Damar berjalan mendekati Ratih. Ia duduk di tepi ranjang. Meraih tangan Ratih, lalu menggenggamnya erat. Damar merasakan tangan Ratih gemetar. Damar tersenyum, lalu mengusap pipi Ratih dengan lembut. “Kamu masih takut kusentuh? Tanganmu gemetar.“ Damar mengalihkan pertanyaan Ratih. “Ti--tidak. Mungkin karena aku belum terbiasa,“ jawab Ratih salah tingkah. "Jawab pertanyaanku yang tadi. Apa kamu bos tambang?“ lanjut Ratih. Damar menarik dagu Ratih, memaksa Ratih untuk menatapnya. “Aku bukan bos tambang seperti kata Faisal. Aku karyawan seperti yang lain.““Kamu tidak bohong?“ “Iya, aku hanya karyawan, tetapi pemilik tambang itu mempercayakan aku untuk memimpin perusahaannya.““Itu artinya, kamu ...?“ Ratih menutup mulut dengan satu tangannya. “Iya, aku seorang Direktur. Tanggung jawabku banyak, ya perusahaan, ya karyawan.““Kenapa kamu tidak cerita dari awal? Kenapa kamu tidak jujur soal ini?““Aku sudah bilang kalau aku karyawan di tambang. Dan itu benar. Aku memang Direktur, t
“kenapa nggak diangkat, Mas? Siapa tahu itu penting,“ ucap Ratih setelah telepon itu berdering berulang kali. “Nggakpapa, nanti saja. Itu pasti juga bukan hal yang penting!“Mereka melanjutkan makan siang tanpa menghiraukan panggilan telepon dari Debbi. Hal itu membuat Debbi kesal dan mengirimkan pesan chat yang tidak sengaja terbaca oleh Ratih. [Kalau tetap tidak diangkat, aku akan menyusulmu ke Solo.]Ratih hanya membatin, kalau tidak punya hubungan dekat, tidak mungkin orang itu sampai mau menyusul ke Solo. Padahal Damar ada di Yogyakarta, tetapi kenapa orang itu mau menyusul ke Solo. Ratih tidak berani bertanya lagi. Jika memang Damar jujur dan terbuka, nanti pasti ia akan cerita sendiri. Damar mencuci tangannya, lalu kembali duduk di meja makan. Menemani Ratih dan Rea yang belum selesai makan. Telepon kembali berdering, kali ini Ratih melihat foto profile si penelepon yang sangat cantik. Ratih semakin penasaran. Damar tahu Ratih memperhatikan ponselnya. Damar dilema, jika ia
“Apa yang akan kamu lakukan, Mas?““Apakah kamu kuat jika kita ke Solo besok pagi-pagi sekali?“ Damar balik bertanya. Ia khawatir Debbi benar-benar nekat menemui ibunya di Solo. “Sepertinya aku belum siap untuk bertemu dengan orang tuamu. Jika kamu tidak mau Debbi menemui ibumu, sebaiknya kamu kembali ke Kalimantan,“ ucap Ratih yakin. “Kamu tidak apa-apa kalau aku ketemu Debbi?““Aku percaya kamu, Mas. Kalau kamu cinta kepada Debbi, pasti sudah dari dulu kamu menikahinya. Tapi nyatanya, kamu justru ke sini untuk menikahiku.““Iya, kalau dia sampai menemui ibu, pasti akan panjang urusannya.““Ya sudah, kamu cari penerbangan hari ini. Mumpung belum terlalu sore.““Kamu nggakpapa aku tinggal? Kamu yakin?“ Damar kembali meyakinkan. Sebenarnya Damar khawatir dengan kesehatan Ratih. “Iya, aku nggakpapa, aku bisa minta tolong Bu Tutik kalau ada apa-apa.““Baik, aku akan coba cari penerbangan hari ini.“Damar mulai sibuk dengan ponselnya. Ia mencari penerbangan hari ini. Ia tidak ingin Deb
