6 bulan berlalu, Damar sudah bisa jalan hanya dengan menggunakan tongkat, bahkan sesekali ia berjalan tanpa tongkat. Kinar duduk di bangku kelas delapan dan Rea sudah kelas enam. “Ratih, tadi pemilik perusahaan video call denganku, beliau ....““Kenapa, Mas?““Aku sudah harus balik ke Kalimantan. Bekerja lewat online memang tidak bisa maksimal. Hendri harus bolak-balik ke sini dan itu membuat pekerjaan kantor keteteran.““Mas Damar menetap di sana?“ Ratih yang semula berdiri di dekat meja makan, kini sudah duduk di sebelah Damar di ruang keluarga. “Bukan menetap, tetapi lebih sering di sana daripada di rumah. Sabtu Minggu aku di rumah.““Apa Mas Damar nggak capek? Dengan kondisi Mas yang belum sehat betul?“ tanya Ratih khawatir, tetapi Damar menggeleng. “Sudah menjadi tanggung jawabku, Ratih. Toh, bandara tidak begitu jauh dari sini. Namun, ada satu janji yang belum aku tunaikan.““Apa itu, Mas?“ Ratih mengerutkan keningnya. “Aku ingin mengajak kamu dan anak-anak liburan ke luar n
Damar langsung menuju kamar tempat Ratih dirawat, ia belum bisa berlari. Namun, Damar berusaha berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Ratih. Sampai di depan kamar Ratih, Damar menarik napas panjang. Merasakan sedikit nyeri pada kakinya yang terluka. “Ratih kamu kenapa?“ ucap Damar begitu melihat istrinya terbaring lemah di ranjang. Kinar, Rea dan Bu Tutik mendekat, menyalami Damar. “Maaf, Mas ....“ “Maaf untuk apa? Apa yang terjadi sampai kamu dibawa ke sini? Apa sakit kepalamu kambuh lagi?“ tanya Damar cemas. Ratih malah menitikkan air mata. “Aku nggak bisa menyelematkan anak kita.“ Kini Ratih terisak. Damar yang terlihat bingung, hanya bisa memeluk Ratih sambil berpikir tentang apa yang terjadi. “Maaf, Mas Damar. Saya lancang menandatangi surat operasi pengangkatan janin tanpa minta persetujuan dari Mas Damar lebih dulu. Karena kondisi darurat dan kondisi Mbak Ratih yang semakin memburuk.“ Bu Tutik mencoba menerangkan apa yang baru saja terjadi. “Kamu mengandung, Ratih
[Sudah kutransfer, ya.]Wajah Ratih berbinar begitu menerima chat beserta bukti transfer dengan nominal sebesar lima ratus ribu rupiah. Ia segera mengambil kartu ATM yang biasa ditaruh di bawah pakaian yang tersusun rapi di almari. Ratih berlari menuju ATM terdekat yang jaraknya tidak lebih dari satu kilo. Di sepanjang jalan itu, Ratih tak henti mengulas senyum. Dalam otaknya mulai berhitung, beras lima kilo, telor satu kilo, mie kuah lima bungkus, satu liter minyak, satu kilo gula pasir dan sekotak teh celup. Totalnya hampir dua ratus ribu rupiah. Sisanya bisa untuk uang saku Rea dan Kinar selama satu minggu. [Uangnya sudah diambil?] Chat dari orang yang mengirim uang itu. [Sudah, Mas. Terima kasih.] balas Ratih. [Kalau ada apa-apa kabari aku. Nggak usah sungkan.]Pesan terakhir dari orang itu ditambah dengan tanda love berwarna biru. Orang yang baru beberapa bulan dikenalnya lewat aplikasi biru, dan mereka sudah sangat akrab. ***Namanya Ratih Wulandari--janda beranak dua. Suam
Teriakan Ratih membuat banyak orang mendekatinya. Ratih masih jongkok sambil memegang kakinya yang terluka. Beberapa orang berlari mengejar, tetapi tidak berhasil menangkap penjambret itu. “Bagaimana keadaannya, Mbak?" tanya seorang Bapak paruh baya yang membantu Ratih berdiri. Seorang Ibu berjalan cepat memberikan Ratih minum. “Kita bawa ke kantor Polisi saja,“ celutuk seorang lagi. Namun, Ratih melambaikan tangan. Ia masih mengatur napas akibat terjatuh tadi. “Nggak usah, Pak, Buk. Sudah nggakpapa.““Yang hilang banyak, Mbak?“ tanya Ibu yang memberi minum tadi. “Enggak, Buk. Cuma sedikit. Sama KTP saja, kok.““Ya sudah, kalau gitu, saya antar pulang ya, Mbak.“ Ibu itu kembali menawarkan bantuan. “Terima kasih, Buk. Saya kerja di toko setelah belokan itu. Nggak jauh, kok, saya bisa jalan kaki,“ tolak Ratih. Namun, ibu itu tetap memaksa ingin mengantar. Akhirnya Ratih menyerah dan mau diantar sampai toko. ***Galuh datang pukul sebelas. Biasanya ia ada di toko sebentar untuk men
