Damar meremas rambutnya. Ternyata kejadian tempo hari tidak membuat Debbi jera, tetapi justru membuatnya semakin nekat. Damar tahu, ibunya adalah sosok yang tidak mudah dekat dengan orang baru. Bahkan dulu dengan Imelda, beliau tidak pernah dekat. Itu juga yang menjadi salah satu alasan Imelda pergi meninggalkan rumah di saat Clarisa masih kecil. “Dia bukan calon istriku, Buk. Percayalah! Wanita itu hanya mengada-ada,“ ucap Damar meyakinkan ibunya. “Tapi dia mengenalmu dan tahu setiap detail pekerjaan dan apartemenmu. Kalau tidak dekat, tidak mungkin dia tahu semua itu.““Apa dia masih di sana?“ tanya Damar pelan. “Iya, masih. Kamu mau bicara dengannya?““Kalau Ibuk mengizinkan, aku akan bicara dengannya.“Ibu Damar kembali ke ruang tamu. Ia melihat Debbi sedang memainkan ponselnya.“Damar ingin bicara padamu.“ Ibu Damar menyerahkan ponselnya. Ia menekan loudspeaker karena ingin tahu apa yang mereka bicarakan. “Halo, Sayang, aku sudah sampai di Solo. Kapan kamu akan menyusul?“ tan
“Ehm, hari ini aku harus balik ke Kalimantan lagi, Buk. Sabtu sore aku pulang.““Kenapa kamu mengalihkan pembicaraan, Damar. Ibuk tanya, maksud dari perkataan gadis itu apa?“ Ibu Damar mengulang pertanyaan yang sama. “Besok Sabtu aku akan menjelaskan semua ke Ibuk. Maaf, aku tidak bisa menginap, Buk. Besok ada meeting penting yang harus aku hadiri.““Kamu ini nggak pernah berubah, dari dulu suka sekali membuat Ibumu penasaran. Untung Ibuk nggak punya penyakit jantung!“Usai makan, Damar langsung mencari penerbangan ke Kalimantan. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk mampir ke Yogyakarta dan menemui Ratih sebentar, tetapi Damar pikir jika sudah bertemu dengan Ratih waktu yang sebentar hanya akan membuatnya bertambah rindu. Akhirnya ia putuskan untuk langsung pulang ke Kalimantan. [Aku ada di Solo, tetapi hanya sebentar karena ada kondisi darurat. Maaf tidak mampir ke Yogyakarta, aku harus pulang sekarang. Besok pagi ada meeting yang tidak bisa aku tinggalkan. Kamu nggakpapa 'kan a
“Tidak, Pak! Kami bukan pencuri. Ini semua belanjaan kami, dan kami sedang mengantre di kasir. Tapi orang itu--dia tanteku, Pak. Dia yang mendorong ibuk hingga jatuh,“ Kinar menjelaskan kepada penjaga toko sambil membantu Ratih berdiri. “Makanya jadi orang jangan sombong-sambong! Tanggung tuh akibatnya!“ ketus Galuh. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau kalian bikin keributan di sini. Saya bisa membawa kalian ke kantor.“ Penjaga toko itu membantu Ratih dan Kinar memunguti barang yang berserakan. “Maaf, Pak. Ini hanya salah paham. Maaf kalau sudah membuat kegaduhan,“ ucap Ratih sopan. “Baiklah, lain kali jika terulang. Maka saya akan membawa kalian ke kantor, kalian harus bayar ganti rugi atas kegaduhan yang telah kalian buat.“Galuh tanpa merasa bersalah langsung pergi dari tempat itu. Sementara Ratih, Kinar, Rea dan petugas keamanan itu masih membereskan barang yang berserakan. “Terima kasih, Pak,“ ucap Ratih saat selesai membereskan itu semua. Ratih kembali mengantre di kasir.
