"Kenapa enggak bilang-bilang, sih, mau ke rumah Nenek?" Nyonya Anggari langsung turun dari mobil dan menghampiri Jevano. Dia memeluk cucunya dan menyambut dengan sukacita.
Jevano tersenyum lebar, menghilangkan matanya yang juga ikut tersenyum. "Enggak lama, kok, Nek. Jevano cuma mau pinjem kunci serep rumah karena Ayah yang bawa kunci."
"Loh?" Nyonya Anggari hendak bertanya tentang penyebab cucunya yang kesasar kemari, tapi dia melihat mobil yang ada di samping Jevano.
Di dalam mobil, Arina dan Haikal menyaksikan pelukan hangat yang sangat manis tersebut. Mereka saling bertukar pandang dan memberikan sinyal. Isi kepala mereka sama. Maka, tanpa aba lagi, saat melihat nenek Jevano sedang meneliti mobil, mereka langsung turun.
Mata Jevano berair. Dia mendongakkan kepalanya untuk menahan air matanya. Dia tidak ingin menangis, tapi rasanya sesak sekali. Dia menahannya dari tadi saat vidcall di rumah kakeknya.Jamal mengelus anaknya dan berusaha memberikan ketenangan. Dia menunggu anaknya siap untuk berkata."Tapi, kata Bunda, Bunda bakalan pulang Ahad malam paling cepet atau kalau enggak, ya, Senin. Bunda kenapa, sih, Yah?" Akhirnya pemuda yang suka stay cool itu melupakan kebiasaannya. Dia tidak tahan lagi."Bunda banyak kerjaan, Jevano. Pikiran Bunda pasti penuh." Jamal memberikan pengertian yang paling bisa dipahami oleh Jevano. Pun tidak membuat pemuda itu semakin merasa buruk."Tapi ...." Jevano mengusap wajahnya untuk menghapuskan air
Jamal keluar kamar sekaligus ruang kerjanya setelah membersihkan diri. Dia menuju kamar Jevano dan menilik anaknya. Ternyata pemuda itu sudah tertidur di atas kasur. Dia masih bisa melihat hidung merah dan mata bengkak anaknya. Semoga anaknya bermimpi indah setelah mengeluarkan semua uneg-uneg tadi.Pria itu menutup pintu kamar anaknya dengan hati-hati. Dia melangkah ke balkon rumah yang menghadap halaman belakang. Dia duduk di atas salah satu kursi yang ada di sana dan melihat ke langit. Tak lama kemudian, gawainya berdering. Nama yang tertera di layar membuat senyumannya terulas sangat lebar."Hai, Mas Jamal. Selamat malam." Sapaan Juwita terdengar renyah.Jamal tertawa. Mendengar suara Juwita saja kini membuatnya merasa bahagia. "Hai juga, Juwita. Selamat malam, Ratuk
Jamal tersenyum puas meskipun dia tidak bisa mengucapkan selamat malam kepada Juwita secara lisan. Dia lantas mengetikkan kalimat itu di ruang obrolan mereka. Dia menunggu beberapa menit. Tidak ada jawaban dari istrinya. Begitu pula denga status pesan itu, belum terbaca. Helaan napas dalam terdengar dari pria itu.Punggungnya sedikit merosot. Dia merapatkan bibir hingga lesung pipinya tampak jelas. Dia bisa merasakan setiap degup kencang di dalam dadanya yang terus memukul. Pikirannya menerawang. Ini kali kedua dia merasakan perasaan seperti ini. Rasa bahagia dan eforia yang tak bisa dia jelaskan dengan gamblang kecuali dengan satu kata, cinta.Lagi-lagi helaan napas itu keluar dari Jamal dengan berat. Seberat hatinya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Dia memejamkan mata. Selalu begini. Saat mulai merasakan bahagia dalam diri
Jevano menyalimi tangan ayahnya dan berpamitan untuk keluar dari mobil dan memulai kehidupan sekolahnya."Eh, Jevano," panggil Jamal, membuat pemuda itu urung menutup pintu."Apa, Yah?""Bawa kunci rumah. Ayah enggak tahu bisa jemput kamu tepat waktu atau enggak nanti. Kalau Ayah akhirnya enggak bisa jemput, kamu bisa numpang temen kamu lagi, kan?" Jamal melihat perubahan wajah Jevano."Iya, mungkin." Pemuda itu cemberut."Ayolah, Jev. Ayah, kan, tadi sudah jelaskan tentang pekerjaan Ayah yang bertambah. Please, ngerti, ya.""Jadi aku nanti sendirian di rumah, nih?" Jevano memainkan kunci rumah.
