“Eh, Pak Arfi udah datang.” Sapaan Anindea pada Arfi membuat Mimi pun menengok ke arah tatapan Anin. Mimi melihat Arfi yang kini memakai kemeja dan celana formalnya. Dia terlihat lebih gagah daripada pertemuannya beberapa hari yang lalu.“Semangat ya semua tim kerjanya. Mi, ke ruangan Pak Alvin sekarang ya?” ajak Arfi setelah menyemangati semua karyawan di sana."Iya, Pak." Mimi langsung menjawabnya.“Cie, langsung diajak ngeruang bareng Pak Arfi. Dah sana buruan! Nanti dibabat sama si Monalisa lagi.” Anindea menyenggol lengan Gunawan agar tidak berbicara sembarangan.“Siapa Monalisa?” tanya Mimi.“Ah, udah. Nggak usah dipikirkan ucapan si Anin. Dah sana buruan ke ruangan Pak Alvin dan Pak Arfi. Pasti mau meeting tuh. Sukses sukses yang di dalam. Kalau tahu ada lawan, libas!” Anindea menyemangati.Mimi tak paham dengan yang mereka ucapkan. Dia memilih beranjak dan mengikuti instruksi ke ruangan Alvin yang letaknya ada di bagian atas. Di gudang, ada ruang tersendiri untuk sebuah pertem
"Kita mau ke mana, Ma?" tanya Laila."Kerja sayang. Hari ini Laila temani Mama bekerja ya. Besok baru Laila temani nenek di rumah. Nggak apakan?" "Nggak apa, Ma. Bakalan masuk sekolah kan Ma kalau di rumah sama Nenek?" "Iya dong. Kamu pasti sedih banget karena hari ini nggak bisa berangkat sekolah ya?""Iya, Ma. Tapi nggak apa-apa. Demi mama yang selalu ada buat Laila. Yang akan melakukan apapun untuk Mama. Mama harus semangat kerjanya biar kita bisa beli rumah yang bagus rumahnya Tante Santi.""Aamiin."Arfi sejak tadi menyimak pembicaraan Laila dan Mimi. Dia tersenyum melihat percakapan ibu dan anak yang sangat dewasa dan hangat itu."Om Arfi, Om Arfi rumahnya di mana?" tanya Laila."Laila …," jeda Mimi. "Nggak apa, Mi. Dia anak anak. Hanya ingin tahu aja pasti. Besok kalau Om udah punya rumah, Om ajak Laila main.""Om belum punya rumah? Kasihan. Tinggal di rumah Laila aja, rumahnya ada kamar 3 loh. Papa kan sekarang nggak di rumah," ujar Laila."Laila. Hm, nggak bisa sayang. Om
“Gimana kerja hari ini, La?” tanya Irah pada cucunya yang seharian ini ikut kerja bersama sang Ibu.“Asih, Nek. Kerjanya gak capek kok, muter muter naik mobil. Masuk ke gedung gedung yang tinggi dan dingin. Di sana Mama keren loh, Nek. Mama sama Om Arfi kayak orang yang ada di tv itu,” cerocos Laila dengan girang menceritakan semua aktivitasnya pada sang nenek.“Laila nakal nggak?” Mimi yang sedang menikmati makan malamnya pun tersenyum mendengar aduan anaknya mengenai kegiatan hari ini. Bersyukur tak ada keluhan tak enak mengenai aktivitasnya, termasuk bertemu dengan Ardan di cafe siang tadi.“Nggak dong. Laila kan anak baik. Tapi, kata Mama besok Laila sekolah. Jadi nggak bisa ikut kerja.”“Kan memang harus sekolah, Sayang. Kamu nggak mau jadi anak yang bodoh ‘kan?”Laila menggeleng. Meski tadi merengut karena dilarang ikut kerja kembali, tapi Laila cukup tahu bagaimana dia harus paham kondisi ibunya yang harus bekerja.“Nanti kalau Laila bosan?” tanya Laila.“Kan ada nenek. Nanti
