"Hai, Kak! Lama enggak nongki gak, sih, kita nih?" Sambungan telepon bluetooth mobil baru saja tersambung. Suara riang dari dokter muda nan cantik ini sudah memenuhi mobil.
Juwita menghela napas. "Iya."
"Lah? Lo kenapa, dah? Ada masalah?" tanya Hellen yang sungguh sangat peka dengan sahabatnya ini.
"Lo di mana? Di rumah?" Juwita to the point.
"Enggak. Gue lagi keluar, sih. Gue lagi belanja."
"Di?"
"Di toko, lah. Masa di empang."
"Yang bener. Cepetan, gue samperin."
"Lih? Gue di supermarket dekat
Suara air kran di belakang sana masih terdengar jelas di telinga Juwita. Dia sedang fokus mencoret-coret di atas buku sketsa, menghadap ke halaman belakang. Anaknya sudah pamitan untuk belajar dan melanjutkan tidur. Tinggal dirinya dan Jamal yang tersisa di lantai satu.Keadaan hening sama sekali setelah kran itu dimatikan. Baik Juwita maupun Jamal tidak ada yang mengeluarkan satu patah kata pun. Mereka masih saling diam. Ah, lebih tepatnya membiarkan kejumudan yang sempat mencair tadi membeku lagi dan menyelimuti mereka.Juwita menghentikan goresan penanya. Dia ragu. Rasanya ingin sekali memulai pembicaraan dengan sang suami, tapi ... apa? Di kepalanya terulang terus menerus perkataan Hellen tadi, "He is so into you.""Aku buatin teh chamomile buat temenin kamu." Jamal meletakkan cangkir itu di sebelah buku Juwita. "Jangan begadang, ya. Kamu udah terlalu capek hari ini."Suara Jamal yang rendah dan lembut membuat tubuh Juwita menjadi kaku. Akan tetapi, h
Di kediaman utama keluarga Anggari, sang nyonya besar sedang sibuk membuatkan minuman untuk suaminya. Dia melihat Tuan Anggari sedari tadi pagi berkutat dengan kerjaan. Dia jadi tidak tega."Teh dulu, Pa." Nyonya Anggari meletakkan cangkir dan lepek di atas meja.Tuan Anggari memberikan senyumannya dan berterima kasih. Tangannya langsung menyambar cangkir itu dan menikmatinya. "Ah, seger banget. Mana di luar lagi hujan." Dia menjeda seruputannya. "Mama kapan balik?""Barusan. Heran, deh. Sedari tadi sebelum Mama berangkat Paao di sini. Pas pulang juga masih di sini. Betah amat."Tuan Anggari terkekeh. "Aku kamu tinggal, jadi menyendiri aja, deh, di sini.""Hallah. Alesan.""Gimana hotel, Ma? Lancar?"Nyonya Anggari mengangguk. "Syukur banget aku datang ke sana. Ada banyak pengunjung yang datang dari luar negeri dan mau bertemu langsung dengan pemilik hotel untuk kerja sama. Jadi, tadi agak lama karena harus rapat buat kontrak sewa sel
Jevano membuka matanya. Dia merasakan sesak napas. Hawa di sekitarnya juga terasa memanas. Apa dia lupa menyalakan AC tadi malam? Kasurnya juga terasa semakin menyempit. Bahkan dia sekarang sulit bergerak.Pemuda itu hendak bangkit tapi seperti ada yang menahan badannya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Astaga, ada kepala di sisi kanan dan sisi kirinya. Dia diapit oleh ayah dan bundanya. Terus dia harus bergerak bagaimana ini.Dia memejamkan matanya lagi. Pasrah saja dengan keadaan. Lagian, kenapa kedua orang tuanya malah berpindah kamar ke sini, sih?"Ayah, Bunda, bentar. Gerah." Jevano berusaha menyingkrikan tangan kedua orang tuanya yang melingkar di tubuhnya dengan perlahan. Setelah beberapa menit, dia bisa lolos dari sana. Dia bangkit dari kasur dan mengambil remot AC. Dia menurunkan suhu ruangan.Matanya melayang ke jam dinding. Masih jam satu pagi. Dia hendak kembali tidur ke kasur, namun tertahan akan sesuatu. Dia bersendekap, menatap kedua orang
