Dengan mata kepalanya sendiri, Nathalia melihat bagaimana Samantha bergelayut dengan manja di lengan suaminya. Pemandangan itu membuat Nathalia tidak lagi memiliki selera untuk menikmati makanannya.“Anda baik-baik saja, Nyonya?” tanya Hans yang sejujurnya merasa iba dengan Nyonyanya yang baik hati. “Anda ingin melanjutkan sarapan di taman? kebetulan cuacanya bagus, lalu ada bunga-bunga baru yang hari ini bermekaran. Anda pasti suka.”Nathalia mengusap air matanya yang menetes dengan cepat, ia tidak mau kehilangan harga diri di hadapan orang-orangnya.“Ya, tolong pindahkan sarapannya ke taman.”Hans mengangguk, dengan cekatan ia memberikan perintah dan dalam sekejap Nathalia sudah menikmati sarapannya di tengah hamparan bunga-bunga yang indah.“Maaf mengganggu anda, Nyonya. Tapi Tuan Arman datang berkunjung.” Hans melapor. Arman memang juga salah satu rekan bisnis Prasetyo, keadaan Prasetyo pasti membuat kegiatan mereka sedikit terhambat sampai Arman harus datang langsung ke kediaman
Samantha mengerang, sesekali menggigit bibirnya untuk menahan desahan karena Prasetyo menuruti permintaannya. Lelaki itu dengan lihai memanjakan kedua payudaranya dengan gerakan perlahan hingga membuat Samantha yang sekarang duduk di pangkuan lelaki itu bergerak tidak sabaran.“Pras …” Samantha menggenggam tangan Prasetyo, meminta lelaki itu memberikan tekanan yang lebih kerasa. “Pras …” Rengek perempuan itu lagi, Samanta yang tidak sabaran kembali merapatkan diri dan mencoba mencium Prasetyo.“Sttt, aku ingin mendengar suaramu lebih keras.” Kata Prasetyo sembari tangannya menjelajah lebih dalam ke arah celah di antara kedua kali Samantha.Samantha semakin mendesah, keringat mulai bermunculan di keningnya. Tubuhnya bergelinjang karena gerakan jari-jari Prasetyo di inti tubuhnya yang semakin lembab. Tidak mau merasa kesenangan seorang diri, Samantha mencoba meraih area sensitif Prasetyo. Tapi lelaki itu menahan tanggan.“A- ah!” Napas Samantha berkejaran karena pelepasannya, perempuan
Prasetyo menyeret tubuh istrinya dengan kasar, tidak peduli meski Nathalia berkali-kali berusaha meloloskan diri. Perempuan itu bahkan sampai menjerit dengan keras karena menolak mengikutinya, sedangkan Arman, Hans sudah mengurus lelaki itu untuk Prasetyo.“Berhenti memberontak!” Prasetyo yang kesal memutuskan untuk membopong tubuh Nathalia, meletakan perempuan itu di bahunya tanpa memperdulikan apakah perempuan itu nyaman atau tidak. “Lepas! lepaskan aku!”Praseto mendorong Nathalia ke atas ranjang, setelahnya ia himpit tubuh kurus istrinya dengan tubuhnya yang besar. “Jangan jadi serakah, Nathalia. Tidak cukupkah kamu menjebakku? Kamu akan menjebak Arman juga?”“Apa peduli Mas Pras jika aku benar-benar akan melakukannya?!” teriak Nathalia kesal. “Siapapun orangnya, selama dia bisa memberikan aku kehidupan yang mewah, aku enggak akan peduli.” Prasetyo semakin kesal. “Jangan pikir aku akan membiarkanmu melakukannya.” Prasetyo semakin mendesak Nathalia di atas ranjang. “Berhenti menc
Arman tahu ada yang tidak beres ketika para pelayan yang berusaha menahannya tiba-tiba bersikap aneh setelah menerima telepon ke dua dari Prasetyo, Hans sang kepala pelayan yang sejak tadi bersikap tegas berubah pucat.“Cari! temukan apa pun untuk menahan tubuh Nyonya Nathalia!”Begitu nama Nathalia disebut, perasaan Arman semakin tidak nyaman.“Apa yang terjadi?” tanya Arman kepada Hans yang masih terlihat panik.“Tuan Arman sebaiknya pulang dengan tenang, kami tidak punya banyak waktu.”“Apa yang terjadi?!” teriak Arman makin keras.Hans menghela napas, lalu dengan cepat menjelaskan situasinya. “Nyonya Nathalia mencoba bunuh diri, kami harus bergegas melakukan tindakan pengamanan. Jika Tuan Arman sudah mengerti, sebaiknya anda pulang dengan tenang dan tidak mengganggu kami.” Arman membiarkan Hans berlalu, lelaki itu bersama beberapa pelayan yang lain bergegas saling membantu untuk mengamankan keadaan. Ia sendiri masih belum bisa menerima informasi yang baru saja Hans sampaikan, Nat
