Prasetyo menghembuskan asap rokoknya dengan tenang, lelaki itu bersandar dengan kedua kaki saling menyilang, satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Lelaki itu bersikap tenang, seperti seekor singa yang menunggu buruannya.“Oh.” Nathalia terkejut, karena begitu keluar dari toilet langsung berpapasan dengan suaminya, perempuan itu bergegas merapikan diri. “Kamu di sini, Mas.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu masih asik menghisap batang nikotinnya dan menghembuskan asapnya tepat ke wajah Nathalia yang spontan langsung terbatuk.“Rapikan barang-barangmu, kita akan pulang.” Prasetyo mendekati tempat sampah terdekat, ia memadamkan puntung rokoknya di tempat yang tersedia. “Jangan membuatku mengatakannya dua kali, Nathalia.”“Ah, ya.” Nathalia bergegas mengikuti suaminya, entah hanya perasaannya saja atau bukan tapi Nathalia merasa suasana hati Prasetyo tidak terlalu baik. Lelaki itu kembali menampilkan ekspresi muram yang menyebalkan.“Kamu sudah kembali, Pras.” Samantha bergela
Nathalia terpaku, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Prasetyo sampai harus memperlakukannya seperti ini. Berbeda dengan Samantha, begitu mendengar Prasetyo memanggil namanya, perempuan itu bergegas mendekat bahkan sampai mendorong Nathalia agar perempuan itu bisa segera menyingkir. “Kamu membuatku cemas, Pras.” Kata Samantha begitu menggantikan posisi Nathalia. “Bertahanlah, sebentar lagi ambulan datang.”Prasetyo tidak menjawab, lelaki itu sudah sibuk menahan sakit dari luka bakar yang didapatkannya karena menyelamatkan Nathalia. “Ambulansya datang!” Kata salah satu pengunjung yang masih menemani mereka. “Biar suaminya dibantu oleh petugas medis, Bu.”Nathalia menggigit pipi bagian dalam melihat kesalahpahaman yang terjadi, semua orang mengira Samantha sebagai istri Prasetyo. Bahkan petugas medis yang baru datang sibuk mengkonfirmasi beberapa informasi medis Prasetyo kepada Samantha.“Saya istrinya.” Nathalia menyela dengan suara dingin, matanya memandang Samantha dengan tatapan
Prasetyo mengerang, sekujur tubuhnya terasa nyeri luar biasa. Sepertinya efek pereda nyeri yang diberikan oleh dokter sudah habis, perlahan lelaki itu membuka mata untuk mengamati ruang perawatan VIP yang dipilihkan oleh Nathalia untuknya.“Perempuan konyol.” Kata Prasetyo ketika menyadari Nathalia tidur telungkup di kursi penunggu alih-alih membaringkan diri dengan nyaman di bed khusus penunggu yang sudah disediakan.“Kamu boleh membenciku, Mas. Tapi tolong jangan usir aku.” Rintihan Nathalia masih terdengar jelas di dalam kepalanya, perempuan itu meracau selama ia tidak sadarkan diri. “Bodoh.” Maki Prasetyo lagi karena menemukan sisa-sisa jejak air mata di wajah istrinya. Mungkin karena posisi tidurnya yang tidak nyaman atau karena memang ia merasa sedang diperhatikan, Nathalia perlahan ikut membuka mata. Matanya bertemu dengan mata Prasetyo untuk beberapa saat, Nathalia nyaris terhanyut sebelum menyadari situasinya.“Oh, kamu bangun, Mas?” Nathalia mengucek matanya, perempuan it
Akbar memperhatikan Samantha yang tengah bersolek, adik sepupunya sempat kembali ke New York beberapa waktu lalu untuk menyelesaikan urusannya pekerjaan terakhirnya. Samantha tidak akan kembali ke negeri yang dikenal dengan julukan The Big Apple tersebut, Samantha akan sepenuhnya tinggal di Indonesia dan melupakan mimpi dan pekerjaan impiannya di sana.“Mau ke mana?” Samantha melirik Akbar dari pantulan kaca meja riasnya. “Aku akan pergi ke rumah sakit.”“Rumah sakit?” tanya Akbar khawatir. “Kamu sakit?”“Bukan aku, tapi Prasetyo.”Akbar semakin tidak mengerti. “Prasetyo masuk rumah sakit?”Samantha menghela napas, terkadang Akbar memang sangat menyebalkan.“Kami pergi ke cafe di pusat kota dua hari yang lalu, sialnya Prasetyo tersiram sup panas karena Nathalia bersikap ceroboh.” Samantha menjelaskan. “Kalau Prasetyo nggak pasang badan, sup panas itu pasti sudah membakar wajah Nathalia.” Samantha sedikit geram dan menyayangkan kenapa kuah sup panas itu harus mengenai Prasetyo dan bu
