Kendaraan berlalu lalang di jalan raya Sidoarjo yang cukup padat di hari libur ini. Gemerlap lampu jalan dan kerlap-kerlip lampu dari kios pedagang membuat pemandangan di pusat kota itu semakin meriah. Entah ini sudah berapa lama Jevano tidak keluar malam untuk sekedar melihat dunia sekitar daerahnya tinggal. Bahkan dia juga lupa kapan terakhir kali dia melihat monumen Jayandaru di alun-alun kota Sidoarjo ini.
Lampu merah arah Surabaya membuat kendaraan pengguna jalan berhenti. Termasuk kendaraan yang sedang digunakan oleh Jevano ini. Persimpangan yang ada di depan sangat lebar. Seperti membuka luas arah pandang mereka.
"Jalan di sana, yok," ajaknya yang langsung mendapatkan tolehan dari teman-temannya yang lain. Tangannya membeku, menyisakan telunjuk yang masih mengarah ke alun-alun kota. Dia memandang satu per satu temannya
"Yang pulang malem ... sampai lupa kalau punya rumah." Juwita menyambut anaknya.Jevano yang sadar bahwa dirinya benar-benar telat pulang ... sangat berharap di rumahnya sedang tidak ada satu orang pun. Namun, semuanya pupus saat pintu gerbang itu dibuka. Dia memejamkan mata. Dia tidak berani balik badan dan masih memegangi pintu mobil Syahid yang masih terbuka."Mampus kamu, Jevano." Itu Rani yang duduk tepat di sebelah pintu yang sedang dipegangi oleh Jevano. Kaca jendela pintu itu terbuka."Sssttt." Jevano mau menenangkan diri untuk menghadapi bundanya. Dia menarik napas dalam. Perlahan, dia berbalik. "Hehehe. Bunda."Juwita bersedekap. Dia memandang anaknya dari atas sampai bawah. "Dari mana aja kamu?"
"Hai, Mas." Juwita menyapa sang suami dari sambungan telepon. Dia sedang berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan Jevano dan dirinya. Dia meletakkan gawai di atas bar dalam dapur, agak jauh dari kompor."Hai, Bae. Lagi ngapain?""Masak, Jae. Kamu posisi di mana?""Hotel Delta Surabaya. Maaf tadi malam aku enggak kabari kamu."Juwita tersenyum. "Kamu tahu, kemarin aku sendirian di rumah dan enggak dapat kabar sama sekali dari suami ataupun anak. Enggak tahu, ya, Jae, rasanya tuh kayak ... hmm, aku bukan yang terpenting gitu."Jamal menelan ludah. Ini gawat. Posisinya sedang gawat sekarang. "Maaf, Juwita. Kemarin ...."
Jevano dan teman-temannya sedang di kantin, menikmati makanan yang telah mereka pesan. Dia duduk di sebelah Haikal, sedangkan Arina dan Rani ada di hadapan mereka."Syahid mana, sih? Kenapa dia belom telepon coba?" Rani sibuk dengan gawainya, melupakan sejenak chicken katsu yang biasanya menggoda iman dan taqwa. Dia menggulir layar gawainya dan menekan-nekan beberapa ikon."Emang dia janji mau telepon kamu?" tanya Arina yang melongok ke gawai Rani.Gadis mungil itu mengangguk. "Iya. Ih, padahal dia katanya mau ke lapangan sepak bola di sana. Epret, cuma ngomong doang.""Terus kalau dia ke lapangan bola di sana, lo mau ngapain? Inget, di sini sama sana beda waktunya banyak. Mungkin dia masih ngorok." Haikal menusuk s
Arina menyeret Jevano ke sebuah ruangan di pojok lorong yang jarang dilewati oleh orang. Jevano hanya menurut saja dan membiarkan badan berototnya dibawa oleh Arina ke tempat tersebut.Gadis itu membuka pintu dan memasukkan Jevano dan dirinya ke sana. Jevano melihat ke sekeliling. Ruangan tersebut masih mempunyai meja dan kursi. Kursinya dibalik di atas meja. Udaranya pengap dan banyak debu yang bertebaran di atas sana."Hatchiing!" Jevano bersin. Dia mengangkat bajunya bagian depan untuk menutupi hidung dan mulutnya. "Ngapain ke sini?"Arina menghadap Jevano. Dia sedikit mendongak. "Aku pengin jelasin sesuatu ke kamu, Jev, masalah aku dan Alvaro.""Kenapa?" Suara Jevano terdengar sumbang setelah bersin dan tertutup
