“Brum ... brum ... brum!”
Suara motor Akmal terdengar sangat bising. Karena sudah terbiasa, akhirnya Zulham hanya menoleh sekilas, lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.
Sok cool banget gayanya! Gerutu Akmal geram.
Lelaki yang sudah menganggur selama setengah tahun itu melajukan motor menuju warung langganannya, membeli sebungkus rokok untuk persediaan. Walaupun pengangguran, kebiasaannya masih sama seperti dulu, membeli sebungkus rokok sekaligus karena ia paling anti dengan rokok ketengan. Gengsi, dong!
“Bu, rokok, ya, sebungkus!” ucap Akmal pongah, tangannya merogoh kantong celana untuk mengambil uang yang diberikan Arum tadi.
Akmal terenyak, saat tangannya malah meraba secarik kertas yang licin, tidak kasar layaknya tekstur uang kertas biasa.
Benar saja, saat ia tarik, kertas yang terasa licin tadi bukanlah selembar uang, melainkan secarik kertas origami berwarna merah.
“Ini, rokoknya,” ucap bu Nur, pemilik warung bercat dominan putih dan merah itu. Tangannya menyodorkan sebungkus rokok pesanan Akmal ke atas etalase kaca di depannya.
“Iya, sebentar, Bu.”
Akmal mencoba merogoh seluruh bagian saku celananya. Barangkali celananya bolong sehingga uang yang diberi Arum tadi jatuh. Akan tetapi, hingga ia menarik bagian dalam saku itu keluar, tidak ada yang salah di sana. Celananya masih bagus dan tidak robek sedikit pun.
“Jadi Arum tadi hanya memasukkan kertas ini ke kantongku?” lirih Akmal meringis. Matanya masih lekat memandangi kertas yang dilipat empat oleh Arum.
Penasaran, ia pun membuka kertas itu. Berharap jika uang itu diselipkan Arum di dalamnya. Meskipun rasanya tidak masuk akal, karena Arum tidak pernah melakukan hal itu selama ini. Akan tetapi, apa pun yang tidak masuk akal akan terasa logis bila dalam keadaan kepepet seperti ini.
Kedua mata Akmal seakan hendak melompat saat mendapati sebuah tulisan yang seluruhnya berhuruf kapital dan ia yakini adalah tulisan tangan sang istri.
‘HISAP SAJA DAUN PISANG, MAS. UANGKU SUDAH HABIS UNTUK MEMBAYAR PAKETMU TADI’
Ya ampun, Arum.
Akmal sungguh tidak menyangka jika wanita yang dulunya penurut itu, berani memperlakukan dirinya seperti ini.
Sepertinya Arum memang sudah benar-benar kehilangan rasa hormatnya pada sang suami. Walaupun Semestinya sebagai seorang istri, ia harus lah tetap memperlakukan Akmal dengan baik, mau bagaimana pun keadaannya. Walau saat ini ia tidak lagi bekerja, tapi Akmal tetaplah suami yang harus selalu dihormati. Seperti itu lah kira-kira ungkapan protes dari dalam pikiran Akmal.
Ia meremas kuat kertas berukuran segi empat di tangannya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Akmal tidak mungkin membuangnya di sekitar sana, jika orang lain tahu, mereka akan menertawakan dirinya.
Ia akan menanyakan pada Arum apa maksudnya melakukan ini jika pulang nanti.
Entah bagaimana cara Akmal membayar rokok itu, sementara dirinya sama sekali tidak punya uang. Mana mungkin dirinya berhutang sementara yang Bu Nur tahu, ia adalah pria mapan yang selalu berdompet tebal.
Untungnya ... ada uang lima ribu rupiah yang sedang tergeletak di bawah kolong steling warung ini. Meski tidak tahu milik siapa, yang pasti uang itu kini sudah menjadi milik Akmal.
Akmal bertindak secepat mungkin. Ia menjepit kertas berwarna coklat itu dengan jemari kakinya, lalu dengan sekali gerakan, ia angkat kaki kanannya ke belakang, lalu tangannya dengan sigap mengambil uang itu agar tidak ada yang melihat aksinya.