“Ya, itu rumahku. Kenapa? Mau jadi penghuninya juga?” kekeh Arfi."Bercandanya kamu nggak usah kelewatan begitu deh. Aku nggak percaya kalau rumah yang gede di samping pabrik gudang itu rumah yang sedang dibangun oleh kamu. Santi dan Alvin juga nggak mau apa-apa mengenai rumah yang dibangun sebelah sana dan dia bilang kalau kamu memang mau pindah jauh dari tempat kerja," tanya Mimi yang memang benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arfi."Kalau nggak percaya ya udah. Aku nggak bakalan maksa kamu buat percaya kalau aku punya rumah seperti itu. Lagian, rumah itu nanti yang bakalan dijadikan rumah masa depan aku. Makanya sengaja aku pindahin agak jauh dari tempat kerja yang ada di Purwokerto.""Kok aneh?"Arfi tertawa mendengar pertanyaan Mimi yang masih saja meragukan pernyataannya. "Udah lah, nggak usah terlalu dipikirkan kalau memang kamunya belum percaya 100% kalau aku bisa membangun rumah segede itu. Next time, kalau rumah itu sudah jadi aku bakalan ada syukuran b
Semua mata tertuju pada mobil Alphard yang mengantar Layla dan Irah ke sekolah. Tentu di perkampungan mereka hanya beberapa orang yang bisa mempunyai mobil dengan harga fantastis seperti itu. Terlebih mereka mengetahui yang turun dari mobil itu adalah warga yang merupakan orang tidak mampu dan tercatat sebagai warga golongan miskin di desanya."Bu Irah, mau dapat mantu lagi ya? Itu tadi yang nganter Ibu dan Laela, calon suaminya Mimi?" tanya Ida–salah satu orang yang ada di sana."Bukan, tadi itu teman kerjanya Mimi. Mereka akan kerja di luar kota, biar sekalian makannya diantar sampai di sekolah.""Walah, gitu toh? Saya kira itu calon suaminya Mimi. Soalnya yang kami dengar-dengar, dia belum sah menjadi janda dan masih berstatus istrinya Ardan. Tapi sih, zaman sekarang memang banyak wanita yang lebih cepat menikah lagi daripada memikirkan untuk membahagiakan keluarganya. Bahkan rela menjual diri dengan bisa hidup dengan mudah dan kaya," sindir Mutia."Astaghfirullahaladzim, Bu. Jang
Mimi diantar ke rumah setelah kegiatan yang mengalahkan hari ini selesai pukul jam 05.00 sore. Mimi sampai di rumah pukul 07.00 malam dan Mimi benar-benar merasa pekerjaannya kali ini membutuhkan tenaga ekstra baik tubuh dan otaknya."Mama," sambut Laila. Arfi turun sebentar dari mobilnya untuk menyapa Irah dan Laila. "Kok malam sekali?" tanya Irah."Soalnya tadi sekalian turun ke lapangan buat demo produk-produk kami, Bu," terang Arfi."Aku ke kamar dulu ya? Mau mandi. Arfi, kamu juga mau langsung pulang kan?" tanya Mimi merasa tidak enak jika harus menahan Arfi terlalu lama di rumahnya."Iya. Aku mau pulang setelah ini. Bu, aku pamit dulu. Besok mungkin aku akan menjemput lebih pagi. Semoga Ibu tak keberatan," ucap Arfi."Nggak apa apa, Nak. Ibu tahu kok kalau kalian berdua memang terlibat pekerjaan yang sama. Hati hati di jalan, Nak Arfi."Arfi berpamitan dengan Irah dan Laila, lalu pergi mengendarai mobilnya. Dia lebih nyaman dengan keluarga Mimi karena keluarga itu sangat han
“Pagi, Ma.” Laila langsung menyapa Mimi begitu keluar dari kamar.“Pagi, sayang. Udah mandi dan wangi banget anak Mama.” Mimi mencium pipi anaknya yang hendak berangkat sekolah pagi ini.“Kamu berangkat jam berapa, Mi? Tumben Arfi belum jemput.”“Jam 7 lebih kayaknya, nih lagi di jalan katanya. Ibu mau sekalian aja?” tanya Mimi.“Nggak usah, Ibu mau jalan kaki aja sekalian olah raga.”“Nanti ya, Bu. Biar Mimi nggak bingung sambil nungu Arfi datang. Bareng kayak biasanya aja biar nggak bikin fitnah kalau Mimi sendirian di rumah dan Arfi datang ke sini jemput Mimi.”“Ah, iya juga sih. COba kamu telpon lagi, takutnya Laila telat.”Mimi hanya mengirim pesan dan tidak menelpon, takut mengganggu perjalanan Arfi. Baru saja pesan hendak dia kirim, mobil Arfi sudah terdengar masuk pekarangan.“Om Arfi udah datang, Ma,” teriak Laila.Mimi langsung beranjak mengambil tas Laila juga mengambil tas miliknya. Dia ikut keluar setelah Laila lebih dulu menyapa Arfi di depan dengan Ibunya. “Udah dikunc
