Jatah Sebelum Pernikahanmu (9)
Sepasang mata Arum menatap tajam ke arah Alesha yang masih berdiri mematung menatap cangkir yang pecah di lantai keramik putih itu."Lancang sekali kamu, ya!" teriaknya lagi."Maaf, Mba, aku terkejut karena teriakan Mba tadi," jawab Alesha lalu berjongkok."Kamu gak tahu seberapa berharganya gelas itu untuk Abizar, kalau dia tahu kamu akan merasakan akibatnya," ucap Arum sambil menunjuk Alesha.Alesha memilih terdiam, memunguti pecahan cangkir ke tangannya. Dalam pikirannya hanya memikirkan Abizar, mungkin ia akan marah padanya saat ini seperti perkataan Arum."Makanya kalau bukan milikmu jangan pernah berani mengambilnya," cetus Arum sinis.Alesha merasa apa kesalahannya pada Arum, sehingga ia merasa perempuan itu tak menyukainya sejak awal kedatangannya."Ada apa ini?" tanya Abizar yang masuk ke dapur untuk makan pagi.Alesha yang tergesa-gesa tak sengaja terkena pecahan cangkir dan mengakibatkan jari telunjuknya berdarah seketika. Ia mencoba menekan agar darah tak mengalir."Lihat ulah istrimu, dia memecahkan cangkir kesayangan Fatimah," ucap Arum pada Abizar.Abizar menatap Alesha, ia masih berdiri di samping Arum dan melihat wajah sang istri yang terus menunduk sambil mengumpulkan pecahan cangkir."Harusnya kamu itu gak menyentuh barang yang bukan milik kamu!" Arum lagi-lagi merasa bisa memarahi Alesha.Abizar lalu membuka telapak tangannya dan mengarahkan kepada Arum untuk menghentikan ucapannya itu. Arum memandang tak percaya ke arah Abizar. Karena selama ini adik iparnya itu akan marah setiap kali ada yang menyentuh benda-benda kesayangan Fatimah. Bahkan, saat dirinya tak sengaja memecahkan bingkai foto Fatimah, Arum ingat benar bagaimana Abizar marah padanya."Kamu gak papa?" tanya Abizar yang kini berjongkok di samping Alesha.Alesha menggeleng. "Maafkan, aku," ucapnya lirih."Kenapa meminta maaf hanya karena cangkir yang pecah?" Abizar tersenyum. "Berikan tanganmu," pinta Abizar lagi.Alesha mengulurkan tangan kirinya."Apa ini? Berikan tangan kananmu," pinta Abizar lagi.Alesha masih terdiam. Ia berusaha menyembunyikan luka di jari kanannya saat ini."Berikan!" pinta Abizar mengulang kalimatnya.Perlahan Alesha mengulurkan tangan pada Abizar. Laki-laki yang kini sudah berganti dengan kaos putih itu segera meraih tangan Alesha dan membawa sang istri ke wastafel.Abizar memutar keran, sehingga air kini mengalir ke luar. Mengulurkan tangan Alesha agar jari telunjuk yang terluka terkena air dan darah ikut mengalir di sana."Tunggu di sini dan biarkan jarimu tetap berada di sana," ucap Abizar lalu ke luar dari dapur.Saat melewati Arum. Wanita berjilbab maroon itu melihat Abizar dengan tatapan aneh. Ia tak menyangka bahwa adik iparnya akan berbuat begitu lembut pada Alesha di hadapannya. Tentu saja hal itu membuat harga dirinya merasa jatuh."Cuma luka kecil doang, kan? Gak usah lebay," komentar Arum lalu melanjutkan menata meja makan.Sementara Alesha memilih tak memedulikan ucapan Arum. Baginya perlakuan Abizar sudah sangat jauh dari ekspetasi-nya sendiri. Laki-laki itu benar-benar membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Seandainya, ia tak bertemu dengan Excel terlebih dulu, mungkin ciuman pertama itu tak akan terampas darinya. Ia akan memberikannya untuk Abizar. Suaminya.