Juwita tidak percaya saat melihat pemandangan di depannya. Ruangan yang biasanya terlihat rapi itu menjadi seperti kapal pecah. Sudah tidak berbentuk. Bahkan sejenak, dia lupa bahwa anaknya adalah pemuda yang rajin membersihkan kamarnya.
"Astaga, Jevano. Kenapa kamu berantakin semuanya kayak gini?" tanya Juwita sambil melangkah ke dalam kamar. Dia mendekati anaknya dan duduk di depan pemuda itu. Dia menghadapkan koper yang terbuka dan berisi banyak barang itu kepadanya. Dia tidak habis pikir dengan isiannya. Ada banyak baju dan barang yang tidak berguna.
"Kalau camping, ya, enggak butuh yang namanya baju sebanyak ini. Kamu emangnya mau minggat dari rumah ini? Enggak, kan?" Juwita mengeluarkan baju-baju Jevano serta beberapa celana dari sana. "Lagian, ngapain juga kamu ini bawa koper segala. Dikira mau pindahan rumah jadi ke s
"Aku di rumah aja, ya, Bun. Sama Bunda." Ini sudah keseratus kalinya Jevano merengek kepada bundanya untuk tidak jadi ikutan camping di sekolah. Padahal, sekarang dia sudah diantarkan menuju lokasi oleh wanita kesayangannya itu.Juwita menghela napas. Ternyata menghadapi Jevano yang asli nan manja ini harus lebih sabar. "Pergi, Jev. Ini kami udah mau sampai. Masa kita mau balik?""Kan, bisa langsung ke mana gitu kek, Bunda."Juwita menggeleng. "No. No. No. Kamu udah punya kesempatan buat ikutan acara kayak gini dan diijinin sama Ayah, itu, ya, harus dimanfaatkan dengan baik, Sayang.""Aku juga dapat kesempatan buat berduaan sama Bunda, jadi harus dimanfaatkan juga dengan baik. Ya, Bunda, ya. Aku sama Bunda aja." Jev
"Mas Jamal udah makan?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Juwita saat teleponnya bersambung dengan sang suami."Say hello, atau assalamualaikum, kek. Masa langsung ditodong pertanyaan." Jamal menggerutu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi pribadinya yang ada di dalam kantor. Ah, tidak pribadi juga, karena ada Arjuna yang masih menggunakannya dengan sangat leluasa. Sudah seperti rumah sendiri.Juwita terkekeh. "Iya, Mas Jamal. Assalamualaikum." Nada bicaranya dibuat-buat agar mendayu, sekalian menggoda suaminya."Waalaikumussalam, Sayang." Balasan Jamal malah berlipat."Ih," malu Juwita yang dipanggil seperti itu."Aku udah makan tadi habis subuh
Juwita memarkirkan mobilnya di depan butik seperti biasanya. Baru saja sambungan teleponnya dengan sang suami terputus. Dia menyandarkan punggungnya sedikit kasar ke jok. Perasaan mengganjal ini, kembali lagi menyapanya. Helaan napasnya terdengar kasar. Dia menutup mata dengan erat, berusaha mengusir pikiran yang selalu mengganggunya tentang wanita yang bernama Aliyah itu. Besok. Besok mungkin akan menjadi sebuah jawaban untuk dirinya. Ya, semoga saja janji mereka terpenuhi. Semoga saja resah dalam hatinya cepat terjawab. Wanita itu membuka pintu dan keluar dari kendaraan. Dia menyapa salah satu pegawainya yang sedang menyapu teras. "Rajin sekali, Mbak Nita." Ramah, itulah Juwita. "Hehehe. Iya, Bu. Ini lagi enggak ada kerja
