Nathalia kecil bersembunyi di sudut kamar, tangan-tangan kecilnya berusaha menutup telinga dari suara-suara gaduh di ruang keluarga. Suara desahan menjijikan juga tawa cekikingan perempuan-perempuan sundal yang terus ayahnya bawa pulang semenjak ibunya pergi melarikan diri bersama lelaki lain beberapa bulan lalu.“Yah, sayang. Kamu pintar sekali, emh.” Suara serak lelaki di ruang tengah terdengar sampai kamar Nathalia yang kecil. “Perempuan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu, tapi beraninya dia melarikan diri bersama lelaki lain.” Guruh, Ayah Nathalia meneguk miras dari botolnya. Sedangkan perempuan bayarannya sibuk menyenangkan bagian tubuhnya yang lain, pinggulnya bergerak maju-mundur mencoba membuat kesenangan lebih banyak.“Oh, yeah! emh, gadis pintar.” Guruh menarik rambut pirang perempuan yang kesenangan karena respon antusiasnya. “Seharusnya kamu yang aku nikahi, bukan gundik sialan tidak tahu diri itu!” Guruh dengan tidak sabaran melucuti pakaian dalam perempuan yang
“Enggak, Bapak. Nath nggak mau.” “Nath.” Arman yang masih berjaga di sisi ranjang Nathalia terkejut karena Nathalia tiba-tiba saja berteriak dalam tidurnya. Perempuan itu bahkan berontak saat Arman menyentuh tubuhnya “Nathalia?!”Nathalia membuka mata, seketika ruangan nya terasa berputar. Perempuan itu merasa mual. Arman yang sejak awal memang sudah mendapat peringatan terkait kondisi perempuan itu, dengan sigap mengulurkan penadah.“Enggak apa-apa, kamu akan baik-baik saja setelah ini.” Arman menekan tombol darurat untuk memanggil tim medis. “Tahan sebentar ya, perawat sebentar lagi datang.” Nathalia yang masih lemas hanya bisa mengangguk, lalu matanya kembali terpejam. Air matanya menetes, mengingat sekeping ingatan yang sebelumnya sudah ia kubur dalam-dalam. Kenangan dan orang-orang yang tidak ingin Nathalia ingat, tiba-tiba saja muncul kembali. *** “Bagaimana kondisinya?” tanya Arman kepada dokter yang datang untuk bertugas. “Kondisinya tidak terlalu baik, karena meski kalia
Nathalia merasakan kepalanya pusing bukan kepalang, sekelilingnya berputar dengan cepat hingga membuatnya mual. “Enggak apa-apa, kamu akan baik-baik saja, Nath.”“Engh.” Nathalia mengguman. Tangannya meraba ke sembarang arah untuk mencari pegangan karena tubuhnya benar-benar terasa melayang sekarang.“Jangan khawatir, kali ini aku benar-benar nggak akan meninggalkanmu.” Bisik Arman sambil mengecup punggung tangan Nathalia yang dingin. “Aku di sini, kamu nggak perlu takut.”Nathalia mulai tenang, karena pengaruh obat perempuan itu kembali terlelap. **** Kelopak mata Nathalia berkerak, perempuan itu juga beberapa kali mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Nyonya Muda Rahardjo itu juga mencoba mengenali sekitar.“Nath, kamu sudah bangun?” Arman yang baru kembali dari kamar mandi bergegas mendekat, lelaki itu juga menekan tombol emergency. “Jangan banyak bergerak dulu. Perawat datang, memeriksa kondisi vital Nathalia bersama dokter jaga. Mereka mengajukan beberapa
Keadaan Nathalia semakin membaik hari ke dua pasca perawatan, wajahnya masih pucat tapi setidaknya perempuan itu sudah dapat duduk dan menikmati makanannya. “Kamu nggak bekerja?” tanya Nathalia karena perempuan itu tahu, semenjak ia dilarikan ke rumah sakit, Arman tidak pernah sekalipun beranjak dari sisinya. Arman menunjuk laptop di atas meja. “Aku bekerja.” Lelaki itu juga dengan santai membersihkan sisa makanan di sudut bibir Nathalia, hal itu membuat pipi perempuan itu merona. Bukan karena malu melainkan karena salah tingkah, selama ini Arman tidak pernah terang-terangan bersikap manis kepadanya. Lelaki itu selalu tahu caranya menjaga jarak.“Jangan pikirkan apa pun, fokus saja pada proses penyembuhan.” Kata Arman kembali ke sofa tempatnya mengistirahatkan tubuh selama menemani Nathalia. “Kapan aku diizinkan pulang?” tanya Nathalia yang sudah jenuh tinggal di rumah sakit. “Oh, tapi aku tidak punya tempat tujuan jika keluar dari sini.” Perempuan itu meringsin menyadari betapa m