Ratih melongo tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Radit. Cerai? Radit benar-benar menceraikan Tika di depan orang banyak. Radit tidak peduli Tika histeris dan memanggil-manggil namanya. Tika menyusul Radit pulang. “Apa kita perlu ke Dokter, Mbak?“ ujar Bu Tutik yang masih jongkok di samping Ratih. “Nggak perlu, Bu. Setelah ini biar saya kompres saja, nanti juga sembuh.““Mbak Ratih yakin? Apa saya perlu memberitahu Mas Damar?““Jangan beritahu suami saya, Bu Tutik. Takut mengganggu pekerjaannya. Besok juga dia pulang,“ jawab Ratih sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut. Bu Tutik membantu Ratih masuk ke rumah. Ia mengambilkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres memar di kepala Ratih. “Kalau sampai nanti siang masih sakit, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Mbak Ratih. Saya siap kapan pun untuk membantu Mbak Ratih.““Terima kasih, Bu Tutik. Ibuk terlalu baik. Maaf kalau saya sering merepotkan Ibuk!““Kalian sudah seperti keluarga saya sendiri. J
Ratih awalnya ragu. Namun, begitu ia ingat pada semua yang telah dilakukan Damar untuk keluarganya, hatinya runtuh. Malam ini, ia menyerahkan segalanya yang ia miliki untuk Damar suaminya. Begitu juga dengan Damar, tak ada lagi keraguan untuk memiliki Ratih seutuhnya. Bukan hanya kenikmatan semata, tetapi janji untuk menemani hingga tutup usia. Azan Subuh membangunkan Ratih. Tangan Damar masih erat memeluknya. Ratih menggenggam sebentar tangan itu, lalu melepaskan dari pinggangnya. “Mas, sudah Subuh. Bangun, salat dulu,“ Ratih membangunkan Damar. Ia mengusap pipi Damar dengan lembut. Damar membuka mata, lalu mengulas senyum. Damar meregangkan tangan, lalu duduk di bibir ranjang. “Terima kasih untuk malam ini, Sayang. Andai bisa seperti ini tiap malam,“ ucap Damar sambil meraih kepala Ratih. Mengecupnya singkat. Wajah Ratih memerah, ia hanya mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi tanpa berkata sepatah kata pun. Damar tertawa melihat istrinya yang salah tingkah. Ratih benar-benar me
Damar merangkul Kinar, lalu tersenyum manis ke arah Aldo. Remaja yang sangat berani menurut Damar. “Om tidak melarang dan tidak membatasi Kinar berteman dengan siapa pun, tetapi kalau sudah menyangkut perasaan, itu terserah Kinar mau bagaimana. Siapa namanu, Nak?“ tanya Damar. “Saya Aldo, Om. Saya menyukai Kinar sejak Kinar masuk di sekolah ini. Tapi Kinar tidak pernah respon terhadap saya,“ sahut Aldo. “Kinar, apa kamu menyukai Aldo?““Aku nggak benci Kak Aldo, Ayah. Hanya saja, aku nggak mau pacaran dulu. Takut mengganggu sekolah. Aku pengen sekolah tinggi dan menjadi orang sukses dulu, biar bisa bahagiain Ibuk.““Nah, sekarang Aldo sudah denger sendiri jawaban dari Kinar, 'kan? Terus maunya Aldo bagaimana?““Saya tetap mau berteman dengan Kinar, Om. Kalau sesekali main ke rumah Kinar boleh nggak, Om?““Silakan! Kamu boleh main ke rumah. Kalian bisa berteman dulu sampai kalian dewasa nanti. Siapa tahu kalian memang jodoh!““Ayaaah!“ rengek Kinar sambil mencubit lengan Damar. Seme