***"Ummi." Abizar memanggil ibunya saat tiba di ruang tengah.Sang ibu yang sedang meletakkan kopi di meja untuk suaminya, segera menoleh ke arah suara Abizar. "Ada apa?" tanyanya."Kotak P3K di mana?" tanya Abizar lagi sambil membuka laci-laci di ruang tengah.Ummi yang telah selesai meletakkan tiga cangkir kopi segera menghampiri Abizar."Kenapa? Apakah kamu terluka?"Abizar tersenyum. "Bukan aku yang terluka, tapi Alesha," ucap Abizar.Ummi tersenyum memandang Abizar. "Alesha yang terluka, tapi kamu yang panik seperti ini. Ummi pikir kamu yang terluka."Ummi berjalan ke arah nakas dan membuka laci bawah. Mengeluarkan kotak putih dan memberikan pada Abizar."Ini," ucapnya. "cepat obati istrimu." Perkataan Ummi sukses membuat Abizar tersenyum malu.***Abizar masuk kembali ke dapur, melihat Alesha masih berdiri di tempat yang sama dan membiarkan tangannya di bawah air yang terus mengalir.Abizar meletakkan kotak P3K di meja, membukanya dan mengeluarkan obat merah, kapas dan juga plester."Berikan jarimu padaku," ucap Abizar.Alesha mengulurkan tangannya setelah sang suami mematikan keran.Abizar benar-benar membuat Alesha jatuh hati pada akhlak yang ia miliki. Begitu lembut dan dengan sabarnya ia mengusapkan obat merah pada jari Alesha dengan kapas."Apakah sakit?" tanya Abizar.Namun, Alesha tak menjawab pertanyaan Abizar. Karena saat ini ia terlalu fokus memandang wajah sang suami. Sambil tersenyum tipis."Apakah sakit?" tanya Abizar lagi, kali ini ia menatap Alesha.Alesha yang tiba-tiba di tatap oleh Abizar menjadi salah tingkah karena terpergok tengah menatap wajah suaminya sedari tadi.Tatapan mata itu terlihat begitu tulus, Arum yang masih menata gelas di meja bisa melihat adegan romantis itu dari sana. Adegan yang dulu sering ia lihat juga saat Fatimah masih hidup."Dasar, apakah mereka kira dapur ini hanya milik mereka," gerutu Arum lirih."Jika sakit katakan saja," kata Abizar lalu memasang plester.Alesha menggeleng. "Terima kasih.""Untuk apa?" Abizar memasukan obat merah ke kotak."Untuk pengobatan tanpa rasa sakitnya." Alesha tesipu saat mengatakan hal itu. "Dan juga karena tidak marah soal cangkir itu," lirihnya.Abizar lalu mendekat dan berbisik di telinga kanan Alesha. "Aku masih belum memaafkan kamu karena memecahkan cangkir itu, tapi aku tidak marah. Hanya saja ... mendapatkan maafku itu pasti akan penuh perjuangan," ujar Abizar menggoda Alesha sambil tersenyum.Sementara Alesha yang tak paham jika Abizar tengah menggodanya saat ini. Berpikir keras bagaimana jika Abizar tak mau memaafkannya.Abizar lalu berbalik dan meninggalkan dapur. Sementara Alesha masih terdiam mematung tak percaya bahwa laki-laki itu ternyata kejam juga. Ia tak marah, tetapi dia tidak memaafkannya."Alesha, kamu gak papa?" tanya Ummi yang kini masuk ke dapur.Alesha tersenyum. "Alhamdulillah, cuma luka kecil Ummi," jawab Alesha sambil menunjukkan jarinya yang terbungkus plester."Syukurlah, lain kali hati-hati, ya," pinta Ummi.Alesha mengangguk."Luka kecil saja sampai harus Abizar yang turun tangan." Arum memandang ke arah Alesha saat sang mertua tengah mengambil sambal di kulkas.Alesha melangkah dan mendekati Arum. "Apa ada masalah denganmu? Aku bisa diam sesuai keadaan, tapi aku bisa memberontak juga sesuai keadaan," bisik Alesha tepat di telinga iparnya.Ummi kini berbalik dan tersenyum melihat kedua menantunya itu tengah berdiri berdampingan terlihat begitu akur."Cinta itu bukan hanya sekedar nafsu untuk memiliki, memaksanya tak akan pernah membuat kisahmu bahagia."