Itu adalah tatapan yang ingin Prasetyo lihat dari Nathalia, perempuan itu jelas berusaha menahan diri. Prasetyo tidak akan membiarkannya, ia akan menghancurkan Nathalia hingga perempuan itu merasakan yang namanya hidup sekaligus mati.“Huek!” Nathalia memuntahkan isi perutnya di toilet restoran. “Huek!” Nathalia memastikan perutnya tidak lagi bergejolak sebelum keluar dari bilik toilet, dipandangi wajahnya yang terlihat berantakan dari pantulan kaca. “Sialan!” Makinya lirih sembari menengadah, sebisa mungkin menghalau air mata yang akan turun. “Menjijikan.” keluhnya lagi ketika bayang-bayang kedekatan Samantha dan suaminya kembali muncul.“Kamu enggak apa-apa, Nath?” Nathalia terkejut karena Samantha tiba-tiba saja mendekat, perempuan itu terlihat cantik dengan dress terusan sebatas lutut. “Aku khawatir, karena itu menyusul.”Nathalia memaksakan senyum.”Hanya masuk angin biasa.” Nathalia membuka keran, lebih baik ia berpura-pura sibuk dari pada harus meladeni Samantha.“Baguslah, a
Prasetyo menghembuskan asap rokoknya dengan tenang, lelaki itu bersandar dengan kedua kaki saling menyilang, satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Lelaki itu bersikap tenang, seperti seekor singa yang menunggu buruannya.“Oh.” Nathalia terkejut, karena begitu keluar dari toilet langsung berpapasan dengan suaminya, perempuan itu bergegas merapikan diri. “Kamu di sini, Mas.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu masih asik menghisap batang nikotinnya dan menghembuskan asapnya tepat ke wajah Nathalia yang spontan langsung terbatuk.“Rapikan barang-barangmu, kita akan pulang.” Prasetyo mendekati tempat sampah terdekat, ia memadamkan puntung rokoknya di tempat yang tersedia. “Jangan membuatku mengatakannya dua kali, Nathalia.”“Ah, ya.” Nathalia bergegas mengikuti suaminya, entah hanya perasaannya saja atau bukan tapi Nathalia merasa suasana hati Prasetyo tidak terlalu baik. Lelaki itu kembali menampilkan ekspresi muram yang menyebalkan.“Kamu sudah kembali, Pras.” Samantha bergela
Nathalia terpaku, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Prasetyo sampai harus memperlakukannya seperti ini. Berbeda dengan Samantha, begitu mendengar Prasetyo memanggil namanya, perempuan itu bergegas mendekat bahkan sampai mendorong Nathalia agar perempuan itu bisa segera menyingkir. “Kamu membuatku cemas, Pras.” Kata Samantha begitu menggantikan posisi Nathalia. “Bertahanlah, sebentar lagi ambulan datang.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu sudah sibuk menahan sakit dari luka bakar yang didapatkannya karena menyelamatkan Nathalia. “Ambulansya datang!” Kata salah satu pengunjung yang masih menemani mereka. “Biar suaminya dibantu oleh petugas medis, Bu.”Nathalia menggigit pipi bagian dalam melihat kesalahpahaman yang terjadi, semua orang mengira Samantha sebagai istri Prasetyo. Bahkan petugas medis yang baru datang sibuk mengkonfirmasi beberapa informasi medis Prasetyo kepada Samantha.“Saya istrinya.” Nathalia menyela dengan suara dingin, matanya memandang Samantha dengan tatapan