Akmal menarik napas kasar lalu melepaskannya perlahan. Ia merasa beruntung karena saat itu, Bu Nur sedang melayani pembeli lain. Sehingga ia tidak begitu memperhatikan tingkah Akmal. Lagi pula, rokok itu belum berada di tangannya.
“Tuh, rokokmu, Mal,” imbuh bu Nur lagi, dagunya menunjuk pada sekotak rokok yang tergeletak di atas etalase.
“Bu, aku lupa bawa dompet. Rokok ketengan saja, lah!”
Akmal berkelit, tentu gengsi jika mengatakan hal yang sebenarnya.
“Hah, tidak salah?”
Bu Nur melongo, mata dan mulutnya membulat secara bersamaan. Sebab, baru pertama kalinya dalam sejarah seorang Muhammad Akmal membeli rokok ketengan.
Biar lah, kali ini ia rela hanya membeli tiga batang rokok yang dihargai lima ribu saja. Daripada mulutnya terasa pahit karena tak menghisap apa pun sejak pagi.
Ia pun berencana untuk tidak menjemput Arum pulang sore ini, supaya ia sadar kalau Akmal sedang marah karena perbuatannya.
Akmal sedang duduk di teras rumah sambil menghisap sebatang rokok yang masih tersisa. Menikmati udara sore yang dingin dengan memandangi pias cahaya berwarna-warni di atas langit. Ya, ada pelangi muncul setelah hujan yang mengguyur bumi berhenti.
Sekembalinya dari warung tadi, kebetulan hujan turun dengan derasnya, sehingga rokok yang baru ia beli tadi langsung lenyap dua batang dan hanya tersisa sebatang yang sedang disesapnya. Ia bersantai di teras rumah ditemani segelas kopi hangat.
Jarum pendek sudah berada di angka enam, namun Arum tak kunjung kembali. Akmal memang sengaja tidak menjemputnya walau hujan telah reda, karena hatinya masih dongkol mengingat kejadian tadi.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Saat sedang memikirkan perempuan itu, kini Arum sudah tiba diantar oleh Septi, seorang bidan cantik yang jarak rumahnya sekitar tiga puluh meter dari kontrakan Akmal.
“Dijemput, dong, istrinya, Pak Akmal. Masa’ dibiarkan jalan sendirian. Lagi hamil loh ini, Mbak Arumnya!” tegur bidan Septi yang sudah lima tahun bertugas di puskesmas Sumber Sari. Jabatannya sudah Pegawai Negeri, walau pun umurnya masih terbilang sangat muda.
“Eh, iya, Bu. Saya tadi ketiduran. Ini baru mau jemput, rupanya sudah sampai orangnya,” ucap Akmal berkilah sekaligus salah tingkah. Ia merasa sangat malu karena ditegur oleh bidan cantik seperti Septi. Harga dirinya runtuh bersama senyuman sinis yang terbit dari wajah bidan berusia dua puluh tiga tahun itu.
Bagi Akmal, Arum pun begitu menjengkelkan, kenapa ia malah menumpang pada bidan Septi. Bukannya menumpang pada rekan kerjanya yang lain saja, seperti Mila contohnya. Padahal wanita bertubuh tambun itu searah pulang dengan Arum.
Bidan Septi hanya tersenyum, tidak lagi melanjutkan ocehannya. Ia juga sebenarnya segan harus menegur seorang pria beristri yang usianya pun lebih tua darinya.
Meskipun Arum tidak mengatakan apa pun tentang Akmal sepanjang jalan tadi, namun Septi seakan mengerti tentang sikap keterlaluan Akmal pada sang istri.
“Terima kasih, ya, Bu Septi. Tidak mau mampir dulu?” tawar Arum berbasa-basi.
Dalam hati Akmal berharap agar Bu Bidan mau menerima tawaran Arum untuk mampir ke rumah ini, walau hanya sebentar.
Meskipun begitu, bukan berarti ia seorang buaya. Akmal selalu setia pada Arum sejak dulu. Hanya saja, ia suka beramah tamah dengan orang lain, apalagi perempuan. Peace!
Sayangnya, Bidan Septi malah menolak. Katanya ia harus cepat karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di rumah. Terburu-buru ingin pulang, padahal tidak ada anak ataupun suami yang hendak diurusnya, karena Bu Septi statusnya masih singel.