Prasetyo memperhatikan Nathalia yang terlihat sangat sibuk dengan ponselnya, ini hari ke tiga perawatannya. Prasetyo sudah bosan setengah mati, tapi istrinya masih belum mengizinkan Prasetyo menjalani perawatan di rumah.“Jangan terus-terusan menghela napas seperti itu.” Nathalia menyahut tanpa menoleh pada Prasetyo yang duduk dengan muram di atas ranjang.“Aku bosan.”“Sebentar lagi Mas Prasetyo tidak akan merasa bosan.”Wajah Prasetyo kian muram.”Harusnya memang Samantha yang ada di sini, dia selalu menuruti dan mengerti keinginanku.”Nathalia tidak menjawab, perempuan itu terlihat makin sibuk dengan ponselnya. Prasetyo yang tidak suka diabaikan, mencoba menarik perhatian Nathalia dengan terus mengeluh sembari membicarakan Samantha. “Mereka datang.” Kata Nathalia tiba-tiba.“Mereka?”Kebingungan Prasetyo tidak berlangsung lama, karena tidak lama pintu ruang perawatannya terbuka. Akbar, Arman dan Samantha muncul dengan segala macam buah tangan mereka. “Mas Prasetyo nggak akan bosan
“Mereka terlihat konyol, iya kan?” komentar Samantha pada film yang mereka tonton, jari-jari lentiknya juga dengan cepat membuka kulit jeruk, membersihkan seratnya lalu menyuapi Prasetyo yang masih fokus dengan tayangan di televisi.“Aku kenyang.” Prasetyo menolak uluran jeruk dari Samantha. “Tolong ambilkan aku air.”“Oh, airnya habis. Sebentar, aku ambil di dispenser.”Ruang rawat VIP Prasetyo luas dan bersekat, sekat satu untuk pasien dan sekat lainnya diperuntukan bagi keluarga pasien yang menginap. Dispenser ada di sekat keluarga pasien, karena itu Samantha harus berjalan cukup jauh untuk mengisi botol minum Prasetyo.“Arman belum kembali juga?” tanya Prasetyo. “Dia benar-benar ke toilet atau justru masuk ke ruang perawat dan menggoda perawat-perawat di sana?”Akbar tertawa, kecurigaan Prasetyo tidak salah. Karena semasa sekolah mereka dulu, Arman memang suka seperti itu. “Haruskah aku menyusulnya?”Prasetyo menggeleng. “Biar aku saja, aku juga ingin jalan-jalan.”“Kau yakin?” Ak
“Ini ada apa?” tanya Nathalia yang baru kembali ke ruang perawatan suaminya. “Mas, kamu mau ke mana?”Samantha yang membantu Prasetyo mengemasi barang-barang tersenyum. “Prasetyo akan pulang, Nath. Dia sudah tidak betah di rumah sakit.”“Mas, nggak bisa begitu dong. Kamu masih harus dalam pengawasan dokter.” Nathalia panik. “Kamu mau apa supaya betah? kasih tahu aku coba.”“Sam, sepertinya masih ada beberapa pakaianku di laci bawah. Tolong di cek ya.” Prasetyo terang-terangan mengabaikan Nathalia. “Mas.” Nathalia meletakan tasnya dengan tidak sabaran. “Dengarkan aku dulu, kamu masih harus dalam pengawasan dokter.”“Jangan berlebihan, aku sudah sehat.”Nathalia menghela nafas karena kekeras kepalaan suaminya. “Aku akan bicara dengan dokter sebentar, sekaligus mengatur perawat yang akan tinggal di rumah bersama kita.”“Oh, nggak perlu, Nath.” Samantha datang sembari mendorong koper Prasetyo yang sudah selesai di pacx. “Enggak perlu gimana, luka Mas Pras masih harus dipantau.”“Jangan
Samantha berperilaku seperti nyonya rumah begitu mereka sampai di kediaman Rahardjo, perempuan itu dengan tidak tahu dirinya langsung memberikan perintah kepada para pelayan untuk melakukan banyak hal.Mulai dari mengganti tirai di kamar tidurnya sampai peralatan kamar mandinya, Samantha juga dengan semena-mena mengatur dan menyiapkan menu makan malam Prasetyo tanpa merasa perlu meminta persetujuan dari Nathalia.“Orang kaya, benar-benar ada aja tingkahnya.” Seruni pelayan termuda di kediaman Rahardjo menggerutu, ia sudah lima kali bolak balik membawakan bed set dan juga tirai untuk kamar yang akan ditempati oleh Samantha selama perempuan itu tinggal di kediaman Rahardjo. “Dia nggak akan jadi istri keduanya tuan muda kan?”“Hust!” Lastri pelayan senior menegur Seruni. “Udah nurut aja, nggak usah ikut campur.”“Aku kesal, Mbak. Padahal cuma tamu, tapi lagaknya udah seperti nyonya rumah! nggak kebayang kalau dia betul-betul jadi nyonya rumah, kita bisa benar-benar diperbudak.” Lastri me
