"Mad, kamu yakin dengan pilihanmu?"
Aku merengut kesal mendengar pertanyaan tiba-tiba dari mulut Mas Abimanyu, yang biasanya sopan.“Cantik sih, tapi kok ada yang aneh ya? Aromanya…”"STOP!" teriakku, menarik pancingan ikan yang kini sudah menyaut.Ya, sore ini kami memutuskan untuk menghabiskan waktu memancing ikan di kolam milik bapak yang ada di perkebunan buah anggur. Suasana tenang, dengan suara air yang beriak dan dedaunan yang bergetar tertiup angin. Namun, komentar Mas Abimanyu seperti bayangan yang sulit kuhilangkan."Serius deh Mad, emang kamu nyaman gitu dekat-dekat sama istrimu yang bau itu?" tanyanya lagi, menatapku dengan cemas.Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Mas, kita lagi memancing, bukan menganalisis hubungan. Sekarang fokus saja pada ikan ini," jawabku sambil berusaha tersenyum.Dia menggelengkan kepala, "ndak Mad, mas sengaja bawa kamu kesini biar kita berdiskusi tentang hubHiks ... Hiks ... Hoek ... Hoek ... Senja sudah memudar digantikan gelap dengan berhiaskan semerbak bintang, malam ini aku, bapak dan mas Abimanyu yang baru saja pulang dari mesjid dikejutkan dengan keadaan teh Ayu yang tengah menangis sesenggukan di luar dengan sesekali diselingi suara muntahan, di temani emak di sampingnya. Hoek ... Hoek ... "Astagfirullah sayang, kenapa?" Begitu sigapnya mas abi bertanya dengan berjalan cepat menghampiri, di susul bapak dan aku yang panik melihat keadaannya. "Mak, teh Ayu kenapa?" tanyaku bingung. Emak bukannya menjawab malah mendengus, mengusap tengkuk teh Ayu. "Sayang, hiks ..." Ini juga teh Ayu bukannya mereda tangisnya malah semakin terisak di pelukan suaminya yang membuat aku dan bapak saling bertatap bingung. "Kamu kenapa sayang? Kok diluar, gak baik loh udara malam, kita masuk ya biar mas pijitin supaya enakan badannya" bujuk mas Abi begitu lembut, pantas saja teh Ayu begitu bucin padanya. Orang mas Abi memperlakukannya dengan b
"kang, Jingga kan sudah belikan akang motor nih,"Aku menoleh saat suara Jingga mengintrupsi, buku yang sedang ku baca dengan khusu segera diletakan ke meja belajar."Ya, terus?" tanyaku beranjak dari kursi belajar mendekat ke arah Jingga yang tengah asik melipat pakaian kami di bawah lantai. Jingga menggeleng, ia melanjutkan aktivitas melipat pakaiannya. Sementara aku kini sudah duduk dihadapannya dengan mata memicing. Maksudnya apa coba berkata seperti itu, apa dia tidak ikhlas membelikan motor itu untukku. "Kok diam, kenapa bilang seperti itu? Gak ridho nih ceritanya?" Sindirku membantunya melipat pakaian dengan begitu banyak menyemprotkan parfum pakaian ala laundry ke pakaianku dan Jingga. "Kang jangan banyak-banyak atuh, satu semprotan saja sudah wangi. Itu kan yang paling mahal kata emak," ujarnya menegurku. Aku mendelik sebal, di lemparnya baju yang sudah ku semprot dengan parfum itu kearahnya membuat Jingga terkesiap
Tok ... Tok ... Tok ...Duar!Suara ketukan, ralat! Lebih tepatnya gedoran pintu sungguh memekikan telinga, membuat tidur nyenyak ku terganggu kali ini. Dilihatnya jam weker yang baru menunjukan pukul satu malam membuatku mendengus sebal, siapa sih malam-malam begini mengganggu istirahat saja.Aku menggeleng pelan saat melihat Jingga yang tertidur pulas di sebelahku, tanpa terganggu suara gedoran pintu yang cukup nyaring ini. Suara dengkuran halusnya entah membuat hatiku tergelitik, wajah polosnya begitu adem kulihat saat terpejam. "Mad, bangun dulu sebentar. Ini emak!" teriaknya yang seketika membuyarkan pandanganku pada Jingga. "Sebentar mak," pintaku setengah berteriak. Buru-buru kaki melangkah lebar kearah pintu, di pegangnya handle pintu dengan agak kesal. Ingin marah rasanya saat ku tau emak yang mengganggu waktu istirahat ini, tapi ada apa? Kok gak biasanya. Ceklek!"Apa sih mak, malam-malam gini teriak-te