♡Layla Mumtazah***Selesai sarapan bersama Alesha membantu Arum membersihkan meja, ia juga mencuci piring. Syukurlah, walau Alesha tak pandai memasak setidaknya gadis itu bisa melakukan yang lainnya."Dengar baik-baik, bukan berarti Abizar sudah melupakan almarhumah istrinya hanya karena dia bersikap baik seperti tadi. Adik ipar memang selalu bersikap baik dengan siapa pun," ucap Arum saat membasuh gelas.Alesha menoleh, entah mengapa Arum selalu saja mengeluarkan kata-kata tajamnya."Benarkah? Kalau dia melupakan mantan istrinya dan mencintaiku memangnya, kenapa? Untuk saat ini aku adalah istrinya."Arum tak percaya dengan apa yang ia dengar. Perempuan yang terlihat diam ini, ternyata bisa melawan perkataannya."Tapi tidak ada satu pun orang yang bisa memahami Abizar seperti diriku." Arum mencuci tangannya, mematikan keran dan keluar dari dapur.Meninggalkan Alesha yang masih te
Abizar masih sibuk dengan ponselnya hingga ia tak melihat sang istri tengah dalam gangguan Excel."Diam saja dan dengarkan ini baik-baik," ucap Excel di telinga Alesha "Apakah kamu sudah menghubungi Mama?"Alesha merasa ada hal yang Excel pasti lakukan pada sang Mama. "Apa yang kamu lakukan pada mamaku?" tanya Alesha."Jika kamu ingin mengetahuinya, segera hubungi aku." Excel tersenyum puas lalu pergi begitu saja setelah menutup kepalanya dengan jaket hoodie hitam yang ia kenakan.Excel memakai masker hitamnya, di saat bersamaan Abizar bangun dari kursi dan berjalan ke arah toko yang Alesha katakan.Excel yang menyadari bahwa saat ini Abizar berjalan ke arahnya, dengan sengaja menabrak bahu Abizar. Excel tersenyum sinis di dalam masker, lalu mengangguk dan terus berjalan lagi meninggalkan Abizar. Sementara Abizar yang tak mengenali Excel hanya memandang punggung laki-laki berjaket hitam itu dan mengabaikannya.Alesha yang melihat Abizar, segera masuk ke toko setelah menenangkan piki
Jatah Sebelum Pernikahanmu (12)***Alesha tak suka mendengar suara Excel memanggilnya sayang. Entah mengapa ucapan yang dulu begitu tersa indah di telinga, kini berubah menjijikan bagi Alesha."Temui aku nanti malam, akan aku beri tahu padamu, bagaimana?" Tawaran dari Excel."Kamu kira aku bodoh, kamu pasti hanya ingin menculikku lagi, bukan?" tegas Alesha."Jangan bodoh, Sayang. Untuk apa aku menculik dirimu? Apakah kamu pikir aku mau berurusan dengan polisi lagi?"Alesha terdiam, ia hanya ingin mengetahui soal mamanya saat ini. Jika memang bertemu dengan Excel bisa membuat bertemu dengan mamanya kenapa tidak."Tunggulah nanti malam aku akan menjemputmu."Seketika Alesha mengerenyitkan dahi."Apa kamu tahu di mana aku tinggal saat ini?" tanya Alesha bingung, sementara di seberang sana suara Excel terdengar nyaring tertawa."Tentu saja! Mudah bagiku untuk menemukan kamu. Walau kamu berada di lubang semut sekali pun."Alesha mengumpat di dalam hati. Kenapa ia harus bertemu dengan mons
Jatah Sebelum Pernikahanmu (13)***Pagi ini seperti biasa setelah lepas shalat Subuh Alesha membantu ibu mertuanya di dapur."Kamu bisa masak, Alesha?" tanya Ummi.Alesha menggeleng. "Alesha gak jago masak, Ummi," jawabnya sambil mencuci sayuran yang telah di potong-potong."Sudah aku duga, lalu kamu bisanya apa?" timpal Arum tiba-tiba."Tidak apa-apa Alesha, kamu bisa belajar masak dari Arum nanti. Saat Fatimah dulu masih ada, ia juga awalnya tidak bisa memasak," ujar Ummi.Setelah tiga cangkir kopi yang Ummi buat selesai, wanita bergamis hitam itu segera keluar dari dapur. Meninggalkan Alesha dan Arum bersama.Alesha yang telah selesai mencuci sayuran memberikannya pada Arum."Apakah yang kamu bisa hanya menggoda pria?" Perkataan Arum sukses membuat Alesha menatapnya tajam."Maksud kamu apa?" Alesha membuka suara."Aneh, aja. Tiba-tiba kamu menikah dengan Abizar." Arum memasukan sayuran ke wajan dan mengaduknya."Sepertinya dari awal kamu melihatku, kamu sudah tak menyukaiku bukan?
