Haikal baru saja turun dari mobil yang mengantarnya. Dia melambai ke Arina yang bersebelahan parkir dengan mobilnya. "Anjir, bisa, loh, kita sehati kayak gini. Tahu-tahu gue emang takdir lo, Rin." Haikal dan mulut lemesnya.
Arina hanya menutar bola matanya jengah. Dia sudah terbiasa dengan ocehan Haikal dari kecil. Masalah jodoh berjodoh seperti ini sudah seperti suplemen baginya. Kalau tidak ada kata itu dari Haikal, berarti ada yang salah dengan lelaki itu.
"Heh, gue jangan dicuekin, elah." Haikal menutup pintu mobilnya dan mengejar langkah Arina menuju pintu masuk bangunan pertama. "Eh, ada si bocil."
Atensi Arina tersita karena ucapan Haikal tersebut. Dia menoleh ke arah pandang lelaki itu. Ada Rani dan Syahid yang berjalan ke arah mereka. Gadis itu me
"Lo jangan bercanda, Ran. Enggak mungkin lo enggak tahu Tante Juwita." Haikal mengguyoni gadis di sampingnya. "Dih, maksa. Emang gue enggak tahu Tante Juwita itu siapa. Yang gue tahu, Jevano yang dapet nilai tertinggi masuk sini. Udah." Rani dengan tanpa dosa menjelaskan. Syahid mendengkus. "Dia cucu keluarga Anggari, Maharani. Berarti, bapaknya dia yang nikah sama Tante Juwi yang jadi desainer seragam kita satu sekolah ini. Dengan kata lain, Jevano ada di antara kita dan di-acc sama mama kamu itu juga karena dia adalah salah satu anggota keluarga Anggari jalur pernikahan bapaknya tadi sama Tante Juwi. Bener gak, Kal?" Dia menunjuk dengan gestur tangan menembak kepada Haikal. Haikal menepuk tangan dan membalas menunjuk Syahid. "Itu dia maksud gue. Kenapa l
Juwita memandang rak sepatu yang ada di teras depan rumahnya. Ada empat pasang yang asing. Dia tahu bahwa sepatu-sepatu itu bukanlah sepatu dengan harga yang murah. Dari gayanya, dia bisa tahu siapa pemilik sepatu-sepatu itu, dua laki-laki dan dua perempuan. Wanita itu mengangguk dan meneruskan langkahnya. Ternyata teman Jevano boleh juga pilihan sepatunya.Pintu utama terbuka setelah susah payah Juwita menaruh barang bawaan dan mengambilnya lagi. Dia sengaja tidak bersuara agar tidak mengundang perhatian para makhluk yang sedang berkunjung di rumahnya itu. Dia tersenyum saat melihat ada tiga remaja yang sedang menikmati waktu mereka di ruang keluarga. Ada dua gadis yang sedang menyemangati seorang pemuda yang bermain VR di sana. Dengan perlahan, dia mendekati mereka."Hai. Teman Jevano, ya?" sapanya yang langsung mendapatkan
Juwita terkekeh. "Ada-ada aja. Tante cuma mau kenalan aja, sih. Hitung-hitung tambah teman."Arina hanya bisa mengangguk. Setidaknya dia lega karena tidak ada Haikal di sini. Bisa-bisa lelaki itu bercerita tentang ini kepada orang tuanya dan malah menjadi rumit."Bikin acara lima keluarga aja, Tante. Siapa tahu bakalan seru," usul Rani."Iya, Tante." Arina menambah suasana semangat.Juwita menimbang. Dia mengangguk setuju. "Boleh juga. Nanti Tante bakalan pinjem villa."Ketiga anak hawa itu pun melanjutkan berbincang tentang acara yang ingin mereka susun. Bahkan mereka sudah menggambarkan bagaimana tema yang akan mereka sertakan dalam pertemuan tersebut.