Tepat pukul tiga pagi, aku baru kembali ke rumah. Suasana hening menyelimuti, namun saat kaki ini melangkah menaiki tangga, telinga ini mendengar sayup-sayup suara seseorang melantunkan ayat suci Al-Qur'an. Suaranya lembut dan adem di telinga. Semakin dekat kaki ini melangkah menuju kamar, semakin jelas pula suara itu terdengar. Sudut bibirku tersenyum, menebak siapa pemilik suara seindah ini, tentu saja istriku, Jingga.Pelan aku memutar knop pintu dan membuka pintu. Mata ini seketika tertuju pada punggung yang setengah bergetar membelakangi, suaranya terdengar begitu jelas dan khusyuk. Aku melangkah pelan menuju ranjang agar tidak mengganggu kekhusyukannya dan merebahkan tubuh ini menghadapnya yang masih tak menyadari kehadiranku."MasyaAllah, maka nikmat mana lagi yang engkau dustakan," gumamku sambil memandangnya. Sejenak aku bersyukur memilikinya. Emak benar, Jingga adalah orang yang shalihah; selama bersamanya, aku tak pernah melihat dia melewatkan kewajiban dan sunah-sunah yang
Tanpa sadar, sudut bibirku mengulas senyum saat melihat Jingga akrab dengan dua keponakanku di meja makan. Si kecil Kakang menggelayut manja saat Jingga sabar menyuapi sarapan pagi untuknya dan Niko. Melihat kebersamaan mereka, hatiku terasa hangat.Namun, di balik itu semua, teringat tubuh Jingga yang kadang berbau membuatku ragu. Kakang tampaknya tak peduli, sedangkan Niko sedikit menjaga jarak, tetapi tetap ceria dengan celoteh tak sabar untuk pergi melihat kelinci yang dijanjikan Jingga."Gimana nasi gorengnya? Enak?" tanyaku, yakin masakanku jauh lebih baik dibandingkan siapa pun.Niko dan Kakang menoleh, mengacungkan dua jempol. "Om dari dulu emang paling jago masak nasi goreng," kata Niko."Mantap, Om," sambung Kakang, membuatku merasa bangga. Tak sia-sia aku bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Namun, aku masih ragu untuk mencicipi masakan Jingga, takut rasanya tak sebanding dengan masakanku dan khawatir terkena penyakit.Jingga menatapku dengan senyuman. "Tentu saja enak, in
Setelah puas bermain dengan kelinci, kedua anak itu tak kenal lelah menyusuri jalan setapak, melihat-lihat pondok. Sesekali, tangan mungil Kakang memetik buah tomat yang masih hijau.“Om, ini boleh dimakan?” tanyanya.Aku berdecak, mengambil tomat hijau dari tangannya. “Ini belum matang, Dek. Kalau adek mau, pilih yang merah.”“Enggak ah, adek gak suka tomat. Masam,” ujarnya menolak. Kalau tahu rasanya masam, untuk apa nanya? Dasar bocah.Tangan ini mengusap dada beberapa kali. Sabar, dia masih memiliki hubungan darah denganku, kalau tidak sudah ku potek mulutnya. Sementara itu, Niko sudah menghampiri ibu-ibu yang tengah memanen tomat dengan keantusiasannya.“Om, Aa mau bantu ibu-ibu panen tomat boleh?” izinnya.“Boleh, asal topinya dipakai. Cuacanya panas banget, biar kamu gak sakit. Habis ini, kita tunggu Tante Jingga di rumah panggung, ya,” ujarku menunjuk rumah panggung yang tak jauh dari sana.Niko mengangguk dan berlari menghampiri ibu-ibu itu. Aku memperhatikan, Niko cepat akra
