“Oh, iya, tadi Mbak Rima bilang apa, ya? Bisa diulangi lagi?”
Arum berucap sembari menyunggingkan senyum yang bagi Akmal begitu mengerikan. Ia bukan bertanya, tapi lebih kepada mengintimidasi.
Akmal sengaja berdiri di belakang Arum, agar dirinya leluasa memberikan kode pada Bu Rahma dan juga Rima. Tangannya melambai ke udara tanda jangan. Ya, jangan, agar kedua wanita itu jangan membicarakan hal itu lagi. Kemudian Akmal menggunakan kedua tangan untuk mencekik lehernya, ia memejamkan mata sembari menjulurkan lidah. Artinya, jika ibunya dan Rima masih tetap bicara, bisa-bisa ia akan mati dibuat Arum.
Kedua wajah wanita itu menjadi tegang. Akan tetapi, Rima yang memiliki jiwa petarung itu tak bisa diam. Ia ingin sekali melawan dan berperang mulut dengan Arum. Untungnya, bu Rahma segera mencubit pahanya yang dibalut celana leging hitam yang ketat. Akhirnya, ia pun mengangguk dan terpaksa bungkam.
“Enggak, tak jadi Rum. Ibu cuma antarkan ini saja. Dimakan, ya. Kami mau pulang!” ujar bu Rahma takut. Bagaimana pun, ia sangat menyayangi putranya itu. Dirinya sadar jika saat ini kehidupan putranya sangat bergantung pada sang istri.
Selain itu, Bu Rahma juga sadar bahwa Akmal sedang berada di titik terendah. Sebagai suami yang sedang tidak memiliki pekerjaan, Akmal dituntut untuk menurut dan mengalah pada Arum, sampai batas waktu yang ia sendiri tidak tahu. Yang jelas, keadaan akan kembali normal jika ia sudah kembali bekerja.
“Loh, kok langsung pulang, sih, Mbak, Bu? Kita makan sama- sama saja, yuk!” ajak Arum sopan. Namun di mata Rima, hal itu hanyalah sebuah kepura-puraan belaka. Terbesit kembali rasa menyesal dalam hatinya karena sudah bersusah payah memasak dan mengantarkan makanan ini pada Arum, namun kembali berakhir dengan rasa kecewa.
Begitu pun Akmal, firasatnya mengatakan jika Arum pasti akan menghabisinya hari ini juga. Wanita itu mungkin akan mengomel panjang seperti lintasan kereta api.
“Sudah, tidak usah. Kami pulang saja,” tukas Bu Rahma sembari menarik tangan Rima untuk segera naik ke motornya. Kemudian kembali melaju di bawah terpaan panas matahari, melewati jalanan desa yang rusak dan berbatu.
Akmal menarik napas dalam. Bersiap menerima serangan bertubi-tubi dari mulut Arum.
Istrinya yang dulu lembut dan penurut, berubah garang sejak ia mengubah status menjadi seorang pengangguran.
“Mas, sudah makan?” Akmal terkejut kala mendengar kalimat yang keluar dari bibir ranum Arum. Bukan omelan, melainkan sebuah perhatian.
“Belum, Dek,” ucapnya ragu dan hati-hati. Bisa saja Arum berbasa-basi dahulu sebelum menghujaninya dengan berbagai macam omelan.
“Ya, sudah, kita makan bareng, ya.”
Arum mengangkat rantang berisi makanan itu ke dapur. Lalu mewadahinya ke dalam mangkok dan piring.
Akmal lega, sejauh ini Arum masih belum bersuara. Ia pikir, Arum akan marah-marah lagi. Sebenarnya ia pun ingin bertanya, tapi hatinya menolak untuk lebih baik diam. Ia khawatir jika dirinya bertanya, Arum malah l jadi kesal dan akhirnya marah benaran.
Arum mengambilkan nasi ke piring Akmal berikut lauk pauknya. Mereka makan besar hari ini, meja bulat itu penuh dengan aneka makanan.