Jatah Sebelum Pernikahanmu (14)***Abizar menatap layar ponselnya, ia tersenyum perih melihat foto Fatimah. Masih teringat jelas bagaimana kecelakaan itu terjadi di depan matanya kala itu.Sebuah mobil hilang kendali dan menabrak tubuh wanita berjilbab hitam itu begitu saja, hingga terpental dan darah mengalir di jalan raya. Abizar yang kala itu membawa dua es krim berlari untuk menyelamatkan sang istri, tetapi terlambat. Wanita itu tewas seketika di tempat.Usut punya usut, kecelakaan itu karena sang sopir dalam keadaan mabuk. Sopir yang tak dikenali identitasnya itu segera di bawa ke kantor polisi untuk diproses.Abizar lalu mengalihkan pandangannya ke foto bingkai yang ada di meja kerjanya. Foto pernikahannya dengan Fatimah, anak sahabat sang ayah di pesantren tempat ia menimba ilmu dulu.Fatimah gadis yang pemalu, tak berani mengutarakan isi hatinya. Sampai suatu hari Fatimah dan Arum tak sengaja berpapasan. Membuat keduanya saling menunduk dan tersenyum dalam diam.***Arum menc
"Semua rasa sakit yang selama ini aku derita, pasti akan kamu rasakan juga."Pernikahan KeduaEpisode 15Happy Reading 💞***Abizar mendapatkan telepon dari anak buahnya, ia sudah mengetahui di mana keberadaan Excel kali ini. Tentu saja laki-laki itu sudah menunggu waktu lama untuk melakukan semua itu.Abizar tersenyum dingin sambil melipat ke arah kaca kecil di dalam mobil. "Tunggu dan lihat bagaimana rasa sakit itu akan menggerogoti hatimu," gumam Abizar.Mobil kini melaju menuju di mana Excel dan Alesha berada. ***Sementara itu di rumah mewah itu, Alesha tengah dalam masalah. Excel terus saja mendekati dirinya, hingga ia kini tersudut di pojok kamar. Tante Mutiara yang mencoba menggedor pintu untuk masuk harus berurusan dengan anak buah Excel."Kenapa kamu lakukan ini padaku?" tanya Alesha tak mengerti."Kamu tahu dengan jelas aku sangat mencintaimu, Alesha." Excel mendekat dan menatap wajah Alesha."Cinta kamu bilang!" teriak Alesha. "Jika kamu mencintai kamu tidak akan pernah
Excel menatap Abizar, ia benar-benar tak menyangka bahwa laki-laki yang kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang berasal dari kisah masa lalunya."Tunggu dan lihat saja nanti, setiap detiknya kamu akan merasa seperti tak ingin hidup." Abizar lalu berbalik dan menarik tangan Alesha begitu saja.Alesha yang masih bingung, hanya bisa diam saat sang suami meraih tangannya dan menarik kasar ke luar dari kamar itu."Abi, tunggu sebentar, Nak," ucap Mutiara sembari mengejar langkah menantu dan putrinya.Abizar berhenti dan berbalik, menatap wanita berusia empat puluh tahun itu dengan dingin."Tolong pelan-pelan, Alesha sedang sakit," ucapnya sambil mendekat ke arah sang putri."Alesha baik-baik saja," tegas Abizar lalu menarik tangan istrinya itu."Abi, jangan bersikap seperti itu dengan Alesha, semua yang terjadi bukan karena sengaja, malam itu Mama---"Abizar mengangkat tangannya membuka kelima jemarinya dan mengarah ke sang mertua. "Aku tak ingin mendengar apapun untuk saat ini."
