Wajah Jevano tertekuk. Dia baru menyusul teman-temannya di halaman belakang saat Arina memanggilnya.
"Jev, kamu enggak papa?" tanya Arina melihat raut suram temannya.
Jevano hanya menggeleng pelan dan lemah. Kepalanya tertunduk tidak minat. Rasa antusias menghabiskan waktu bersama teman-temannya yang menggebu tadi jadi menguap begitu saja. Bahkan makanan yang sudah tertata rapi di atas meja, juga dekorasi yang dia buat bersama Syahid dan Haikal tadi menjadi hal paling tidak penting di dunia sekarang.
"Duduk sini!" Rani melambaikan tangannya dan menepuk kursi di antara dirinya dan Haikal. "Tante Juwita mana? Kok enggak ikutan ke sini?" tanyanya riang.
"Masih mau mandi. Nanti aku panggil Bunda." Jevano sebisa mungkin
Juwita mendengar isakan Jevano dari balik pintu kamarnya. Dia mengusap air matanya yang juga turun begitu deras. Dia harus menenangkan diri dan tidak memperlihatkan apa pun di depan teman-teman Jevano. Ya, dia harus menutupi semua kecamuk yang sedang berputar di dadanya bagaikan badai. Dia harus terlihat natural di depan para bocah itu.Jangan tanya bagaimana perasaan Juwita sekarang. Dia bahkan tidak bisa mendeskripsikannya. Antara senang dan ingin melonjak-lonjak saat akhirnya Jevano mau memanggilnya 'bunda' ketika mereka hanya berdua atau sedih, iba, dan kasihan melihat wajah Jevano yang kecewa dan tertolak begitu saja. Dia merasa sudah jahat sekali memperlakukan Jevano seperti itu. Ada rasa penyesalan saat melihat anaknya merajuk dan meneteskan air mata di depannya. Lalu, kepedulian yang Jevano tampakkan tadi ... sangat manis. Anaknya benar-benar anak baik seperti kata suaminy
Juwita dan Jevano melepas kepergian lima anak manusia kaya yang sudah dijemput oleh mobil masing-masing. Mereka melambaikan tangan dan menyuruh para tamu itu untuk pulang dengan selamat. Setelah kepergian mereka, keadaan rumah yang bertiang ukiran bunga itu menjadi sepi kembali. Bahkan bunda dan anak itu langsung diam dan bergegas mencari sesuatu yang bisa dikerjakan untuk menjadi pengalihan; Juwita masuk dan pergi ke dapur; Jevano menutup pintu gerbang.Jevano segera masuk ke rumah setelah memastikan semua pintu tertutup dengan baik. Dia mencari bundanya. Suara peralatan bergesekan terdengar dari dapur. Dia mendatangi suara itu. Benar saja, ada sang bunda yang sedang menata piring dan peralatan makan yang telah dicuci Rani di sana. Dia melihat bundanya mengeringkan peralatan tersebut."Bunda, aku bantu boleh?" tanya Jevano y
Juwita merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia tidak berhenti tersenyum dari tadi. Rasanya bahagia sekali bisa mengerjai Jevano meskipun sebenarnya dia tak tega. Lebih lagi panggilan 'bunda' yang diucapkan Jevano kepadanya ... ah, itu adalah yang dia inginkan selama ini dan akhirnya terkabulkan.Euforia seorang bunda Juwita ini terinterupsi dengan suara gawai yang berbunyi nyaring. Astaga, kenapa harus ada yang mengganggu di saat seperti ini, sih. Dia meraih gawainya dan melihat nama yang tertera di layar. Ah, ternyata suaminya."Hai, Mas Jamal." Sapaannya terdengar sangat bahagia."Astaga, Juwita. Kamu lagi ketiban apa? Kedengerannya seneng banget." Aslinya, Jamal sudah tahu apa yang membuat istrinya seperti itu. Bahkan dia bisa merasakan kebahagiaan yang meletup letup d