“Alhamdulillah,” ucap Akmal setelah bersendawa yang cukup keras. Pria pengangguran itu telah selesai makan, tapi Arum masih menikmati makanannya. Bukan makanan dari Rima, tapi makanan yang ia beli sendiri. Ia tak menyentuh sedikit pun makanan itu, dibiarkannya saja Akmal menikmati menu buatan kakaknya itu sendirian.
Arum tipe perempuan yang memang lamban kalau makan. Ia harus melumat makanannya sampai halus, barulah menelannya. Sehingga satu piring nasi, baru akan habis dalam waktu lima belas menit.
“Dek, tolong ambilkan minum,” pinta Akmal sembari menyodorkan gelas berukuran besar. Arum mengambil teko, lalu menuangkan air ke dalamnya.
“Dek, tisunya mana?” tutur Akmal lagi, karena meja ini terlalu penuh, matanya tak melihat ada tisu di atasnya. Biasanya posisi benda itu terletak di tengah meja.
Padahal posisi tisu ada di atas kursi kosong di sebelah Akmal, namun Arum tetap mengambilkannya untuk sang suami setelah menyuap sesendok nasi ke mulutnya terlebih dahulu.
“Dek, tusuk gigi!” perintah Akmal lagi. Sebenarnya ia tahu tusuk gigi ada di atas kulkas. Tapi karena perutnya penuh, ia jadi malas untuk beranjak ke kulkas yang jaraknya dua meter dari tempatnya duduk.
Arum bangkit dari duduknya, lalu mengambilkan sekotak tusuk gigi dan meletakkannya di depan Akmal.
“Dek, minum lagi, dong!”
Bagi Akmal tak cukup hanya minum segelas air, ia butuh beberapa gelas agar makanan tidak terasa sangkut di leher.
Arum yang sedang makan, akhirnya melotot ke arahnya.
Tuh, ‘kan. Dia selalu keberatan melayaniku. Padahal, waktu aku masih bekerja dulu, dia tak pernah keberatan dengan semua perintahku. Sesibuk apa pun dia, selalu menyahut jika kupanggil, dan serepot apa pun pekerjaannya, pasti ditinggalkannya untuk melaksanakan perintahku. Dasar wanita, hanya akan sayang jika lelaki banyak uang. Batin Akmal menggeram.
Baru saja setengah tahun menganggur, Arum sudah berubah menjadi pelit. Pelit uang dan pelit tenaga.
Siang itu, Arum sudah bersiap dengan seragam kerjanya. Sebelum menjadi penulis seperti sekarang, ia juga seorang guru di salah satu lembaga yang berdiri lama di kampung itu. Bahkan sejak belum menikah dengan Akmal, Arum sudah mengajari anak-anak belajar komputer dan bahasa Inggris. Itulah yang membuatnya begitu disegani oleh orang- orang di kampung Sumber Sari. Ia dianggap banyak berjasa pada anak-anak warga, sehingga mereka lihai mengoperasikan komputer dan tidak lagi kesulitan mengerjakan tugas bahasa Inggris yang diberikan guru mereka di sekolah.
Wanita berkulit putih itu mengajar selama tiga jam dalam sehari di Yayasan Pelangi Ilmu. Sebuah lembaga pendidikan non-formal yang sudah beroperasi enam tahun belakangan. Ia mengajar mulai pukul tiga hingga lima sore. Arum menerima gaji yang lumayan setiap bulannya. Sembilan ratus ribu sebulan dan akan selalu naik setiap tahunnya berdasarkan kinerja dan jumlah murid yang masuk.
Maka dari itu, Akmal merasa beruntung mempunyai istri pekerja keras dan juga gigih seperti Arum. Bahkan, sewaktu Akmal masih bekerja dulu, istrinya tidak keberatan jika harus menerima uang lima ratus ribu sebulan.
Itulah sebabnya, Akmal pun berani untuk mencicil mobil dan motor sekaligus. Karena ada Arum yang mampu memenuhi kebutuhan rumah. Walau pada akhirnya, Arum menanggung banyak beban dan kekecewaan akibat ulah suaminya dulu.
