Jevano mengikuti ayahnya yang berjalan dengan sangat terburu saat memasuki pabrik. Banyak orang yang menyapa ayahnya dan tentu saja dia tidak tahu menahu siapa mereka kecuali sebatas karyawan. Dia mendengarkan percakapan sang ayah yang menanyakan tentang korban kecelakaan itu kepada orang yang menyambut mereka di depan pabrik tadi. Saat akan memasuki suatu pintu, yang terlihat seperti pintu masuk ke ruang mesin, Jevano ditahan oleh seorang penjaga. Dia terpaksa berhenti. Ayahnya masih meneruskan langkah.
"Ayah!" panggilnya meminta bantuan.
Jamal menoleh. Dia menghentikan percakapannya dengan orang yang memandunya tadi. Dia meminta waktu sebentar dan menghampiri Jevano. "Tak apa. Dia anak saya. Saya sengaja membawanya kemari untuk belajar." Tangannya dilingkarkan ke bahu anaknya dan mengajak bocah itu masuk. "Kamu tetap di seb
Arjuna menghampiri Jamal yang terduduk sambil tertunduk sendirian di kursi ruang tunggu. Wajah kakaknya itu terlihat kusut. Dia jadi tidak tega melihatnya. "Kak," panggilnya yang langsung mendapatkan respons dari sang kakak.Jamal menoleh. Dia memaksakan sebuah senyuman untuk menyambut pria yang sudah duduk di sebelahnya. "Sudah beres semuanya?"Arjuna mengangguk. "Syukurlah. Om Dillah juga udah tahu tapi Om belum bisa ke sini. Om ada acara yang harus dihadiri. Dia, kan, juga termasuk dari pemegang saham yang terbesar di perusahaan Hanasome. Mereka ada rapat hari ini."Jamal mengangguk paham."Kakak nyuruh Jevano ke kantin?""Dia sendiri yang menawarkan d
"Bundaaaaaa!" Jevano berteriak begitu masuk rumah. Dia tidak peduli dengan suaranya yang menggema ke seluruh penjuru rumah."Apa, Sayang?" Juwita sedang ada di tempat favoritnya, kafetaria sebelah dapur. Dia beranjak dari sana dan mendatangi Jevano."Bundaaaa!" teriak Jevano sekali lagi yang tambah gunggungan padahal sudah melihat bundanya secara langsung."Apa, sih, Sayang? Anak Pak Jamal berisik banget, sih?" Juwita menerima bentangan tangan Jevano. Dia memeluk anaknya. "Bau asem.""Bunda, ih," protes bocah itu.Juwita terkekeh. Dia menyibak rambut Jevano ke belakang, menampilkan jidat anaknya yang semakin tampan saja jika dilihat. "Hahaha. Kamu diajak
Jevano berjalan keluar dari kawasan kompleks rumahnya dan duduk di bangku taman. Dia telah menelepon Haikal untuk segera menjemputnya. Akan tetapi, memang kesal banyak membawa sial, Haikal baru saja bangun tidur dan otomatis dia harus menunggu temannya itu lebih lama. Tahu begini, dia tidak akan meninggalkan rumahnya dulu tadi."Loh, Jevano?" panggil seseorang.Jevano mengangkat pandangannya dari gawai yang sedang dia mainkan. Ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Kaca mobil itu diturunkan. Dia mendekati mobil itu. Wajah pengendaranya tak asing lagi dalam benaknya. "Om Arjuna?" Matanya membola. Gawat."Kenapa kamu di situ? Diusir dari rumah?" tanya Arjuna yang sangat tepat sasaran."Aku minggat lebih tepatnya."
