Damar masih mencoba menghubungi Clarisa. Namun, teleponnya tetap diabaikan. Damar tahu hal ini pasti akan terjadi, tetapi apa pun resikonya, Damar tetap harus menghadapinya. [Papa bisa jelaskan semuanya, Sayang. Jika kamu kenal dengan Ratih, kamu pasti akan menyukainya. Dia sangat baik, awalnya dia bahkan tidak tahu kalau Papa seorang direktur. Dia baru tahu setelah Papa nikahi, dan dia tampak ketakutan. Dia takut dengan apa yang Papa miliki.]Damar mengirimkan pesan kepada Clarisa, sekian detik, pesan itu dibaca, tetapi tidak ada balasan. Damar tersenyum. Sebenarnya Clarisa penasaran, tetapi ia suka sekali merajuk terlebih dulu. [Papa yang menyukainya duluan, bukan dia. Asal kamu tahu dia berulang kali menolak Papa. Tapi entah kenapa Papa ingin selalu dekat dengan Ratih. Dia jauh berbeda dengan Debbi, kamu ingat Debbi, 'kan? Dari sudut mana pun ia berbeda dengan Debbi, termasuk kepribadiannya.]Chat itu langsung bercentang biru, artinya Clarisa masih menunggu Damar menceritakan sem
Damar meremas rambutnya. Ternyata kejadian tempo hari tidak membuat Debbi jera, tetapi justru membuatnya semakin nekat. Damar tahu, ibunya adalah sosok yang tidak mudah dekat dengan orang baru. Bahkan dulu dengan Imelda, beliau tidak pernah dekat. Itu juga yang menjadi salah satu alasan Imelda pergi meninggalkan rumah di saat Clarisa masih kecil. “Dia bukan calon istriku, Buk. Percayalah! Wanita itu hanya mengada-ada,“ ucap Damar meyakinkan ibunya. “Tapi dia mengenalmu dan tahu setiap detail pekerjaan dan apartemenmu. Kalau tidak dekat, tidak mungkin dia tahu semua itu.““Apa dia masih di sana?“ tanya Damar pelan. “Iya, masih. Kamu mau bicara dengannya?““Kalau Ibuk mengizinkan, aku akan bicara dengannya.“Ibu Damar kembali ke ruang tamu. Ia melihat Debbi sedang memainkan ponselnya.“Damar ingin bicara padamu.“ Ibu Damar menyerahkan ponselnya. Ia menekan loudspeaker karena ingin tahu apa yang mereka bicarakan. “Halo, Sayang, aku sudah sampai di Solo. Kapan kamu akan menyusul?“ tan
“Ehm, hari ini aku harus balik ke Kalimantan lagi, Buk. Sabtu sore aku pulang.““Kenapa kamu mengalihkan pembicaraan, Damar. Ibuk tanya, maksud dari perkataan gadis itu apa?“ Ibu Damar mengulang pertanyaan yang sama. “Besok Sabtu aku akan menjelaskan semua ke Ibuk. Maaf, aku tidak bisa menginap, Buk. Besok ada meeting penting yang harus aku hadiri.““Kamu ini nggak pernah berubah, dari dulu suka sekali membuat Ibumu penasaran. Untung Ibuk nggak punya penyakit jantung!“Usai makan, Damar langsung mencari penerbangan ke Kalimantan. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mampir ke Yogyakarta dan menemui Ratih sebentar, tetapi Damar pikir jika sudah bertemu dengan Ratih waktu yang sebentar hanya akan membuatnya bertambah rindu. Akhirnya ia putuskan untuk langsung pulang ke Kalimantan. [Aku ada di Solo, tetapi hanya sebentar karena ada kondisi darurat. Maaf tidak mampir ke Yogyakarta, aku harus pulang sekarang. Besok pagi ada meeting yang tidak bisa aku tinggalkan. Kamu nggakpapa 'kan a
“Tidak, Pak! Kami bukan pencuri. Ini semua belanjaan kami, dan kami sedang mengantre di kasir. Tapi orang itu--dia tanteku, Pak. Dia yang mendorong ibuk hingga jatuh,“ Kinar menjelaskan kepada penjaga toko sambil membantu Ratih berdiri. “Makanya jadi orang jangan sombong-sambong! Tanggung tuh akibatnya!“ ketus Galuh. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau kalian bikin keributan di sini. Saya bisa membawa kalian ke kantor.“ Penjaga toko itu membantu Ratih dan Kinar memunguti barang yang berserakan. “Maaf, Pak. Ini hanya salah paham. Maaf kalau sudah membuat kegaduhan,“ ucap Ratih sopan. “Baiklah, lain kali jika terulang. Maka saya akan membawa kalian ke kantor, kalian harus bayar ganti rugi atas kegaduhan yang telah kalian buat.“Galuh tanpa merasa bersalah langsung pergi dari tempat itu. Sementara Ratih, Kinar, Rea dan petugas keamanan itu masih membereskan barang yang berserakan. “Terima kasih, Pak,“ ucap Ratih saat selesai membereskan itu semua. Ratih kembali mengantre di kasir.