Akmal mengantar Arum menuju Yayasan Pelangi Ilmu dengan motor bebek keluaran lama yang ia beli melalui pasar black market. Itu pun, ia beli dengan seperempat uang muka pembelian mobil yang dikembalikan pihak showroom ketika mobil kesayangannya mereka tarik.
Sebenarnya ia malu, kehidupan yang dulunya tampak hedon harus berbalik sedemikian rupa. Akan tetapi, apa yang bisa ia perbuat, selain menikmati kehidupan barunya itu.
Jika ditelisik pada kehidupannya yang dulu, tentu sangat berbanding jauh dengan yang sekarang. Dulu, ia selalu bepergian dengan mobil, jika pun naik motor, selalu yang keluaran terbaru. Terkadang ia kesal, sebagian orang seperti mengejek ketika melihatnya berada di atas motor butut itu.
Akmal mengantar Arum sampai ke depan ruangan khusus para pengajar. Kemudian pria bercelana pendek itu duduk di atas motornya sambil berbincang ringan dengan para orang tua yang mengantar anaknya.
Banyak anak-anak yang sudah berkumpul di depan bangunan luas berpagar besi itu. Karena sekitar tujuh menit lagi bel akan berbunyi.
Akmal sendiri tidak akan beranjak dari tempat itu jika Arum belum masuk ke kelasnya. Karena di ruangan khusus guru, ada Zulham, si lajang tua yang dulu menyukai Arum, istrinya.
Tak lama, bel pun berbunyi. Anak-anak berlarian menuju kelas masing-masing setelah para guru membuka kunci kelasnya. Dan inilah waktu yang tepat bagi Akmal untuk meminta jatah rokok pada Arum.
Setelah situasi dirasa aman, ia mengetuk pintu kelas Arum pelan, anak-anak yang tadinya riuh mendadak diam.
“Dek, rokok!” gumamnya pelan. Meskipun bersuara rendah, Arum sudah mengerti maksud suaminya.
Seperti biasanya, tanpa perlu memelas dan menunggu terlalu lama, Arum akan menghampiri sang suami yang berdiri di depan pintu untuk memberikan suaminya uang berwarna biru untuk membeli rokok.
Bahkan, Arum akan tersenyum manis ke arah Akmal, karena wanita itu harus menjaga reputasinya di hadapan anak didik dan juga orang tua yang masih menunggu di parkiran. Sungguh memalukan jika ia malah berdebat dengan sang suami di tempat itu hanya gara-gara uang rokok.
“Ini, Mas!” ucapnya sambil memasukkan uang itu langsung ke kantong celana Akmal. Untungnya, Akmal memang lebih suka menggunakan celana buntung bersaku banyak, sehingga tangan Arum tidak kesulitan memasukkan lembaran uang ke dalam sana.
Yes, aku berhasil. Batin Akmal kegirangan.
Meskipun lelaki itu telah berkali-kali membuat Arum kesal hari ini. Tapi, ia masih memberi uang untuk jatah rokok Akmal. Karena itu pula, Akmal menarik kembali ucapan yang mengatakan bahwa Arum seorang istri yang pelit.
Setelah menerima uang itu, Akmal berjalan sembari bersiul menghampiri motornya, menghidupkan mesinnya lalu melaju keluar dari tempat itu. Tak lupa ia menarik kuat gas secara berulang agar menimbulkan suara yang bising, tepat di depan kelas yang diampu Zulham, si lajang tak laku itu.