“Hati-hati di jalan, ya, Bu!” ujar Akmal sedikit kecewa. Kemudian diikuti Arum dengan mengucapkan kalimat yang sama.
Arum lantas melangkahkan kaki masuk ke rumah, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Meninggalkan Akmal yang masih berdiri mematung, menatap kepergian Bu Septi sampai hilang dari pandangan.
Rencananya, Akmal akan melakukan mogok bicara pada Arum malam ini. Ia tidak akan menggubris sedikit pun ucapan Arum padanya. Maksudnya agar istrinya sadar kalau sebagai suami, ia juga bisa marah. Bukan hanya karena dirinya tidak berpenghasilan, Arum bisa mengerjai dirinya dengan sesuka hati.
Sampai malam menyapa, keduanya masih tidak saling bicara. Baik Akmal mau pun Arum, sama-sama tak ada mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan Arum sama sekali tidak ingin memandang sang suami jika mereka sedang berpapasan. Ia tetap sibuk dengan ponselnya, terus mengetik naskah untuk tulisannya.
Arum memang ingin menjaga mood-nya agar tetap baik. Sebisa mungkin menghindari perselisihan demi sang jabang bayi di kandungannya. Akan tetapi, ia tidak bisa berlama-lama mendiamkan Akmal, ia lebih memilih untuk mengalah dan mengakhiri perang dingin di antara mereka.
“Mas,” panggil Arum saat Akmal sedang berbaring di sofa sambil menonton televisi. Arum mengambil posisi duduk tepat di ujung kakinya. Duduk bersandar sembari menekuri ponselnya.
“Hmmm,” jawab Akmal acuh, menirukan ucapan sang istri jika sedang marah padanya.
“Kenapa?” sambungnya lagi, dahinya berkerut sampai tujuh lipatan. Walaupun ia sudah tahu jika suaminya pasti marah karena ulahnya tadi siang.
Akan tetapi, ia ingin sedikit menggoda sang suami. Arum memang sedikit manja sejak dirinya dinyatakan hamil beberapa waktu yang lalu.
“Hmmm,” jawab Akmal lagi. Arum sangat paham jika suaminya kini sedang merajuk.
Satu, dua, tiga menit berlalu. Namun Arum tidak lagi bersuara. Matanya tetap fokus pada layar ponsel di depannya, karena dirinya memang sedang membalas salah satu komentar dari seorang penggemar.
Karena merasa terabaikan, Akmal mengentakkan kaki ke meja. Maksudnya agar ia kembali bersuara dan membujuk Akmal agar mau bicara padanya. Paling tidak, Arum bisa mengiming-imingi dirinya dengan selembar uang merah, sebagai permohonan maaf atas perbuatannya yang tidak mengenakkan, siang tadi.
Akan tetapi, kaki Akmal tanpa sengaja malah menendang tangannya. Tidak keras memang. Namun, berhasil membuat ponsel di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai.
“Heh, apa-apaan kamu, Mas. Kalau ngambek ,ya sudah ngambek saja. Jangan merusak barangku, dong!” cecar Arum lantas berdiri dan berkacak pinggang.
“Enggak, Rum. Ampun, Mas cuma minta diperhatikan saja sama kamu. Tapi kaki ini malah keterusan. Aduh ... bego banget, sih, kaki ini!”
Akmal mengiba sambil memukuli sebelah kakinya yang tadi berbuat salah. Sungguh, Akmal memang tidak bermaksud melakukan itu.
“Awas saja kalau ponselku rusak, aku minta ganti rugi, Mas!” hardik Arum membuat nyalinya menciut.
Kalau memang benar ponsel itu rusak. Mana punya uang Akmal untuk menggantinya, sedangkan untuk rokok saja, ia masih meminta pada Arum.
“Aku tidak mau tahu, ya, Mas. Mau uang dari mana pun aku tidak peduli. Yang penting kamu ganti,” ucapnya lagi seolah paham dengan isi pikiran sang suami. Ia lalu melongos pergi masuk ke kamar setelah memungut ponsel canggih itu dari lantai. Ditatapnya layar itu, lalu dilapnya dengan dasternya, pakaian para istri yang serbaguna karena bisa merangkap menjadi serbet sekaligus.