Prasetyo mengerang, sekujur tubuhnya terasa nyeri luar biasa. Sepertinya efek pereda nyeri yang diberikan oleh dokter sudah habis, perlahan lelaki itu membuka mata untuk mengamati ruang perawatan VIP yang dipilihkan oleh Nathalia untuknya.“Perempuan konyol.” Kata Prasetyo ketika menyadari Nathalia tidur telungkup di kursi penunggu alih-alih membaringkan diri dengan nyaman di bed khusus penunggu yang sudah disediakan.“Kamu boleh membenciku, Mas. Tapi tolong jangan usir aku.” Rintihan Nathalia masih terdengar jelas di dalam kepalanya, perempuan itu meracau selama ia tidak sadarkan diri. “Bodoh.” Maki Prasetyo lagi karena menemukan sisa-sisa jejak air mata di wajah istrinya. Mungkin karena posisi tidurnya yang tidak nyaman atau karena memang ia merasa sedang diperhatikan, Nathalia perlahan ikut membuka mata. Matanya bertemu dengan mata Prasetyo untuk beberapa saat, Nathalia nyaris terhanyut sebelum menyadari situasinya.“Oh, kamu bangun, Mas?” Nathalia mengucek matanya, perempuan it
Akbar memperhatikan Samantha yang tengah bersolek, adik sepupunya sempat kembali ke New York beberapa waktu lalu untuk menyelesaikan urusannya pekerjaan terakhirnya. Samantha tidak akan kembali ke negeri yang dikenal dengan julukan The Big Apple tersebut, Samantha akan sepenuhnya tinggal di Indonesia dan melupakan mimpi dan pekerjaan impiannya di sana.“Mau ke mana?” Samantha melirik Akbar dari pantulan kaca meja riasnya. “Aku akan pergi ke rumah sakit.”“Rumah sakit?” tanya Akbar khawatir. “Kamu sakit?”“Bukan aku, tapi Prasetyo.”Akbar semakin tidak mengerti. “Prasetyo masuk rumah sakit?”Samantha menghela napas, terkadang Akbar memang sangat menyebalkan.“Kami pergi ke cafe di pusat kota dua hari yang lalu, sialnya Prasetyo tersiram sup panas karena Nathalia bersikap ceroboh.” Samantha menjelaskan. “Kalau Prasetyo nggak pasang badan, sup panas itu pasti sudah membakar wajah Nathalia.” Samantha sedikit geram dan menyayangkan kenapa kuah sup panas itu harus mengenai Prasetyo dan bu
Prasetyo memperhatikan Nathalia yang terlihat sangat sibuk dengan ponselnya, ini hari ke tiga perawatannya. Prasetyo sudah bosan setengah mati, tapi istrinya masih belum mengizinkan Prasetyo menjalani perawatan di rumah.“Jangan terus-terusan menghela napas seperti itu.” Nathalia menyahut tanpa menoleh pada Prasetyo yang duduk dengan muram di atas ranjang.“Aku bosan.”“Sebentar lagi Mas Prasetyo tidak akan merasa bosan.”Wajah Prasetyo kian muram.”Harusnya memang Samantha yang ada di sini, dia selalu menuruti dan mengerti keinginanku.”Nathalia tidak menjawab, perempuan itu terlihat makin sibuk dengan ponselnya. Prasetyo yang tidak suka diabaikan, mencoba menarik perhatian Nathalia dengan terus mengeluh sembari membicarakan Samantha. “Mereka datang.” Kata Nathalia tiba-tiba.“Mereka?”Kebingungan Prasetyo tidak berlangsung lama, karena tidak lama pintu ruang perawatannya terbuka. Akbar, Arman dan Samantha muncul dengan segala macam buah tangan mereka. “Mas Prasetyo nggak akan bosan
“Mereka terlihat konyol, iya kan?” komentar Samantha pada film yang mereka tonton, jari-jari lentiknya juga dengan cepat membuka kulit jeruk, membersihkan seratnya lalu menyuapi Prasetyo yang masih fokus dengan tayangan di televisi.“Aku kenyang.” Prasetyo menolak uluran jeruk dari Samantha. “Tolong ambilkan aku air.”“Oh, airnya habis. Sebentar, aku ambil di dispenser.”Ruang rawat VIP Prasetyo luas dan bersekat, sekat satu untuk pasien dan sekat lainnya diperuntukan bagi keluarga pasien yang menginap. Dispenser ada di sekat keluarga pasien, karena itu Samantha harus berjalan cukup jauh untuk mengisi botol minum Prasetyo.“Arman belum kembali juga?” tanya Prasetyo. “Dia benar-benar ke toilet atau justru masuk ke ruang perawat dan menggoda perawat-perawat di sana?”Akbar tertawa, kecurigaan Prasetyo tidak salah. Karena semasa sekolah mereka dulu, Arman memang suka seperti itu. “Haruskah aku menyusulnya?”Prasetyo menggeleng. “Biar aku saja, aku juga ingin jalan-jalan.”“Kau yakin?” Ak