Nathalia kecil bersembunyi di sudut kamar, tangan-tangan kecilnya berusaha menutup telinga dari suara-suara gaduh di ruang keluarga. Suara desahan menjijikan juga tawa cekikingan perempuan-perempuan sundal yang terus ayahnya bawa pulang semenjak ibunya pergi melarikan diri bersama lelaki lain beberapa bulan lalu.“Yah, sayang. Kamu pintar sekali, emh.” Suara serak lelaki di ruang tengah terdengar sampai kamar Nathalia yang kecil. “Perempuan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu, tapi beraninya dia melarikan diri bersama lelaki lain.” Guruh, Ayah Nathalia meneguk miras dari botolnya. Sedangkan perempuan bayarannya sibuk menyenangkan bagian tubuhnya yang lain, pinggulnya bergerak maju-mundur mencoba membuat kesenangan lebih banyak.“Oh, yeah! emh, gadis pintar.” Guruh menarik rambut pirang perempuan yang kesenangan karena respon antusiasnya. “Seharusnya kamu yang aku nikahi, bukan gundik sialan tidak tahu diri itu!” Guruh dengan tidak sabaran melucuti pakaian dalam perempuan yang
“Enggak, Bapak. Nath nggak mau.” “Nath.” Arman yang masih berjaga di sisi ranjang Nathalia terkejut karena Nathalia tiba-tiba saja berteriak dalam tidurnya. Perempuan itu bahkan berontak saat Arman menyentuh tubuhnya “Nathalia?!”Nathalia membuka mata, seketika ruangan nya terasa berputar. Perempuan itu merasa mual. Arman yang sejak awal memang sudah mendapat peringatan terkait kondisi perempuan itu, dengan sigap mengulurkan penadah.“Enggak apa-apa, kamu akan baik-baik saja setelah ini.” Arman menekan tombol darurat untuk memanggil tim medis. “Tahan sebentar ya, perawat sebentar lagi datang.” Nathalia yang masih lemas hanya bisa mengangguk, lalu matanya kembali terpejam. Air matanya menetes, mengingat sekeping ingatan yang sebelumnya sudah ia kubur dalam-dalam. Kenangan dan orang-orang yang tidak ingin Nathalia ingat, tiba-tiba saja muncul kembali. *** “Bagaimana kondisinya?” tanya Arman kepada dokter yang datang untuk bertugas. “Kondisinya tidak terlalu baik, karena meski kalia
Nathalia merasakan kepalanya pusing bukan kepalang, sekelilingnya berputar dengan cepat hingga membuatnya mual. “Enggak apa-apa, kamu akan baik-baik saja, Nath.”“Engh.” Nathalia mengguman. Tangannya meraba ke sembarang arah untuk mencari pegangan karena tubuhnya benar-benar terasa melayang sekarang.“Jangan khawatir, kali ini aku benar-benar nggak akan meninggalkanmu.” Bisik Arman sambil mengecup punggung tangan Nathalia yang dingin. “Aku di sini, kamu nggak perlu takut.”Nathalia mulai tenang, karena pengaruh obat perempuan itu kembali terlelap. **** Kelopak mata Nathalia berkerak, perempuan itu juga beberapa kali mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Nyonya Muda Rahardjo itu juga mencoba mengenali sekitar.“Nath, kamu sudah bangun?” Arman yang baru kembali dari kamar mandi bergegas mendekat, lelaki itu juga menekan tombol emergency. “Jangan banyak bergerak dulu. Perawat datang, memeriksa kondisi vital Nathalia bersama dokter jaga. Mereka mengajukan beberapa
Keadaan Nathalia semakin membaik hari ke dua pasca perawatan, wajahnya masih pucat tapi setidaknya perempuan itu sudah dapat duduk dan menikmati makanannya. “Kamu nggak bekerja?” tanya Nathalia karena perempuan itu tahu, semenjak ia dilarikan ke rumah sakit, Arman tidak pernah sekalipun beranjak dari sisinya. Arman menunjuk laptop di atas meja. “Aku bekerja.” Lelaki itu juga dengan santai membersihkan sisa makanan di sudut bibir Nathalia, hal itu membuat pipi perempuan itu merona. Bukan karena malu melainkan karena salah tingkah, selama ini Arman tidak pernah terang-terangan bersikap manis kepadanya. Lelaki itu selalu tahu caranya menjaga jarak.“Jangan pikirkan apa pun, fokus saja pada proses penyembuhan.” Kata Arman kembali ke sofa tempatnya mengistirahatkan tubuh selama menemani Nathalia. “Kapan aku diizinkan pulang?” tanya Nathalia yang sudah jenuh tinggal di rumah sakit. “Oh, tapi aku tidak punya tempat tujuan jika keluar dari sini.” Perempuan itu meringsin menyadari betapa m