“Beraninya sama perempuan, dasar b*nci, hah!“ teriak Radit. Beberapa orang sudah berhasil menenangkan Damar dan pukulan terakhir Radit mendarat di perut Damar sebelum orang-orang berhasil memegangi tubuhnya. Akhirnya mereka berdua berhasil ditenangkan. Dibawa warga masuk ke rumah Ratih. Ratih yang dahinya berdarah sedang mendapatkan perawatan dari Bu Tutik. “Jadi, apa masalahnya bisa sampai terjadi seperti ini, Pak Radit?“ tanya Pak Joni yang duduk di antara Radit dan Damar. “Dia ingin memukul istri saya, untung saya melihatnya,“ ujar Radit berapi-api. Tangannya menunjuk Damar dengan wajah penuh amarah. “Wanita itu yang mulai duluan. Lihat dahi Ratih. Dia berdarah karena perbuatan wanita itu. Saya tidak ingin memukulnya, saya hanya menahan agar dia mempertanggung jawabkan perbuatannya.“ Damar balas menunjuk. Tika yang memang menjadi sumber dari semua masalah ini celingak-celinguk. “Anaknya yang mulai memukul anakku. Sebagai orang tua, ya, saya tidak terima.““Oalah, jadi ini bera
[Aku sudah di Kalimantan, apa maumu?] chat Damar kepada Debbi begitu tiba di apartemennya. Begitu menerima chat dari Damar, Debbi langsung melakukan panggilan telepon. Damar sempat menolak panggilan itu, tetapi Debbi mencobanya berulang kali. Sampai akhirnya Damar mengangkat telepon itu. “Papa ingin bertemu denganmu secepatnya,“ ucap Debbi. “Untuk apa? Kalau masalah perusahaan bisa diselesaikan di kantor.““Bukan masalah kantor, tapi soal kita, Papa ingin aku segera menikah,“ cetus Debbi cepat. “Dari awal kita tidak memiliki hubungan apa pun, jadi silakan menikah dengan siapa pun kecuali aku.“ Damar mengusap wajahnya. Apa yang pernah terlintas di dalam pikirannya kini benar-benar terjadi. “Aku maunya menikah sama kamu.““Aku ... sudah menikah!“ tegas Damar. “Tidak mungkin, aku tidak percaya!“ Debbi langsung memutuskan panggilan telepon. Ia berteriak sambil melempar ponsel berlogo apel itu ke ranjang putih berukuran besar. Sesaat kemudian ia tersenyum. Sepertinya Debbi tengah me
“Maaf, Pak. Apa yang Bapak lihat tidak seperti yang Bapak pikirkan. Debbi baru saja datang, dia tidak menginap di sini.“ Damar mencoba menjelaskan. “Benar itu Debbi? Lantas kenapa kalian berpelukan?““Debbi yang memeluk saya. Saya tidak melakukan itu!“ Damar masih mencoba membela diri. Debbi memasang wajah memelas. Ia bahkan menangis lagi. “Maafkan Debbi, Pa. Debbi melakukan ini semua karena Damar yang maksa Debbi ke sini!““Bohong, Pak! Saya tidak pernah memaksanya ke sini. Debbi yang datang sendiri.““Debbi, Papa ingin kamu berkata jujur. Katakan!“ Pak Damian meninggikan suara. Kini Debbi terisak. “Bukankah Papa ingin aku segera menikah dengan Damar? Papa tahu, 'kan, aku mencintai Damar sejak dulu?““Tapi tidak dengan cara seperti ini, Debbi! Memalukan! Kamu ini perempuan, jangan jatuhkan harga dirimu hanya untuk mengemis cinta kepada laki-laki yang sudah menikah!“Pak Damian tahu Damar baru saja menikah. Rupanya, selama ini Pak Damian mengawasi gerak-gerik Damar dan Debbi. Pak
Kinar dan Rea kaget melihat barang-barang baru di rumahnya. Semua barang yang menurut mereka mewah, kini sudah ada di dalam rumah. “Ibuk beli semua ini?“ tanya Kinar sambil memegang lemari es dan mesin cuci di dapur. Sementara Rea yang tahu kasur barunya besar dan bagus berteriak dari dalam kamar kegirangan. “Om Damar yang beli, bukan Ibuk,“ jawab Ratih. “Om Damar itu konglomerat, ya, Buk? Kalau dari bentuk tubuhnya, sih, perawakan orang kaya raya.““Ibuk juga nggak tahu, yang Ibuk tahu Om Damar kerja di tambang dan gajinya banyak.““Apa Om Damar punya waktu untuk ngambil rapor ke sekolahku, ya, Buk?““Kenapa memangnya?““Kalau temen-temen SMP-ku, 'kan, belum pernah lihat Bapak kayak apa. Siapa tahu Om Damar punya waktu dan mau jadi Bapakku untuk ngambil rapor di sekolah.““Kamu serius, Kinar? Kamu benar-benar sudah menerima Om Damar sebagai pengganti Bapak?“ Ratih duduk mendekati Kinar yang duduk di ruang makan.“Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Bapak di hatiku. Tapi meliha