“Brum ... brum ... brum!”Suara motor Akmal terdengar sangat bising. Karena sudah terbiasa, akhirnya Zulham hanya menoleh sekilas, lalu kembali berkutat dengan buku di tangannya.Sok cool banget gayanya! Gerutu Akmal geram.Lelaki yang sudah menganggur selama setengah tahun itu melajukan motor menuju warung langganannya, membeli sebungkus rokok untuk persediaan. Walaupun pengangguran, kebiasaannya masih sama seperti dulu, membeli sebungkus rokok sekaligus karena ia paling anti dengan rokok ketengan. Gengsi, dong!“Bu, rokok, ya, sebungkus!” ucap Akmal pongah, tangannya merogoh kantong celana untuk mengambil uang yang diberikan Arum tadi.Akmal terenyak, saat tangannya malah meraba secarik kertas yang licin, tidak kasar layaknya tekstur uang kertas biasa.Benar saja, saat ia tarik, kertas yang terasa licin tadi bukanlah selembar uang, melainkan secarik kertas origami berwarna merah.“Ini, rokoknya,” ucap bu Nur, pemilik warung bercat dominan putih dan merah itu. Tangannya menyodorkan s
Aku mencubiti kaki ini, menyesali keteledoranku dalam mengendalikannya. Karena pertengkaran yang terjadi barusan, Arum pasti akan mengunci kamar semalaman sehingga aku terpaksa tidur di luar.TingPonselku tiba-tiba bersuara, menandakan masuknya sebuah pesan. Dengan malas tanganku menggapai benda pipih itu. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya dalam sehari ini, sejak pagi kubiarkan saja benda itu tergeletak di atas meja. Aku tak berselera menatapnya, karena ponsel canggihku sudah kehabisan data internet. Tak ada lagi yang perlu kuperbuat jika tak bisa berselancar di dunia maya. Aku tidak punya uang untuk membeli datanya, biasanya juga hanya modal hotspot dari ponsel Arum.Tapi beberapa hari ini, ia tak pernah lagi mengaktifkan hotspot-nya. Maklum, dia 'kan pelit.Tanpa semangat, kutekan tombol oke untuk membuka pesan yang masuk dari Mbak Rima.[Mal, jangan banyak alasan. Besok harus kamu bawa uangnya!]Pesan dari Mbak Rima membuat otakku yang kusut semakin mengkerut. Bagaimana caraku
Hah, Firda? Aku melongo, dengan tampang bingung dan tak percaya. Setahuku gadis itu sedang kuliah di Ibu kota, meneruskan pendidikannya di sana bersama sepupunya."Firda udah selesai kuliahnya dan besok dia mau ke sini, mau silaturahmi katanya." Mbak Rima menjawab, seakan mengerti arti mimik wajahku."Kamu besok ke sini, ya. Temani kami ngobrol-ngobrol sama dia. Siapa tahu nanti kalian bisa ...." ucap Mbak Rima terhenti."Bisa apa, Mbak?""Ah, enggak. Bisa kerja sama, soalnya Firda mau buka bisnis baru di sini." Mbak Rima cengengesan, disambut tawa renyah dari Ibuku.Ah, ada-ada saja keluargaku ini. Hanya untuk kedatangan Firda mereka menyiapkan makanan sebanyak ini. Seperti tamu spesial saja. Kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Artinya setengah jam lagi Arum akan pulang. Aku pun bergegas pamit pada Ibu dan Mbak Rima, menaiki kuda besi bututku untuk membelah jalanan aspal di depanku.**"Dek, Ibu kamu ngapain ke sini?" tanyaku karena sehabis magrib Ib
