“Dek, mereka mau pinjam, nanti juga dibalikkan, kok. Kamu kok pelit banget, sih, sekarang?” ucap Akmal mulai kehilangan kendali melihat Arum, istrinya. Sementara Arum masih santai memasukkan suapan demi suapan rujak mangga yang dibuat oleh Mbak Rima, kakak iparnya.
Arum terus saja menikmati rujak berbumbu pedas itu tanpa memedulikan ucapan memelas sang suami. Ia bahkan belum ada meminum seteguk air pun dari gelas yang berisi air putih yang sudah disediakan Akmal.
“Dek, kamu dengar, tidak, sih?” Suara Akmal mulai naik satu oktaf. Karena itu, Arum memandangnya sekilas, kemudian melanjutkan kegiatannya menggigit mangga muda itu satu persatu. Akmal menelan ludah, membayangkan betapa kecutnya buah yang berwarna putih kehijauan itu.
Akmal merasa kesal, karena Ibu dan kakaknya sudah menunggu di dapur sejak tadi. Mereka terus saja mendesak Akmal, agar Arum mau meminjamkan uang sebesar tiga juta untuk membayar hutang bank mertuanya yang sebentar lagi akan jatuh masa tempo.
Meminjam, Akmal sudah berulang kali menegaskan pada Arum bahwa mereka hanya meminjam, dan akan dikembalikan jika Andi Nugroho—suami Rima sudah menerima gaji dari bekerja di pabrik sarung tangan.
Akan tetapi, Arum sepertinya tidak berniat sedikit pun untuk mengabulkan permintaan suaminya. Padahal yang Akmal tahu, Arum baru saja menerima uang sebesar sepuluh juta yang kemarin masuk ke rekeningnya sebagai seorang penulis di aplikasi berbayar. Ini bulan ketiga bagi Arum menerima honornya sebagai penulis dan bulan ini pula lah penghasilan terbesar yang ia dapatkan.
Akmal memang sudah hampir setengah tahun menganggur, karena kantor tempat ia bekerja melakukan pengurangan karyawan besar-besaran. Padahal, Akmal baru saja menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi dengan maksud sebagai modal agar segara menduduki jabatan yang lebih tinggi di kantor. Meskipun pada akhirnya, ia harus berhutang ke sana kemari.
“Aku tidak punya uang sebanyak itu, Mas. Ingat, uangku habis hanya untuk membayarkan hutangmu yang banyak itu. Kalau memang mereka butuh uang, aku akan berikan lima ratus ribu, dan uang itu tak perlu dikembalikan!” tuturnya tenang, barulah Arum mau meneguk habis air yang sedari tadi belum pernah disentuhnya.
Akmal mengusap wajahnya kasar. Ia mengaku, jika saat ini ia memang sedang terlilit banyak hutang, bukan hanya pada satu orang, tapi sampai lima sekaligus. Parahnya, tiga di antaranya adalah para rentenir. Berhubung Akmal sendiri sedang menganggur, maka Arum lah yang akhirnya menggantikan kewajiban itu. Arum harus membayar bunga setiap bulannya, sebelum bisa mengembalikan uang pokoknya.
Selain untuk biaya kuliah, Akmal juga meminjam karena waktu itu ingin membeli sebuah mobil dan sepeda motor baru. Meskipun Arum bersikeras agar Akmal tak perlu membelinya. Akan tetapi, Akmal merasa malu pada rekan-rekannya yang datang ke kantor dengan menaiki kendaraan beroda empat. Sedangkan dirinya hanya mengendarai sepeda motor keluaran lama. Meski pada akhirnya setelah menganggur, keduanya harus ditarik kembali oleh showroom, karena Akmal tidak sanggup lagi membayar cicilan yang mencapai sepertiga dari gajinya setiap bulan, ketika bekerja dulu.
“Jangan bohong, Arum! Bulan ini kamu baru saja menerima honor sepuluh juta. Aku tahu itu, kalau untuk bayar hutang saja, pasti masih ada sisanya!” ucap Akmal geram.
“Mas, hutang kamu itu terlalu banyak. Enam juta sudah kubayarkan untung mencicil hutangmu. Satu juta kuberikan pada Ibu untuk membeli obat dan membayar uang sekolah Kiki. Tersisa tiga juta untuk ditabung dan makan sehari-hari,” tuturnya dengan wajah kesal. Ia menyingkirkan piring berisi rujak itu, bukan karena kenyang, tetapi sudah kehilangan selera.