"Baik. Jadi, ini yang Mas Arfi bilang calon istri?" tanya Nilam membuat Mimi kaget.“Bu_”“Iya. Nama dia ada di daftar pasien hari ini,” potong Arfi cepat. Dia tak ingin wanita yang ada di depannya itu menganggunya lagi dan memilih untuk mengakui Mimi sebagai calon istrinya. “Oh, ya, tentu. Mimi Hayati. Sudah menikah? Janda?” tanya Dokter Nilam yang tadinya akan dijawab Mimi tetapi lagi lagi Arfi gegas memotong jawaban Mimi.“Maaf, Dok, apa calon istri saya boleh langsung konsultasi masalah kulit saja? Sepertinya hal pribadi tidak perlu ditanyakan lagi,” ucap Arfi yang lagi lagi malas membahas hal tak penting.“Oh, tentu. Mas Arfi bisa tunggu di luar, saya mau melakukan scan dan uji kulit Mbak Mimi terlebih dahulu.”“Saya ingin menamani dia, boleh?”“Mas, tunggu di luar ya? Aku bisa di sini dengan baik kok,” ucap Mimi tak enak.“Kamu yakin?” Arfi mengusap tangan Mimi di depan Nilam, sengaja ingin menunjukan dirinya yang sudah memiliki pasangan pada Nilam.“I-ya.” Mimi merasa aneh den
"Om, pacarnya udah berapa?" Tanya Laila sambil terkekeh."Ee ee, nggak bahaya tah tanya-tanya tentang pacar? Ayahmu dengar bisa dinikahkan muda kamu," kekeh Adrian."Kan Laila hanya tanya saja kenapa harus sewot begitu? Dari tampang-tampangnya sih kayaknya udah mau nikah. Kapan Om? Laila udah nggak sabar pengen jadi Domas."Adrian mencubit hidung bangir Lela dan dia menatap ke arah langit sambil bergumam sendiri."Seandainya Om tidak dilahirkan lebih dulu pasti Om akan menunggu kamu sebagai calon istri Om tetapi Karena berhubung kamu masih kecil jadi Om akan nikah duluan bulan ini.""Bulan ini?"Adrian mengangguk. Dia memang akan berniat menikah bulan ini karena usianya sudah cukup matang. Dia sudah mendapatkan wanita yang cocok dan dia pun tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan keluarganya."Ayah, Mama, Om Adrian mau nikah nih bulan ini katanya? Mama sama Ayah udah tahu belum?" Laila langsung berlari dan Adrian pun mengejar bocah yang ternyata sudah membocorkan renc
"Ma, papa kok nggak pernah datang lagi ke sini ya?" tanya Laila."Papa sibuk, Nak."Laila merengut. Sudah setahun lamanya Adnan pergi dari kota Cilacap dan meninggalkan kenangan dengan sang anak. Sengaja dia tidak memberikan kabar apapun agar Laila terbiasa tanpa dirinya. Sebenarnya Mimi sudah memberitahu bahwa sebaiknya menghubungi setidaknya seminggu sekali atau sebulan sekali untuk memberikan kabar kepada Laila agar tidak dikhawatirkan oleh anak yaitu, tetapi Adnan memilih untuk tidak menghubunginya karena dia tidak enak dengan Arfi. Sebagai lelaki yang memiliki banyak salah tentunya dia merasa malu jika selalu mengganggu hubungan keluarga mereka yang sudah cukup baik dan Adnan juga sedang mencoba untuk menata hidupnya agar menjadi lebih baik setelah menikah dan menerima sebagai istrinya yang sekarang.Santi dan Alvin datang berkunjung ke rumah Mimi dan mereka membawa anak mereka yang kini sudah pandai berceloteh ria. Kelahiran dengan jarak yang hampir sama dengan kedua anak Mimi
