Prasetyo mengerang, sekujur tubuhnya terasa nyeri luar biasa. Sepertinya efek pereda nyeri yang diberikan oleh dokter sudah habis, perlahan lelaki itu membuka mata untuk mengamati ruang perawatan VIP yang dipilihkan oleh Nathalia untuknya.“Perempuan konyol.” Kata Prasetyo ketika menyadari Nathalia tidur telungkup di kursi penunggu alih-alih membaringkan diri dengan nyaman di bed khusus penunggu yang sudah disediakan.“Kamu boleh membenciku, Mas. Tapi tolong jangan usir aku.” Rintihan Nathalia masih terdengar jelas di dalam kepalanya, perempuan itu meracau selama ia tidak sadarkan diri. “Bodoh.” Maki Prasetyo lagi karena menemukan sisa-sisa jejak air mata di wajah istrinya. Mungkin karena posisi tidurnya yang tidak nyaman atau karena memang ia merasa sedang diperhatikan, Nathalia perlahan ikut membuka mata. Matanya bertemu dengan mata Prasetyo untuk beberapa saat, Nathalia nyaris terhanyut sebelum menyadari situasinya.“Oh, kamu bangun, Mas?” Nathalia mengucek matanya, perempuan it
Akbar memperhatikan Samantha yang tengah bersolek, adik sepupunya sempat kembali ke New York beberapa waktu lalu untuk menyelesaikan urusannya pekerjaan terakhirnya. Samantha tidak akan kembali ke negeri yang dikenal dengan julukan The Big Apple tersebut, Samantha akan sepenuhnya tinggal di Indonesia dan melupakan mimpi dan pekerjaan impiannya di sana.“Mau ke mana?” Samantha melirik Akbar dari pantulan kaca meja riasnya. “Aku akan pergi ke rumah sakit.”“Rumah sakit?” tanya Akbar khawatir. “Kamu sakit?”“Bukan aku, tapi Prasetyo.”Akbar semakin tidak mengerti. “Prasetyo masuk rumah sakit?”Samantha menghela napas, terkadang Akbar memang sangat menyebalkan.“Kami pergi ke cafe di pusat kota dua hari yang lalu, sialnya Prasetyo tersiram sup panas karena Nathalia bersikap ceroboh.” Samantha menjelaskan. “Kalau Prasetyo nggak pasang badan, sup panas itu pasti sudah membakar wajah Nathalia.” Samantha sedikit geram dan menyayangkan kenapa kuah sup panas itu harus mengenai Prasetyo dan bu
Prasetyo memperhatikan Nathalia yang terlihat sangat sibuk dengan ponselnya, ini hari ke tiga perawatannya. Prasetyo sudah bosan setengah mati, tapi istrinya masih belum mengizinkan Prasetyo menjalani perawatan di rumah.“Jangan terus-terusan menghela napas seperti itu.” Nathalia menyahut tanpa menoleh pada Prasetyo yang duduk dengan muram di atas ranjang.“Aku bosan.”“Sebentar lagi Mas Prasetyo tidak akan merasa bosan.”Wajah Prasetyo kian muram.”Harusnya memang Samantha yang ada di sini, dia selalu menuruti dan mengerti keinginanku.”Nathalia tidak menjawab, perempuan itu terlihat makin sibuk dengan ponselnya. Prasetyo yang tidak suka diabaikan, mencoba menarik perhatian Nathalia dengan terus mengeluh sembari membicarakan Samantha. “Mereka datang.” Kata Nathalia tiba-tiba.“Mereka?”Kebingungan Prasetyo tidak berlangsung lama, karena tidak lama pintu ruang perawatannya terbuka. Akbar, Arman dan Samantha muncul dengan segala macam buah tangan mereka. “Mas Prasetyo nggak akan bosan
“Mereka terlihat konyol, iya kan?” komentar Samantha pada film yang mereka tonton, jari-jari lentiknya juga dengan cepat membuka kulit jeruk, membersihkan seratnya lalu menyuapi Prasetyo yang masih fokus dengan tayangan di televisi.“Aku kenyang.” Prasetyo menolak uluran jeruk dari Samantha. “Tolong ambilkan aku air.”“Oh, airnya habis. Sebentar, aku ambil di dispenser.”Ruang rawat VIP Prasetyo luas dan bersekat, sekat satu untuk pasien dan sekat lainnya diperuntukan bagi keluarga pasien yang menginap. Dispenser ada di sekat keluarga pasien, karena itu Samantha harus berjalan cukup jauh untuk mengisi botol minum Prasetyo.“Arman belum kembali juga?” tanya Prasetyo. “Dia benar-benar ke toilet atau justru masuk ke ruang perawat dan menggoda perawat-perawat di sana?”Akbar tertawa, kecurigaan Prasetyo tidak salah. Karena semasa sekolah mereka dulu, Arman memang suka seperti itu. “Haruskah aku menyusulnya?”Prasetyo menggeleng. “Biar aku saja, aku juga ingin jalan-jalan.”“Kau yakin?” Ak