“Berikan saja dua juta, ‘kan masih ada sisanya!” ucap Akmal kekeh.
“Enggak!”
“Arum, kamu tidak bisa, ya, menolong keluarga aku, sekali ini saja, mereka pinjam, bukan minta begitu saja!” Akmal sudah mulai hilang kesabaran, ia emosi melihat istrinya yang kini sangat perhitungan dan pelit pada dirinya. Tapi tidak pada keluarganya sendiri, ia begitu royal mengeluarkan uang untuk Ibu dan adiknya. Bahkan di depan Akmal, tanpa rasa segan sedikit pun.
Tiba-tiba Bu Rahma dan Rima datang dari arah dapur. Dengan setengah berlari, keduanya menghampiri pasangan suami istri yang sedang duduk di ruang tamu rumah itu.
“Heh, Arum. Songong banget kamu, ya! Betul-betul tidak tahu terima kasih. Aku sudah capek buatkan rujak mangga untuk kamu supaya anak di dalam perutmu itu tidak ngences, tapi kamu, kok, pelitnya kebangetan. Tidak mau meminjamkan uang sama kami,” cerocos Rima berang seraya menunjuk ke arah perut Arum yang masih rata.
Arum memang sedang mengandung di tahun kedua pernikahan, usia kehamilannya baru menginjak empat minggu. Itulah kenapa tadi pagi, Arum meminta Akmal untuk membelikan rujak mangga. Akan tetapi, Akmal ingat kalau rujak buatan Rima itu sangat enak, makanya ia minta agar Rima membuatkan rujak untuk Arum, sekaligus sebagai pemancing agar Arum mau meminjamkan uang pada mereka.
“Maaf, Mbak. Aku tidak minta dibuatkan rujak sama Mbak Rima. Aku pikir, rujak ini memang dibelikan Mas Akmal dari penjual di seberang sana,” ujar Arum dengan raut muka yang terkejut. Akmal memang tidak bilang kalau sebenarnya rujak mangga yang tengah dinikmatinya adalah buatan Rima.
Jika Arum mengetahuinya, ia pun akan lebih memilih untuk menahan seleranya ketimbang harus mencicipi makanan yang ujungnya akan ada embel-embel seperti ini. Rima tidak pernah tulus padanya, apa pun yang diberikan wanita itu pada Arum, selalu diiringi dengan maksud yang lain setelahnya.
Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghabiskan rujak buatan Rima setengahnya. Ia tidak mungkin memuntahkan lagi makanan yang sudah masuk ke dalam perutnya.
“Jadi, kamu benaran tidak mau meminjamkan kami uang?” tanya Rima. Matanya mendelik pada Arum yang rupanya menatap tajam pada sang suami. Wanita itu berkacak pinggang untuk menunjukkan apa posisinya.
“Enggak, Mbak. Uangku sudah habis membayar hutang Mas Akmal,” jawab Arum pelan, ia bicara sambil terus menatap Akmal yang kini salah tingkah.
Arum kecewa pada sang suami, selain karena rujak yang rupanya adalah buatan Rima, juga karena sikap Akmal yang rupanya tidak henti menyusahkannya. Bukan hanya menanggung hutang sang suami, kini ia malah dibebankan dengan hutang mertua dan iparnya. Walaupun mereka merayu dengan dalih meminjam, tapi tetap saja Arum merasa keberatan. Sebab, ia tahu persis bagaimana sikap keluarga suaminya ini.
“Arum, kata Akmal tadi ‘kan masih ada sisanya. Itu saja yang kamu pinjamkan pada Ibu, tidak apa-apa, kok. Setelah ini, kalian tidak usah memikirkan biaya untuk makan, biar Ibu yang bakalan masak untuk kalian setiap hari,” rayu Bu Rahma memelas. Wanita yang hobinya menggunjing tentang menantunya itu berbicara lembut dan pelan. Berharap agar istri dari anak sulungnya iba dan mau menuruti keinginannya.
“Hmm, maaf, Bu. Aku tidak bisa. Tapi kalau ibu mau, aku akan berikan lima ratus ribu untuk ibu,” jawab Arum masih teguh dengan pendiriannya. Meskipun kesal, namun Arum tetap bersikap baik pada sang mertua.
“Sini rujaknya, aku menyesal buat rujak ini untuk kamu,” tutur Rima kesal, tangannya menarik kembali piring berisi sisa rujak yang sudah berkurang separuhnya.
“Ini Mbak, aku bayar saja rujaknya. Cukup?”
