"Boss Jamal!" panggil Arjuna di depan pintu rapat. Mereka menunggu sampai semua anggota rapat yang diundang masuk.Jamal yang sudah merapikan pakaian dan bersiap diri pun menoleh. Sebenarnya agak malas dia meladeni asisten yang memang menurut tapi sering bikin naik darah ini. Apalagi panggilannya malah bertambah. Yang tadinya hanya Pak Jamal menjadi boss dan sekarang Boss Jamal. Aneh-aneh saja. Tapi, bagaimanapun dia masih berlapang dada untuk merespon pria tersebut."Hwaiting, Oppa!"Sejujurnya, Jamal ingin tertawa dengan kelakuan ajaib pria ini yang sangat centil. Apalagi Arjuna juga bertingkah seperti perempuan yang sedang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Lalu, dia mengedipkan sebelah mata.Jamal membulatkan matanya garang. Sempat-sempatnya si asisten ini.Arjuna pun berdehem dan ikut menegapkan posturnya. "Maksud saya, Anda jangan grogi dan jangan terlalu terbebani banyak pikiran. Anggap saja seperti rapat yang biasanya Anda pimpin," bisiknya kemudian."Ini di depan para
Jamal memasuki ruangannya terlebih dahulu. Di belakangnya, ada Arjuna yang melangkah dengan kesal, mengikuti. Pria itu menutup pintu ruangan atasannya dengan cukup keras."Boss! Anda ini sudah gila, ya?" Arjuna menghentikan langah di depan meja Jamal dengan menghentakkan kakinya cukup kuat.Jamal bersandar ke kursinya sambil menghela napas berkali-kali. Dia sendir saja tidak menyangka kenapa dia bisa memberikan penawaran sebegitu enaknya. Bukan enak, sih, lebih tepatnya. Sebut saja dia tadi ceroboh."Boss. Ini nanti belum riset bahan, kemasan, desain, penentuan target pasar, iklan, model ... masih banyak banget, Boss! Itu baru lokal, loh. Model internasionalnya? Iklan di sana? Boss ini udah gila beneran." Arjuna terus saja mengomel dengan keputusan yang dibuat oleh Jamal
Jevano menyimpan gawainya di saku celana. Dia menyandarkan punggungnya secara keseluruhan. Napasnya berat terdengar."Dari tadi pagi, masih aja wajahnya kayak fermentasi susu," ucap Haikal yang duduk di samping Jevano di kursi bagian belakang. Arina yang duduk di samping sopir hanya menoleh tanpa berkomentar.Ya, Jevano dan Haikal menumpang kendaraan gadis cantik itu. Ajakan Haikal, sebenarnya."Fermentasi susu juga enggak kalah banyak manfaatnya. Bahkan banyak yang lebih mahal."Lengan Jevano langsung dipukul setelah mengatakan hal itu. Dia hanya tersenyum sekalian dengan matanya."Turunin anak ini di sini aja, Pak. Enggak usah dianterin." Haikal mendorong-dor
"Kenapa enggak bilang-bilang, sih, mau ke rumah Nenek?" Nyonya Anggari langsung turun dari mobil dan menghampiri Jevano. Dia memeluk cucunya dan menyambut dengan sukacita.Jevano tersenyum lebar, menghilangkan matanya yang juga ikut tersenyum. "Enggak lama, kok, Nek. Jevano cuma mau pinjem kunci serep rumah karena Ayah yang bawa kunci.""Loh?" Nyonya Anggari hendak bertanya tentang penyebab cucunya yang kesasar kemari, tapi dia melihat mobil yang ada di samping Jevano.Di dalam mobil, Arina dan Haikal menyaksikan pelukan hangat yang sangat manis tersebut. Mereka saling bertukar pandang dan memberikan sinyal. Isi kepala mereka sama. Maka, tanpa aba lagi, saat melihat nenek Jevano sedang meneliti mobil, mereka langsung turun.
Mata Jevano berair. Dia mendongakkan kepalanya untuk menahan air matanya. Dia tidak ingin menangis, tapi rasanya sesak sekali. Dia menahannya dari tadi saat vidcall di rumah kakeknya.Jamal mengelus anaknya dan berusaha memberikan ketenangan. Dia menunggu anaknya siap untuk berkata."Tapi, kata Bunda, Bunda bakalan pulang Ahad malam paling cepet atau kalau enggak, ya, Senin. Bunda kenapa, sih, Yah?" Akhirnya pemuda yang suka stay cool itu melupakan kebiasaannya. Dia tidak tahan lagi."Bunda banyak kerjaan, Jevano. Pikiran Bunda pasti penuh." Jamal memberikan pengertian yang paling bisa dipahami oleh Jevano. Pun tidak membuat pemuda itu semakin merasa buruk."Tapi ...." Jevano mengusap wajahnya untuk menghapuskan air
Jamal keluar kamar sekaligus ruang kerjanya setelah membersihkan diri. Dia menuju kamar Jevano dan menilik anaknya. Ternyata pemuda itu sudah tertidur di atas kasur. Dia masih bisa melihat hidung merah dan mata bengkak anaknya. Semoga anaknya bermimpi indah setelah mengeluarkan semua uneg-uneg tadi.Pria itu menutup pintu kamar anaknya dengan hati-hati. Dia melangkah ke balkon rumah yang menghadap halaman belakang. Dia duduk di atas salah satu kursi yang ada di sana dan melihat ke langit. Tak lama kemudian, gawainya berdering. Nama yang tertera di layar membuat senyumannya terulas sangat lebar."Hai, Mas Jamal. Selamat malam." Sapaan Juwita terdengar renyah.Jamal tertawa. Mendengar suara Juwita saja kini membuatnya merasa bahagia. "Hai juga, Juwita. Selamat malam, Ratuk
Jamal tersenyum puas meskipun dia tidak bisa mengucapkan selamat malam kepada Juwita secara lisan. Dia lantas mengetikkan kalimat itu di ruang obrolan mereka. Dia menunggu beberapa menit. Tidak ada jawaban dari istrinya. Begitu pula denga status pesan itu, belum terbaca. Helaan napas dalam terdengar dari pria itu.Punggungnya sedikit merosot. Dia merapatkan bibir hingga lesung pipinya tampak jelas. Dia bisa merasakan setiap degup kencang di dalam dadanya yang terus memukul. Pikirannya menerawang. Ini kali kedua dia merasakan perasaan seperti ini. Rasa bahagia dan eforia yang tak bisa dia jelaskan dengan gamblang kecuali dengan satu kata, cinta.Lagi-lagi helaan napas itu keluar dari Jamal dengan berat. Seberat hatinya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Dia memejamkan mata. Selalu begini. Saat mulai merasakan bahagia dalam diri
Jevano menyalimi tangan ayahnya dan berpamitan untuk keluar dari mobil dan memulai kehidupan sekolahnya."Eh, Jevano," panggil Jamal, membuat pemuda itu urung menutup pintu."Apa, Yah?""Bawa kunci rumah. Ayah enggak tahu bisa jemput kamu tepat waktu atau enggak nanti. Kalau Ayah akhirnya enggak bisa jemput, kamu bisa numpang temen kamu lagi, kan?" Jamal melihat perubahan wajah Jevano."Iya, mungkin." Pemuda itu cemberut."Ayolah, Jev. Ayah, kan, tadi sudah jelaskan tentang pekerjaan Ayah yang bertambah. Please, ngerti, ya.""Jadi aku nanti sendirian di rumah, nih?" Jevano memainkan kunci rumah.