“Kejutan.” Kata Prasetyo begitu memasuki ruang rawat istrinya.Nathalia jelas terkejut, perempuan itu juga panik hingga nyaris terjungkal dan membuat jarum infusnya tercabut dari punggung tangannya.“Berhentilah melakukan sesuatu yang dapat melukai tubuhmu sendiri.” Geram Prasetyo yang untungnya dengan sigap mampu menahan tubuh Nathalia. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”“Kamu?!” Emosi Prasetyo kembali tersulut, sejak mereka bertemu sampai menikah Nathalia tidak pernah menggunakan panggilan seperti itu kepadanya. “Jangan kurang ajar Nathalia.”“Dimana Arman?” Mata Nathalia mencari, ia tidak ingin bertemu Prasetyo. “Diamana Arman?!”“Dia ada di tempat seharusnya dia berada.” Jawab Prasetyo santai. “Sekarang saatnya kamu juga kembali ke tempat dimana seharusnya kamu berada.”“Sejak awal tempat itu bukan milikku.” Nathalia menggelengkan kepala. “Aku tidak ingin kembali.”“Berhenti bermain drama.”Nathalia tertawa satir. “Kamu satu-satunya orang yang bermain drama, Mas. Nggak sadar?”“Ters
HamilSatu kata itu terus terngiang di dalam kepala Prasetyo, tumpang tindih dengan bayangan Nathalia melemparkan diri dari jendela balkon kamar mereka. Tubuh lelaki itu gemetar membayangkan ia tidak hanya nyaris kehilangan Nathalia tapi juga anaknya yang kehadirannya sama sekali tidak ia ketahui.“Nyonya Nathalia mengalami syok, kondisi ini sama sekali tidak bagus, Tuan Prasetyo.” Prasetyo semakin sakit kepala.“Saya menganjurkan Nyonya Nathalia harus melanjutkan perawatan di rumah sakit, Nyonya harus mendapatkan pengawasan yang ketat.”“Apa kehamilannya sudah dapat dipastikan?” tanya Prasetyo“Saya sudah membuatkan jadwal untuk konsultasi ke dokter kandungan, begitu Nyonya Nathalia sadarkan diri dan kondisinya sudah lebih baik, kami akan membuat pengaturannya.”Prasetyo hanya mengangguk. “Aku ingin dokter kandungan terbaik dan harus perempuan.”Dokter muda mengangguk. *** Nathalia sibuk dengan pikirannya sendiri, sama sekali tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk orang-orang di sekit
Nathalia ditinggalkan sendirian di kamar perawatannya, perempuan itu masih belum memberikan reaksi apa pun. Masih terngiang di benaknya, suara degup jantung janinnya yang penuh semangat. “Kenapa kamu harus hadir?” tanya Nathalia sembari menunjuk perutnya dengan ujung jari telunjuknya. “Kamu nggak tau apa yang akan kamu alami jika punya ibu seperti aku.” Lanjutnya lagi dengan suara bergetar. “Aku harap, kamu memilih menyerah aja. Karena semua nggak akan mudah.”Nathalia menelan ludah getir, bayang-bayang masa kecilnya kembali berputar. Membuatnya gemetar dan kembali tidak sadarkan diri.Flashback.“Ibu?” Panggil Nathalia kebingungan karena ibunya spontan menutup mulutnya dengan kencang.“Stttt, ayo tidur lagi.” Ibunya terlihat ketakutan, Nathalia kecil seolah dapat merasakan keresahan ibunya.“Ibu?” Nathalia justru menangis, selain karena ketakutan sekarang ia juga merasakan kesakitan karena cengkraman tangan ibu di wajahnya. “Sa- sakit.” Lirihnya sembari terisak.“Diam Nathalia, jan
“"Ha- hami?!” Samantha sama sekali tidak siap dengan kabar yang baru saja ia dengar.“Betul Nona, Nyonya Nathalia dikabarkan sedang mengandung. Karena kejadian di balkon kamar utama waktu itu, keadaan Nyonya Nathalia menjadi sangat rentan dan harus mendapatkan pengawasan ketat dari petugas medis.“Di mana Prasetyo?” tanya Samantha panik. Hans memberikan senyum manisnya. “Tentu saja di rumah sakit, Nyonya Nathalia sedang mengandung calon penerus keluarga Rahardjo, tentu saja Tuan Prasetyo harus memastikan Nyonya Nathalia mendapatkan dukungan yang pantas.”Tangan Samantha terkepal, ia benci kepala pelayan ini.“Kita lihat saja, sampai kapan Nyonya kamu itu akan bertahan. Asal kamu tahu, Hans. Begitu aku berhasil menyingkirkan Nathalia dari rumah ini, aku pastikan kamu yang berikutnya.”Hans sama sekali tidak gentar. “Anda bisa melakukan apa pun yang mau anda lakukan, Nona. Tapi saat ini saya memiliki tugas penting untuk dilaksanakan. Permisi.”Samantha menatap kepergian Hans dengan tat
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su