“Ibuk hanya belum mengenal Ratih, andai Ibuk mengenalnya, aku yakin Ibuk akan menyukainya.““Ibuk tetap pada pendirian Ibuk. Ibuk tidak setuju dengan pernikahanmu. Kalau kamu tetap memilih dia, silakan angkat kaki dari sini! Dan jangan pernah pulang untuk menengok Ibumu ini!“ Bu Dian memalingkan muka. Wajahnya merah memendam amarah. Meski Damar sudah berlutut di hadapannya. Namun, Bu Dian tetap tidak memberikan restunya. “Maaf, Buk, jika kehadiran saya dan anak-anak saya membuat Ibuk marah. Saya bisa pergi dari sini.“ Akhirnya Ratih buka suara. “Tidak, Ratih. Jangan pergi! Aku suamimu dan aku bertanggung jawab atas dirimu dan anak-anak.“ Damar melarang Ratih keluar dari rumahnya. “Sekarang kamu pilih Ibuk atau mereka?“ bentak Bu Dian. Damar mematung di tempatnya, ia kembali bersimpuh di kaki ibunya. Memohon agar Bu Dian bisa menerima Ratih dan tidak mengusir mereka. “Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, Buk. Tapi jangan jadikan aku suami yang lepas tanggung jawab. Aku mencintai
Ratih baru saja sampai di rumah, ponselnya mati saat masih di jalan. Ia memasang charger, lalu menyalakan ponselnya. Ia melihat ada 13 panggilan tak terjawab dari Damar, tetapi Damar tidak meninggalkan pesan apa pun. “Ibuknya Ayah seram, ya, Buk!“ ucap Kinar sambil menyalakan televisi. “Nggak boleh ngomong gitu. Kalau Ibuk jadi beliau, mungkin Ibuk juga akan mengambil sikap yang sama.““Tapi kata-katanya kelewatan. Nenek itu terlalu merendahkan kita. Kalau nggak inget dia ibunya Ayah, pasti sudah ku--““Sudah, nggakpapa. Kamu jadi anak gadis itu nggak boleh terlalu bar-bar!““Aku cuma ingin melindungi Ibuk!““Bukan dengan cara seperti itu. Jadi anak yang baik dan nurut saja Ibuk sudah seneng.“Kinar diam. Ibunya memang berhati malaikat. Andai bisa digambarkan, mungkin Ibunya punya sepasang sayap putih di kanan dan kirinya. Tidak selang lama, ponsel Ratih kembali berdering. Panggilan dari Damar kembali masuk. Ratih ragu untuk mengangkatnya, tetapi ia juga penasaran dengan apa yang t
Damar langsung menuju kamar tempat Ratih dirawat, ia belum bisa berlari. Namun, Damar berusaha berjalan dengan cepat agar bisa segera menemui Ratih. Sampai di depan kamar Ratih, Damar menarik napas panjang. Merasakan sedikit nyeri pada kakinya yang terluka. “Ratih kamu kenapa?“ ucap Damar begitu melihat istrinya terbaring lemah di ranjang. Kinar, Rea dan Bu Tutik mendekat, menyalami Damar. “Maaf, Mas ....“ “Maaf untuk apa? Apa yang terjadi sampai kamu dibawa ke sini? Apa sakit kepalamu kambuh lagi?“ tanya Damar cemas. Ratih malah menitikkan air mata. “Aku nggak bisa menyelematkan anak kita.“ Kini Ratih terisak. Damar yang terlihat bingung, hanya bisa memeluk Ratih sambil berpikir tentang apa yang terjadi. “Maaf, Mas Damar. Saya lancang menandatangi surat operasi pengangkatan janin tanpa minta persetujuan dari Mas Damar lebih dulu. Karena kondisi darurat dan kondisi Mbak Ratih yang semakin memburuk.“ Bu Tutik mencoba menerangkan apa yang baru saja terjadi. “Kamu mengandung, Ratih
6 bulan berlalu, Damar sudah bisa jalan hanya dengan menggunakan tongkat, bahkan sesekali ia berjalan tanpa tongkat. Kinar duduk di bangku kelas delapan dan Rea sudah kelas enam. “Ratih, tadi pemilik perusahaan video call denganku, beliau ....““Kenapa, Mas?““Aku sudah harus balik ke Kalimantan. Bekerja lewat online memang tidak bisa maksimal. Hendri harus bolak-balik ke sini dan itu membuat pekerjaan kantor keteteran.““Mas Damar menetap di sana?“ Ratih yang semula berdiri di dekat meja makan, kini sudah duduk di sebelah Damar di ruang keluarga. “Bukan menetap, tetapi lebih sering di sana daripada di rumah. Sabtu Minggu aku di rumah.““Apa Mas Damar nggak capek? Dengan kondisi Mas yang belum sehat betul?“ tanya Ratih khawatir, tetapi Damar menggeleng. “Sudah menjadi tanggung jawabku, Ratih. Toh, bandara tidak begitu jauh dari sini. Namun, ada satu janji yang belum aku tunaikan.““Apa itu, Mas?“ Ratih mengerutkan keningnya. “Aku ingin mengajak kamu dan anak-anak liburan ke luar n