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam sebuah kamar hotel yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota, Nathalia duduk di tepi tempat tidur, tangannya menggenggam erat gelas teh hangat yang sudah mulai mendingin. Malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya, meski di dalam kepalanya, badai belum juga reda. Kejadian beberapa jam lalu masih terputar jelas dalam ingatannya—bagaimana ia hampir kehilangan nyawa, bagaimana Prasetyo dan Arman akhirnya menghadapi dalang yang selama ini mengatur segalanya dari balik bayang-bayang.Dan kini, Prasetyo ada di ruangan yang sama dengannya. Duduk di kursi dekat jendela, diam, hanya menatap keluar seakan mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan.Hening di antara mereka terasa begitu tegang, tetapi berbeda dari biasanya. Dulu, keheningan seperti ini muncul karena ketidaksukaan Prasetyo terhadapnya, karena dinginnya sikap pria itu yang selalu menempatkan dirinya seolah Nathalia tidak berarti apa-apa. Namun kini, ada ketegangan yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, dan lebih
Di dalam mobil yang melaju cepat, Prasetyo menatap Arman dengan tajam. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Kebenaran yang baru saja diucapkan Arman masih menggema di kepalanya.“Aku mengkhianatimu,” ulang Arman, kali ini dengan suara lebih mantap. “Aku yang memberi informasi tentangmu kepada mereka.”Prasetyo mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak melayangkan pukulan ke wajah pria di sebelahnya. Namun, bukan itu yang paling mengusiknya—melainkan kata ‘mereka’ yang diucapkan Arman.“Siapa ‘mereka’?”Arman mengalihkan pandangannya keluar jendela, lalu menghela napas. “Orang yang ingin kau lenyap dari garis keturunan Rahardjo. Mereka tidak mau kau kembali dan mengambil hak warismu.”Dira dan Rendra bertukar pandang. Sejak awal, mereka merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perebutan harta dalam kasus ini.“Apa ini ada hubungannya dengan keluargamu, Pras?” tanya Dira.Prasetyo mengangguk. “Aku meninggalkan semuanya bertahun-tahun lalu. Aku tidak peduli
Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, Nathalia duduk di dekat jendela, menatap layar ponselnya dengan gelisah. Sudah lebih dari enam jam sejak terakhir kali Prasetyo mengirim pesan. Ia tahu pekerjaan suaminya penuh risiko, sering kali membuatnya terjaga semalaman. Tapi kali ini, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih berbahaya dari sebelumnya.Ponselnya bergetar, membuatnya tersentak. Dengan cepat, ia meraihnya, berharap ada kabar dari Prasetyo. Namun, pesan yang muncul justru dari nomor tidak dikenal:"Dia dalam bahaya. Jika kau ingin menyelamatkannya, bersiaplah."Nathalia merasakan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencari makna tersembunyi di baliknya. Ia ingin mengabaikannya, berpikir mungkin ini hanya trik seseorang yang ingin mempermainkannya. Namun, instingnya berkata lain.Ia mencoba menghubungi Prasetyo, tapi tak ada jawaban. Makin gelisah, Nathalia berdiri dan melangkah ke meja kec
Prasetyo, Rendra, dan Dira duduk di dalam ruangan sempit dengan dinding bata yang mulai lapuk. Lampu redup dari ponsel mereka menjadi satu-satunya penerangan. Napas mereka masih tersengal setelah pelarian tadi."Apa yang kita dapatkan?" tanya Prasetyo, mencoba menenangkan diri.Dira menatap layar ponselnya dengan saksama. "File ini... sepertinya bukan hanya dokumen biasa. Ada video dan beberapa catatan transaksi mencurigakan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini lebih besar dari yang kita kira."Rendra meremas rambutnya dengan frustrasi. "Sial. Ini bisa berarti kita mengejar sesuatu yang jauh lebih berbahaya."Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara deru mobil mendekat. Prasetyo segera mematikan lampu ponselnya, memberi isyarat pada yang lain untuk diam. Mereka mengintip dari celah jendela yang tertutup tirai usang.Di luar, sebuah sedan hitam berhenti. Arman keluar dari dalam mobil, tangannya mengepal erat. Matanya menatap lurus ke arah bangunan tempat mereka bersembunyi."Arma
