Hari pertama masuk selepas diminta istirahat kemarin, Mimi terpaksa harus mengajak Laila. Dia menemui Santi terlebih dahulu untuk bisa menanyakan langkah apa yang harus dia lakukan pagi ini. Rumah Santi nampak sepi karena Alvin sudah kembali bekerja di kantor miliknya dan Arfi sudah kembali bekerja di kotanya.“Mama kerja di sini memang?” tanya Laila.“Iya, Sayang. Mama harus kerja biar Laila bisa sekolah dan jajan. Yuk masuk!” Laila mengetuk pintu rumah Santi dan Santi yang masih memakai baju piama menyapa Mimi dan Laila.“Hai cantik,” sapa Santi pada Laila.“Hai Tante Santi. Baru bangun tidur ya?” duga Laila.“Iya, Sayang. Semalam Tante lembur.”“Keren, udah main lembur aja. Sepi banget rumahnya, San? Udah pada pergi?” tanya Mimi.“Iya. Suamiku pergi pagi pulang sore nanti, kalau Arfi udah nggak mungkin nginap lagi. Dia katanya mau pindah.”“Iyakah? Syukurlah kalau begitu,” ucap Mimi sedikit kaget dan juga sedikit kecewa karena Arfi tak mengatakan apapun terkait kepergiannya itu. “
“Eh, Pak Arfi udah datang.” Sapaan Anindea pada Arfi membuat Mimi pun menengok ke arah tatapan Anin. Mimi melihat Arfi yang kini memakai kemeja dan celana formalnya. Dia terlihat lebih gagah daripada pertemuannya beberapa hari yang lalu.“Semangat ya semua tim kerjanya. Mi, ke ruangan Pak Alvin sekarang ya?” ajak Arfi setelah menyemangati semua karyawan di sana."Iya, Pak." Mimi langsung menjawabnya.“Cie, langsung diajak ngeruang bareng Pak Arfi. Dah sana buruan! Nanti dibabat sama si Monalisa lagi.” Anindea menyenggol lengan Gunawan agar tidak berbicara sembarangan.“Siapa Monalisa?” tanya Mimi.“Ah, udah. Nggak usah dipikirkan ucapan si Anin. Dah sana buruan ke ruangan Pak Alvin dan Pak Arfi. Pasti mau meeting tuh. Sukses sukses yang di dalam. Kalau tahu ada lawan, libas!” Anindea menyemangati.Mimi tak paham dengan yang mereka ucapkan. Dia memilih beranjak dan mengikuti instruksi ke ruangan Alvin yang letaknya ada di bagian atas. Di gudang, ada ruang tersendiri untuk sebuah pertem
"Kita mau ke mana, Ma?" tanya Laila."Kerja sayang. Hari ini Laila temani Mama bekerja ya. Besok baru Laila temani nenek di rumah. Nggak apakan?" "Nggak apa, Ma. Bakalan masuk sekolah kan Ma kalau di rumah sama Nenek?" "Iya dong. Kamu pasti sedih banget karena hari ini nggak bisa berangkat sekolah ya?""Iya, Ma. Tapi nggak apa-apa. Demi mama yang selalu ada buat Laila. Yang akan melakukan apapun untuk Mama. Mama harus semangat kerjanya biar kita bisa beli rumah yang bagus rumahnya Tante Santi.""Aamiin."Arfi sejak tadi menyimak pembicaraan Laila dan Mimi. Dia tersenyum melihat percakapan ibu dan anak yang sangat dewasa dan hangat itu."Om Arfi, Om Arfi rumahnya di mana?" tanya Laila."Laila …," jeda Mimi. "Nggak apa, Mi. Dia anak anak. Hanya ingin tahu aja pasti. Besok kalau Om udah punya rumah, Om ajak Laila main.""Om belum punya rumah? Kasihan. Tinggal di rumah Laila aja, rumahnya ada kamar 3 loh. Papa kan sekarang nggak di rumah," ujar Laila."Laila. Hm, nggak bisa sayang. Om
“Gimana kerja hari ini, La?” tanya Irah pada cucunya yang seharian ini ikut kerja bersama sang Ibu.“Asih, Nek. Kerjanya gak capek kok, muter muter naik mobil. Masuk ke gedung gedung yang tinggi dan dingin. Di sana Mama keren loh, Nek. Mama sama Om Arfi kayak orang yang ada di tv itu,” cerocos Laila dengan girang menceritakan semua aktivitasnya pada sang nenek.“Laila nakal nggak?” Mimi yang sedang menikmati makan malamnya pun tersenyum mendengar aduan anaknya mengenai kegiatan hari ini. Bersyukur tak ada keluhan tak enak mengenai aktivitasnya, termasuk bertemu dengan Ardan di cafe siang tadi.“Nggak dong. Laila kan anak baik. Tapi, kata Mama besok Laila sekolah. Jadi nggak bisa ikut kerja.”“Kan memang harus sekolah, Sayang. Kamu nggak mau jadi anak yang bodoh ‘kan?”Laila menggeleng. Meski tadi merengut karena dilarang ikut kerja kembali, tapi Laila cukup tahu bagaimana dia harus paham kondisi ibunya yang harus bekerja.“Nanti kalau Laila bosan?” tanya Laila.“Kan ada nenek. Nanti