Wajah Jevano tertekuk. Dia baru menyusul teman-temannya di halaman belakang saat Arina memanggilnya."Jev, kamu enggak papa?" tanya Arina melihat raut suram temannya.Jevano hanya menggeleng pelan dan lemah. Kepalanya tertunduk tidak minat. Rasa antusias menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang menggebu tadi jadi menguap begitu saja. Bahkan makanan yang sudah tertata rapi di atas meja, juga dekorasi yang dia buat bersama Syahid dan Haikal tadi menjadi hal paling tidak penting di dunia sekarang."Duduk sini!" Rani melambaikan tangannya dan menepuk kursi di antara dirinya dan Haikal. "Tante Juwita mana? Kok enggak ikutan ke sini?" tanyanya riang."Masih mau mandi. Nanti aku panggil Bunda." Jevano sebisa mungkin
Juwita mendengar isakan Jevano dari balik pintu kamarnya. Dia mengusap air matanya yang juga turun begitu deras. Dia harus menenangkan diri dan tidak memperlihatkan apa pun di depan teman-teman Jevano. Ya, dia harus menutupi semua kecamuk yang sedang berputar di dadanya bagaikan badai. Dia harus terlihat natural di depan para bocah itu.Jangan tanya bagaimana perasaan Juwita sekarang. Dia bahkan tidak bisa mendeskripsikannya. Antara senang dan ingin melonjak-lonjak saat akhirnya Jevano mau memanggilnya 'bunda' ketika mereka hanya berdua atau sedih, iba, dan kasihan melihat wajah Jevano yang kecewa dan tertolak begitu saja. Dia merasa sudah jahat sekali memperlakukan Jevano seperti itu. Ada rasa penyesalan saat melihat anaknya merajuk dan meneteskan air mata di depannya. Lalu, kepedulian yang Jevano tampakkan tadi ... sangat manis. Anaknya benar-benar anak baik seperti kata suaminy
Juwita dan Jevano melepas kepergian lima anak manusia kaya yang sudah dijemput oleh mobil masing-masing. Mereka melambaikan tangan dan menyuruh para tamu itu untuk pulang dengan selamat. Setelah kepergian mereka, keadaan rumah yang bertiang ukiran bunga itu menjadi sepi kembali. Bahkan bunda dan anak itu langsung diam dan bergegas mencari sesuatu yang bisa dikerjakan untuk menjadi pengalihan; Juwita masuk dan pergi ke dapur; Jevano menutup pintu gerbang.Jevano segera masuk ke rumah setelah memastikan semua pintu tertutup dengan baik. Dia mencari bundanya. Suara peralatan bergesekan terdengar dari dapur. Dia mendatangi suara itu. Benar saja, ada sang bunda yang sedang menata piring dan peralatan makan yang telah dicuci Rani di sana. Dia melihat bundanya mengeringkan peralatan tersebut."Bunda, aku bantu boleh?" tanya Jevano y
Juwita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia tidak berhenti tersenyum dari tadi. Rasanya bahagia sekali bisa mengerjai Jevano meskipun sebenarnya dia tak tega. Lebih lagi panggilan 'bunda' yang diucapkan Jevano kepadanya ... ah, itu adalah yang dia inginkan selama ini dan akhirnya terkabulkan.Euforia seorang bunda Juwita ini terinterupsi dengan suara gawai yang berbunyi nyaring. Astaga, kenapa harus ada yang mengganggu di saat seperti ini, sih. Dia meraih gawainya dan melihat nama yang tertera di layar. Ah, ternyata suaminya."Hai, Mas Jamal." Sapaannya terdengar sangat bahagia."Astaga, Juwita. Kamu lagi ketiban apa? Kedengerannya seneng banget." Aslinya, Jamal sudah tahu apa yang membuat istrinya seperti itu. Bahkan dia bisa merasakan kebahagiaan yang meletup letup d
Juwita tidak percaya saat melihat pemandangan di depannya. Ruangan yang biasanya terlihat rapi itu menjadi seperti kapal pecah. Sudah tidak berbentuk. Bahkan sejenak, dia lupa bahwa anaknya adalah pemuda yang rajin membersihkan kamarnya."Astaga, Jevano. Kenapa kamu berantakin semuanya kayak gini?" tanya Juwita sambil melangkah ke dalam kamar. Dia mendekati anaknya dan duduk di depan pemuda itu. Dia menghadapkan koper yang terbuka dan berisi banyak barang itu kepadanya. Dia tidak habis pikir dengan isiannya. Ada banyak baju dan barang yang tidak berguna."Kalau camping, ya, enggak butuh yang namanya baju sebanyak ini. Kamu emangnya mau minggat dari rumah ini? Enggak, kan?" Juwita mengeluarkan baju-baju Jevano serta beberapa celana dari sana. "Lagian, ngapain juga kamu ini bawa koper segala. Dikira mau pindahan rumah jadi ke s
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.