Jamal menoleh. "Kamu kayak orang yang enggak terbebani setelah kehilangan."Arjuna menghela napas. "Sekarang, sih, udah bisa biasa. Butuh waktu yang lumayan lama dan intensif buat aku untuk kembali seperti sekarang. Ini aja masih belum sempurna kata dokter.""Masih sering check up?"Pria itu mengangguk. "Harus. Karena sekarang aku mempunyai Kak Jamal yang harus selalu ditemani di kantor. Jadi, aku harus tetap sehat untuk itu.""Kamu benar-benar tertarik buat jadikan saya kakak kamu?"Arjuna mengangguk mantap. "Iya. Karena kata Tuan Anggari Kak Jamal pasti bisa menjadi pengganti kakakku. Aku percaya. Ternyata ... apa yang dikatakan oleh Tuan Anggari benar. Kak J
Jamal baru saja mendapatkan telepon dari Pak Hartanto untuk segera pergi ke ruangan kerja mertuanya itu. Dia telah menyelesaikan makan siang singkatnya di kantin dengan tidak nyaman, karena banyak mata yang menuju kepadanya. Bagaimana tidak, Arjuna membuat keributan dengan bernyanyi sangat asoy hingga tidak memedulikan sekitar. Sebenarnya, suara pria itu bagus, hanya saja waktunya yang tidak tepat. Astaga, Jamal sabar.Pintu ruangan Tuan Anggari diketuk dengan sopan. Jamal masuk setelah dipersilkan oleh pemilik ruangan. Dia melirik ke arah sofa yang ada di ruangan tersebut. Arjuna lagi, kenapa hidupnya dipenuhi dengan pria ini? Lalu apa itu? Dengan enaknya Arjuna melambaikan tangan setelah membuatnya malu di kantin?"Ada apa, Tuan?" tanya Jamal yang berdiri tegap menghadap mertuanya.
Jamal mengamati sekitar. Ternyata ini yang dimaksud oleh mertuanya dengan 'makanan penutup'. Tentu saja dia tidak canggung saat memasuki restoran Adimas yang terkenal itu. Dia masih ingat dengan tata letak restoran ini yang khas ala padepokan Jawa. Dia berjalan di sebelah Arjuna, di belakang Tuan Anggari. Mereka disambut oleh beberapa orang yang sama berjas rapi. Dia menunggu giliran berjabat tangan."Oh, ini menantu Pak Abdillah." Salah satu dari empat pria, yang terlihat paling berumur, menjabat tangan Jamal dan menepuk pundak suami Juwita itu.Jamal menyuguhkan senyuman dan cekungan pipinya. Dia menunduk sopan, lalu menjabat tangan tiga orang yang lainnya. Baiklah, sepertinya dia sudah tahu ke mana arah berpikir Tuan Anggari tentang mencari jajan untuk makanan penutup. Biasanya yang manis-manis, bukan?Mereka bertujuh diarahkan oleh pelayan restoran ke sebuah ruangan khusus pemesan VIP. Jamal tahu tata letak dan juga fasilitasnya. Dia masih berjalan di sebelah Arjuna."Kak," sapa A
"Besok aku jemput, Kak. Tinggal calling aja kalau aku belom nongol jam enam." Arjuna berpesan saat Jamal sudah turun dari mobil. Kaca kendaraan di sebelahnya diturunkan. Mereka berdua ada di depan rumah Jamal."Oke. Hati-hati di jalan, ya."Arjuna memasang wajah haru, mau nangis seperti anak kecil. Dia memajukan bibir dan menatap Jamal. "So sweet.""Arjuna!"Pria yang lebih muda itu tertawa. "Enggak sabar buat ketemu Kakak besok.""Ngapain?" Jamal menatap tajam ke arah Arjuna."Mau cari cara buat bikin Kakak tambah sebel aja."Baru saja Jamal hendak b
Jevano bersandar di tiang berukir bunga di teras. Kedua tangannya dia masukkan ke saku celana. Dia memandang langit yang terbentang di atas sana. Dia sudah menunggu cukup lama di sini. "Kenapa Ayah minta maafnya lama banget, sih?" gerutu bocah itu dalam hati. Dia memainkan sepatunya, menggesekkan sol ke atas permukaan lantai.Hah, bocah ... dia tahu apa tentang yang terjadi di dalam sana?Baru saja Jevano hendak menyusul Juwita dan meminta sang bunda untuk mengantarkan ke sekolah, yang ditunggu sudah menampakkan diri di pintu utama dengan wajah yang berseri. Si bocah lima belas tahun itu malah terdiam. Cepat sekali bundanya berubah? Apa memang bundanya sebaik itu hatinya? Astaga, kalau begitu dia tidak akan pernah menyetujui pengangkatan Haikal menjadi saudaranya. Bundanya terlalu berharga untuk remaja labil seperti temannya
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.