Damar masih mencoba menghubungi Clarisa. Namun, teleponnya tetap diabaikan. Damar tahu hal ini pasti akan terjadi, tetapi apa pun resikonya, Damar tetap harus menghadapinya. [Papa bisa jelaskan semuanya, Sayang. Jika kamu kenal dengan Ratih, kamu pasti akan menyukainya. Dia sangat baik, awalnya dia bahkan tidak tahu kalau Papa seorang direktur. Dia baru tahu setelah Papa nikahi, dan dia tampak ketakutan. Dia takut dengan apa yang Papa miliki.]Damar mengirimkan pesan kepada Clarisa, sekian detik, pesan itu dibaca, tetapi tidak ada balasan. Damar tersenyum. Sebenarnya Clarisa penasaran, tetapi ia suka sekali merajuk terlebih dulu. [Papa yang menyukainya duluan, bukan dia. Asal kamu tahu dia berulang kali menolak Papa. Tapi entah kenapa Papa ingin selalu dekat dengan Ratih. Dia jauh berbeda dengan Debbi, kamu ingat Debbi, 'kan? Dari sudut mana pun ia berbeda dengan Debbi, termasuk kepribadiannya.]Chat itu langsung bercentang biru, artinya Clarisa masih menunggu Damar menceritakan sem
Damar langsung menuju kamar tempat Ratih dirawat, ia belum bisa berlari. Namun, Damar berusaha berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Ratih. Sampai di depan kamar Ratih, Damar menarik napas panjang. Merasakan sedikit nyeri pada kakinya yang terluka. “Ratih kamu kenapa?“ ucap Damar begitu melihat istrinya terbaring lemah di ranjang. Kinar, Rea dan Bu Tutik mendekat, menyalami Damar. “Maaf, Mas ....“ “Maaf untuk apa? Apa yang terjadi sampai kamu dibawa ke sini? Apa sakit kepalamu kambuh lagi?“ tanya Damar cemas. Ratih malah menitikkan air mata. “Aku nggak bisa menyelematkan anak kita.“ Kini Ratih terisak. Damar yang terlihat bingung, hanya bisa memeluk Ratih sambil berpikir tentang apa yang terjadi. “Maaf, Mas Damar. Saya lancang menandatangi surat operasi pengangkatan janin tanpa minta persetujuan dari Mas Damar lebih dulu. Karena kondisi darurat dan kondisi Mbak Ratih yang semakin memburuk.“ Bu Tutik mencoba menerangkan apa yang baru saja terjadi. “Kamu mengandung, Ratih
6 bulan berlalu, Damar sudah bisa jalan hanya dengan menggunakan tongkat, bahkan sesekali ia berjalan tanpa tongkat. Kinar duduk di bangku kelas delapan dan Rea sudah kelas enam. “Ratih, tadi pemilik perusahaan video call denganku, beliau ....““Kenapa, Mas?““Aku sudah harus balik ke Kalimantan. Bekerja lewat online memang tidak bisa maksimal. Hendri harus bolak-balik ke sini dan itu membuat pekerjaan kantor keteteran.““Mas Damar menetap di sana?“ Ratih yang semula berdiri di dekat meja makan, kini sudah duduk di sebelah Damar di ruang keluarga. “Bukan menetap, tetapi lebih sering di sana daripada di rumah. Sabtu Minggu aku di rumah.““Apa Mas Damar nggak capek? Dengan kondisi Mas yang belum sehat betul?“ tanya Ratih khawatir, tetapi Damar menggeleng. “Sudah menjadi tanggung jawabku, Ratih. Toh, bandara tidak begitu jauh dari sini. Namun, ada satu janji yang belum aku tunaikan.““Apa itu, Mas?“ Ratih mengerutkan keningnya. “Aku ingin mengajak kamu dan anak-anak liburan ke luar n