Juwita baru saja selesai bertemu klien dan pulang tepat pukul lima sore. Dia memasukkan mobil dan tak lupa menutup kembali gerbang rumahnya. Akan tetapi, suara mesin dan klakson mobil di luar sana membuatnya mengurungkan niat. Dia menilik ke luar gerbang.Senyuman wanita itu merekah saat melihat siapa yang ada di mobil itu. Dia membuka gerbang itu lagi dan menunggu pengemudi mobil hitam itu selesai memarkir kendaraannya. Baru dia menutup gerbang dengan benar."Baru pulang juga, huh?" sapa Jamal sambil mendekati sang istri yang setia berdiri di teras, menunggunya untuk masuk rumah bersama.Juwita mengangguk. Bahunya dirangkul oleh Jamal dengan begitu santainya. Dia melirik ke arah sang suami. Sejak kapan Jamal seluwes ini dengannya dalam masalah sentuhan. Biasanya pria it
Jamal dan Juwita masih damai memejamkan mata berdua sambil berpelukan saat seseorang masuk ke dalam rumah mereka."Kok enggak dikunci?" batin orang itu. Berarti, semalaman juga rumah ini tidak aman dari orang asing. Astaga, bagaimana bisa.Dia memasuki ruang tengah dan melihat ada kepala yang sedang tergeletak di atas sofa. Perlahan dia mendekat untuk mengecek. Oh, ternyata Tuan dan Nyonya muda sedang tidur. Dia pun melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menata kiriman makanan dari Nyonya Anggari.Sebentar. Apa? Tuan dan Nyonya muda? Dia pun kembali ke ruang tengah setelah meletakkan bawaannya di atas meja makan. Dia memastikan bahwa yang dia lihat memang benar mereka berdua.Baiklah, dia malah bengong setelah me
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi menuju siang. Baik Jamal maupun Juwita baru saja menyelesaikan acara bebersih badan pagi yang tertunda dari tadi malam. Tujuan utama mereka sekarang adalah ruang makan. Perut mereka sama-sama perlu diisi. Keroncongan sekali rasanya setelah menunda sarapan meskipun sudah menggantikannya dengan pelukan."Hai cewek," sapa Jamal sedikit berbisik di telinga Juwita. Dia memepet istrinya yang sedang menyeduh teh chamomile. Tangannya melingkar di perut wanita itu.Juwita tersentak. Untung saja dia sudah meletakkan teko yang berisikan air panas itu. Napasnya naik turun. Dia mencubit kecil punggung tangan Jamal. "Aku bisa jantungan kalau kamu kayak gini terus, Mas." Dia merasakan persentuhan kulit mereka saat Jamal mendaratkan dagu di perpotongan lehernya.
"Kenapa, Sayang?" tanya Jamal. Dia melepas alas kakinya sebelum masuk ke teras."Enggak papa." Juwita mengikuti gerak Jamal. Dia melepaskan sepatu hak tingginya."Pusing?""Enggak, kok, Mas. Enggak papa."Jamal mengangguk saja. Dia mengulurkan tangannya untuk menjadi tumpuan istrinya. Mereka bergandengan. "Assalamu'alaikum!" Dia mengetuk pintu utama rumah Mbak Lia."Waalaikumussalam!" Terdengar suara wanita menjawab salam dari dalam. Kemudian pintu itu terbuka. "Ya Allah, Ya Rahman! Masih inget rumah sini ternyata!" Wanita itu, Mbak Lia, memasang wajah semringah meskipun sapaannya tadi seperti orang sedang melabrak.
"Namanya Bunga, Pa. Dia adalah pacar Jamal."Saat itu, Jamal baru berumur sembilan belas tahun, awal menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Dia memperkenalkan gadis yang dia sukai sejak sekolah menengah kepada orang tuanya. Kisah cinta mereka penuh dengan lika-liku. Jamal yang terkenal pendiam dan dingin bisa ditaklukan oleh gadis bernama Bunga ini."Oh, jadi ini gadis yang bisa membuat kamu turun dalam meraih prestasi?" tanya sang ayah dengan nada penuh sindiran. Wajahnya sungguh tidak bersahabat. Bahkan dia memandang rendah ke arah Bunga."Ayah, kenapa berkata begitu?" Jamal tidak enak dengan kekasihnya yang tertunduk dalam di sebelahnya. Dia menggenggam tangan kekasihnya dengan erat untuk menguatkan."Kamu pikir ke
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.