"Serius kang. Jingga akan balik nama surat tanah ini, atas nama akang. Tapi, Jingga pengen punya anak kang, buat nerusin usaha Jingga. Selain mail dan anak kita, Jingga tidak mau ada orang lain yang menjadi pewaris kekayaan ini, apalagi mamang dan keluarganya. Sudah cukup kang, Jingga gak mau membiarkan mamang dan keluarganya lebih lama menikmati kekayaan yang orang tua kami tinggalkan"Aku mendengus saat ucapan Jingga seminggu yang lalu, terus saja berputar berulang-ulang bak seperti kaset kusut di kepalaku malam ini saat aku tengah asik duduk di ranjang sembari menatap layar laptop yang tengah menampilkan bahan ajar untuk ku praktekan besok pada anak didiku. Jingga dipikir ulang, tawaran Jingga itu menarik. Siapa yang tidak tergoda dengan kekayaan milik istriku itu, harga tanah jaman sekarang itu mahal apalagi luasnya berhektar-hektar tapi rasanya tidak etis jika aku harus mengorbankan keperjakaanku pada gadis yang belum aku cintai bahkan aku masih belum berani menyentuhnya, tubuhn
Kejam, mungkin satu kata itu pantas tersemat pada diriku malam ini. Saat aku ke kamar mandi tadi, terdengar suara isak tangis yang menyayat bak seperti tengah merasakan pesakitan, biar ku tebak orangnya. Jingga, yap istriku sendiri. Saat lima menit berlalu, setelah tak ada lagi suara Jingga yang menggoda. Aku suara tangisannya, entah apa yang membuatnya sedih tapi firasatku mengatakan jika tangisannya akibat ulahku yang menolak permintaannya. Tapi yasudahlah, toh nyatanya emang aku belum siap.Clek. Bersamaan dengan knop pintu kamar mandi yang ku putar, suara tangis pun bak menghilang begitu saja. Kulirik sekilas wanita yang tengah berbaring itu memunggungiku dengan selimut tebalnya yang menutupi seluruh tubuhnya. Aku menghela nafas pendek saat melihat punggung itu bergetar, seolah tengah menangis. Ku putuskan untuk berjalan mendekati, lalu duduk disampingnya."Maaf," lirihku dengan tangan menyentuh bahu yang bergetar itu. "Enggak papa kang, jingga paham kok. Maaf Jingga terkesan
Pagi ini, aku sudah berdiri di depan pintu ruangan seorang direktur utama pt. Niasagari. Perusahaan terbesar di bidang industri, tani, ternak dan pertelevisian yang bernama Mr. Jhon. Yang ku dapati infonnya dari mas Abi dan teh Ayu kemarin saat aku dan Mail memutuskan untuk menginap dirumahnya. Beruntung aku memiliki kakak dan kakak ipar yang mendukung penuh apa yang aku lakukan meski awalnya mereka meragukan kemampuanku. Mereka mendukung, sekaligus membantu aku mengenalkan beberapa perusahaan teman-teman mereka yang berpotensi besar yang akan membantuku membangun proyek agrowisata di kampung halamanku sendiri. Tanganku tiba-tiba berkeringat gugup, saat aku dan Mail ditemani karyawan yang mengantarkanku menunu ruangan ini hendak mengetukan pintunya."Masuk!" Seru seseorang dari dalam sana. Tanpa berpikir panjang, karyawan yang ku ketahui namanya bernama Clara itu mempersilahkan aku dan Mail untuk mengikutinya masuk. Aku dan Mail berjalan mengekori, mengikuti langkahnya masuk kedala
Banyaknya orang yang lalu lalang sepagi ini dengan mengangkut banyak barang bahan bangunan, membuat aku tersenyum cerah. Enaknya hidup di pedesaan itu seperti ini loh, budaya gotong royongnya masih kentara. Semua warga bahkan berbondong-bondong ikut serta membantu bahkan dalam hal sekecil apa pun. Ini hari pertama pembangunan proyek yang aku rencanakan, namun semua warga tanpa dimintai tolong pun dengan antusias membantu. "Itulah gunanya manusia Mad, mahluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya" ujar bapak menepuk pundakku. Ia menghirup napas udara pagi ini dengan banyak dan tersenyum penuh syukur. "Zaman sekarang, jarang sekali manusia membantu dengan keikhlasan. Semuanya butuh uang, tapi hidup di pedesaan? Hal itu masih sangat jarang, mereka masih dengan suka rela membantu satu sama lain. Bersyukurlah kamu masih hidup di desa," Aku mengangguk, meneguk secangkir kopi panas yang ku buat tadi. "Iya pak, Ahmad bersyukur. Terimakasih juga ya pak, sudah mau mendukung impian Ahmad"