“Ini ada apa?” tanya Nathalia yang baru kembali ke ruang perawatan suaminya. “Mas, kamu mau ke mana?”Samantha yang membantu Prasetyo mengemasi barang-barang tersenyum. “Prasetyo akan pulang, Nath. Dia sudah tidak betah di rumah sakit.”“Mas, nggak bisa begitu dong. Kamu masih harus dalam pengawasan dokter.” Nathalia panik. “Kamu mau apa supaya betah? kasih tahu aku coba.”“Sam, sepertinya masih ada beberapa pakaianku di laci bawah. Tolong di cek ya.” Prasetyo terang-terangan mengabaikan Nathalia. “Mas.” Nathalia meletakan tasnya dengan tidak sabaran. “Dengarkan aku dulu, kamu masih harus dalam pengawasan dokter.”“Jangan berlebihan, aku sudah sehat.”Nathalia menghela nafas karena kekeras kepalaan suaminya. “Aku akan bicara dengan dokter sebentar, sekaligus mengatur perawat yang akan tinggal di rumah bersama kita.”“Oh, nggak perlu, Nath.” Samantha datang sembari mendorong koper Prasetyo yang sudah selesai di pacx. “Enggak perlu gimana, luka Mas Pras masih harus dipantau.”“Jangan
Hari-hari berlalu dengan keheningan yang mencekam. Prasetyo masih tenggelam dalam pikirannya, mencoba memahami jalan keluar dari situasi rumit yang sedang dihadapinya. Pesan dan panggilan dari Samantha terus berdatangan, menambah tekanan yang semakin membuatnya gelisah. Namun, satu keputusan sudah bulat di dalam pikirannya—ia tidak akan mengakui anak itu sebelum melakukan tes DNA. Pagi itu, Prasetyo menghubungi Samantha. Suaranya terdengar tegas, jauh dari nada bersalah atau ragu-ragu yang biasa ia tunjukkan. "Samantha, aku sudah berpikir panjang tentang semua ini," ucap Prasetyo, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku tidak akan mengakui anak itu sebelum kita melakukan tes DNA." Di ujung telepon, Samantha terdiam sejenak sebelum tertawa kecil. "Pras, kau meragukan aku? Setelah semua yang kita lalui?" "Aku tidak meragukan apapun, Samantha. Aku hanya ingin memastikan kebenarannya," jawab Prasetyo dengan tegas. "Jika anak itu memang darah dagingku, aku akan bertanggung ja
Chapter SelanjutnyaPagi itu, Prasetyo duduk di ruang kerjanya, mencoba memusatkan perhatian pada berkas-berkas di depannya. Namun, pikirannya terus melayang ke percakapan terakhirnya dengan Nathalia. Rasa bersalah masih menyelimutinya seperti awan gelap yang tak kunjung pergi. Ia tahu, kesalahannya telah merusak segalanya, dan jalan menuju penebusan terasa begitu jauh dan sulit.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdegup lebih kencang—Samantha. Mantan tunangannya yang selama ini berusaha ia hindari setelah kejadian yang menghancurkan pernikahannya.Dengan enggan, Prasetyo membuka pesan yang masuk. Sebuah gambar hasil USG menyambutnya, membuat napasnya tercekat. Di bawah gambar itu, terdapat pesan dari Samantha:"Pras, ini anak kita. Kau tidak ingin kehilangan anak lagi, kan? Jangan sampai kau menyesal."Pesan itu terasa seperti pisau yang menusuk tepat di hatinya. Prasetyo merasa pusing, tubuhnya gemetar saat menatap gambar itu. Ia tahu bahwa in
Chapter SelanjutnyaNathalia duduk di sudut kamar yang redup, menatap kosong ke arah dinding yang dingin dan hampa. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipinya, membawa serta rasa sakit yang mendalam. Hatinya remuk, seperti kaca yang telah terjatuh dari ketinggian dan pecah berkeping-keping.Beberapa minggu yang lalu, dunia Nathalia telah runtuh saat ia mengalami keguguran. Rasa kehilangan itu begitu menyakitkan, menghancurkan harapan yang telah ia dan suaminya bangun bersama. Ia mencoba kuat, berusaha menerima kenyataan bahwa bayi yang begitu diidamkan kini telah tiada. Namun, luka itu belum sempat sembuh, ketika ia menerima kabar yang jauh lebih memilukan.Suaminya, Prasetyo, telah menghamili perempuan lain.Kabar itu datang seperti petir di siang bolong. Awalnya, Nathalia tidak percaya. Ia berharap itu hanya rumor jahat yang dibuat untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Tapi kenyataan tak bisa dipungkiri. Perempuan itu datang sendiri, membawa bukti kehamilan dan cerita yang t