Prasetyo dan Rendra berjalan cepat di dalam terowongan sempit yang lembap. Cahaya remang-remang dari ponsel mereka menjadi satu-satunya sumber penerangan. Langkah kaki mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam."Kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Rendra, suaranya terdengar tegang."Aku tahu. Tapi kita juga harus memastikan Dira bisa lolos," jawab Prasetyo, matanya terus mencari jalan keluar di ujung terowongan.Sementara itu, di dalam gudang, Dira terus mengetik dengan cepat, mencari celah dalam enkripsi flash drive tersebut. Wajahnya menegang saat mendengar suara pintu didobrak. Beberapa pria bersenjata masuk dengan langkah waspada."Di mana mereka?" bentak pria berkacamata hitam yang memimpin kelompok itu.Dira tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. Ia berpura-pura tidak tahu apa-apa, mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku sendirian. Mereka meninggalkan aku begitu saja."Pria berkacamata hitam itu menyipitkan mata, seakan menilai apakah Dira b
Angin malam semakin menusuk saat Prasetyo dan Rendra menyusuri trotoar menuju lokasi yang disebutkan Dira. Jalanan lengang, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas, serta suara gemerisik daun yang tertiup angin. Keduanya berjalan dengan waspada, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mereka tidak diikuti."Tempat biasa itu di mana?" tanya Rendra, suaranya sedikit bergetar."Gudang tua di belakang stasiun. Dira sering pakai tempat itu untuk urusan yang nggak mau dilihat banyak orang," jawab Prasetyo dengan nada rendah."Apa kita nggak masuk perangkap?"Prasetyo terdiam sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Dira bukan tipe yang berkhianat. Kalau dia setuju untuk ketemu, berarti dia benar-benar mau membantu."Mereka tiba di sebuah gang sempit yang berujung pada bangunan tua dengan dinding kusam. Cahaya lampu neon di atas pintu berkedip lemah. Prasetyo mengetuk pintu besi tiga kali, lalu hening. Tak lama, suara gerendel terdengar, dan pintu terbuka sedikit."Masuk cepat," suara pe
Hembusan angin malam terasa dingin saat Prasetyo dan Rendra menyusuri gang sempit, napas mereka masih tersengal setelah pelarian mendebarkan dari gudang. Lampu jalan yang temaram hanya memberikan sedikit penerangan, bayangan mereka memanjang di aspal yang basah."Kita harus cari tempat berlindung," ujar Rendra, suaranya rendah namun tegas.Prasetyo mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa pria berkacamata hitam tidak akan menyerah begitu saja. Flash drive yang mereka bawa terlalu berharga, berisi sesuatu yang jelas ingin disembunyikan oleh pihak yang mengejar mereka.Mereka terus berlari, menyelinap di antara gang-gang gelap, sebelum akhirnya tiba di sebuah warung kopi 24 jam yang tampak sepi. Prasetyo mendorong pintu kaca, dan lonceng kecil berdenting pelan. Seorang pria paruh baya di balik meja kasir melirik mereka sekilas sebelum kembali menatap layar ponselnya.Mereka memilih meja di sudut ruangan, tempat di mana mereka bisa mengawasi pintu masuk dan keluar."Kita perlu tahu apa isi f
SUV hitam itu berhenti tanpa suara, tapi Prasetyo dan Rendra tahu bahwa ancaman yang ada di dalamnya lebih berisik daripada yang terlihat. Pintu depan mobil terbuka, dan seorang pria berkacamata hitam melangkah keluar dengan tenang. Dari cara berjalannya, ia jelas bukan orang biasa."Mereka tidak akan menunggu lama sebelum masuk," bisik Rendra sambil merapat ke dinding.Prasetyo mengamati sekeliling, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Gudang ini hanya memiliki satu pintu utama dan beberapa jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dilalui dengan cepat. Jika mereka bertahan di sini, pertarungan tak terhindarkan.Suara pintu mobil lain terbuka. Dua pria berbadan besar keluar, masing-masing membawa sesuatu di balik jaket mereka. Prasetyo dan Rendra tidak perlu menunggu untuk tahu bahwa itu bukan sesuatu yang ramah."Kita harus ambil inisiatif duluan," bisik Prasetyo.Rendra mengangguk. "Aku akan ke sisi kiri, buat pengalihan. Begitu mereka masuk, kita buat mereka sibuk."Langkah kaki s