Jevano menggerutu saat mobil Haikal berhenti tepat di depannya. Dia membuka pintu dan masuk serta merebahkan punggungnya dengan kasar ke kursi penumpang belakang, bersebelahan dengan anak Pak Jo itu. "Lo lama banget, sih. Sampai kering gue tunggu."Haikal yang merasa sudah memenuhi keinginan Jevano dengan tepat pun memandang temannya dengan tatapan protes. "Masih untung, ya, lo gue jemput. Masih mending gue tadi enggak pakai berendam dulu. Udah dijemput, masih aja ngomel. Gue turunin lagi lo."Jevano hanya berdecak. Dia tidak membalas perkataan Haikal lagi. Sedang tidak mood dia."Lagian, ngapain lo berangkat sendiri? Sopir lo mana?"Jevano diam. Dia menoleh ke arah lain.
Kendaraan berlalu lalang di jalan raya Sidoarjo yang cukup padat di hari libur ini. Gemerlap lampu jalan dan kerlap-kerlip lampu dari kios pedagang membuat pemandangan di pusat kota itu semakin meriah. Entah ini sudah berapa lama Jevano tidak keluar malam untuk sekedar melihat dunia sekitar daerahnya tinggal. Bahkan dia juga lupa kapan terakhir kali dia melihat monumen Jayandaru di alun-alun kota Sidoarjo ini.Lampu merah arah Surabaya membuat kendaraan pengguna jalan berhenti. Termasuk kendaraan yang sedang digunakan oleh Jevano ini. Persimpangan yang ada di depan sangat lebar. Seperti membuka luas arah pandang mereka."Jalan di sana, yok," ajaknya yang langsung mendapatkan tolehan dari teman-temannya yang lain. Tangannya membeku, menyisakan telunjuk yang masih mengarah ke alun-alun kota. Dia memandang satu per satu temannya
"Yang pulang malem ... sampai lupa kalau punya rumah." Juwita menyambut anaknya.Jevano yang sadar bahwa dirinya benar-benar telat pulang ... sangat berharap di rumahnya sedang tidak ada satu orang pun. Namun, semuanya pupus saat pintu gerbang itu dibuka. Dia memejamkan mata. Dia tidak berani balik badan dan masih memegangi pintu mobil Syahid yang masih terbuka."Mampus kamu, Jevano." Itu Rani yang duduk tepat di sebelah pintu yang sedang dipegangi oleh Jevano. Kaca jendela pintu itu terbuka."Sssttt." Jevano mau menenangkan diri untuk menghadapi bundanya. Dia menarik napas dalam. Perlahan, dia berbalik. "Hehehe. Bunda."Juwita bersedekap. Dia memandang anaknya dari atas sampai bawah. "Dari mana aja kamu?"
"Hai, Mas." Juwita menyapa sang suami dari sambungan telepon. Dia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan Jevano dan dirinya. Dia meletakkan gawai di atas bar dalam dapur, agak jauh dari kompor."Hai, Bae. Lagi ngapain?""Masak, Jae. Kamu posisi di mana?""Hotel Delta Surabaya. Maaf tadi malam aku enggak kabari kamu."Juwita tersenyum. "Kamu tahu, kemarin aku sendirian di rumah dan enggak dapat kabar sama sekali dari suami ataupun anak. Enggak tahu, ya, Jae, rasanya tuh kayak ... hmm, aku bukan yang terpenting gitu."Jamal menelan ludah. Ini gawat. Posisinya sedang gawat sekarang. "Maaf, Juwita. Kemarin ...."
Jevano dan teman-temannya sedang di kantin, menikmati makanan yang telah mereka pesan. Dia duduk di sebelah Haikal, sedangkan Arina dan Rani ada di hadapan mereka."Syahid mana, sih? Kenapa dia belom telepon coba?" Rani sibuk dengan gawainya, melupakan sejenak chicken katsu yang biasanya menggoda iman dan taqwa. Dia menggulir layar gawainya dan menekan-nekan beberapa ikon."Emang dia janji mau telepon kamu?" tanya Arina yang melongok ke gawai Rani.Gadis mungil itu mengangguk. "Iya. Ih, padahal dia katanya mau ke lapangan sepak bola di sana. Epret, cuma ngomong doang.""Terus kalau dia ke lapangan bola di sana, lo mau ngapain? Inget, di sini sama sana beda waktunya banyak. Mungkin dia masih ngorok." Haikal menusuk s