Arum sudah sangat keterlaluan. Bisanya hanya mengungkit kejadian yang telah lewat. Menghilangkan perjuanganku sebagai kepala keluarga selama menikah hanya karena aku tidak bekerja lagi. Awas saja akan kubuktikan padanya bahwa aku bisa membayar hutangku, tanpa bantuan darinya. Aku menaiki motorku menuju rumah Ibu. Ke mana lagi kalau bukan ke sana? Rumah ibulah yang selalu membuatku tenang dan merasa nyaman. Tak aku pikirkan bagaimana Arum nanti pergi kerja, mau jalan kaki atau menumpang pada orang lain, bukanlah urusanku. Biar ia rasakan sendiri akibat dari melawan suami.Ketika tiba di rumah Ibu, kulihat ada sebuah mobil berwarna merah terparkir di sana. Namun, seperti tidak asing bagiku, seolah aku pernah melihatnya.Aku masuk melalui pintu belakang, mengintip dari dapur siapa kiranya tamu yang sedang bertandang ke rumah Ibu. Tidak kelihatan, hanya suaranya saja yang terdengar mendayu-dayu."Hayo, ngapain kamu?" Suara Mbak Rima sangat mengagetkanku. Jantungju seperti hendak lompat d
POV Arum( Flashback setahun yang lalu ) Perkenalkan namaku Arum Nur Haziza, orang-orang biasa memanggilku Arum. Umurku baru menginjak dua puluh empat tahun ketika aku mengandung anak pertamaku. Buah cinta pernikahanku dengan Mas Akmal, pria yang telah menikahiku dua tahun yang lalu.Ibu mertua awalnya baik padaku. Namun, perlahan ia mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya seiring gesekan dari Mbak Rima yang semakin hari berusaha mendominasi Ibu.Sejak pertama Mas Akmal mengenalkan aku pada keluarganya, sudah bisa kutebak gelagat Mbak Rima yang sepertinya kurang menyukaiku. Kata Mas Akmal karena saat itu ia pun sedang menjodohkan adiknya itu dengan perempuan lain. Tapi, Mas Akmal menolak dan lebih memilihku, gadis kampung sederhana ini.Awalnya, aku merasa bahagia dinikahi oleh Mas Akmal yang keluarganya terkenal sebagai orang yang berada. Walau tidak mempunyai mobil, tapi rumah mereka sangat besar dan mereka dikenal sebagai keluarga yang punya banyak tanah. Walau sebenarnya, aku t
Esoknya kami ke sana dan menemukan sebuah rumah sederhana dengan dua kamar yang memang dikontrakkan karena sang pemilik rumah sudah pindah ke kota. Empat juta untuk pertahunnya, dan kurasa itu tidak menguras kantong terlalu dalam.Malam itu, aku dan Mas Akmal bermaksud untuk menyampaikan keinginan kami untuk pindah ke kontrakan. Rencananya kami akan mulai pindah hari Minggu. Tentunya saat Mas Akmal libur kerja."Kenapa harus pindah, Mal? Rumah ini sudah cukup besar untuk kalian." Ibu terlihat tidak senang dengan keinginan kami."Kami pindah supaya Arum tidak terlalu capek karena bolak-balik melewati jalanan yang rusak, Bu," ucap Mas Akmal pelan, kusambut dengan anggukan penuh harap."Kalau kamu pergi Ibu sama siapa, dong?" Wajah Ibu hampir menangis. Ia tidak lagi peduli pada sinetron yang sedang ditontonnya."Kan ada Mbak Rima, ada Lila juga," bujuk Mas Akmal tersenyum manis ke arah Ibu. Meskipun bukan cucu kandungnya, tapi Lila sangat akrab dengan Ibu. Gadis itu sering menginap dan t
Pertengkaran demi pertengkaran kerap terjadi di antara kami. Terlebih kini Mas Akmal sudah menganggur lebih dari enam bulan. Pun meninggalkan hutang yang tidak sedikit. Pernah kutawarkan modal pada Mas Akmal agar ia membuka bengkel saja di rumah, daripada hanya menghabiskan waktu tak karuan dengan merokok dan bermain-main di rumah Ibunya. Tapi ia menolak, alasannya karena ia gengsi dengan gelar sarjananya dan lebih suka kerja di kantoran. Entahlah, kurasa ia terlalu pemilih atau memang sudah keenakan karena istrinya sudah memiliki penghasilan yang besar.Memang kini aku sudah punya penghasilan yang lumayan, berkat kegigihanku menulis di beberapa platform kepenulisan berbayar. Setiap bulan aku bisa mengantongi jutaan sampai puluhan juta. Dan tentu uang itu aku gunakan untuk mencicil hutang suamiku.Sebenarnya aku punya lebih banyak uang dari yang ia ketahui. Tapi aku tidak ingin mengatakan padanya, nanti Mas Akmal malah tambah keenakan. Ini saja sudah membuat Ibu dan Mbak Rima berkali-
