"Besok aku jemput, Kak. Tinggal calling aja kalau aku belom nongol jam enam." Arjuna berpesan saat Jamal sudah turun dari mobil. Kaca kendaraan di sebelahnya diturunkan. Mereka berdua ada di depan rumah Jamal.
"Oke. Hati-hati di jalan, ya."
Arjuna memasang wajah haru, mau nangis seperti anak kecil. Dia memajukan bibir dan menatap Jamal. "So sweet."
"Arjuna!"
Pria yang lebih muda itu tertawa. "Enggak sabar buat ketemu Kakak besok."
"Ngapain?" Jamal menatap tajam ke arah Arjuna.
"Mau cari cara buat bikin Kakak tambah sebel aja."
Baru saja Jamal hendak b
Jevano bersandar di tiang berukir bunga di teras. Kedua tangannya dia masukkan ke saku celana. Dia memandang langit yang terbentang di atas sana. Dia sudah menunggu cukup lama di sini. "Kenapa Ayah minta maafnya lama banget, sih?" gerutu bocah itu dalam hati. Dia memainkan sepatunya, menggesekkan sol ke atas permukaan lantai.Hah, bocah ... dia tahu apa tentang yang terjadi di dalam sana?Baru saja Jevano hendak menyusul Juwita dan meminta sang bunda untuk mengantarkan ke sekolah, yang ditunggu sudah menampakkan diri di pintu utama dengan wajah yang berseri. Si bocah lima belas tahun itu malah terdiam. Cepat sekali bundanya berubah? Apa memang bundanya sebaik itu hatinya? Astaga, kalau begitu dia tidak akan pernah menyetujui pengangkatan Haikal menjadi saudaranya. Bundanya terlalu berharga untuk remaja labil seperti temannya
Selepas kepergian anak dan istrinya, Jamal masih harus bersabar untuk menunggu jemputan yang katanya akan on time jam enam pagi. Jam enam pagi apanya? Bahkan ini hampir jam setengah delapan, tapi batang hidung seorang manusia yang bernama Arjuna itu belum terlihat juga tanda dan alamat akan datang. Fix, dia hanya dikibuli kemarin.Hingga, Jamal bosan untuk sekedar mengecek surat elektroniknya dari gawai. Ya, paling tidak kalau telat masuk kantor, ada kerjaan yang dicicil, lah. Dia pun menyimpan gawainya dan keluar dari rumah, menutup semua pintu dan menguncinya. Sepertinya dia harus mencari tumpangan online.Akan tetapi, sebuah mobil hitam Lexus ES 300h datang dan berhenti tepat di depan gerbang Jamal saat pria itu sedang mengunci gembok. Dia berbalik dan berkacak pinggang. Kaca mobil turun perlahan dan menampakkan Arjuna sed
"Ngapain lo senyum kayak gitu?" Haikal menenggor pundak Jevano yang lebih berisi darinya itu. Alhasil dia merasakan setruman listrik di sekujur tangannya. Sakit juga.Jevano menoleh. "Kepo aja lo.""Memastikan kalau lo enggak kesurupan setan sekolah. Lagian ini di lorong dan lo cerah banget. Kalai mau cerah, noh, di lapangan. Sekalian biar matahari juga seneng kalau dia bisa mencerahkan orang suram kayak lo." Mulut Haikal memang bisa kali, ya, untuk dikucir.Jevano tidak menanggapi. Dia meneruskan jalannya dan dia tahu temannya itu pasti akan tetap berjalan di sisinya. Akan tetapi, tiba-tiba kepalanya dikait oleh tanda sabit bertitik. "Lo pernah dicium sama orang tua lo enggak?"Haikal sampai menarik tubuhnya ke kan