Sebuah mobil mewah berwarna silver berhenti di halaman rumah Ratih. Perempuan tua yang masih cantik dan modis itu keluar dari mobil. Beliau mengamati sekeliling rumah Ratih.Halaman rumahnya kecil dan tidak berpagar meski tertata rapi dan cantik. Teras rumah minimalis, hanya ada satu kursi panjang dari bambu dan satu meja kecil. Meski kecil, Rumah Ratih terlihat baru dan paling bagus dari tetangga kiri dan kanannya. Suasana rumah sepi, Kinar dan Rea masih di sekolah, Ratih sedang menyetrika baju dan Damar sibuk dengan pekerjaan kantornya. Ratih berlari ke depan saat mendengar suara pintu diketuk. Ia melihat Bu Dian sudah berdiri di sana--masih dengan wajah yang tidak ramah. Ratih mengulurkan tangan, lalu menyuruh Bu Dian dan sopirnya masuk. “Kok, sepi?“ tanya Bu Dian tanpa basa-basi. “Iya, anak-anak masih sekolah, belum pulang. Saya panggilkan Mas Damar sebentar.“ Ratih gegas masuk ke kamar, memberitahu Damar kalau Bu Dian sudah datang, lalu mendorong Damar dengan kursi rodanya ke
Damar pulang ke rumah Ratih. Kepulangan Damar disambut gembira oleh Rea dan Kinar. Kinar tidak menyangka kalau Damar akan memilih pulang ke rumah mereka daripada pulang ke Solo. Kinar semakin yakin bahwa Damar adalah sosok Bapak yang benar-benar ia rindukan selama ini. Ratih membantu Damar pindah dari kursi roda ke ranjang. Meski dengan susah payah, ia berhasil memindahkan Damar. “Maaf kalau aku berat dan menyusahkanmu!““Ini sudah tugasku, Mas. Kamu nggak usah minta maaf,“ jawab Ratih. “Aku akan belajar menggeser tubuhku sendiri, biar tidak memberatkanmu!““Jangan tergesa-gesa, biarkan kondisi Mas Damar membaik dulu. Minum obat, makan yang banyak, biar lekas sembuh!“ Damar mengusap lengan Ratih yang duduk di sampingnya. “Aku pengen makan sayur lodeh, boleh?““Baik, nanti aku masak lodeh buat Mas Damar. Mau apa lagi?“ tanya Ratih. “Cuma itu, sekarang aku mau telpon Hendri dulu. Ada dokumen yang harus aku tanda tangani. Aku mau minta dikirim lewat email saja.““Apa nggak istiraha
Ratih bangun kesiangan. Semalam, berkali-kali ia terbangun karena sakit kepala. Sampai hampir subuh ia baru bisa tidur. Ratih melihat isi kulkas yang hampir kosong, ia berniat belanja dulu ke warung Pak Joni di ujung gang, memasak baru berangkat ke rumah sakit. Usai belanja Ratih memasak beberapa jenis makanan. Siapa tahu, Clarisa dan Bu Dian ingin makan masakannya. Tak lupa Ratih membeli jajan pasar untuk camilan Damar di siang hari nanti. Jam sepuluh semua selesai. Kinar dan Rea sudah makan, Ratih juga menyempatkan diri untuk sarapan. Ia tidak mau sakit kepalanya kambuh lagi dan membuat Damar khawatir. “Buk, nanti Aldo izin main ke sini apakah boleh?“ tanya Kinar saat Ratih sudah bersiap di atas motornya. “Asal ada Bu Tutik di rumah, boleh saja. Tapi kalau cuma kalian berdua, Ibuk nggak kasih izin.““Iya, Kinar ngerti. Itu Bu Tutik sudah datang!“ Kinar menunjuk Bu Tutik yang berjalan ke arah mereka. “Maaf, Mbak, baru bisa ke sini. Tadi bantuin Bu Sinta bersih-bersih rumah,“ uca
“Horeee, Ibuk pulang!“ seru Rea saat melihat Ratih memarkir motornya di halaman. “Kok, Mbak Ratih sudah pulang, bukannya hari ini Mas Damar operasi? Mas Damar sama siapa, Mbak? Bagaimana keadaannya?““Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar, Bu. Di sana ada Ibunya Mas Damar. Jadi, malam ini saya bisa tidur di rumah. Bu Tutik bisa istirahat dulu. Bu Tutik juga pasti capek jagain anak-anak.““Walaaah, enggak, Mbak. Lha wong anak-anaknya Mbak Ratih pinter-pinter dan mandiri, makan pun gampang, apa-apa mau. Saya seneng sama mereka, nurut nggak aneh-aneh.““Alhamdulillah, Bu. Terima kasih untuk bantuannya. Besok kalau sudah mau berangkat ke rumah sakit lagi, saya hubungi Bu Tutik.““Dengan senang hati, Mbak Ratih. Kapan saja Mbak Ratih butuh, saya siap bantu. Kalau begitu sekarang saya permisi dulu. Saya sudah masak untuk makan malam, Mbak. Sisa uang belanja masih saya bawa.““Iya, dibawa Bu Tutik dulu saja. Nanti saya tambahi, sekali lagi makasih, ya, Bu.““Sama-sama, Mbak Ratih,