“Ya, itu rumahku. Kenapa? Mau jadi penghuninya juga?” kekeh Arfi."Bercandanya kamu nggak usah kelewatan begitu deh. Aku nggak percaya kalau rumah yang gede di samping pabrik gudang itu rumah yang sedang dibangun oleh kamu. Santi dan Alvin juga nggak mau apa-apa mengenai rumah yang dibangun sebelah sana dan dia bilang kalau kamu memang mau pindah jauh dari tempat kerja," tanya Mimi yang memang benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arfi."Kalau nggak percaya ya udah. Aku nggak bakalan maksa kamu buat percaya kalau aku punya rumah seperti itu. Lagian, rumah itu nanti yang bakalan dijadikan rumah masa depan aku. Makanya sengaja aku pindahin agak jauh dari tempat kerja yang ada di Purwokerto.""Kok aneh?"Arfi tertawa mendengar pertanyaan Mimi yang masih saja meragukan pernyataannya. "Udah lah, nggak usah terlalu dipikirkan kalau memang kamunya belum percaya 100% kalau aku bisa membangun rumah segede itu. Next time, kalau rumah itu sudah jadi aku bakalan ada syukuran b
Semua mata tertuju pada mobil Alphard yang mengantar Layla dan Irah ke sekolah. Tentu di perkampungan mereka hanya beberapa orang yang bisa mempunyai mobil dengan harga fantastis seperti itu. Terlebih mereka mengetahui yang turun dari mobil itu adalah warga yang merupakan orang tidak mampu dan tercatat sebagai warga golongan miskin di desanya."Bu Irah, mau dapat mantu lagi ya? Itu tadi yang nganter Ibu dan Laela, calon suaminya Mimi?" tanya Ida–salah satu orang yang ada di sana."Bukan, tadi itu teman kerjanya Mimi. Mereka akan kerja di luar kota, biar sekalian makannya diantar sampai di sekolah.""Walah, gitu toh? Saya kira itu calon suaminya Mimi. Soalnya yang kami dengar-dengar, dia belum sah menjadi janda dan masih berstatus istrinya Ardan. Tapi sih, zaman sekarang memang banyak wanita yang lebih cepat menikah lagi daripada memikirkan untuk membahagiakan keluarganya. Bahkan rela menjual diri dengan bisa hidup dengan mudah dan kaya," sindir Mutia."Astaghfirullahaladzim, Bu. Jang
Mimi diantar ke rumah setelah kegiatan yang mengalahkan hari ini selesai pukul jam 05.00 sore. Mimi sampai di rumah pukul 07.00 malam dan Mimi benar-benar merasa pekerjaannya kali ini membutuhkan tenaga ekstra baik tubuh dan otaknya."Mama," sambut Laila. Arfi turun sebentar dari mobilnya untuk menyapa Irah dan Laila. "Kok malam sekali?" tanya Irah."Soalnya tadi sekalian turun ke lapangan buat demo produk-produk kami, Bu," terang Arfi."Aku ke kamar dulu ya? Mau mandi. Arfi, kamu juga mau langsung pulang kan?" tanya Mimi merasa tidak enak jika harus menahan Arfi terlalu lama di rumahnya."Iya. Aku mau pulang setelah ini. Bu, aku pamit dulu. Besok mungkin aku akan menjemput lebih pagi. Semoga Ibu tak keberatan," ucap Arfi."Nggak apa apa, Nak. Ibu tahu kok kalau kalian berdua memang terlibat pekerjaan yang sama. Hati hati di jalan, Nak Arfi."Arfi berpamitan dengan Irah dan Laila, lalu pergi mengendarai mobilnya. Dia lebih nyaman dengan keluarga Mimi karena keluarga itu sangat han
“Pagi, Ma.” Laila langsung menyapa Mimi begitu keluar dari kamar.“Pagi, sayang. Udah mandi dan wangi banget anak Mama.” Mimi mencium pipi anaknya yang hendak berangkat sekolah pagi ini.“Kamu berangkat jam berapa, Mi? Tumben Arfi belum jemput.”“Jam 7 lebih kayaknya, nih lagi di jalan katanya. Ibu mau sekalian aja?” tanya Mimi.“Nggak usah, Ibu mau jalan kaki aja sekalian olah raga.”“Nanti ya, Bu. Biar Mimi nggak bingung sambil nungu Arfi datang. Bareng kayak biasanya aja biar nggak bikin fitnah kalau Mimi sendirian di rumah dan Arfi datang ke sini jemput Mimi.”“Ah, iya juga sih. COba kamu telpon lagi, takutnya Laila telat.”Mimi hanya mengirim pesan dan tidak menelpon, takut mengganggu perjalanan Arfi. Baru saja pesan hendak dia kirim, mobil Arfi sudah terdengar masuk pekarangan.“Om Arfi udah datang, Ma,” teriak Laila.Mimi langsung beranjak mengambil tas Laila juga mengambil tas miliknya. Dia ikut keluar setelah Laila lebih dulu menyapa Arfi di depan dengan Ibunya. “Udah dikunc