Prasetyo terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya berlumuran keringat dingin. Kepalanya terasa berat, seakan-akan baru saja dibebani oleh beban dunia yang tak bisa lagi ia hindari. Mata yang terbuka dengan kebingungan memandang sekeliling, dan sejenak ia merasa tidak yakin di mana dirinya berada. Namun, perasaan hampa dan penyesalan yang menggerogoti hatinya kembali datang dengan begitu kuat. Ia teringat kembali dengan jelas—seperti dalam mimpi yang begitu nyata. Mimpi Prasetyo: Prasetyo melihat dirinya dan kakaknya, Pradana, sedang bermain di halaman belakang rumah besar mereka yang dikelilingi pepohonan rindang. Waktu itu mereka berdua masih anak-anak. Pradana, kakak kembarnya, lebih besar, lebih kuat, dan lebih bijaksana. Meski mereka sering kali berada di bawah tekanan yang sama dari orang tua mereka, Pradana selalu ada untuk Prasetyo. Setiap kali Prasetyo merasa tertekan dengan harapan orang tuanya yang tidak pernah berhenti, Pradana selalu menjadi sosok pelindung, meng
Keputusan Rahardian dan Kareena untuk kembali ke Indonesia segera setelah panggilan telepon yang tegang itu mengguncang kediaman Rahardjo. Mereka berdua terbang dalam diam, tidak hanya karena kekhawatiran terhadap keadaan keluarga mereka, tetapi juga karena mereka tahu betul betapa beratnya masalah yang harus dihadapi ketika mereka tiba di Jakarta. Mereka tidak lagi merasa bahwa keluarga ini berjalan dengan baik. Malah, mereka merasa seolah-olah mereka sudah kehilangan kendali atas putra mereka, dan itu membuat Rahardian dan Kareena semakin frustasi.Sesampainya di kediaman Rahardjo, suasana semakin tegang. Rumah yang dulunya selalu dipenuhi tawa dan kebanggaan kini terasa hampa. Setiap sudut tampak terabaikan, bahkan langit-langit yang biasanya dipenuhi dengan cahaya lembut, kini tampak suram. Kehadiran orang tua Prasetyo semakin menambah tekanan yang ada. Rahardian yang terkenal dengan ketegasannya langsung mengumpulkan Prasetyo di ruang tamu, menunggu penjelasan yang ia anggap sang
Kareena menatap layar ponselnya dengan ekspresi penuh kecemasan. Panggilan dari putra tunggal mereka, Prasetyo, datang tepat setelah Hans memberi laporan tentang situasi yang semakin buruk. Kejadian-kejadian yang terungkap begitu cepat—kehamilan Samantha, tuntutan Akbar, dan penolakan Prasetyo untuk mengakui anak itu—membuat hati Kareena penuh dengan kemarahan yang belum bisa ia sembunyikan.Rahardian, suaminya yang tenang dan selalu mengedepankan logika, terlihat sangat marah. Mereka memang tidak pernah memiliki hubungan yang dekat dengan Prasetyo. Namun, rasa malu dan frustrasi semakin menggerogoti mereka, apalagi setelah mendengar bahwa anak yang seharusnya membawa kehormatan keluarga malah terjebak dalam skandal yang bisa merusak nama baik mereka.Kareena mengangkat telepon, dengan tatapan tajam pada Rahardian yang kini berdiri di sampingnya. “Prasetyo,” katanya, dengan nada suara yang lebih rendah, namun penuh beban.Di ujung telepon, terdengar napas berat Prasetyo. “Bu, Ayah...”