Arum mengambil selembar uang berwarna biru dari dompetnya. Meletakkannya di atas meja bulat di depannya.
“Kurang ajar kamu, ya! Selain pelit kamu juga sombong, baru juga punya uang jutaan, gayanya sudah selangit!” teriak Rima, sepertinya emosi wanita itu sudah naik sampai ke ubun-ubun.
Ia tidak sanggup lagi ber-akting lemah lembut di hadapan Arum, setelah adik iparnya itu menolak keinginan mereka.
“Aku tidak pelit, Mbak. Aku hanya lebih mementingkan kkebutuha. Lagi pula, hutang itu ‘kan jadi tanggung jawab Mbak, bukan ibu apalagi aku.”
Arum masih terus beralasan, membuat Akmal semakin berpikir macam-macam tentang istrinya.
Memang pelit sekali Arum ini. Mentang-mentang karirnya sedang berada di atas, Arum jadi sangat perhitungan. Padahal sepuluh hari lagi dia juga akan menerima honor dari menulis di aplikasi lain. Gerutu Akmal dalam hati.
Arum memang baru saja mengembangkan bakatnya di dunia kepenulisan. Ia biasa menerbitkan karya-karyanya di dua aplikasi kepenulisan yang berbeda.
“Halah, dasar! Bilang saja kalau kamu itu memang pelit, aku juga bisa lebih pelit dari kamu. Ingat, ya, aku tidak akan pernah lagi memberi makananku untuk kamu!” ucap Rima mengancam. Matanya mendelik dan memindai pada Arum yang masih betah duduk di kursi tamu. Ia mulai menampakkan lagi kebenciannya pada sang adik ipar.
Rima memang jago dalam hal masak memasak. Makanannya terkenal lezat dan menggoyang lidah. Ia juga sering memberikan makanannya pada orang lain. Termasuk Akmal dan Arum. Arum sendiri memang mengakui kelezatan masakan kakak iparnya.
“Sudahlah, Rim. Mungkin Arum memang masih bingung untuk mengatur keuangannya. Tidak apa-apa, Rum. Kamu belanjakan saja dulu keperluan kamu. Kalau ada sisanya, barulah kamu pinjamkan pada ibu. Tidak apa-apa, kok!”
Bu Rahma berbicara dengan bijak, bermaksud untuk melerai perselisihan antara anak dan menantunya.
Sebenarnya, ia pun tidak kalah geramnya dengan Rima. Seperti seekor singa, ia ingin menelan Arum bulat-bulat saat itu juga. Akan tetapi, ia terpaksa menahan perasaan itu demi mendapatkan bantuan dari menantu yang memang sedang banyak uang itu.
Arum hanya tersenyum simpul, seakan hatinya pun membenarkan ucapan sang mertua. Mungkin lebih baik jika ia membelanjakan dulu uangnya untuk keperluan dapur, barulah sisanya dipinjamkan pada sang mertua.
Akmal sangat berharap jika istrinya mau berubah pikiran, agar tanah dan rumah ibunya tidak ditarik oleh pihak bank, karena sudah dijaminkan ole Rima setahun yang lalu.
“Ya sudah, Arum pamit pulang, ya, Bu.”
Arum lantas undur diri, ia tidak ingin berlama-lama berada di rumah yang sempat menjadi neraka baginya. Meskipun setelah ini, Akmal akan memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan juga pikiran yang menganggap dirinya tak pernah betah berkunjung lama ke rumah mertua.
“Iya, hati-hati, ya. Ayo Akmal antarkan istrimu, pelan-pelan saja naik motornya. Ingat, dia sedang hamil,” titah Bu Rahma sembari mengantarkan keduanya sampai ke depan pintu. Sementara Rima masih mematung di tempat semula sambil memegangi piring berisi rujak di tangannya.
Wanita itu merasa hatinya sangat panas. Ia tidak terima dengan penolakan yang dilontarkan Arum barusan.