Juwita tidak percaya saat melihat pemandangan di depannya. Ruangan yang biasanya terlihat rapi itu menjadi seperti kapal pecah. Sudah tidak berbentuk. Bahkan sejenak, dia lupa bahwa anaknya adalah pemuda yang rajin membersihkan kamarnya."Astaga, Jevano. Kenapa kamu berantakin semuanya kayak gini?" tanya Juwita sambil melangkah ke dalam kamar. Dia mendekati anaknya dan duduk di depan pemuda itu. Dia menghadapkan koper yang terbuka dan berisi banyak barang itu kepadanya. Dia tidak habis pikir dengan isiannya. Ada banyak baju dan barang yang tidak berguna."Kalau camping, ya, enggak butuh yang namanya baju sebanyak ini. Kamu emangnya mau minggat dari rumah ini? Enggak, kan?" Juwita mengeluarkan baju-baju Jevano serta beberapa celana dari sana. "Lagian, ngapain juga kamu ini bawa koper segala. Dikira mau pindahan rumah jadi ke s
"Aku di rumah aja, ya, Bun. Sama Bunda." Ini sudah keseratus kalinya Jevano merengek kepada bundanya untuk tidak jadi ikutan camping di sekolah. Padahal, sekarang dia sudah diantarkan menuju lokasi oleh wanita kesayangannya itu.Juwita menghela napas. Ternyata menghadapi Jevano yang asli nan manja ini harus lebih sabar. "Pergi, Jev. Ini kami udah mau sampai. Masa kita mau balik?""Kan, bisa langsung ke mana gitu kek, Bunda."Juwita menggeleng. "No. No. No. Kamu udah punya kesempatan buat ikutan acara kayak gini dan diijinin sama Ayah, itu, ya, harus dimanfaatkan dengan baik, Sayang.""Aku juga dapat kesempatan buat berduaan sama Bunda, jadi harus dimanfaatkan juga dengan baik. Ya, Bunda, ya. Aku sama Bunda aja." Jev
"Mas Jamal udah makan?" Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan oleh Juwita saat teleponnya bersambung dengan sang suami."Say hello, atau assalamualaikum, kek. Masa langsung ditodong pertanyaan." Jamal menggerutu. Dia baru saja keluar dari kamar mandi pribadinya yang ada di dalam kantor. Ah, tidak pribadi juga, karena ada Arjuna yang masih menggunakannya dengan sangat leluasa. Sudah seperti rumah sendiri.Juwita terkekeh. "Iya, Mas Jamal. Assalamualaikum." Nada bicaranya dibuat-buat agar mendayu, sekalian menggoda suaminya."Waalaikumussalam, Sayang." Balasan Jamal malah berlipat."Ih," malu Juwita yang dipanggil seperti itu."Aku udah makan tadi habis subuh
Juwita memarkirkan mobilnya di depan butik seperti biasanya. Baru saja sambungan teleponnya dengan sang suami terputus. Dia menyandarkan punggungnya sedikit kasar ke jok. Perasaan mengganjal ini, kembali lagi menyapanya. Helaan napasnya terdengar kasar. Dia menutup mata dengan erat, berusaha mengusir pikiran yang selalu mengganggunya tentang wanita yang bernama Aliyah itu. Besok. Besok mungkin akan menjadi sebuah jawaban untuk dirinya. Ya, semoga saja janji mereka terpenuhi. Semoga saja resah dalam hatinya cepat terjawab. Wanita itu membuka pintu dan keluar dari kendaraan. Dia menyapa salah satu pegawainya yang sedang menyapu teras. "Rajin sekali, Mbak Nita." Ramah, itulah Juwita. "Hehehe. Iya, Bu. Ini lagi enggak ada kerja
Juwita baru saja selesai bertemu klien dan pulang tepat pukul lima sore. Dia memasukkan mobil dan tak lupa menutup kembali gerbang rumahnya. Akan tetapi, suara mesin dan klakson mobil di luar sana membuatnya mengurungkan niat. Dia menilik ke luar gerbang.Senyuman wanita itu merekah saat melihat siapa yang ada di mobil itu. Dia membuka gerbang itu lagi dan menunggu pengemudi mobil hitam itu selesai memarkir kendaraannya. Baru dia menutup gerbang dengan benar."Baru pulang juga, huh?" sapa Jamal sambil mendekati sang istri yang setia berdiri di teras, menunggunya untuk masuk rumah bersama.Juwita mengangguk. Bahunya dirangkul oleh Jamal dengan begitu santainya. Dia melirik ke arah sang suami. Sejak kapan Jamal seluwes ini dengannya dalam masalah sentuhan. Biasanya pria it
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.