"Rencana pembangunannya kapan kang?" Setelah saling memadu kasih, aku disajikan dengan pertanyaan yang lontar dari mulut Jingga. Perempuan ini benar-benar tidak ada kata lelahnya, padahal setelah ini ingin rasanya aku tertidur sebentar sebelum kembali memikirkan proyek yang hendak aku jalankan di pagi harinya. "Besok rencananya sudah mulai, tadi sore keluar sekalian beli bahan bangunannya. Rumahnya sederhana gak sebesar rumah kamu atau rumah ini, gak papa kan?" jawabku diakhiri pertanyaan.Jingga terdiam, tangannya masih saja nakal dengan mengelus-elus perut sixpack yang mungkin sebentar lagi akan buncit. Khas bapak-bapak, mungkin."Gak papa kok, yang penting nyaman" ujarnya, kali ini tangannya merayap, mengusap peluh di dahiku. Aku merengkuhnya kedalam pelukan, tangan besarku ini berusaha menyingkirkan anak rambut yang menghalangi kecantikannya yang tak pernah membuatku bosan. "Konsep rumahnya kaya rumah panggung seperti di pondok, gak papa kan?" tanyaku lagi memastikan. Aku harap
"Kang, tadi sore Jingga dengar ibu kaya marah-marah. Ada apa?" Jingga bertanya ketika aku baru saja membaringkan tubuh di sebelahnya malam ini setelah urusanku dengan pihak selesai tadi. Mata yang tadinya memaksa untuk di pejamkan, kini berubah segar seakan ada cipratan air yang menyadarkan.Aku menoleh, kearah Jingga yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidur. Rambut panjangnya basah, menandakan kalau ia baru saja selesai mandi. Aku menarik napas, bangun dari pembaringan lalu tangan ini bergerak mengambil haidrayer. "Sini, biar akang bantu keringkan rambutnya" titahku pada Jingga agar ia duduk di bawah karpet sementara aku duduk di atas ranjang. Jingga terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar dengan menuruti perintahku. Aku mulai menyeka rambut Jingga yang masih basah itu dengan lembut. Wangi shampo terdengar kuat di indra penciumanku. "Pipinya udah gak perih lagikan?" tanyaku khawatir. Jingga tergelak, "jingga kebal kang. Gak papa kok, cuma kelihatan ya masih mera
Aku menghambuskan napas jengah saat menatap punggung mamang yang tengah memasuki mobil kesayangannya yang baru kami pakai itu dengan emosi yang tak teratur, bahkan pintu mobil yang ia naiki pun dengan kesalnya ia banting. Beberapa kali bapak mengusap dada dengan gelengan diiringi istighfar, sementara Mail ia dengan segala emosinya terduduk lemas. "Mulai sekarang, kalian jadi tanggung jawab saya!" Putusku berujar pada Mail yang tengah berusaha memperbaiki moodnya. Bapak mengangguk, ia menepuk pundakku dengan bangga. "Bapak dukung," ujarnya."Yasudah, masuk dulu deh. Kamu baru sampai pasti capek" lanjut bapak. Aku mengangguk, mengusap wajah kasar dan berjalan beriring memasuki rumah. Pertengkaranku dengan mamangnya Jingga benar-benar menguras emosiku. "Mak, Jingga mana?" tanyaku ketika tak mendapati Jingga di ruang tamu, hanya emak dan tontonan tv yang menyala. Emak menunjuk ragu pada lantai dua, "mungkin di kamar, tadi pamitnya mau istirahat dulu sebentar" jawabnya. Oke, aku ber
