur, tempatnya bekerja sambil mengais sisa-sisa hidangan ma
Lectio High School adalah sekolah umum berasrama terbaik di Kota Morenmor.Hampir semua keluarga kaya dan terpandang selalu mengirimkan putra putri mereka untuk belajar di sekolah ini. Alasannya cuma satu, Lectio High School adalah sekolah yang hanya menelurkan generasi muda terbaik dengan prestasi dan nilai kelulusan yang menakjubkan.Lebih dari itu, sepanjang sejarahnya yang hampir menyentuh satu abad, belum ada satu orang pun siswa lulusan Lectio High School yang pernah ditolak untuk melanjutkan pendidikan ke universitas manapun di seluruh dunia.Akan tetapi, tidak semua orang dapat mengenyam pendidikan di Lectio High School.Hanya mereka yang memiliki status tinggi atau berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh sajalah yang dapat belajar di Lectio High School.Kecuali benar-benar berbakat dan memiliki otak jenius, maka tidak akan pernah ada kesempatan sedikitpun bagi anak-anak dari keluarga kaya kelas dua untuk bisa diterima di sekolah ini. Apalagi yang berasal dari keluarga bias
Sesi perkenalan masih berlangsung di kelas Edward dan Leon.Saat ini tinggal lima orang siswa yang belum mendapat giliran untuk memperkenalkan diri. Tiga di antaranya adalah murid perempuan, dan dua lainnya adalah laki-laki.Madam Barbara mengedarkan pandangannya sejenak, sebelum tatapannya jatuh pada seorang murid perempuan berparas jelita. Entah kenapa, dia merasa agak familiar dengan wajah siswi yang duduk di deretan kedua sebelah kiri itu.Kecantikan murid perempuan itu nyaris sempurna, cukup untuk membuat seorang bidadari jatuh dalam kecemburuan.Wajahnya bulat oval dengan dagu tirus yang ada belahannya. Sepasang matanya jernih bercahaya dengan bulu-bulu panjang dan lentik menghiasi kedua kelopaknya, berpadu sempurna dengan sepasang alis tebal yang hampir saling bertautan. Hidungnya mancung dan sedikit runcing seperti hidung boneka. Bibirnya tipis berwarna merah muda, khas anak perempuan yang sedang berangkat remaja. Sementara, sebuah lesung pipit di pipinya yang sebelah kiri men
“Bawakan tasku!”Edward melemparkan tasnya begitu saja ke arah Leon.Sesaat setelah itu, dua buah tas yang berbeda juga ikut melayang dengan arah yang sama. Kedua tas yang terbang belakangan itu adalah milik Bronson dan Robert.Sejak mengetahui bahwa Edward adalah cucu Kakek Sanjaya yang kaya raya, Bronson dan Robert memang telah langsung menjadikan diri mereka sebagai pengikut setia Tuan Muda Keluarga Sanjaya itu. Dan sebagai pengikut setia Edward, sepertinya mereka merasa mempunyai hak yang sama untuk ikut memperlakukan Leon sebagai pelayan.Akan tetapi sebaliknya, Leon justru tidak pernah peduli sama sekali dengan keberadaan mereka.Dia menangkap tas milik Edward dengan tangkas, namun membiarkan kedua tas yang lain jatuh begitu saja ke lantai.Bronson dan Robert langsung meradang melihat tas mereka jatuh hingga isinya berhamburan.“Hai – kenapa kamu menjatuhkan tasku?” bentak Bronson sengit.“Lihat, isinya sampai berantakan begitu! Kalau ada yang rusak, bagaimana? Apa kamu sanggup