Suasana rumah Raharjo yang sepi berubah ketika terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Prasetyo sedang duduk di ruang kerja, menatap berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Meski wajahnya terfokus pada pekerjaan, pikirannya jauh dari situasi ini. Ia tidak bisa menenangkan dirinya sejak kejadian dengan Samantha beberapa jam yang lalu. Rasa cemas, rasa bersalah, dan penyesalan yang menggerogoti hatinya semakin dalam.Namun, ketenangan itu segera pecah ketika pintu ruang kerjanya terbuka dengan kasar. Tanpa mengetuk atau meminta izin, Akbar, sepupu Samantha yang juga sahabat dan asisten setianya, masuk dengan wajah penuh amarah. Tubuhnya yang tinggi besar dan kekar tampak lebih mengancam di bawah cahaya redup ruangan."Prasetyo!" teriak Akbar, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Apa yang sudah kamu lakukan?!"Prasetyo terkejut, mengangkat wajahnya dari berkas-berkas yang ada di mejanya. Ia tidak tahu apa yang membuat Akbar begitu marah. Tetapi, saat melihat ekspresi wajah
Hans, kepala pelayan yang telah melayani keluarga Raharjo selama bertahun-tahun, berdiri tegak di dapur setelah Samantha meninggalkan ruang tamu. Meskipun wajahnya tetap tenang dan profesional, perasaan tidak nyaman dan frustrasi yang ia rasakan semakin menguat. Ia tahu bahwa rumah ini, tempat yang telah lama ia anggap sebagai keluarganya, kini sedang berada dalam gejolak yang semakin besar.Samantha, dengan segala cara liciknya, telah menempatkan dirinya sebagai sosok yang sangat berbahaya, dan Hans bisa merasakannya. Namun, meskipun wanita itu mencoba menampilkan kekuasaan, Hans tahu persis bahwa dia bukan tipe orang yang mudah digertak. Ia telah menghadapi banyak situasi sulit dalam kariernya, dan tak pernah sekali pun ia merasa takut kepada orang seperti Samantha.Ketika Samantha muncul dengan sikap angkuh dan mencoba mengancamnya, Hans tidak takut sedikit pun. Ia mengingat betul siapa dirinya—seorang kepala pelayan yang setia kepada keluarga Raharjo. Dia bukanlah seseorang yang m
Nathalia berjalan cepat menuju kamar tidur mereka, dengan langkah yang semakin berat seiring dengan kepanikan yang menggerogoti hatinya. Ia merasa seperti dunia runtuh begitu saja di hadapannya, dan setiap langkah menuju pintu kamar adalah sebuah langkah menuju kehancuran hati yang tak terelakkan. Rasanya tidak ada lagi yang bisa ia percaya, terutama setelah mendengar pengakuan Samantha yang begitu memukul.Di dalam kamar, Nathalia menutup pintu dengan keras, meskipun tidak cukup keras untuk mengusir semua perasaan sakit yang memenuhi dadanya. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam bantal dengan erat, seolah itu satu-satunya hal yang bisa memberi sedikit kenyamanan. Namun, kenyamanan itu segera lenyap saat bayangan Prasetyo dan Samantha muncul dalam pikirannya, saling beriringan.Prasetyo, lelaki yang seharusnya menjadi pelindungnya, lelaki yang pernah berjanji untuk selalu ada, ternyata berkhianat begitu saja. Tidak hanya dengan kehadiran Samantha di rumah mereka, tapi juga dengan seg