Abizar melepaskan tangan Alesha dari pinggangnya. Laki-laki itu tak memedulikan kehadiran Alesha yang masih berdiri di sana."Maaf," ucap Alesha. "Aku hanya punya kata maaf untuk apa yang terjadi padamu." Abizar terdiam, laki-laki itu memilih meraih baju dari dalam lemari. Mengenakan kaos putih polos lalu menuju meja rias untuk menyisir rambutnya.Alesha tak bisa berbohong tentang rasa sesak yang kini ia rasakan. Hatinya tak terima mendapatkan perlakuan dingin dari Abizar, karena sebelum laki-laki itu begitu peduli padanya hingga benih cinta itu hadir di hatinya."Jika kamu ingin berkata walau kasar, aku akan jauh berterima kasih, tetapi jika kamu hanya diam saja, aku sungguh tak tahan dengan rasa sesak ini," ucap Alesha jujur.Abizar meletakkan sisir, berbalik dan menghadap Alesha. Mata mereka saling bertemu. Untuk beberapa saat keduanya terdiam dan hanya saling pandang."Kamu bilang tak tahan dengan rasa sesak?" Abizar mendengkus. "Apa yang telah ibumu lakukan? Apakah menurutmu tak
"Biarkan aku membagi rasa ini, rasa yang hampir mati dan menjadi abu."Layla Mumtazah***Arum terbangun dengan keringat dingin yang membasahi wajahnya, ia tak pernah bisa tertidur nyenyak saat wajah pucat Fatimah selalu datang dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha menenangkan diri karena tak ingin membuat Ansyar terbangun.Perempuan cantik dengan mata indah itu bangkit dari tempat tidur, ia melangkah ke kamar mandi untuk mencuci wajah, tetapi saat ia hendak mencuci muka justru adegan kecelakaan Fatimah seakan-akan terlihat jelas di kaca seperti layar bioskop yang sedang memutar film. Lalu tiba-tiba sosok Fatimah berwajah pucat berdiri di hadapannya, memiringkan kepala dan tersenyum miring dengan tatapan kosong.Tubuh Arum seketika merosot ke lantai, ia tak mampu untuk berteriak karena merasakan sekujur tubuhnya lemas seketika. "Aku mohon berhenti menggangguku," lirihnya sambil memejamkan mata."Apakah kamu tak ingin menebus dosamu padaku, berhentilah mengganggu kehidupan Abizar."
"Sekali memulai aku tak dapat mengakhirinya."Layla Mumtazah***"Ummi, ini jus untuk Alesha," ucap Arum sembari tersenyum. Wanita berjilbab moca itu meletakkan gelas berisi jus buah di atas meja, akan ada permainan kecil untuk Alesha saat ini. Hal itu tentu saja membuat Arum tersenyum senang."Rum, kamu tahu kan, Alesha tengah hamil saat ini, ia mulai mengalami mual jika mencium bau-bauan. Jadi untuk sementara jangan biarkan dia mencuci baju dan piring untuk menghindari mual yang lebih parah karena mencium sabun-sabun itu," ujar ummi yang tentu saja membuat Arum kesal.Saat ini seisi rumah seakan-akan berpusat pada Alesha, semua orang ingin memperhatikan dirinya sebagai ratu.Arum menatap sembari menggangguk patuh pada sang mertua. "Baik ummi, tenang saja Arum mengerti."Ummi yang telah selesai mencuci piring, menggelap tangganya yang basah lalu menyentuh pundak Arum dan tersenyum. "Semoga kamu dan Ansyar juga disegerakan memilki momongan lagi, ya."Arum mengangguk, ia terpaksa ters