“Arum pulang, ya, Bu.” Arum kembali berpamitan setelah naik di boncengan. Ia mengeratkan rangkulan di pinggang Akmal sebelum motor itu mulai melaju.“Jangan pernah ke sini lagi, ya ....” teriak Rima dari balik jendela. Meski tak berani menampakkan batang hidungnya, tapi suara cemprengnya terdengar jelas ke telinga Arum.Bu Rahma mendelik ke arah jendela, ia meletakkan jari telunjuk di bibir agar Rima berhenti dan tidak mengatakan apa pun lagi yang mungkin akan menyinggung hati Arum. Bagaimana pun, mereka sangat membutuhkan bantuan Arum. Sekali pun harus berpura-pura lemah dan terhina di hadapannya.Arum yang mendengar suara cempreng Rima hanya tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.Akmal terus berpikir sepanjang jalan. Sebenarnya, ia kesal pada Arum dan sungguh tidak menyangka jika istrinya yang dulunya polos dan tidak berani membantah keinginannya itu, kini sudah mulai berani dan menjadi pembangkang.Akmal merasa karena Arum sudah berpenghasilan besar, sehingga si
Arum, Arum, baru juga kali ini aku menganggur. Kamu sudah sangat keberatan mengeluarkan uang untukku. Pelit banget, sih kamu! Ujar Akmal pelan setelah sang istri tak lagi terlihat dari pandangan mata.Tanpa disangka, siang itu Bu Rahma dan Rima datang ke rumah kontrakan Akmal dengan mengendarai motor matic keluaran terbaru milik Rima. Motor berwarna merah seharga puluhan juta itu masih terlihat sangat mengkilap, bagian platnya juga masih kosong.Kendaraan yang dibeli secara kredit itu begitu berkilau di bawah terpaan teriknya matahari. Membuat mata siapa pun yang memandang ikut terpukau, terlebih pengendaranya juga berpakaian necis. Rima membalut tubuhnya dengan kaos ketat yang menampilkan lekuk tubuh, sendal wedges berwarna merah yang menghiasi kakinya, juga topi dan kacamata hitam sebagai pelengkap penampilannya. Sedangkan Bu Rahma mengenakan setelan longgar dan jilbab berpayet, pun dengan kaca mata hitamnya.Kedua wanita dengan setelan tinggi itu rela diterpa panas matahari yang be
“Oh, iya, tadi Mbak Rima bilang apa, ya? Bisa diulangi lagi?”Arum berucap sembari menyunggingkan senyum yang bagi Akmal begitu mengerikan. Ia bukan bertanya, tapi lebih kepada mengintimidasi.Akmal sengaja berdiri di belakang Arum, agar dirinya leluasa memberikan kode pada Bu Rahma dan juga Rima. Tangannya melambai ke udara tanda jangan. Ya, jangan, agar kedua wanita itu jangan membicarakan hal itu lagi. Kemudian Akmal menggunakan kedua tangan untuk mencekik lehernya, ia memejamkan mata sembari menjulurkan lidah. Artinya, jika ibunya dan Rima masih tetap bicara, bisa-bisa ia akan mati dibuat Arum.Kedua wajah wanita itu menjadi tegang. Akan tetapi, Rima yang memiliki jiwa petarung itu tak bisa diam. Ia ingin sekali melawan dan berperang mulut dengan Arum. Untungnya, bu Rahma segera mencubit pahanya yang dibalut celana leging hitam yang ketat. Akhirnya, ia pun mengangguk dan terpaksa bungkam.“Enggak, tak jadi Rum. Ibu cuma antarkan ini saja. Dimakan, ya. Kami mau pulang!” ujar bu Rah
“Brum ... brum ... brum!”Suara motor Akmal terdengar sangat bising. Karena sudah terbiasa, akhirnya Zulham hanya menoleh sekilas, lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.Sok cool banget gayanya! Gerutu Akmal geram.Lelaki yang sudah menganggur selama setengah tahun itu melajukan motor menuju warung langganannya, membeli sebungkus rokok untuk persediaan. Walaupun pengangguran, kebiasaannya masih sama seperti dulu, membeli sebungkus rokok sekaligus karena ia paling anti dengan rokok ketengan. Gengsi, dong!“Bu, rokok, ya, sebungkus!” ucap Akmal pongah, tangannya merogoh kantong celana untuk mengambil uang yang diberikan Arum tadi.Akmal terenyak, saat tangannya malah meraba secarik kertas yang licin, tidak kasar layaknya tekstur uang kertas biasa.Benar saja, saat ia tarik, kertas yang terasa licin tadi bukanlah selembar uang, melainkan secarik kertas origami berwarna merah.“Ini, rokoknya,” ucap bu Nur, pemilik warung bercat dominan putih dan merah itu. Tangannya menyodorkan s