Pekerjaan Jamal dan para karyawannya memang sudah selesai bahkan sebelum jam sepuluh. Akan tetapi, pekerjaan Jevano kini malah semakin banyak dan membuat pemuda itu kuwalahan. Bagaimana tidak, dia sudah dikerubung oleh delapan pegawai wanita yang tentu saja sangat ingin berkenalan dan tahu lebih banyak tentang si bocah ganteng anak atasan, Jevano."Kamu kelas berapa?" Pertanyaan pertama."Kelas satu SMA, Tante." Jevano menjawabnya dengan santai. Tidak enak juga kalau dia hanya diam dan tak menghiraukan mereka. Bisa-bisa dia mendapatkan pidato dari ayahnya panjang lebar nanti."Sekolah di mana?""Sidoratama High School."Semuanya memberi reaksi kagum. Hal membua
Jevano mengikuti ayahnya yang berjalan dengan sangat terburu saat memasuki pabrik. Banyak orang yang menyapa ayahnya dan tentu saja dia tidak tahu menahu siapa mereka kecuali sebatas karyawan. Dia mendengarkan percakapan sang ayah yang menanyakan tentang korban kecelakaan itu kepada orang yang menyambut mereka di depan pabrik tadi. Saat akan memasuki suatu pintu, yang terlihat seperti pintu masuk ke ruang mesin, Jevano ditahan oleh seorang penjaga. Dia terpaksa berhenti. Ayahnya masih meneruskan langkah."Ayah!" panggilnya meminta bantuan.Jamal menoleh. Dia menghentikan percakapannya dengan orang yang memandunya tadi. Dia meminta waktu sebentar dan menghampiri Jevano. "Tak apa. Dia anak saya. Saya sengaja membawanya kemari untuk belajar." Tangannya dilingkarkan ke bahu anaknya dan mengajak bocah itu masuk. "Kamu tetap di seb
Arjuna menghampiri Jamal yang terduduk sambil tertunduk sendirian di kursi ruang tunggu. Wajah kakaknya itu terlihat kusut. Dia jadi tidak tega melihatnya. "Kak," panggilnya yang langsung mendapatkan respons dari sang kakak.Jamal menoleh. Dia memaksakan sebuah senyuman untuk menyambut pria yang sudah duduk di sebelahnya. "Sudah beres semuanya?"Arjuna mengangguk. "Syukurlah. Om Dillah juga udah tahu tapi Om belum bisa ke sini. Om ada acara yang harus dihadiri. Dia, kan, juga termasuk dari pemegang saham yang terbesar di perusahaan Hanasome. Mereka ada rapat hari ini."Jamal mengangguk paham."Kakak nyuruh Jevano ke kantin?""Dia sendiri yang menawarkan d
"Bundaaaaaa!" Jevano berteriak begitu masuk rumah. Dia tidak peduli dengan suaranya yang menggema ke seluruh penjuru rumah."Apa, Sayang?" Juwita sedang ada di tempat favoritnya, kafetaria sebelah dapur. Dia beranjak dari sana dan mendatangi Jevano."Bundaaaa!" teriak Jevano sekali lagi yang tambah gunggungan padahal sudah melihat bundanya secara langsung."Apa, sih, Sayang? Anak Pak Jamal berisik banget, sih?" Juwita menerima bentangan tangan Jevano. Dia memeluk anaknya. "Bau asem.""Bunda, ih," protes bocah itu.Juwita terkekeh. Dia menyibak rambut Jevano ke belakang, menampilkan jidat anaknya yang semakin tampan saja jika dilihat. "Hahaha. Kamu diajak
Jevano berjalan keluar dari kawasan kompleks rumahnya dan duduk di bangku taman. Dia telah menelepon Haikal untuk segera menjemputnya. Akan tetapi, memang kesal banyak membawa sial, Haikal baru saja bangun tidur dan otomatis dia harus menunggu temannya itu lebih lama. Tahu begini, dia tidak akan meninggalkan rumahnya dulu tadi."Loh, Jevano?" panggil seseorang.Jevano mengangkat pandangannya dari gawai yang sedang dia mainkan. Ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Kaca mobil itu diturunkan. Dia mendekati mobil itu. Wajah pengendaranya tak asing lagi dalam benaknya. "Om Arjuna?" Matanya membola. Gawat."Kenapa kamu di situ? Diusir dari rumah?" tanya Arjuna yang sangat tepat sasaran."Aku minggat lebih tepatnya."
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.