"Aku milikmu atas kehendak Allah, jagalah aku seperti ibuku menjagaku sewaktu kecil."Layla Mumtazah.***Sore ini Alesha meminta izin untuk pergi ke suatu tempat, tentu saja ia tak pergi sendiri karena sang pawang tak akan membiarkan perempuan secantik bidadari itu untuk pergi sendirian."Jadi kita mau ke mana, Bi?" tanya Abizar."Nanti kamu juga akan tahu," ujar Alesha sembari menatap ke luar kaca.Kurang lebih dua puluh lima menit perjalanan dengan mobil pastinya, kini Alesha sudah sampai ketempat tujuan yang ia inginkan. Perempuan berjilbab hitam itu terduduk di tanah sembari menyentuh batu nisan sang ayah."Pa, maafkan Alesha, baru sekarang datang ke sini. Pa, sekarang Alesha sudah menikah," ucap perempuan berkulit putih itu dengan mata berkaca-kaca.Abizar menyentuh pundak Alesha, ia menoleh sembari mengangguk."Papa, Alesha rindu, saat tahu bahwa Alesha hamil, Alesha benar-benar teringat akan Papa. Alesha ingin sekali bisa bermanja-manja dengan Papa seperti saat kecil dulu, tet
"Kebahagiaan itu akan hadir ketika keikhlasan mulai menguasai hati."Layla Mumtazah."Bi, ini ...?" Abizar menatap Alesha penuh dengan kebahagiaan juga rasa haru.Alesha mengangguk-angguk menatap mata Abizar yang mulai menitikkan butir bening."Alhamdulillah, ya, Allah, alhamdulilah," ucap syukur Abizar sembari memeluk erat tubuh Alesha."Kamu akan jadi seorang ayah dan aku akan menjadi seorang ibu," ujar Alesha sembari menangis.Laki-laki berkemeja putih polos itu lalu melepaskan pelukan dari sang istri, meletakkan kedua tangan di pundak Alesha dan berkata, "Mulai saat ini, kamu harus jaga kesehatan untuk dirimu dan calon anak kita, kamu harus menjaga makanan, vitamin, tak boleh bergadang, jangan kerja keras, semuanya harus sesuai dengan apa yang aku katakan."Alesha terdiam, ia merasa heran dengan sifat Abizar saat ini, perempuan cantik itu merasa ada sisi posesif sang suami yang tiba-tiba muncul."Akan ada janin yang tumbuh dalam rahimmu, akan ada kehadiran malaikat kecil dalam hid
"Terkadang kita hanya mau tahu dengan egois meminta yang terbaik, tanpa mau tahu bahwa Allah telah mempersiapkan yang lebih baik dari yang kita minta."Layla Mumtazah.Alesha menelan ludahnya sendiri saat melihat Ansyar berdiri di sana sembari menatap heran, di samping laki-laki berkemeja maroon itu Nisya tengah berdiri sambil tersenyum manis melihat wajah sang ibu, Arum. Sementara Zahrah berada di belakang punggung sang kakak."Apakah saat ini sudah waktunya sarapan?" tanya Alesha tiba-tiba mencoba mencairkan suasana.Nisya mengangguk. Sementara Ansyar terlihat memicingkan mata menatap sang istri.Arum bergegas membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah putrinya. "Nisya, ke sini Sayang, duduklah," pinta Arum sambir menarik kursi.Tentu saja gadis kecil berjilbab merah muda itu segera menuruti apa perkataan sang ibu, Ansyar dan Zahrah pun bergegas duduk dan menunggu sarapan mereka.Abizar mau tak mau pun akhirnya memilih untuk duduk bersama, meninggalkan Alesha yang buru-buru menyeles
"Aku tanpamu bagaikan dunia tanpa internet."Layla Mumtazah***Abizar segera bangkit dan duduk di hadapan Alesha. "Apa yang kamu bicarakan ini?""Mba Arum selalu mengatakan bahwa ia tak ada di tempat kejadian kecelakaan itu, tapi Kyoona melihatnya. Kyoona begitu yakin bahwa wanita yang ia lihat di dekat TKP adalah Mba Arum."Abizar tiba-tiba terdiam, ia menatap wajah Alesha. "Malam itu Fatimah mengatakan akan bertemu dengan Arum, tetapi saat itu Arum mengatakan bahwa ia tak jadi menemui Fatimah, hal itu membuatku menyusulnya dan meninggalkannya sebentar untuk membeli es krim sebelum kejadian itu terjadi.""Apakah kamu yakin bahwa Mba Arum gak jadi datang malam itu?""Entahlah, aku tak sempat berpikir apa pun, melihat tubuh Fatimah bersimbah darah di hadapanku.""Maafkan aku," lirih Alesha penuh penyesalan.Abizar segera merengkuh tubuh Alesha dan memeluknya dengan erat. "Ini bukan kesalahanmu. Lupakan saja, semua sudah takdir dari Allah."Alesha menenggelamkan wajahnya dalam dekapan