“Aarrghh! Kenapa malah jadi begini, yang seharusnya marah itu aku, bukan dia. Dasar kaki sialan!” keluh Akmal penuh sesal.
Aku mencubiti kaki ini, menyesali keteledoranku dalam mengendalikannya. Karena pertengkaran yang terjadi barusan, Arum pasti akan mengunci kamar semalaman sehingga aku terpaksa tidur di luar.TingPonselku tiba-tiba bersuara, menandakan masuknya sebuah pesan. Dengan malas tanganku menggapai benda pipih itu. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya dalam sehari ini, sejak pagi kubiarkan saja benda itu tergeletak di atas meja. Aku tak berselera menatapnya, karena ponsel canggihku sudah kehabisan data internet. Tak ada lagi yang perlu kuperbuat jika tak bisa berselancar di dunia maya. Aku tidak punya uang untuk membeli datanya, biasanya juga hanya modal hotspot dari ponsel Arum.Tapi beberapa hari ini, ia tak pernah lagi mengaktifkan hotspot-nya. Maklum, dia 'kan pelit.Tanpa semangat, kutekan tombol oke untuk membuka pesan yang masuk dari Mbak Rima.[Mal, jangan banyak alasan. Besok harus kamu bawa uangnya!]Pesan dari Mbak Rima membuat otakku yang kusut semakin mengkerut. Bagaimana caraku
Hah, Firda? Aku melongo, dengan tampang bingung dan tak percaya. Setahuku gadis itu sedang kuliah di Ibu kota, meneruskan pendidikannya di sana bersama sepupunya."Firda udah selesai kuliahnya dan besok dia mau ke sini, mau silaturahmi katanya." Mbak Rima menjawab, seakan mengerti arti mimik wajahku."Kamu besok ke sini, ya. Temani kami ngobrol-ngobrol sama dia. Siapa tahu nanti kalian bisa ...." ucap Mbak Rima terhenti."Bisa apa, Mbak?""Ah, enggak. Bisa kerja sama, soalnya Firda mau buka bisnis baru di sini." Mbak Rima cengengesan, disambut tawa renyah dari Ibuku.Ah, ada-ada saja keluargaku ini. Hanya untuk kedatangan Firda mereka menyiapkan makanan sebanyak ini. Seperti tamu spesial saja. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Artinya setengah jam lagi Arum akan pulang. Aku pun bergegas pamit pada Ibu dan Mbak Rima, menaiki kuda besi bututku untuk membelah jalanan aspal di depanku.**"Dek, Ibu kamu ngapain ke sini?" tanyaku karena sehabis magrib Ib
Arum sudah sangat keterlaluan. Bisanya hanya mengungkit kejadian yang telah lewat. Menghilangkan perjuanganku sebagai kepala keluarga selama menikah hanya karena aku tidak bekerja lagi. Awas saja akan kubuktikan padanya bahwa aku bisa membayar hutangku, tanpa bantuan darinya. Aku menaiki motorku menuju rumah Ibu. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Rumah ibulah yang selalu membuatku tenang dan merasa nyaman. Tak aku pikirkan bagaimana Arum nanti pergi kerja, mau jalan kaki atau menumpang pada orang lain, bukanlah urusanku. Biar ia rasakan sendiri akibat dari melawan suami.Ketika tiba di rumah Ibu, kulihat ada sebuah mobil berwarna merah terparkir di sana. Namun, seperti tidak asing bagiku, seolah aku pernah melihatnya.Aku masuk melalui pintu belakang, mengintip dari dapur siapa kiranya tamu yang sedang bertandang ke rumah Ibu. Tidak kelihatan, hanya suaranya saja yang terdengar mendayu-dayu."Hayo, ngapain kamu?" Suara Mbak Rima sangat mengagetkanku. Jantungju seperti hendak lompat d
POV Arum( Flashback setahun yang lalu ) Perkenalkan namaku Arum Nur Haziza, orang-orang biasa memanggilku Arum. Umurku baru menginjak dua puluh empat tahun ketika aku mengandung anak pertamaku. Buah cinta pernikahanku dengan Mas Akmal, pria yang telah menikahiku dua tahun yang lalu.Ibu mertua awalnya baik padaku. Namun, perlahan ia mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya seiring gesekan dari Mbak Rima yang semakin hari berusaha mendominasi Ibu.Sejak pertama Mas Akmal mengenalkan aku pada keluarganya, sudah bisa kutebak gelagat Mbak Rima yang sepertinya kurang menyukaiku. Kata Mas Akmal karena saat itu ia pun sedang menjodohkan adiknya itu dengan perempuan lain. Tapi, Mas Akmal menolak dan lebih memilihku, gadis kampung sederhana ini.Awalnya, aku merasa bahagia dinikahi oleh Mas Akmal yang keluarganya terkenal sebagai orang yang berada. Walau tidak mempunyai mobil, tapi rumah mereka sangat besar dan mereka dikenal sebagai keluarga yang punya banyak tanah. Walau sebenarnya, aku t