"Sudah pulang rupanya anaknya itu, kau antarkan jam berapa?" Tanya Melly saat dia bangun dan melihat Laila sudah tidak ada di kamarnya."Barusan.""Tumben kamu peka?" "Bukankah itu yang kamu inginkan? Kamu memang bukan sosok ibu tiri yang baik untuk anakku. Makanya aku pikir lebih baik aku mengembalikan saja kepada ibunya yang jelas-jelas lebih peduli kepadanya. Apalah arti Ayah ini jika dibawa ke sini hanya membawa dia terluka dan sedih mendengar kata-kata ibu tirinya," jawab Adnan yang tidak mau berdebat apapun dengan Melly."Baguslah kalau dia sadar diri. Sebagai anak memang dia harus tahu posisi kalau ayahnya ini tidak sekaya ibu nya yang menikahi bujang kaya."Jika dilanjutkan maka perdebatan ini akan kemana-mana dan bahkan membahas tentang nafkah yang tidak sesuai dengan permintaan Melly. Hal itulah yang membuat Adnan memilih untuk diam dan tidak banyak mendapat apapun tentang hal yang Melly ucapkan.Adnan pergi bekerja seperti biasanya Dan Dia mencoba untuk ikhlas menjalani ke
Laila menutup telinganya saat dia mendengar suara melengking dari luar kamarnya. Dia berpura-pura memejamkan mata saat Adnan sedang membacakan dongeng untuknya tadi. Dia tahu ayahnya itu sangat sayang kepadanya saat ini tetapi melihat kedatangannya ke rumah sang ayah kandung, Mely marah besar. dia tidak begitu disenangi oleh ibu tirinya membuat Laila merasa sendiri bahwa ayahnya sengaja mengajaknya untuk tidur lebih awal agar bisa menjelaskan alasan kedatangannya ke rumah ini."Kenapa kamu nggak minta izin sama aku buat ngajak anakmu itu tinggal di rumah ini? Kamu kan tahu sendiri kalau aku tidak suka anak kamu itu tinggal di rumah ini. Kamu saja masih numpang dan belum bisa memberikan aku nafkah yang baik dan juga menyenangkan anak-anakku. Sok-sokan Mau mengajak anggota keluarga baru dalam keluarga kita. Besok kamu harus antarkan dia dan biarkan saja Mimi yang merawatnya karena dia sekarang sudah lebih kaya karena menggaet laki-laki kaya. Kamu ini mikir nggak sih Mas? Untuk mencukupi
"Aku rasa Laila Sudah cukup tahu bagaimana cara untuk menepati janjinya. Dia bilang akan jalan-jalan bersama Adnan dan akan tetap kembali ke rumah ini. Dia hanya membutuhkan waktu untuk sang Papa bermain dengannya dan tidak akan menyakiti perasaan ibunya ini jika tidak kembali ke rumah ini. Dia sendiri yang menginginkan itu dan aku tidak berhak untuk melarangnya karena Adnan juga ayah kandung Laila."Mimi merasa sedih mendengarnya dan dia merasa gagal menjadi seorang ibu yang bisa berbuat adil kepada anaknya. Dia tahu pasti Laila sedih karena kasih sayangnya harus terbagi dengan adik-adik barunya tetapi dia juga tidak bisa menyalahkan keputusan Arfi yang membiarkan kepergian Layla karena keputusan itu pasti sudah dia pikirkan dengan baik."Kamu tidak usah terlalu sedih memikirkan anakmu karena aku yakin dia pasti bisa menyenangkan hati orang tuanya. Kita lihat saja Apakah anakmu itu akan kembali malam ini atau akan menginap di rumah Adnan. Jika memang Laila itu akan menginap di sana p
"Laila nggak pengen tinggal sama papa?"Ardan mengulangi pertanyaannya dan dia mengusap kepala Laila pelan untuk menyalurkan kasih sayang dan rasa rindunya kepada sang anak."Untuk apa kamu mengajukan pertanyaan yang tidak bisa Laila jawab di usianya yang sekarang? Seharusnya kamu sebagai seorang ayah tahu bagaimana cara untuk memposisikan diri sebagai ayah kandung di saat dia tinggal bersama dengan ayah tirinya," sahut Arfi.Arfi tentu saja kaget mendengar Ardan datang ke rumahnya dan ingin mengajak Laila untuk pergi bersamanya tinggal. Tentu saja tidak akan dengan mudah dia mengizinkan karena selama ini lelaki itu selalu saja membuat masalah dan tidak bisa dipercaya untuk mengasuh anaknya. Apalagi kedatangannya hanya untuk mengajak Laila pergi, dia tak akan mengizinkannya."Dia anakku dan aku berhak untuk mengajaknya tinggal kapanpun aku mau. Aku tahu kalau perasaan dia pasti sangat sedih ketika melihat kedua adik-adik itu lahir dan kalian mengabaikan kasih sayang yang dibutuhkan ol