Haikal baru saja turun dari mobil yang mengantarnya. Dia melambai ke Arina yang bersebelahan parkir dengan mobilnya. "Anjir, bisa, loh, kita sehati kayak gini. Tahu-tahu gue emang takdir lo, Rin." Haikal dan mulut lemesnya. Arina hanya menutar bola matanya jengah. Dia sudah terbiasa dengan ocehan Haikal dari kecil. Masalah jodoh berjodoh seperti ini sudah seperti suplemen baginya. Kalau tidak ada kata itu dari Haikal, berarti ada yang salah dengan lelaki itu. "Heh, gue jangan dicuekin, elah." Haikal menutup pintu mobilnya dan mengejar langkah Arina menuju pintu masuk bangunan pertama. "Eh, ada si bocil." Atensi Arina tersita karena ucapan Haikal tersebut. Dia menoleh ke arah pandang lelaki itu. Ada Rani dan Syahid yang berjalan ke arah mereka. Gadis itu me
"Lo jangan bercanda, Ran. Enggak mungkin lo enggak tahu Tante Juwita." Haikal mengguyoni gadis di sampingnya. "Dih, maksa. Emang gue enggak tahu Tante Juwita itu siapa. Yang gue tahu, Jevano yang dapet nilai tertinggi masuk sini. Udah." Rani dengan tanpa dosa menjelaskan. Syahid mendengkus. "Dia cucu keluarga Anggari, Maharani. Berarti, bapaknya dia yang nikah sama Tante Juwi yang jadi desainer seragam kita satu sekolah ini. Dengan kata lain, Jevano ada di antara kita dan di-acc sama mama kamu itu juga karena dia adalah salah satu anggota keluarga Anggari jalur pernikahan bapaknya tadi sama Tante Juwi. Bener gak, Kal?" Dia menunjuk dengan gestur tangan menembak kepada Haikal. Haikal menepuk tangan dan membalas menunjuk Syahid. "Itu dia maksud gue. Kenapa l
Juwita memandang rak sepatu yang ada di teras depan rumahnya. Ada empat pasang yang asing. Dia tahu bahwa sepatu-sepatu itu bukanlah sepatu dengan harga yang murah. Dari gayanya, dia bisa tahu siapa pemilik sepatu-sepatu itu, dua laki-laki dan dua perempuan. Wanita itu mengangguk dan meneruskan langkahnya. Ternyata teman Jevano boleh juga pilihan sepatunya.Pintu utama terbuka setelah susah payah Juwita menaruh barang bawaan dan mengambilnya lagi. Dia sengaja tidak bersuara agar tidak mengundang perhatian para makhluk yang sedang berkunjung di rumahnya itu. Dia tersenyum saat melihat ada tiga remaja yang sedang menikmati waktu mereka di ruang keluarga. Ada dua gadis yang sedang menyemangati seorang pemuda yang bermain VR di sana. Dengan perlahan, dia mendekati mereka."Hai. Teman Jevano, ya?" sapanya yang langsung mendapatkan
Juwita terkekeh. "Ada-ada aja. Tante cuma mau kenalan aja, sih. Hitung-hitung tambah teman."Arina hanya bisa mengangguk. Setidaknya dia lega karena tidak ada Haikal di sini. Bisa-bisa lelaki itu bercerita tentang ini kepada orang tuanya dan malah menjadi rumit."Bikin acara lima keluarga aja, Tante. Siapa tahu bakalan seru," usul Rani."Iya, Tante." Arina menambah suasana semangat.Juwita menimbang. Dia mengangguk setuju. "Boleh juga. Nanti Tante bakalan pinjem villa."Ketiga anak hawa itu pun melanjutkan berbincang tentang acara yang ingin mereka susun. Bahkan mereka sudah menggambarkan bagaimana tema yang akan mereka sertakan dalam pertemuan tersebut.
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.