Sebuah mobil mewah berwarna silver berhenti di halaman rumah Ratih. Perempuan tua yang masih cantik dan modis itu keluar dari mobil. Beliau mengamati sekeliling rumah Ratih.Halaman rumahnya kecil dan tidak berpagar meski tertata rapi dan cantik. Teras rumah minimalis, hanya ada satu kursi panjang dari bambu dan satu meja kecil. Meski kecil, Rumah Ratih terlihat baru dan paling bagus dari tetangga kiri dan kanannya. Suasana rumah sepi, Kinar dan Rea masih di sekolah, Ratih sedang menyetrika baju dan Damar sibuk dengan pekerjaan kantornya. Ratih berlari ke depan saat mendengar suara pintu diketuk. Ia melihat Bu Dian sudah berdiri di sana--masih dengan wajah yang tidak ramah. Ratih mengulurkan tangan, lalu menyuruh Bu Dian dan sopirnya masuk. “Kok, sepi?“ tanya Bu Dian tanpa basa-basi. “Iya, anak-anak masih sekolah, belum pulang. Saya panggilkan Mas Damar sebentar.“ Ratih gegas masuk ke kamar, memberitahu Damar kalau Bu Dian sudah datang, lalu mendorong Damar dengan kursi rodanya ke
Damar pulang ke rumah Ratih. Kepulangan Damar disambut gembira oleh Rea dan Kinar. Kinar tidak menyangka kalau Damar akan memilih pulang ke rumah mereka daripada pulang ke Solo. Kinar semakin yakin bahwa Damar adalah sosok Bapak yang benar-benar ia rindukan selama ini. Ratih membantu Damar pindah dari kursi roda ke ranjang. Meski dengan susah payah, ia berhasil memindahkan Damar. “Maaf kalau aku berat dan menyusahkanmu!““Ini sudah tugasku, Mas. Kamu nggak usah minta maaf,“ jawab Ratih. “Aku akan belajar menggeser tubuhku sendiri, biar tidak memberatkanmu!““Jangan tergesa-gesa, biarkan kondisi Mas Damar membaik dulu. Minum obat, makan yang banyak, biar lekas sembuh!“ Damar mengusap lengan Ratih yang duduk di sampingnya. “Aku pengen makan sayur lodeh, boleh?““Baik, nanti aku masak lodeh buat Mas Damar. Mau apa lagi?“ tanya Ratih. “Cuma itu, sekarang aku mau telpon Hendri dulu. Ada dokumen yang harus aku tanda tangani. Aku mau minta dikirim lewat email saja.““Apa nggak istiraha
Ratih bangun kesiangan. Semalam, berkali-kali ia terbangun karena sakit kepala. Sampai hampir subuh ia baru bisa tidur. Ratih melihat isi kulkas yang hampir kosong, ia berniat belanja dulu ke warung Pak Joni di ujung gang, memasak baru berangkat ke rumah sakit. Usai belanja Ratih memasak beberapa jenis makanan. Siapa tahu, Clarisa dan Bu Dian ingin makan masakannya. Tak lupa Ratih membeli jajan pasar untuk camilan Damar di siang hari nanti. Jam sepuluh semua selesai. Kinar dan Rea sudah makan, Ratih juga menyempatkan diri untuk sarapan. Ia tidak mau sakit kepalanya kambuh lagi dan membuat Damar khawatir. “Buk, nanti Aldo izin main ke sini apakah boleh?“ tanya Kinar saat Ratih sudah bersiap di atas motornya. “Asal ada Bu Tutik di rumah, boleh saja. Tapi kalau cuma kalian berdua, Ibuk nggak kasih izin.““Iya, Kinar ngerti. Itu Bu Tutik sudah datang!“ Kinar menunjuk Bu Tutik yang berjalan ke arah mereka. “Maaf, Mbak, baru bisa ke sini. Tadi bantuin Bu Sinta bersih-bersih rumah,“ uca
“Horeee, Ibuk pulang!“ seru Rea saat melihat Ratih memarkir motornya di halaman. “Kok, Mbak Ratih sudah pulang, bukannya hari ini Mas Damar operasi? Mas Damar sama siapa, Mbak? Bagaimana keadaannya?““Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar, Bu. Di sana ada Ibunya Mas Damar. Jadi, malam ini saya bisa tidur di rumah. Bu Tutik bisa istirahat dulu. Bu Tutik juga pasti capek jagain anak-anak.““Walaaah, enggak, Mbak. Lha wong anak-anaknya Mbak Ratih pinter-pinter dan mandiri, makan pun gampang, apa-apa mau. Saya seneng sama mereka, nurut nggak aneh-aneh.““Alhamdulillah, Bu. Terima kasih untuk bantuannya. Besok kalau sudah mau berangkat ke rumah sakit lagi, saya hubungi Bu Tutik.““Dengan senang hati, Mbak Ratih. Kapan saja Mbak Ratih butuh, saya siap bantu. Kalau begitu sekarang saya permisi dulu. Saya sudah masak untuk makan malam, Mbak. Sisa uang belanja masih saya bawa.““Iya, dibawa Bu Tutik dulu saja. Nanti saya tambahi, sekali lagi makasih, ya, Bu.““Sama-sama, Mbak Ratih,
