Esoknya kami ke sana dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar yang memang dikontrakkan karena sang pemilik rumah sudah pindah ke kota. Empat juta untuk pertahunnya, dan kurasa itu tidak menguras kantong terlalu dalam.Malam itu, aku dan Mas Akmal bermaksud untuk menyampaikan keinginan kami untuk pindah ke kontrakan. Rencananya kami akan mulai pindah hari Minggu. Tentunya saat Mas Akmal libur kerja."Kenapa harus pindah, Mal? Rumah ini sudah cukup besar untuk kalian." Ibu terlihat tidak senang dengan keinginan kami."Kami pindah supaya Arum tidak terlalu capek karena bolak-balik melewati jalanan yang rusak, Bu," ucap Mas Akmal pelan, kusambut dengan anggukan penuh harap."Kalau kamu pergi Ibu sama siapa, dong?" Wajah Ibu hampir menangis. Ia tidak lagi peduli pada sinetron yang sedang ditontonnya."Kan ada Mbak Rima, ada Lila juga," bujuk Mas Akmal tersenyum manis ke arah Ibu. Meskipun bukan cucu kandungnya, tapi Lila sangat akrab dengan Ibu. Gadis itu sering menginap dan t
Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi di antara kami. Terlebih kini Mas Akmal sudah menganggur lebih dari enam bulan. Pun meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Pernah kutawarkan modal pada Mas Akmal agar ia membuka bengkel saja di rumah, daripada hanya menghabiskan waktu tak karuan dengan merokok dan bermain-main di rumah Ibunya. Tapi ia menolak, alasannya karena ia gengsi dengan gelar sarjananya dan lebih suka kerja di kantoran. Entahlah, kurasa ia terlalu pemilih atau memang sudah keenakan karena istrinya sudah memiliki penghasilan yang besar.Memang kini aku sudah punya penghasilan yang lumayan, berkat kegigihanku menulis di beberapa platform kepenulisan berbayar. Setiap bulan aku bisa mengantongi jutaan sampai puluhan juta. Dan tentu uang itu aku gunakan untuk mencicil hutang suamiku.Sebenarnya aku punya lebih banyak uang dari yang ia ketahui. Tapi aku tidak ingin mengatakan padanya, nanti Mas Akmal malah tambah keenakan. Ini saja sudah membuat Ibu dan Mbak Rima berkali-
"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
Sebelum azan subuh, aku sudah bangun untuk memasak dan merapikan rumah. Karena hanya sendirian di rumah, aku memasak nasi goreng untukku dan hanya untuk porsi sekali makan saja. Seperti biasa, aku hanya menanak nasi dan untuk makan siang aku akan membeli lauk saja di warung langgananku.Kupercepat kegiatanku memasak saat suara azan subuh berkumandang dari satu-satunya masjid di desa ini. Kusucikan anggota tubuh dengan air wudhu untuk segera menunaikan ibadah dua rakaat tersebut.Kuhamparkan sajadah ke arah kiblat lalu memulai shalatku dengan khusyu'. Kemudian melangitkan doa untuk orang tuaku dan kesembuhan bagi Ibu mertuaku. Berharap Sang Maha Kuasa mendengar doaku dan segera mengabulkannya. Di tangan-Nya lah bergantung setiap makhluk yang bernyawa, Ialah satu-satunya tempat yang diharapkan untuk mengangkat penyakit yang diderita Ibu mertuaku.Setelah itu aku beranjak ke dapur untuk menyantap sarapan pagiku yang masih hangat, kunikmati sendirian bertemankan segelas susu hamil rasa va
"Rum, bangunlah Rum!" Samar kudengar seseorang memanggil namaku dan menepuk bahuku beberapa kali. Aroma minyak kayu putih menyengat ke hidung. Sepertinya seseorang telah mengoleskan begitu banyak ke area hidungku, sampai bibir atasku terasa panas.Ruangan ini sangat asing bagiku. Kucoba untuk memutar kembali ingatan kenapa aku berada di sini, aku melihat Mas Akmal sedang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang di acara peresmian showroomnya. Tapi, kenapa aku malah terbaring di sini? Apa aku bermimpi?"Arum, kamu udah sadar?" ucap suara yang sangat kukenal, ia adalah Mas Akmal, suamiku. Kukedipkan mata beberapa kali untuk menajamkan pandangan. Memperjelas kembali kejadian dalam mimpi yang terasa nyata."Mas, kita di mana?" tanyaku seraya memegangi kepala yang terasa berdenyut."Uhm, kamu kok bisa ke sini sih, Rum?"Bukannya menjawab. Ia malah balik bertanya.Aku kini berada di sebuah ruangan yang mirip kantor. Ada sepasang kursi dan meja yang di atasnya terdapat sebuah laptop.
