Samantha berperilaku seperti nyonya rumah begitu mereka sampai di kediaman Rahardjo, perempuan itu dengan tidak tahu dirinya langsung memberikan perintah kepada para pelayan untuk melakukan banyak hal.Mulai dari mengganti tirai di kamar tidurnya sampai peralatan kamar mandinya, Samantha juga dengan semena-mena mengatur dan menyiapkan menu makan malam Prasetyo tanpa merasa perlu meminta persetujuan dari Nathalia.“Orang kaya, benar-benar ada aja tingkahnya.” Seruni pelayan termuda di kediaman Rahardjo menggerutu, ia sudah lima kali bolak balik membawakan bed set dan juga tirai untuk kamar yang akan ditempati oleh Samantha selama perempuan itu tinggal di kediaman Rahardjo. “Dia nggak akan jadi istri keduanya tuan muda kan?”“Hust!” Lastri pelayan senior menegur Seruni. “Udah nurut aja, nggak usah ikut campur.”“Aku kesal, Mbak. Padahal cuma tamu, tapi lagaknya udah seperti nyonya rumah! nggak kebayang kalau dia betul-betul jadi nyonya rumah, kita bisa benar-benar diperbudak.” Lastri me
Prasetyo memijat pangkal hidungnya pelan, ia masih dalam masa pemulihan tapi dua perempuan di rumahnya sudah membuat ulah. Ketika baru akan beristirahat, ia mendapat laporan dari kepala pelayan bahwa Natalia dan Samantha bertengkar.Kepala keluarga Rahardjo muda itu bergegas menyusul ke ruang laundry dan harus mengelus dada begitu melihat Samantha sudah babak belur sembari menangis di sudut ruangan, keadaan Nathalia tidak terlalu jauh berbeda, perempuan itu juga sama berantakannya.“Obati luka kalian, setelah itu aku tunggu di ruang kerja.” Titah Prasetyo tegas. “Bantu mereka merapikan diri.” Kata Prasetyo kepada pelayan yang menunggu di depan pintu.Sekarang, mereka semua sudah berkumpul di ruang kerja Prasetyo. Samantha masih menangis, sesenggukan karena memang ia jauh lebih babak belur dibanding Nathalia. Hasil pertengkaran itu jelas di menangkan istrinya, Prasetyo tidak tahu harus merasa bangga atau malu.“Jadi, apa yang terjadi?”Samantha bergegas membuka mulut, tidak akan ia bia
Prasetyo mendekat, memperhatikan wajah mungil istrinya yang sedikit memar. Rambut ikal Nahtalia yang sebelumnya mengembang dengan indah tanpa bantuan alat styling pun jadi terlihat lebi berantakan.“Tidakkah kamu sadar untuk memiliki etika terhadap tamu yang aku undang ke rumah ini?” bisik Prasetyo tepat di hadapan wajah istrinya. Nathalia menelan ludah dengan gugup, berada dalam jarak sedekat ini dengan suaminya membuat perempuan itu sedikit salah tingkah “Aku hanya berusaha membela diri dan menjaga orang-orangku.”“Menurut Mas Prasetyo, apa yang akan mereka pikirkan jika aku, Nyonya di rumah ini membiarkan tamu bersikap seenaknya? Terlebih lagi, tamu ini bersikap semena-mena.” Nathalia tersenyum miring. “Oh, ataukah ini adab yang kalian pelajari dari kelas kepribadian yang mahal itu?”Prasetyo terkekeh, istrinya memang tangguh. Alih-alih merengek atau meratap, Nathalia justru berani melawan. Seketika Prasetyo kembali mengingat perdebatan antara Nathalia dan Samantha di toilet cafe
Nathalia membuka matanya yang terasa sangat berat, perempuan itu melirik jam di atas nakas, pukul 08.00. Prasetyo pasti sudah sarapan dan mungkin saja suaminya itu sedang menikmati pagi bersama Samantha.“Aku lelah,” bisik perempuan itu kepada dirinya sendiri. Nathalia sudah lelah berjuang sendirian untuk pernikahannya, tapi pergi dari hidup Prasetyo juga bukan sesuatu yang ia inginkan. Ia tidak ingin kembali ke kehidupannya sebelum menjadi Nyonya keluarga Rahardjo.“Permisi, Nyonya. Anda sudah bangun?” Seruni, pelayan yang hari ini bertugas membersihkan kamar utama mulai membuka tirai kamar dengan hati-hati,”Nyonya ingin di siapkan sarapan di kamar?”“Tuan hari ini sudah mendapatkan perawatan untuk lukanya?” tanya Nathalia mengabaikan pertanyaan sebelumnya. “Apakah lukanya membaik?”Seruni mengangguk. “Luka tuan sudah lebih membaik, Nyonya. Tuan juga sudah mulai sarapan bersama Nona Samantha di taman belakang, Nyonya ingin bergabung?”Nathalia berpikir, haruskah ia bergabung atau mem