Sepanjang perjalanan, senyum Jingga tak henti-hentinya terbit menghiasi wajah Ayu. Aku hampir terkekeh sendiri melihat bagaimana bahagianya Jingga saat ini, bahkan beberapa kali ia menyenandungkan lagu yang tidak pernah ku dengar sebelumnya. Ah, sebahagia itu rupanya. Perjalanan hampir memakan waktu setengah hari, dengan santai aku mengemudikan mobil ditemani music yang sengaja ku putar mengalun lembut, menemani perjalanan kami. "Kang, mau gantian?" tawarnya Jingga saat aku beberapa kali menguap. Aku menoleh, lalu menggeleng sebagai penolakan. "Kita istirahat dulu aja ya, sambil beli makanan. Kamu bosan kan dari tadi gak ngemil, biar saya belikan dulu" ujarku sembari menatap lurus, fokus pada jalanan dengan harapan ketemu rest area setelah ini. "Boleh kang, tapi kalau akang lelah, juga gak papa biar aku aja yang nyetir" tawarnya lagi yang cepat ku tolak. "Tuan putri duduk manis aja, gak usah mau di repotin sama pangeran" kekehku yang membuatnya bersemu merah. Aku tertawa pelan m
Hari ini aku dan Jingga memutuskan untuk berkunjung kerumah teh Ayu sebelum kami memutuskan untuk kembali ke kampung, menata masa depan kami. Bau tubuh Jingga yang sudah hampir tidak tercium, membuat Jingga percaya diri untuk bertemu sang kakak ipar. Aku tersenyum, menatap Jingga yang tengah mematut dirinya di depan cermin. Senang lihatnya melihat Jingga yang sudah seceria ini dan bahkan ia juga sudah bisa bersolek sekarang. Grep. Aku memeluk ia dari belakang, dengan kepala ku benamkan dibahunya, mencium aro parfum yang baru saja ia semprotkan sehabis mandi ini. "Kang," tegurnya memukul lenganku yang melingkar di tubuhnya. "Kenapa ih? Biarkan seperti ini, wanginya enak" jujurku. Jingga mendengus, ia berbalik hingga kami saling berhadapan. Kepalanya mendongak, menatapku dalam. "Sejak kapan suami aku ini jadi manja kaya gini?" tanyanya dengan kekehan geli. Beberapa kali ia mengucup bibirku gemas."Jangan mancing, kalau kamu gak mau keramas lagi" tuturku frontal membuat ia tersipu
"kondisi istrimu sudah cukup baik Mad, baunya juga sudah berkurang" aku dan Jingga saling pandang dengan senyuman saat dokter Anwar memberitahu bagaimana kondisi Jingga sekarang. "Mentalnya di jaga, jangan buat dia stres ya Mad," ucapnya lagi dengan diselingi tawa renyah. Aku mengangguk cepat. "Tentu itu dok," jawabku malu-malu. Dokter Anwar menggeleng dengan kekehan. "Kalian tidak perlu sering kesini, lagi pula penyakitnya bukan penyakit yang parah. Kuncinya sih jaga pola makan dan rubah pola hidup, jangan stres. Hindari aktivitas yang menyebabkan keringat berlebih" pesan dokter Anwar. "Penggunaan sabun dan shampo juga sudah benar itu," lanjutnya. Kami mengangguk, "jadi dok penyakit ini bisa sembuh?" tanya Jingga dengan cepat. Dokter Anwar terdiam cukup lama, seolah tengah memilah-milih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Jingga. Aku tau, sindrom bau ikan ini tidak dipastikan sembuhnya, bahkan obatnya sampai saat ini juga belum di temukan secara pasti. "Ada kemungkinan,
"mang Juned menghubungi mas sama teteh tadi" aku melirik kearah pria yang tiba-tiba berada di kontrakanku diwaktu yang nyaris tengah malam kini berada. "Mang Juned sudah ngomong sesuatu?" tanyaku dengan hembusan napas lelah. Sialnya, aku lupa kalau mang Juned. Adik bungsunya si emak itu orangnya bawel. Punya mulut lemesnya kaya perempuan. Ada anggukan samar yang mas Abi berikan sebelum ia menjawab. "Emak marah, kenapa kamu meminta pinjaman sebesar itu sama bank? Ngapain juga kamu berhenti ngajar?" tanyanya menatapku dalam. Kabar berhembus begitu cepat, bak angin lalu. Ini juga apa-apaan Mas abi pulang dinas bukannya langsung pulang ke rumah, malah mampir ke kontrakan dan bertanya seperti itu. Apa dia mau ikut campur urusanku? Ah, itu pasti!"Sudah ku pikirkan matang-matang sebelumnya mas. Bapak juga setuju," jawabku apa adanya. Ya memang rencana ini ku atur selain melibatkan adiknya jingga, bapak juga termasuk. Bahkan ia mendukung penuh strategi yang aku buat itu. Mas manggut-man