Entah di mana mereka letakkan akal sehatnya. Bisa-bisanya membohongiku seperti itu. Ingin tampil bergaya di hadapan calon istri Mas Akmal, tapi tidak punya modal dan malah mengandalakan uangku. Jelas-jelas aku korban di sini. Tapi masih juga dimanfaatkan. Dasar edan!"Arum, berikan uangnya!" tuntut Mbak Rima tak tahu malu. Ia terus saja mengejarku."Apa? Kenapa harus uangku, Mbak?""Karena kami sedang tidak punya uang.""Katakan saja pada pemilik salon untuk membayarnya bulan depan. Bukankah kalian sudah terbiasa berhutang?" balasku ketus. Uang ini milikku. Aku tidak sudi memberikannya lagi walau satu rupiah pun."Dasar pelit, untungnya Akmal akan segera menikah dengan Firda. Lihat saja nanti, kau akan menyesal. Jika Firda sudah menjadi menantu di rumah Ibu, semua hutang kami akan lunas, bahkan mulutmu itu akan kami beli nanti," cibirnya begitu jemawa. Memang manusia tidak punya malu, menyombongkan diri dengan harta orang lain. Dasar benalu.Tidak lagi kuperdulikan segala ocehan dan s
"Allah tahu Ibu wanita kuat dan sabar, sehingga Dia ambil lagi apa yang telah dititipkannya di rahim Ibu," lanjutnya lirih dan sangat hati-hati. Disusul isak tangis Ibu dan Bu Yanti. Bagai tersambar petir di siang bolong, lantas aku meratap pilu. Ternyata benar dugaanku, hal buruk telah menimpaku. Setelah aku kehilangan Mas Akmal, kini aku harus kehilangan janin yang seharusnya menjadi penguatku di kala sang ayah menorehkan luka di hidupku."Ya Allah, kenapa Engkau lakukan ini padaku. Kenapa tidak Engkau ambil saja aku bersama anakku," rintihku menangis pilu. Aku meronta di atas tempat tidur berwarna hijau itu. Aku kehilangan kendali dan ingin menarik paksa inpus yang terpasang di tanganku.Hatiku baru saja disayat-sayat, sakit sekali. Kini, bekas luka yang masih basah itu semakin perih, ibarat disiram air garam di atasnya. Perih tak terkira. Bahkan sakitnya tak sebanding dengan kehilangan suami. Ingin aku akhiri saja hidupku yang malang ini."Bu Arum, Ibu percaya takdir 'kan? Tolong
"Akmal, tolong katakan pada Ibu kenapa kamu talak anak Ibu? Tarik ucapanmu, Akmal. Jangan begini," racau Ibu pada lelaki yang masih mengatur napasnya dengan tangan masih terkepal. Ia tetap bergeming, hingga Ibu berpindah pada wanita yang rautnya begitu bahagia."Rima, ada apa ini? tolong jawab pertanyaanku. Mereka tidak boleh berpisah," ucap Ibu memohon, sontak wanita itu menyunggingkan sebelah bibir dan memandang rendah ke arahku.Ibu terus saja bertanya pada semua orang, wajahnya memelas memohon jawaban pada semua orang yang ditanya. Wajar memang jika Ibu seperti itu. Karena sepanjang pengetahuannya, hubungan kami selalu harmonis dan tenteram, sebab aku tidak pernah menceritakan padanya sedikit pun tentang aib rumah tanggaku "Sudahlah, Bu. Ini memang keinginanku, aku tidak sanggup hidup bersama Mas Akmal lagi," sahutku agar Ibu berhenti bertanya. Aku tidak mampu melihat Ibu terus-terusan memohon seolah lelaki itu sangat berharga di hidupku."Arum ini istri yang tidak tahu diuntung,
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p