Hari ini operasi pemasangan pen di kaki Damar. Ratih dan Clarisa menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Mereka berharap operasi berjalan lancar dan Damar bisa segera sembuh. Tidak ada percakapan di antara mereka. Baik Ratih maupun Clarisa sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, telepon Clarisa berdering. Panggilan video dari Imelda, Mamanya. “Halo, Sayang. Apa operasinya sudah selesai?““Belum, Ma. Sudah satu jam lebih, tapi Papa belum keluar dari kamar operasi.““Kamu nunggu sama siapa?““Sama Tante Ratih, istrinya Papa.““Mama mau ngomong sama dia boleh?“ Clarisa mengangguk lalu mengulurkan ponselnya ke Ratih. Tanpa ragu, Ratih menerima ponsel itu, apa pun yang akan ia dengar, ia sudah siap. “Halo, kenalkan aku Imelda, Mamanya Clarisa,“ ucap Imelda. Ia menatap Ratih lalu tersenyum ramah.“Salam kenal, Mbak. Saya Ratih, istrinya Mas Damar.““Tolong titip Clarisa kalau dia pas di Indonesia, ya. Titip juga mantan suamiku. Dia orangnya gampang-gamp
“Mas Damar kenapa?“ tanya Ratih saat tahu Damar tengah mengusap airmata.“Makasih, Ratih, makasih,“ ucap Damar sambil menggenggam tangan Ratih. “Makasih untuk apa?““Sudah mau merawatku yang cacat seperti sekarang ini. Maaf jika aku merepotkanmu!““Itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri. Tidak perlu mengucapkan maaf. Kemarin pas aku sakit, kamu juga merawatku. Tidak ada yang repot dan direpoti. Bagaimanapun keadaannya, ya, harus dihadapi bersama.““Kamu janji nggak akan tinggalin aku kalau aku cacat?““Mas hanya sakit, bukan cacat. Mas Damar akan jalan lagi. Sekarang semua serba canggih, jadi jangan takut soal itu. Sudah sekarang Mas Damar tidur, istirahat, biar cepat pulih dan bisa segera dioperasi.“Damar mengangguk. Ia menaikkan selimut, lalu berusaha memejamkan mata. Sementara Kinar sudah terlelap di ranjang kecil. Ratih membereskan meja, lalu merebahkan diri di sofa. Matanya menatap langit-langit kamar. Ia berpikir tentang Damar. Hidup dengan harta yang berlimpah tidak men
Radit berlalu dari rumah Ratih. Pria itu adalah masa lalu Ratih, sejak belasan tahun lalu, Ratih sudah mengubur perasaannya dalam-dalam. Namun, Radit seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti ke mana saja Ratih pergi. Bahkan saat suami Ratih yang pertama masih hidup. Mungkin itulah yang menjadi sebab kenapa Tika sangat membenci dan menyimpan api cemburu kepadanya. Ratih kembali ke dapur. Sudah hampir jam lima sore. Ia harus segera menyelesaikan masakannya dan kembali ke rumah sakit. “Malam ini Ibuk tidur di rumah sakit atau tidur di rumah?“ tanya Kinar saat membantu Ratih memasak di dapur. “Ibuk harus kembali ke rumah sakit dulu. Soal pulang atau enggaknya, Ibuk belum tahu.“Kinar tampak membuang napas panjang. Bukan merasa perhatiannya direbut oleh ayah sambungnya, tetapi ia merasa kasihan kepada ibunya yang juga dalam kondisi baru sembuh dari sakit. “Aku temani ke rumah sakit, ya, Buk! Nanti kalau Ibuk mau menginap di sana, aku bisa pulang naik ojek online. Mumpung liburan se