Aku mencubiti kaki ini, menyesali keteledoranku dalam mengendalikannya. Karena pertengkaran yang terjadi barusan, Arum pasti akan mengunci kamar semalaman sehingga aku terpaksa tidur di luar.TingPonselku tiba-tiba bersuara, menandakan masuknya sebuah pesan. Dengan malas tanganku menggapai benda pipih itu. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya dalam sehari ini, sejak pagi kubiarkan saja benda itu tergeletak di atas meja. Aku tak berselera menatapnya, karena ponsel canggihku sudah kehabisan data internet. Tak ada lagi yang perlu kuperbuat jika tak bisa berselancar di dunia maya. Aku tidak punya uang untuk membeli datanya, biasanya juga hanya modal hotspot dari ponsel Arum.Tapi beberapa hari ini, ia tak pernah lagi mengaktifkan hotspot-nya. Maklum, dia 'kan pelit.Tanpa semangat, kutekan tombol oke untuk membuka pesan yang masuk dari Mbak Rima.[Mal, jangan banyak alasan. Besok harus kamu bawa uangnya!]Pesan dari Mbak Rima membuat otakku yang kusut semakin mengkerut. Bagaimana caraku
Hah, Firda? Aku melongo, dengan tampang bingung dan tak percaya. Setahuku gadis itu sedang kuliah di Ibu kota, meneruskan pendidikannya di sana bersama sepupunya."Firda udah selesai kuliahnya dan besok dia mau ke sini, mau silaturahmi katanya." Mbak Rima menjawab, seakan mengerti arti mimik wajahku."Kamu besok ke sini, ya. Temani kami ngobrol-ngobrol sama dia. Siapa tahu nanti kalian bisa ...." ucap Mbak Rima terhenti."Bisa apa, Mbak?""Ah, enggak. Bisa kerja sama, soalnya Firda mau buka bisnis baru di sini." Mbak Rima cengengesan, disambut tawa renyah dari Ibuku.Ah, ada-ada saja keluargaku ini. Hanya untuk kedatangan Firda mereka menyiapkan makanan sebanyak ini. Seperti tamu spesial saja. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Artinya setengah jam lagi Arum akan pulang. Aku pun bergegas pamit pada Ibu dan Mbak Rima, menaiki kuda besi bututku untuk membelah jalanan aspal di depanku.**"Dek, Ibu kamu ngapain ke sini?" tanyaku karena sehabis magrib Ib
Arum sudah sangat keterlaluan. Bisanya hanya mengungkit kejadian yang telah lewat. Menghilangkan perjuanganku sebagai kepala keluarga selama menikah hanya karena aku tidak bekerja lagi. Awas saja akan kubuktikan padanya bahwa aku bisa membayar hutangku, tanpa bantuan darinya. Aku menaiki motorku menuju rumah Ibu. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Rumah ibulah yang selalu membuatku tenang dan merasa nyaman. Tak aku pikirkan bagaimana Arum nanti pergi kerja, mau jalan kaki atau menumpang pada orang lain, bukanlah urusanku. Biar ia rasakan sendiri akibat dari melawan suami.Ketika tiba di rumah Ibu, kulihat ada sebuah mobil berwarna merah terparkir di sana. Namun, seperti tidak asing bagiku, seolah aku pernah melihatnya.Aku masuk melalui pintu belakang, mengintip dari dapur siapa kiranya tamu yang sedang bertandang ke rumah Ibu. Tidak kelihatan, hanya suaranya saja yang terdengar mendayu-dayu."Hayo, ngapain kamu?" Suara Mbak Rima sangat mengagetkanku. Jantungju seperti hendak lompat d
POV Arum( Flashback setahun yang lalu ) Perkenalkan namaku Arum Nur Haziza, orang-orang biasa memanggilku Arum. Umurku baru menginjak dua puluh empat tahun ketika aku mengandung anak pertamaku. Buah cinta pernikahanku dengan Mas Akmal, pria yang telah menikahiku dua tahun yang lalu.Ibu mertua awalnya baik padaku. Namun, perlahan ia mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya seiring gesekan dari Mbak Rima yang semakin hari berusaha mendominasi Ibu.Sejak pertama Mas Akmal mengenalkan aku pada keluarganya, sudah bisa kutebak gelagat Mbak Rima yang sepertinya kurang menyukaiku. Kata Mas Akmal karena saat itu ia pun sedang menjodohkan adiknya itu dengan perempuan lain. Tapi, Mas Akmal menolak dan lebih memilihku, gadis kampung sederhana ini.Awalnya, aku merasa bahagia dinikahi oleh Mas Akmal yang keluarganya terkenal sebagai orang yang berada. Walau tidak mempunyai mobil, tapi rumah mereka sangat besar dan mereka dikenal sebagai keluarga yang punya banyak tanah. Walau sebenarnya, aku t
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p