“Teman Ibuk yang mana? Perasaan aku belum pernah denger nama itu sebelumnya.“ Kinar mengerutkan kening. Ratih berdiri, lalu berjalan menuju kamarnya. Kinar yang tidak mendapatkan jawaban dari ibunya, gegas ikut masuk ke kamar. Ratih menyimpan uang pemberian Kinar. Andai Kinar dapat uang itu dari kemarin, mungkin Ratih tidak perlu menjual baju dan celana. Dan mungkin, peristiwa penjambretan itu tidak akan terjadi. Ratih bisa meminjam uang Kinar dulu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ratih mengambil baju ganti, lalu mengganti pakaiannya. Ratih terbiasa mandi di toko. Jadi, pulangnya ia hanya perlu berganti pakaian. Belum selesai mengganti baju, ponselnya berdering kembali, Mas Damar memanggil. “Assalamualaikum.“ Suara dari seberang spontan membuat Ratih menarik bibirnya ke atas. Ia merebahkan diri di kasur. “Waalaikumsalam.““Kenapa telponnya tadi nggak diangkat,“ tanya Damar. “Ada Kinar di sampingku. Aku nggak enak ngobrol dengan orang asing di depannya.““Jadi ... sampai sek
JATAH SUAMI ONLINEJSO 4 Sepanjang malam Ratih tidak bisa tidur. Ia terganggu dengan pikirannya sendiri yaitu tentang pertemuan esok hari. Selama ini Ratih hanya melihat Damar dari foto-foto yang dikirim lewat pesan whatsapp, tetapi besok mereka akan bertemu secara langsung. Antara rasa penasaran dan takut menjadi satu dan bersarang dalam pikiran Ratih.Ratih membolak-balikkan badannya, terkadang ia berhitung sampai ratusan berharap bisa segera tidur. Namun, matanya enggan mengatup juga. Akhirnya Ratih mengambil wudu, ia salat sunah, membaca Al Quran hingga lama-lama ia kelelahan dan tertidur di atas sajadah. Paginya, Ratih bangun kesiangan. Kinar sudah lebih dulu ada di dapur, Kinar sedang menanak nasi. Ia juga sudah menyapu lantai. Kinar anak yang rajin, tanpa diminta, ia selalu membantu pekerjaan ibunya. “Kalau Ibuk masih sakit, Ibuk libur lagi saja. Kebutuhan rumah bisa pakai uangku dulu. Yang penting kondisi Ibuk pulih dulu,“ ucap Kinar saat melihat Ratih sedang membuat omle
“Baik, Pa. Papa apa kabar?““Sangat baik, Sayang. Sudah hampir setahun kita nggak ketemu dan sekarang kamu terlihat makin cantik,“ puji Damar kepada Clarisa. Gadis blesteran Indonesia-Itali yang tak lain adalah putri kandung Damar. “Bagaimana sekolahmu?“ lanjut Damar. “Ceritanya nanti di rumah saja. Nenek sudah menunggu dan Papa tahu, 'kan? Nenek tidak akan berhenti mengomel kalau kita sampai terlambat pulang.““Baiklah, ayo kita pulang!“Mereka berjalan berdampingan. Jika dilihat dari belakang mereka nampak seperti pasangan suami istri. Clarisa sekolah di Itali sejak SMA, ia ikut Mamanya di Itali dan akan pulang ke Indonesia satu tahun sekali untuk menemui Damar dan Aida neneknya. Perjalanan dari Bandara ke rumah Damar hanya satu jam lebih sedikit. Rumah mewah dan besar itu dijaga oleh dua orang satpam di pintu gerbang. Mereka berdua menunduk saat mobil Damar masuk. Clarisa melambaikan tangan, sementara Damar hanya menganggukan kepala. “Nenek, kami pulaaang!“ teriak Clarisa begitu
Damar semakin kencang melajukan motornya. Ratih ketakutan, ia meremas jaket kulit Damar. Dalam hatinya berdoa, bermacam-macam doa ia panjatkan. Sampai akhirnya motor Damar berhenti di sebuah Klinik di pinggiran kota Yogyakarta. Ratih gemetar, ia turun dari motor lalu jongkok sambil mendekap kaki. Ratih menangis, ia benar-benar ketakutan. “Kumohon, kasihani aku. Aku masih punya dua anak yang harus aku hidupi. Tolong jangan sakiti aku!“ ucap Ratih gemetar, wajahnya menunduk, ia takut melihat Damar. Damar ikut jongkok di depan Ratih. Ia menyentuh bahu Ratih, tetapi tangan Ratih menepisnya dengan cepat. “Aku tidak akan menyakitimu, Ratih. Lihatlah! Aku membawamu ke klinik. Kita periksakan kakimu. Kakimu bisa infeksi kalau tidak dirawat.“Ratih mengusap airmata lalu mendongak. Benar, ia membaca papan besar sebuah klinik kesehatan. “Kenapa harus sejauh ini? Kamu benar nggak akan macam-macam, 'kan?“ tanya Ratih. Ia berdiri, lalu mengedarkan pandang. “Memangnya tampangku seperti penjaha