Juwita membayar semua makanan yang mereka pesan."Banyak banget, Bun, makanannya." Jevano melihat kertas tagihan yang memanjang itu, tidak percaya.Juwita hanya tersenyum kepada anaknya. Dia mengambil kembali kartu debit yang tadi dia serahkan kepada kasir. "Pasti habis, kok. Bunda yakin bakalan ada yang habisin.""Emang aku bisa habisin, sih. Tapi, enggak dalam sekejap juga." Jevano menimbang-nimbang, apakah enam macam makanan yang dipesan oleh bundanya bisa muat dalam perutnya sekaligus.Juwita mengelus kepala anaknya. "Udah. Kita tinggal tunggu aja di meja sana." Dia membawa Jevano ke meja yang telah dia pesan tadi sebelum berangkat menjemput anaknya. Mereka duduk di kursi empuk itu.
Susah memang kalau Jevano sudah ngambek.Setelah menghabiskan makanan yang telah dipesan, Jamal sekeluarga melanjutkan acara mereka dengan jalan-jalan. Baiklah, mungkin tidak terlihat sedang terjadi sesuatu di antara mereka bertiga, akan tetapi jika dilihat lagi dari dekat ... sang anak sedari tadi hanya diam dan mengikuti kedua orang tuanya ke mana saja."Sini, loh, Jev." Jamal menarik Jevano agar sejajar dengan dirinya dan Juwita. Pasalnya, Jevano malah seperti malas melangkah dan sengaja membuat dirinya berjalan di belakang, sedikit terlihat tertinggal."Ngapain?" tanya Jevano ogah-ogahan, begitu juga langkah kakinya. Bahunya menjadi sandaran tangan sang ayah."Ya, biar kelihatan kompak." Jamal gemas melihat kela
Gedung mewah itu sedang dipenuhi oleh tamu undangan. Mereka memenuhi ruangan dengan jas dan gaun malah. Penerangan dan dekorasinya terlihat sangat elegan. Sangat pas dengan tema acara yang sedang digelar di sana, acara perayaan keberhasilan produk.Jamal datang beserta Juwita dan Jevano. Mereka memakai baju yang senada, rancangan Juwita sendiri. Tampilan mereka terlihat sangat segar dengan warna hitam legam segelap langit malam ini. Mereka disambut dengan sapaan yang sangat hangat oleh para tamu yang sudah hadir terlebih dahulu. Bagaimana pun, di acara ini, Jamal adalah pemeran utamanya."Jamal!" Tuan Anggari melebarkan tangannya dan menyambut sang menantu dengan senyuman yang sangat lebar.Jamal mendekati mertuanya dan menerima pelukan yang sangat hangat dari pria itu.
Jamal benar-benar menjadi bintang malam ini. Dia sangat sibuk dengan para pejabat dan petinggi perusahaan. Senyuman manis dengan lesung pipi yang selalu menghiasi wajah membuatnya semakin terlihat tampan di bawah penerangan yang mewah. Tampilan dan auranya semakin terlihat mahal."Tadi, Anda sempat menyebut anak Anda dalam pidato. Siapa namanya? Jevano?" Salah satu dari para tamu undangan. Jamal mengetahui namanya bernama Anwar, salah satu dari kolega bisnis yang ikut andil dalam proyek ini.Jamal mengangguk. "Iya, Jevano Kalindra.""Bolehkah saya berkenalan dengan dia? Saya dengar dia adalah murid terbaik di Delta Pelita."Jamal tersenyum bangga. "Ah, itu. Alhamdulillah dia masuk ke sana dengan nilai ya
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.