Esoknya kami ke sana dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar yang memang dikontrakkan karena sang pemilik rumah sudah pindah ke kota. Empat juta untuk pertahunnya, dan kurasa itu tidak menguras kantong terlalu dalam.Malam itu, aku dan Mas Akmal bermaksud untuk menyampaikan keinginan kami untuk pindah ke kontrakan. Rencananya kami akan mulai pindah hari Minggu. Tentunya saat Mas Akmal libur kerja."Kenapa harus pindah, Mal? Rumah ini sudah cukup besar untuk kalian." Ibu terlihat tidak senang dengan keinginan kami."Kami pindah supaya Arum tidak terlalu capek karena bolak-balik melewati jalanan yang rusak, Bu," ucap Mas Akmal pelan, kusambut dengan anggukan penuh harap."Kalau kamu pergi Ibu sama siapa, dong?" Wajah Ibu hampir menangis. Ia tidak lagi peduli pada sinetron yang sedang ditontonnya."Kan ada Mbak Rima, ada Lila juga," bujuk Mas Akmal tersenyum manis ke arah Ibu. Meskipun bukan cucu kandungnya, tapi Lila sangat akrab dengan Ibu. Gadis itu sering menginap dan t
Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi di antara kami. Terlebih kini Mas Akmal sudah menganggur lebih dari enam bulan. Pun meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Pernah kutawarkan modal pada Mas Akmal agar ia membuka bengkel saja di rumah, daripada hanya menghabiskan waktu tak karuan dengan merokok dan bermain-main di rumah Ibunya. Tapi ia menolak, alasannya karena ia gengsi dengan gelar sarjananya dan lebih suka kerja di kantoran. Entahlah, kurasa ia terlalu pemilih atau memang sudah keenakan karena istrinya sudah memiliki penghasilan yang besar.Memang kini aku sudah punya penghasilan yang lumayan, berkat kegigihanku menulis di beberapa platform kepenulisan berbayar. Setiap bulan aku bisa mengantongi jutaan sampai puluhan juta. Dan tentu uang itu aku gunakan untuk mencicil hutang suamiku.Sebenarnya aku punya lebih banyak uang dari yang ia ketahui. Tapi aku tidak ingin mengatakan padanya, nanti Mas Akmal malah tambah keenakan. Ini saja sudah membuat Ibu dan Mbak Rima berkali-
"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
Sebelum azan subuh, aku sudah bangun untuk memasak dan merapikan rumah. Karena hanya sendirian di rumah, aku memasak nasi goreng untukku dan hanya untuk porsi sekali makan saja. Seperti biasa, aku hanya menanak nasi dan untuk makan siang aku akan membeli lauk saja di warung langgananku.Kupercepat kegiatanku memasak saat suara azan subuh berkumandang dari satu-satunya masjid di desa ini. Kusucikan anggota tubuh dengan air wudhu untuk segera menunaikan ibadah dua rakaat tersebut.Kuhamparkan sajadah ke arah kiblat lalu memulai shalatku dengan khusyu'. Kemudian melangitkan doa untuk orang tuaku dan kesembuhan bagi Ibu mertuaku. Berharap Sang Maha Kuasa mendengar doaku dan segera mengabulkannya. Di tangan-Nya lah bergantung setiap makhluk yang bernyawa, Ialah satu-satunya tempat yang diharapkan untuk mengangkat penyakit yang diderita Ibu mertuaku.Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan pagiku yang masih hangat, kunikmati sendirian bertemankan segelas susu hamil rasa va
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p