Juwita berusaha menahan tangisnya namun tak bisa. Air matanya bercucuran. Dia menutup mulutnya sendiri dengan tangan agar. Isakannya terdengar sangat pilu.
"Ja-jadi ... Jevano itu ...." Dia bahkan tidak sanggup menyimpulkan semua yang diceritakan oleh Mbak Lia. Kepalanya menggeleng, mencoba untuk menyangkal apa yang terlanjur terjadi.
"Iya. Jevano memang anak yang dihasilkan di luar pernikahan. Jamal harus menanggung hidup pas-pasan selama ini karena keluar dari keluarganya. Mbak Lia harap kamu bisa memahami apa yang Mbak ceritakan ke kamu, ya. Mbak sudah bersyukur banget kamu mau menerima Jamal. Mbak berharap kamu juga bisa menerima sisi gelapnya yang dulu ini." Mbak Lia memeluk Juwita. Dia sengaja mengajak Juwita ke kamar anaknya untuk berbicara tentang ini.
"Ya ampun,
"Semuanya sudah berlalu, kan? Semuanya sudah terlanjur, kan?" lanjut Juwita setelah ada jeda keheningan beberapa saat. Dia melepaskan genggaman tangan Jamal di tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam."Lalu, kenapa kamu menangis?" Ini akan menjadi pertanyaan yang sungguh disesali oleh Jamal."Kenapa aku menangis, Mas? Jevano! Aku enggak bisa bayangkan bagaimana dia menjadi korban semua ini. Hidupnya seharusnya bisa lebih dari tercukupi kalau Mas enggak seceroboh itu. A-aku ... aku cuma kasihan sama Jevano, Mas." Juwita kembali menelungkupkan wajahnya ke tangan. Isakannya sangat kuat.Jamal juga tahu itu. Bahkan dia menjadikannya alasan untuk membesarkan Jevano dengan baik dan benar."Kalau kamu mau meminta maaf, Ma
"Tumben banget jemputnya berdua. Kerjaan Ayah udah kelar?" Jevano melepas tasnya dan meletakkannya di samping. Dia duduk di bangku belakang. Dia tidak menyadari, bahkan tidak memedulikan suasana di antara kedua orang tuanya yang terasa lebih sunyi dari biasanya."Belum, tapi lumayan, lah, teringankan berkat lembur kemarin. Ayah dan Bunda habis ke rumah Budhe Lia," jawab Jamal sambil memiringkan badannya untuk melihat sang anak.Mata Jevano melebar. "Ke Budhe Lia? Enggak ngajak aku, Ayah?" Wajahnya berubah. Dia cemberut dengan lengkungan bibir yang ujungnya ke bawah. "Tega banget enggak tunggu aku pulang dulu. Padahal aku udah lama pengin ke rumah Budhe Lia.""Mbak dan Mas di pondok, Jev. Kamu ke sana nanti juga ujungnya bakalan melamun doang." Jamal mulai menyalakan mesi
"Hai, Kak! Lama enggak nongki gak, sih, kita nih?" Sambungan telepon bluetooth mobil baru saja tersambung. Suara riang dari dokter muda nan cantik ini sudah memenuhi mobil.Juwita menghela napas. "Iya.""Lah? Lo kenapa, dah? Ada masalah?" tanya Hellen yang sungguh sangat peka dengan sahabatnya ini."Lo di mana? Di rumah?" Juwita to the point."Enggak. Gue lagi keluar, sih. Gue lagi belanja.""Di?""Di toko, lah. Masa di empang.""Yang bener. Cepetan, gue samperin.""Lih? Gue di supermarket dekat
Suara air kran di belakang sana masih terdengar jelas di telinga Juwita. Dia sedang fokus mencoret-coret di atas buku sketsa, menghadap ke halaman belakang. Anaknya sudah pamitan untuk belajar dan melanjutkan tidur. Tinggal dirinya dan Jamal yang tersisa di lantai satu.Keadaan hening sama sekali setelah kran itu dimatikan. Baik Juwita maupun Jamal tidak ada yang mengeluarkan satu patah kata pun. Mereka masih saling diam. Ah, lebih tepatnya membiarkan kejumudan yang sempat mencair tadi membeku lagi dan menyelimuti mereka.Juwita menghentikan goresan penanya. Dia ragu. Rasanya ingin sekali memulai pembicaraan dengan sang suami, tapi ... apa? Di kepalanya terulang terus menerus perkataan Hellen tadi, "He is so into you.""Aku buatin teh chamomile buat temenin kamu." Jamal meletakkan cangkir itu di sebelah buku Juwita. "Jangan begadang, ya. Kamu udah terlalu capek hari ini."Suara Jamal yang rendah dan lembut membuat tubuh Juwita menjadi kaku. Akan tetapi, h