"Rum, aku pinjam uangmu dulu tiga juta. Ibu sakit, itu untuk biaya beli obat!" pinta Mas Akmal saat kami baru saja selesai makan malam. Wajahnya begitu sedih dan kebingungan. Pantas saja ia makan sedikit sekali malam ini, bahkan makanannya masih bersisa di piring."Hah, Ibu sakit? Sakit apa, Mas?" Aku tercengang karena setahuku Ibu tidak punya riwayat penyakit apa pun. Paling hanya sering pusing dan sakit kepala, itu pun jika sudah masuk tempo pembayaran hutang."Ibu menderita diabetes. Dia harus rutin cek gula dan mengkonsumsi obat-obatan agar tidak semakin parah," keluhnya begitu khawatir. Mas Akmal sangat dekat dengan Ibunya, wajar jika ia begitu cemas, bahkan lebih cemas daripada melihat aku yang sakit.Aku memang sering mendengar orang-orang seusia Ibu menderita penyakit diabetes, bahkan beberapa penderita yang penyakitnya sudah parah maka penglihatannya akan terganggu. Biasanya mata mereka akan mengalami penurunan dan tubuh juga semakin kurus. Bahkan beberapa anggota tubuh yang
"Alhamdulillah, ya, Mas. Akhirnya kita bisa menginjakkan kaki di kampung ini lagi. Aku rindu sekali dengan suasana kampung ini," ujar Arum saat ia dan suaminya baru saja sampai ke rumah lamanya, setelah setahun meninggalkan desa ini dan hidup di kota.Sudah tiga hari mereka tiba tapi selama ini hanya tinggal di rumah Bu Hayati--ibunya. Arum ingin melepaskan rindu di kampung kelahirannya sekaligus mengenalkan putri semata wayangnya yang baru berusia lima bulan pada kerabat dan tetangganya di kampung.Pasangan itu sangat berbahagia karena anak yang dinantikan telah lahir dengan sehat dan selamat. Mereka memberinya nama Amara Shaza Qamira yang mempunyai arti anak perempuan baik hati yang memiliki kecantikan bagaikan bulan.Bayi dalam gendongan Arum itu sangat rupawan. Kulitnya putih bersih dengan mata yang bersinar terang. Hampir delapan puluh persen wajahnya mewarisi kecantikan Arum. Mereka berharap jika Amara tidak hanya memiliki wajah yang cantik, namun hati yang cantik pula."Iya, Ma
Akhir dari kisah"Siapa itu?" ujar Bu Rahma penasaran, keningnya mengkerut beberapa lipatan ketika sebuah sedan berwarna silver masuk ke halamannya. Baru saja tamu mereka pergi, kini mereka kedatangan tamu lagi."Ayah ...." teriak Rayen ketika bola mata bocah berusia enam tahun itu menangkap sosok ayahnya turun dari kendaraan roda empat tersebut. Ia lantas berlari menghambur ke pelukan sang ayah. Menumpahkan segala rindu setelah perpisahan yang cukup lama.Cukup lama anak beranak itu berdiri di sana, di samping mobil yang dibeli Andi beberapa hari yang lalu."Andi!" gumam Bu Rahma. Ada binar harapan ketika sang menantu itu datang ke sini. Apalagi mengendarai sebuah mobil, meski hanya keluaran lama. Barangkali ia ingin kembali pada Rima, harapnya.Rima tak kalah bahagianya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa berjumpa kembali dengan Andi--lelaki yang dikasihinya.Hingga binar-binar harapan itu memudar saat dilihatnya Andi tak datang sendiri, bukan dengan Lila melainkan seorang wanita
Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Rima sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.Tak banyak yang berubah, keadaanya masih tetap sama. Sakit dan cacat. Tak bisa bekerja mau pun bicara. Hanya duduk sepanjang hari di kursi roda. "Rayen, tolong tambahkan kayu bakar ke tungku, ya!" ujar Bu Rahma, tangannya sedang sibuk meracik sayuran sehingga terpaksa meminta bantuan pada cucunya yang masih kanak-kanak tersebut."Iya, Nek." Bocah berusia enam tahun itu mengentikan sejenak aktivitasnya, yaitu membersihkan air liur Rima yang sering menetes membasahi bahu kanannya.Dengan cekatan, ia mengambil beberapa bilah kayu yang telah disusun neneknya di ujung dapur yang berdinding anyaman bambu tersebut. Lalu memasukkannya ke dalam tungku hingga api yang tadi sempat hendak padam kembali marak."Bunda haus?" ucap bocah itu setelah selesai melaksanakan perintah neneknya. Ia duduk menghadap ibunya yang tersenyum haru. Rima mengangguk cepat, kepalanya bergoyang- goyang ke bawah. Tak lama, Rayen
Karena Bu Rahma sudah tiba di rumah sakit, maka Arum dan Zulham pun kembali ke rumah. Mereka tidak bisa berlama-lama di sana apalagi Arum tengah hamil muda. Ia butuh istirahat yang cukup demi menjaga kesehatan dirinya dan calon anaknya.Zulham berpesan agar keluarga itu tak perlu memikirkan biaya. Mereka hanya harus fokus pada kesehatan Rima, sementara untuk biaya makan selama di rumah sakit, Bu Salamah berinisiatif agar meminta sumbangan pada semua warga desanya."Sekali lagi terima kasih, ya, Rum, Pak Zulham. Kami sangat berhutang budi pada kalian. Mohon doanya agar Rima segera sadar," ucap Bu Rahma saat mengantar kepulangan Arum dan Zulham menuju parkiran mobil.Rima sudah keluar dari ruang operasi. Namun, keadaannya masih koma. "Ya, Bu. Lusa kami akan berkunjung ke sini. Semoga anak Ibu segera sembuh," sahut Zulham tersenyum ramah. Ia kemudian menggandeng tangan istrinya menuju mobil mewah yang terparkir di sudut rumah sakit. Bu Rahma masih terpaku di tempatnya. Hatinya retak me
Itulah sebabnya, ia meminta Zulham membawa Arum ke rumahnya karena keadaan tidak memungkinkan ia untuk ke sana. Bu Rahma ingin memohon ampun pada Arum atas perbuatannya yang lalu, barangkali setelah mendapat maaf dari Arum, Allah tak mengirimkan musibah yang lain lagi.Zulham sengaja merahasiakan keberadaan Akmal pada keluarganya selama ini atas permintaan ustadz yang menangani Akmal. Karena sebagian besar jin yang mengganggu mental Akmal berasal dari keluarganya sendiri. Ia takut jika keluarganya tahu, hal itu akan menghambat jalan kesembuhan bagi Akmal."Siapa yang kecelakaan, Sayang? Apa benar temanmu?" tanya Zulham setelah memarkirkan mobilnya secara sembarangan di halaman. Ia buru-buru turun dan menghampiri Arum setelah wanita itu mencium takzim tangan suaminya yang sudah pergi sejak semalam.Zulham berangkat semalam sore setelah dikabarkan pihak pesantren. Ustadz yang menangani Akmal sudah memperbolehkan lelaki itu pulang, karena Akmal dirasa sudah sehat dan bisa kembali bersosi
"Pencuri ... kejar dia!" teriak Bu Wulan menunjuk pada Rima yang membawa kabur gelang seberat lima gram tersebut."Ayo kejar sampai dapat ...." sahut yang lain begitu bersemangat. Para ibu-ibu yang kebanyakan berusia empat puluhan itu tampak menghambur ke jalanan desa yang beraspal untuk mengejar Rima."Ibu ... Ibu ... biarin saja. Gak perlu dikejar," teriak Arum pada barisan emak-emak yang berlari bak anak SD yang kegirangan ketika lonceng berbunyi. Ada yang mengangkat gamisnya ke atas, menyingsing lengan bajunya, hingga melepas wedges agar dapat menangkap Rima yang jaraknya sepuluh meter di depan mereka. Wanita itu lari tunggang langgang menyadari posisinya sedang tidak aman. Ia tidak menduga jika Ibu- ibu pengajian itu sangat kompak mengejarnya, persis seperti memburu minyak goreng murah.Sebenarnya Arum tidak begitu mempermasalahkan gelang itu. Ia lebih khawatir pada para wanita yang berlari kencang di jalanan yang ramai oleh kendaraan. Ia tidak ingin melihat mereka celaka hanya