“Ini ada apa?” tanya Nathalia yang baru kembali ke ruang perawatan suaminya. “Mas, kamu mau ke mana?”Samantha yang membantu Prasetyo mengemasi barang-barang tersenyum. “Prasetyo akan pulang, Nath. Dia sudah tidak betah di rumah sakit.”“Mas, nggak bisa begitu dong. Kamu masih harus dalam pengawasan dokter.” Nathalia panik. “Kamu mau apa supaya betah? kasih tahu aku coba.”“Sam, sepertinya masih ada beberapa pakaianku di laci bawah. Tolong di cek ya.” Prasetyo terang-terangan mengabaikan Nathalia. “Mas.” Nathalia meletakan tasnya dengan tidak sabaran. “Dengarkan aku dulu, kamu masih harus dalam pengawasan dokter.”“Jangan berlebihan, aku sudah sehat.”Nathalia menghela nafas karena kekeras kepalaan suaminya. “Aku akan bicara dengan dokter sebentar, sekaligus mengatur perawat yang akan tinggal di rumah bersama kita.”“Oh, nggak perlu, Nath.” Samantha datang sembari mendorong koper Prasetyo yang sudah selesai di pacx. “Enggak perlu gimana, luka Mas Pras masih harus dipantau.”“Jangan
Samantha berperilaku seperti nyonya rumah begitu mereka sampai di kediaman Rahardjo, perempuan itu dengan tidak tahu dirinya langsung memberikan perintah kepada para pelayan untuk melakukan banyak hal.Mulai dari mengganti tirai di kamar tidurnya sampai peralatan kamar mandinya, Samantha juga dengan semena-mena mengatur dan menyiapkan menu makan malam Prasetyo tanpa merasa perlu meminta persetujuan dari Nathalia.“Orang kaya, benar-benar ada aja tingkahnya.” Seruni pelayan termuda di kediaman Rahardjo menggerutu, ia sudah lima kali bolak balik membawakan bed set dan juga tirai untuk kamar yang akan ditempati oleh Samantha selama perempuan itu tinggal di kediaman Rahardjo. “Dia nggak akan jadi istri keduanya tuan muda kan?”“Hust!” Lastri pelayan senior menegur Seruni. “Udah nurut aja, nggak usah ikut campur.”“Aku kesal, Mbak. Padahal cuma tamu, tapi lagaknya udah seperti nyonya rumah! nggak kebayang kalau dia betul-betul jadi nyonya rumah, kita bisa benar-benar diperbudak.” Lastri me
Prasetyo memijat pangkal hidungnya pelan, ia masih dalam masa pemulihan tapi dua perempuan di rumahnya sudah membuat ulah. Ketika baru akan beristirahat, ia mendapat laporan dari kepala pelayan bahwa Natalia dan Samantha bertengkar.Kepala keluarga Rahardjo muda itu bergegas menyusul ke ruang laundry dan harus mengelus dada begitu melihat Samantha sudah babak belur sembari menangis di sudut ruangan, keadaan Nathalia tidak terlalu jauh berbeda, perempuan itu juga sama berantakannya.“Obati luka kalian, setelah itu aku tunggu di ruang kerja.” Titah Prasetyo tegas. “Bantu mereka merapikan diri.” Kata Prasetyo kepada pelayan yang menunggu di depan pintu.Sekarang, mereka semua sudah berkumpul di ruang kerja Prasetyo. Samantha masih menangis, sesenggukan karena memang ia jauh lebih babak belur dibanding Nathalia. Hasil pertengkaran itu jelas di menangkan istrinya, Prasetyo tidak tahu harus merasa bangga atau malu.“Jadi, apa yang terjadi?”Samantha bergegas membuka mulut, tidak akan ia bia
Prasetyo mendekat, memperhatikan wajah mungil istrinya yang sedikit memar. Rambut ikal Nahtalia yang sebelumnya mengembang dengan indah tanpa bantuan alat styling pun jadi terlihat lebi berantakan.“Tidakkah kamu sadar untuk memiliki etika terhadap tamu yang aku undang ke rumah ini?” bisik Prasetyo tepat di hadapan wajah istrinya. Nathalia menelan ludah dengan gugup, berada dalam jarak sedekat ini dengan suaminya membuat perempuan itu sedikit salah tingkah “Aku hanya berusaha membela diri dan menjaga orang-orangku.”“Menurut Mas Prasetyo, apa yang akan mereka pikirkan jika aku, Nyonya di rumah ini membiarkan tamu bersikap seenaknya? Terlebih lagi, tamu ini bersikap semena-mena.” Nathalia tersenyum miring. “Oh, ataukah ini adab yang kalian pelajari dari kelas kepribadian yang mahal itu?”Prasetyo terkekeh, istrinya memang tangguh. Alih-alih merengek atau meratap, Nathalia justru berani melawan. Seketika Prasetyo kembali mengingat perdebatan antara Nathalia dan Samantha di toilet cafe
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s