Hari ini operasi pemasangan pen di kaki Damar. Ratih dan Clarisa menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan cemas. Mereka berharap operasi berjalan lancar dan Damar bisa segera sembuh. Tidak ada percakapan di antara mereka. Baik Ratih maupun Clarisa sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa saat kemudian, telepon Clarisa berdering. Panggilan video dari Imelda, Mamanya. “Halo, Sayang. Apa operasinya sudah selesai?““Belum, Ma. Sudah satu jam lebih, tapi Papa belum keluar dari kamar operasi.““Kamu nunggu sama siapa?““Sama Tante Ratih, istrinya Papa.““Mama mau ngomong sama dia boleh?“ Clarisa mengangguk lalu mengulurkan ponselnya ke Ratih. Tanpa ragu, Ratih menerima ponsel itu, apa pun yang akan ia dengar, ia sudah siap. “Halo, kenalkan aku Imelda, Mamanya Clarisa,“ ucap Imelda. Ia menatap Ratih lalu tersenyum ramah.“Salam kenal, Mbak. Saya Ratih, istrinya Mas Damar.““Tolong titip Clarisa kalau dia pas di Indonesia, ya. Titip juga mantan suamiku. Dia orangnya gampang-gamp
“Mas Damar kenapa?“ tanya Ratih saat tahu Damar tengah mengusap airmata.“Makasih, Ratih, makasih,“ ucap Damar sambil menggenggam tangan Ratih. “Makasih untuk apa?““Sudah mau merawatku yang cacat seperti sekarang ini. Maaf jika aku merepotkanmu!““Itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri. Tidak perlu mengucapkan maaf. Kemarin pas aku sakit, kamu juga merawatku. Tidak ada yang repot dan direpoti. Bagaimanapun keadaannya, ya, harus dihadapi bersama.““Kamu janji nggak akan tinggalin aku kalau aku cacat?““Mas hanya sakit, bukan cacat. Mas Damar akan jalan lagi. Sekarang semua serba canggih, jadi jangan takut soal itu. Sudah sekarang Mas Damar tidur, istirahat, biar cepat pulih dan bisa segera dioperasi.“Damar mengangguk. Ia menaikkan selimut, lalu berusaha memejamkan mata. Sementara Kinar sudah terlelap di ranjang kecil. Ratih membereskan meja, lalu merebahkan diri di sofa. Matanya menatap langit-langit kamar. Ia berpikir tentang Damar. Hidup dengan harta yang berlimpah tidak men
Radit berlalu dari rumah Ratih. Pria itu adalah masa lalu Ratih, sejak belasan tahun lalu, Ratih sudah mengubur perasaannya dalam-dalam. Namun, Radit seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti ke mana saja Ratih pergi. Bahkan saat suami Ratih yang pertama masih hidup. Mungkin itulah yang menjadi sebab kenapa Tika sangat membenci dan menyimpan api cemburu kepadanya. Ratih kembali ke dapur. Sudah hampir jam lima sore. Ia harus segera menyelesaikan masakannya dan kembali ke rumah sakit. “Malam ini Ibuk tidur di rumah sakit atau tidur di rumah?“ tanya Kinar saat membantu Ratih memasak di dapur. “Ibuk harus kembali ke rumah sakit dulu. Soal pulang atau enggaknya, Ibuk belum tahu.“Kinar tampak membuang napas panjang. Bukan merasa perhatiannya direbut oleh ayah sambungnya, tetapi ia merasa kasihan kepada ibunya yang juga dalam kondisi baru sembuh dari sakit. “Aku temani ke rumah sakit, ya, Buk! Nanti kalau Ibuk mau menginap di sana, aku bisa pulang naik ojek online. Mumpung liburan se