Wanita yang tak diundang itu mulai berjalan mengitari ruangan berukuran 10 x 10 meter tersebut. Tangannya mulai celamitan menyentuh pernak-pernik mahal yang terpajang di meja. Ia berlagak lebih angkuh dari pemilik rumah itu sendiri.Rima kemudian berjalan menuju ruangan lain yang biasa digunakan Arum dan Zulham untuk bersantai. Ruangan itu dilengkapi dengan televisi digital berukuran besar dan sebuah bangku refleksi yang biasa digunakan Zulham untuk bersantai. Adapula sebuah lemari yang berisi koleksi Poto dan pajangan berbahan kristal."Gak perlu basa-basi, Mbak! Apa tujuanmu datang ke rumahku?" ujar Arum datar setelah hanya mereka berdua di ruangan itu. Sepertinya Rima memang tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang lain.Arum berusaha tenang meskipun amarah mulai merangkak di dadanya, ia tak mau lagi bersikap baik pada wanita seperti Rima. Sudah terlalu dalam luka yang ia torehkan selama ini."Santai ... dong! Jangan marah-marah gitu," ledek Rima dengan senyum yang menjengkelk
Andi pergi detik itu juga. Meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama tujuh tahun lamanya. Bukan hanya Rima, ia sendiri tak menyangka jika rumah tangganya kandas untuk kedua kalinya. Istri pertama telah mengkhianati dan kedua telah berbuat curang.Kepalanya kembali mengorek tentang kenangan masa silam. Dimana ia merasakan patah hati akibat pengkhianatan dari wanita yang dicintainya. Risma-- ibu Lila telah tega bermain serong dengan pria lain yang merupakan tetangga mereka. Bodohnya ia tak pernah tahu jika hubungan keduanya telah berjalan lama.Hatinya hancur berkeping-keping, ia telah kehilangan separuh jiwanya. Rasa putus asa telah mengunci hatinya untuk wanita lain. Ia bertekad untuk tak lagi membina rumah tangga dengan wanita manapun. Lelaki malang itu tak kenal cinta, bahkan setia hanya seperti omong kosong baginya.Akan tetapi, kehadiran Rima telah mendobrak benteng pertahanannya. Tekadnya kalah dengan kecantikan dan ketulusan gadis itu. Ia menyerah, lalu dengan rendah hati
"Ampun, Mas, ampun. Aku bisa jelasin ini, Mas. Dengarkan aku dulu!" pekik Rima kesakitan sebab sang suami terus memberondongnya dengan tamparan dan pukulan keras."Kurang aj*r kamu, dasar istri durhaka. Aku tidak akan memaafkanmu Rima!" Murka Andi. Ia lantas berjongkok di hadapan sang istri lalu menjambak kuat rambut Rima hingga wanita itu merasa kulit kepalanya hendak lepas. Bukan hanya itu, satu tangan Andi kini menekan kuat rahang istrinya hingga bibirnya mengerucut ke depan dan Rima mulai kesulitan bernapas. Rima menangis, air matanya mengalir deras mengenai telapak tangan Andi. Tangannya mencoba mendorong tubuh sang suami, namun tenaganya kalah kuat. "Aduh sakit! Kamu kejam, Mas. Seharusnya kau dengarkan penjelasan ku dulu," mohon Rima dengan napas yang tersengal-sengal. Kini Andi sudah melepaskan cengkeramannya karena masih tersisa setitik rasa iba melihat istrinya itu tersiksa.Rima meringis, ia melihat beberapa helai rambutnya tertinggal di sela jemari sang suami. Tubuhnya p