Ratih melongo tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Radit. Cerai? Radit benar-benar menceraikan Tika di depan orang banyak. Radit tidak peduli Tika histeris dan memanggil-manggil namanya. Tika menyusul Radit pulang. “Apa kita perlu ke Dokter, Mbak?“ ujar Bu Tutik yang masih jongkok di samping Ratih. “Nggak perlu, Bu. Setelah ini biar saya kompres saja, nanti juga sembuh.““Mbak Ratih yakin? Apa saya perlu memberitahu Mas Damar?““Jangan beritahu suami saya, Bu Tutik. Takut mengganggu pekerjaannya. Besok juga dia pulang,“ jawab Ratih sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut. Bu Tutik membantu Ratih masuk ke rumah. Ia mengambilkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres memar di kepala Ratih. “Kalau sampai nanti siang masih sakit, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Mbak Ratih. Saya siap kapan pun untuk membantu Mbak Ratih.““Terima kasih, Bu Tutik. Ibuk terlalu baik. Maaf kalau saya sering merepotkan Ibuk!““Kalian sudah seperti keluarga saya sendiri. J
Ratih awalnya ragu. Namun, begitu ia ingat pada semua yang telah dilakukan Damar untuk keluarganya, hatinya runtuh. Malam ini, ia menyerahkan segalanya yang ia miliki untuk Damar suaminya. Begitu juga dengan Damar, tak ada lagi keraguan untuk memiliki Ratih seutuhnya. Bukan hanya kenikmatan semata, tetapi janji untuk menemani hingga tutup usia. Azan Subuh membangunkan Ratih. Tangan Damar masih erat memeluknya. Ratih menggenggam sebentar tangan itu, lalu melepaskan dari pinggangnya. “Mas, sudah Subuh. Bangun, salat dulu,“ Ratih membangunkan Damar. Ia mengusap pipi Damar dengan lembut. Damar membuka mata, lalu mengulas senyum. Damar meregangkan tangan, lalu duduk di bibir ranjang. “Terima kasih untuk malam ini, Sayang. Andai bisa seperti ini tiap malam,“ ucap Damar sambil meraih kepala Ratih. Mengecupnya singkat. Wajah Ratih memerah, ia hanya mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi tanpa berkata sepatah kata pun. Damar tertawa melihat istrinya yang salah tingkah. Ratih benar-benar me
Damar merangkul Kinar, lalu tersenyum manis ke arah Aldo. Remaja yang sangat berani menurut Damar. “Om tidak melarang dan tidak membatasi Kinar berteman dengan siapa pun, tetapi kalau sudah menyangkut perasaan, itu terserah Kinar mau bagaimana. Siapa namanu, Nak?“ tanya Damar. “Saya Aldo, Om. Saya menyukai Kinar sejak Kinar masuk di sekolah ini. Tapi Kinar tidak pernah respon terhadap saya,“ sahut Aldo. “Kinar, apa kamu menyukai Aldo?““Aku nggak benci Kak Aldo, Ayah. Hanya saja, aku nggak mau pacaran dulu. Takut mengganggu sekolah. Aku pengen sekolah tinggi dan menjadi orang sukses dulu, biar bisa bahagiain Ibuk.““Nah, sekarang Aldo sudah denger sendiri jawaban dari Kinar, 'kan? Terus maunya Aldo bagaimana?““Saya tetap mau berteman dengan Kinar, Om. Kalau sesekali main ke rumah Kinar boleh nggak, Om?““Silakan! Kamu boleh main ke rumah. Kalian bisa berteman dulu sampai kalian dewasa nanti. Siapa tahu kalian memang jodoh!““Ayaaah!“ rengek Kinar sambil mencubit lengan Damar. Seme
“Ibuk hanya belum mengenal Ratih, andai Ibuk mengenalnya, aku yakin Ibuk akan menyukainya.““Ibuk tetap pada pendirian Ibuk. Ibuk tidak setuju dengan pernikahanmu. Kalau kamu tetap memilih dia, silakan angkat kaki dari sini! Dan jangan pernah pulang untuk menengok Ibumu ini!“ Bu Dian memalingkan muka. Wajahnya merah memendam amarah. Meski Damar sudah berlutut di hadapannya. Namun, Bu Dian tetap tidak memberikan restunya. “Maaf, Buk, jika kehadiran saya dan anak-anak saya membuat Ibuk marah. Saya bisa pergi dari sini.“ Akhirnya Ratih buka suara. “Tidak, Ratih. Jangan pergi! Aku suamimu dan aku bertanggung jawab atas dirimu dan anak-anak.“ Damar melarang Ratih keluar dari rumahnya. “Sekarang kamu pilih Ibuk atau mereka?“ bentak Bu Dian. Damar mematung di tempatnya, ia kembali bersimpuh di kaki ibunya. Memohon agar Bu Dian bisa menerima Ratih dan tidak mengusir mereka. “Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, Buk. Tapi jangan jadikan aku suami yang lepas tanggung jawab. Aku mencintai