Di kediaman utama keluarga Anggari, sang nyonya besar sedang sibuk membuatkan minuman untuk suaminya. Dia melihat Tuan Anggari sedari tadi pagi berkutat dengan kerjaan. Dia jadi tidak tega."Teh dulu, Pa." Nyonya Anggari meletakkan cangkir dan lepek di atas meja.Tuan Anggari memberikan senyumannya dan berterima kasih. Tangannya langsung menyambar cangkir itu dan menikmatinya. "Ah, seger banget. Mana di luar lagi hujan." Dia menjeda seruputannya. "Mama kapan balik?""Barusan. Heran, deh. Sedari tadi sebelum Mama berangkat Paao di sini. Pas pulang juga masih di sini. Betah amat."Tuan Anggari terkekeh. "Aku kamu tinggal, jadi menyendiri aja, deh, di sini.""Hallah. Alesan.""Gimana hotel, Ma? Lancar?"Nyonya Anggari mengangguk. "Syukur banget aku datang ke sana. Ada banyak pengunjung yang datang dari luar negeri dan mau bertemu langsung dengan pemilik hotel untuk kerja sama. Jadi, tadi agak lama karena harus rapat buat kontrak sewa sel
Jevano membuka matanya. Dia merasakan sesak napas. Hawa di sekitarnya juga terasa memanas. Apa dia lupa menyalakan AC tadi malam? Kasurnya juga terasa semakin menyempit. Bahkan dia sekarang sulit bergerak.Pemuda itu hendak bangkit tapi seperti ada yang menahan badannya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Astaga, ada kepala di sisi kanan dan sisi kirinya. Dia diapit oleh ayah dan bundanya. Terus dia harus bergerak bagaimana ini.Dia memejamkan matanya lagi. Pasrah saja dengan keadaan. Lagian, kenapa kedua orang tuanya malah berpindah kamar ke sini, sih?"Ayah, Bunda, bentar. Gerah." Jevano berusaha menyingkrikan tangan kedua orang tuanya yang melingkar di tubuhnya dengan perlahan. Setelah beberapa menit, dia bisa lolos dari sana. Dia bangkit dari kasur dan mengambil remot AC. Dia menurunkan suhu ruangan.Matanya melayang ke jam dinding. Masih jam satu pagi. Dia hendak kembali tidur ke kasur, namun tertahan akan sesuatu. Dia bersendekap, menatap kedua orang
Jamal menoleh. "Kamu kayak orang yang enggak terbebani setelah kehilangan."Arjuna menghela napas. "Sekarang, sih, udah bisa biasa. Butuh waktu yang lumayan lama dan intensif buat aku untuk kembali seperti sekarang. Ini aja masih belum sempurna kata dokter.""Masih sering check up?"Pria itu mengangguk. "Harus. Karena sekarang aku mempunyai Kak Jamal yang harus selalu ditemani di kantor. Jadi, aku harus tetap sehat untuk itu.""Kamu benar-benar tertarik buat jadikan saya kakak kamu?"Arjuna mengangguk mantap. "Iya. Karena kata Tuan Anggari Kak Jamal pasti bisa menjadi pengganti kakakku. Aku percaya. Ternyata ... apa yang dikatakan oleh Tuan Anggari benar. Kak J
Jamal baru saja mendapatkan telepon dari Pak Hartanto untuk segera pergi ke ruangan kerja mertuanya itu. Dia telah menyelesaikan makan siang singkatnya di kantin dengan tidak nyaman, karena banyak mata yang menuju kepadanya. Bagaimana tidak, Arjuna membuat keributan dengan bernyanyi sangat asoy hingga tidak memedulikan sekitar. Sebenarnya, suara pria itu bagus, hanya saja waktunya yang tidak tepat. Astaga, Jamal sabar.Pintu ruangan Tuan Anggari diketuk dengan sopan. Jamal masuk setelah dipersilkan oleh pemilik ruangan. Dia melirik ke arah sofa yang ada di ruangan tersebut. Arjuna lagi, kenapa hidupnya dipenuhi dengan pria ini? Lalu apa itu? Dengan enaknya Arjuna melambaikan tangan setelah membuatnya malu di kantin?"Ada apa, Tuan?" tanya Jamal yang berdiri tegap menghadap mertuanya.