"Apa pun akan aku lakukan untukmu, walau jarum jam bergerak berbalik arah pun aku akan tetap ada untukmu."Layla Mumtazah.***Arum menatap kosong untuk sesaat saat mendengar ucapan Alesha, tetapi ia lalu berkata dengan cepat. "Mungkin kamu sudah lupa aku pernah berkata bahwa aku tak ada di sana saat kejadian itu terjadi. Apakah sekarang kamu ingin menuduhku?"Alesha tersenyum tipis melihat raut takut di wajah Arum. "Aku hanya bertanya bukan menuduh.""Apakah kamu sedang berusaha untuk mengambing hitamkan aku atas kesalahanmu?" Arum memicingkan mata pada Alesha."Aku hanya bertanya Mba, kenapa Mba berpikiran sejauh ini.""Dengar baik-baik Alesha, Fatimah itu sahabatku, satu kamar sejak di pesantren, satu rumah setelah kami menikah, jadi kamu jangan memfitnah diriku."Alesha memilih diam, melihat bahwa Arum seperti terusik dan tak suka dengan pertanyaannya, membuat istri Abizar itu semakin yakin pasti ada sesuatu tiga tahun yang lalu.***Malam tiba dengan cepat, setelah sore hujan men
"Kamu adalah awan saat sinar matahari begitu terik."Layla Mumtazah.***Apa itu cinta?Aku rasa tak ada yang bisa menjelaskan apa itu cinta dengan baik bahkan, sekelas pujangga pun. Kecuali seseorang yang sedang jatuh cinta dan itu adalah aku."Assalammualaikum, Bi ... ada apa bidadariku?" ucap Abziar saat menerima panggilan telepon dari Alesha."Waalaikumsalam, suamiku," balas Alesha tak kalah lembut dari suara Abizar."Mendengar suara istriku ini membuatku ingin buru-buru pulang," ucap Abizar sambil menatap layar laptopnya."Mau ngapain?""Mau bikin adonan kue bolu sama kamu, Bi," ujar Abizar membuat Alesha tersipu malu.Sekertaris Abizar yang masih berdiri di sampingnya saat ini hanya bisa menahan senyum mendengar perkataan sang bos. Ia tak menyangka saja bahwa sang bos masih harus masuk ke dapur untuk membantu sang istri memasak dan membuat kue."Kenapa kamu masih di sini, aku akan panggil lagi nanti setelah semuanya selesai aku tanda tangani," kata Abizar membuat pria itu mengan
"Hentikan debaran ini yang membuatku merasa sesak karena tak bisa memiliki dirimu."Layla Mumtazah.***Arum yang hari ini mengenakan gamis dusty pink dengan garis hitam di kedua sisi lengannya dipadukan dengan jilbab hitam menutupi dada membuatnya nampak begitu anggun, sama seperti saat Kyoona melihatnya tiga tahun yang lalu."Bawa semuanya," titah Arum yang dibarengi dengan anggukan kepala Alesha.Di ruang tamu itu Kyoona masih berdiri menatap wanita yang kini berada di hadapannya setelah Alesha masuk untuk meletakkan kantong-kantong plastik di dapur."Tunggu," ucap Kyoona saat Arum melewatinya begitu saja.Perempuan berjilbab hitam itu menghentikan langkah kakinya dan menoleh, ia mengerutkan kening saat melihat Kyoona, mata Arum melihat dari ujung kepala hingga ke kaki sahabat Alesha itu."Iya, ada apa?" tanya Arum sambil menatap Kyoona."Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Kyoona yang membuat Arum menaikan kedua pundaknya."Aku rasa kita tak pernah bertemu karena aku baru