Prasetyo menyesap kopi hitamnya sembari sesekali melirik ke arah ruang tengah yang diijadikan tempat relaksasi, pemandangan dari ruang itu mengarah langsung ke arah taman dan kolam renang. “Pelayan sudah di kondisikan?” tanya Prasetyo dengan bibir menipis. Memang bukan sekali dua kali Nathalia memilih ruang tengan sebagai tempat untuk relaksasi. Tapi kali ini, istrinya itu melakukannya dengan hanya menggunakan tirai pelapis tipis berwarna putih sebagai penghalang pandangan. Siapapun yang berdiri di taman dapat melihat siluet dari orang-orang di ruang tengah. “Sudah, Tuan.” “Bagus, sampai Nathalia selesai pastikan tidak ada pekerja laki-laki di sekitar sini.” Lelaki itu bangkit, membawa laptonya dengan wajah kesal. Udara sejuk di taman rumahnya mendadak berubah menjadi panas. “Minta Aryo untuk datang besok, kita akan membuat ruang relaksasi agar Nathalia tidak bersikap sembarangan seperti ini lagi.” Geram Prasetyo karena istrinya jelas sedang berusaha memancing amarahnya d
Samantha tersenyum puas, tubuhnya terasa ringan berkat serangkaian perawatan yang ia terima hari ini. Seperti ini lah hidupnya seharusnya, bukannya malah luntang lantung karena di tipu oleh lelaki yang menjadi selingkuhannya saat ia masih bersama Prasetyo dulu.“Ini adalah kehidupan yang seharusnya menjadi milikku.” Katanya penuh percaya diri sembari menatap pantulan wajahnya di dalam cermin. “Dimana Prasetyo?” Tanya Samantha kepada Lastri yang merapikan tempat tidur. Lastri yang ditanya meremas sarung bantal yang akan dipasangkan dengan perasaan takut. “ Sa- sayang kurang tahu, Non.”Samantha berdecak, pelayan muda ini sungguh tidak dapat diandalkan. Tapi ia memerlukan sekutu untuk memulai perang, ia membutuhkan pion untuk dijadikan kambing hitam jika sewaktu waktu rencananya tidak berjalan sesuai dengan keinginannya.“Dimana kepala pelayan?” tanya Samantha lagi, ia lapar dan memang ini sudah waktunya makan malam. Samantha tidak menunggu jawaban dari Lastri, perempuan itu memilih
Suara desahan yang saling bersahutan langsung menyambut Samantha begitu ia menemukan kamar utama tempat Prasetyo dan Nathalia memadu kasih. Samantha bisa mendengar Nathalia memohon agar Prasetyo menyentuh bagian-bagian tubuhnya atau pun mempercepat tempo yang membuat perempuan itu semakin menggila.“Mas, berhenti main-main.” Nathalia merengek.“Kalau begitu, aku akan membiarkanmu memimpin permainannya.”Samantha mendengar suara gemerisik, suara tawa Prasetyo karena Nathalia bergerak tidak sabaran ketika mereka hendak berganti posisi kemudian geraman tidak sabar dari Prasetyo karena sekarang gantian Nathalia yang mempermainkan lelaki tersebut.“Sialan!” desisnya geram, kemudian meninggalkan kamar utama dengan langkah menghentak.**** “Aku lapar.” Guman Nathalia.“Aku juga.”Nathalia menyikut Prasetyo dengan kesal. “Aku benar-benar lapar makanan, bukan lapar yang lain.” Prasetyo tertawa, lelaki itu menarik tangan kanannya yang sejak tadi sibuk memegangi payudara istrinya. Lelaki itu
Lastri, pelayan yang masih sibuk membereskan kamar Samantha terkejut begitu Nona yang dilayaninya datang dengan wajah merah padam, perempuan itu juga langsung membanting semua barang yang ia temui ke lantai.“Sialan!”Lastri hanya bisa berdiri di sudut ruangan sembari menunduk ketakutan.“Apa yang perempuan itu lakukan sampai Prasetyo mau bermesraan dengannya.” Desis Samantha dengan gigi bergemeluk. “Apa yang perempuan itu tawarkan sampai Prasetyo bersedia menyentuh istrinya yang sialan itu!” Lastri semakin ketakutan, perempuan mencoba keluar dari kamar Samantha dengan langkah yang mengendap-endap. Sialnya, Samantha menyadari niatnya. “A- ampun, Nona. Ampun, saya hanya ingin mengambil sapu.” Jerit Lastri ketika rambutnya yang disanggul dengan rapi di tarik oleh Samantha. “Bersihkan kamar ini dengan cepat, jangan sampai Prasetyo tahu membuat kekacauan. Ngerti, kamu?”Lastri mengangguk. “Ba- baik, Nona.”Samantha melepaskan pelayannya, setelah itu menuju balkon untuk menghisap bebera
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s