Anak-anak Mimi sudah boleh dibawa pulang setelah 1 minggu menjalani perawatan di NICU. Mimi sudah mulai menyusui sejak 3 hari dirawat dan setelah 1 minggu dia sudah diperbolehkan untuk pulang. "Akhirnya baby Army sama Alma bisa pulang ke rumah. Senangnya cucu Oma sama Uti bisa menempati kamar yang baru," ucap Tiara saat dia menggendong salah satu anak Mimi dan Arfi."Rasanya tidak menyangka langsung diberikan cucu 2, jadinya bisa satu-satu menggendongnya.""Tuhan tahu kalau kita Mungkin saja akan berebut untuk menggendongnya jika hanya satu saja," kekeh Tiara.Alma dan Army digendong oleh Tiara dan Irah sedangkan Laila digandeng oleh Arfi untuk masuk ke dalam rumah."Anak Papa mau makan apa sore ini? Apa mau pesan makanan enak di restoran buat syukuran kepulangan kita," tanya Arfi."Papa mau beli?""Iya. Laila mau makan apa?""Hm, gak deh. Laila pengen ikut aja beli makanan sama papa.""Baiklah. Sekarang mandi dulu lalu Nanti Papa panggil buat ikut sama Om Adrian.""Yeew….."Laila sa
Siang hari keluarga Arfi dari Banyumas datang menjenguk dan mereka kaget karena mendengar bahwa Mimi melahirkan di usia kandungan 7 bulan saja. Mereka berkunjung saat Arfi tidak berada di tempat sehingga keluarga dari Arfi yang ada di Banyumas itu hanya bertemu dengan keluarga Hakim yang di Jakarta."Menantu mu lahiran sesar, Ra?" Tanya Syarifah."Caesar ataupun normal sama saja.""Iya jelas beda dong. Melahirkan normal itu sangatlah penuh perjuangan dan benar-benar berjihad yang sebenarnya, kalau melahirkan sesar kan tidak terasa dan tahu-tahu anaknya sudah di luar," cibir Syarifah."Melahirkan itu, baik Caesar maupun normal tetap saja sakit dan seharusnya kamu sebagai wanita pun tahu bagaimana perjuangan seorang ibu melahirkan anak-anaknya," sahut Tiara yang tidak ingin membuat anak menantunya sedih mendengar ucapan dari saudaranya itu. Mimi baru saja siuman, dia tidak ingin menantunya itu sedih jika mendengar ucapan Syarifah yang memang kadang suka berbicara asal."Bukan seperti it
"Sepertinya memang Laila sedikit cemburu dengan kelahiran kedua adik-adiknya. Kamu sebagai Ayah sambungnya harus bisa membuat anak sambung itu nyaman dan bahagia bersama dengan kalian. Resiko menikahi janda adalah harus menerima anak yang dibawa olehnya meskipun nanti kamu gunakan rasa berat dengan pengasuhan anakmu. Oma selalu mendukung keputusan kamu dan selalu akan berbahagia atas apapun yang kamu putuskan tentang hidupmu. Namun, Oma berpesan kepadamu jangan sampai kamu main tangan kepada istrimu dan jangan sampai keluarkan kata-kata yang bernada tinggi di depan anakku. Hal itu bisa membuat kamu merasa dibenci dan tidak akan dihargai oleh keluarga terlebih istri dan anak. Menikahi seorang janda itu berat tetapi pahalanya luar biasa karena bukan hanya menafkahi anak sendiri tetapi juga anak orang lain yang dibawa oleh istri. Pokoknya jangan sampai Oma mendengar kamu melakukan hal buruk kepada istri dan anaknya," ucap Ayu menasehati Arfi saat mereka sedang berjalan menuju ke ruang