Prasetyo menarik napas panjang saat ia dan Rendra keluar dari kafe melalui pintu belakang. Jalanan di belakang kafe sepi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang berkelip. Namun, Prasetyo tahu bahwa mereka tidak akan dibiarkan pergi begitu saja."Kita harus cepat," kata Rendra, matanya menyapu sekeliling.Langkah kaki terdengar semakin dekat. Prasetyo menoleh ke belakang dan melihat pria bertubuh besar yang tadi masuk ke kafe kini berdiri di ambang pintu belakang, menatap mereka dengan tajam. Dua orang lainnya muncul dari gang sempit di samping kafe, membuat jalan keluar mereka semakin terbatas."Mereka datang lebih cepat dari yang kukira," gumam Prasetyo."Tidak ada waktu untuk ragu," balas Rendra. Ia dengan cekatan meraih sesuatu dari dalam jaketnya—sebuah flash drive kecil. "Ambil ini. Jika terjadi sesuatu padaku, pastikan Samantha dan Nadia mendapatkannya. Mereka tahu harus berbuat apa."Prasetyo mengambil flash drive itu dan memasukkannya ke dalam saku dalam jaketnya
Prasetyo berdiri di tengah ruangan yang perlahan-lahan mulai kosong. Orang-orang masih berbisik tentang apa yang baru saja terjadi, beberapa di antara mereka mencuri pandang ke arahnya dengan berbagai ekspresi—kagum, lega, atau bahkan ketidakpercayaan. Tapi Prasetyo tidak peduli. Pikirannya masih tertuju pada satu hal: ini belum berakhir.Samantha masih berdiri di dekatnya, wajahnya terlihat lebih tenang meski sisa ketegangan belum sepenuhnya hilang. Ia meremas jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan diri. "Pras, kita harus memastikan Arman benar-benar tidak punya jalan untuk lolos lagi. Kita tidak bisa membiarkannya bermain di balik bayang-bayang."Nadia, sang jurnalis investigasi, menyelipkan tablet ke dalam tasnya lalu menatap Prasetyo dengan serius. "Bukti ini cukup untuk menjatuhkannya sekarang, tapi seperti yang kubilang tadi, ini belum selesai. Ada banyak orang di belakang Arman yang mungkin mencoba membersihkan namanya atau bahkan membalas dendam."Prasetyo mengangguk. "
Prasetyo menatap pria berseragam itu dengan tajam, pikirannya berpacu mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Ia tahu jika ia mengikuti mereka sekarang, Arman akan semakin unggul. Setiap detik terasa begitu panjang, seolah waktu melambat dalam ketegangan yang semakin menyesakkan."Tuan, kami harus meminta Anda untuk tidak membuat ini lebih sulit," suara pria itu tegas, namun tetap formal. Tangannya sudah terulur, siap menggiring Prasetyo keluar dari ruangan.Samantha berdiri dengan gemetar, wajahnya penuh ketakutan dan amarah yang bergejolak. "Tidak! Dia tidak bersalah! Semua ini rekayasa! Arman menjebaknya!"Arman mendesah, menggelengkan kepalanya seolah bosan dengan drama yang terjadi. "Samantha, sayangku, terima saja kenyataan. Prasetyo kalah. Kau juga kalah. Dunia ini tidak pernah berpihak pada orang-orang seperti kalian."Namun sebelum pria berseragam itu bisa membawa Prasetyo, sebuah suara lain menggema di ruangan."Tunggu!"Semua kepala menoleh. Seorang wanita dengan jas ab
Ruangan itu masih sunyi. Udara terasa tegang, seakan-akan waktu berhenti setelah semua kebenaran terungkap. Prasetyo menarik napas panjang, matanya menatap Samantha yang kini benar-benar kehilangan kata-kata. Namun, ia tahu, ini belum selesai.Tiba-tiba, suara tepukan tangan menggema di ruangan itu. Semua orang menoleh ke arah pintu masuk. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas hitam rapi, ekspresi wajahnya penuh dengan kepuasan. Arman."Luar biasa, Pras," ujarnya dengan nada mengejek. "Aku harus mengakui, kau memang lebih pintar dari yang aku kira. Tapi apakah kau benar-benar berpikir ini adalah akhir dari segalanya?"Prasetyo mengepalkan tangannya. "Arman, ini sudah selesai. Semua bukti ada di sini. Tidak ada lagi kebohongan yang bisa kau sembunyikan."Namun, alih-alih panik, Arman justru tersenyum sinis. Ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, matanya menatap Samantha yang kini tampak putus asa."Samantha, sayangku," ucapnya dengan nada merendahkan. "Aku sudah bilang, jangan ter
Ruangan yang awalnya penuh dengan tawa dan kegembiraan kini berubah menjadi panggung pembongkaran. Semua mata tertuju pada Prasetyo, yang berdiri tegak di tengah-tengah ruang, dengan wajah penuh tekad. Di belakangnya, layar televisi lebar yang sudah disiapkan sebelumnya menampilkan serangkaian bukti yang akan mengungkapkan kebohongan besar yang selama ini disembunyikan oleh Samantha dan Kareena.Samantha, yang semula tampak percaya diri, kini mulai tampak panik. Wajahnya memucat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tak menyangka jika Prasetyo benar-benar memiliki bukti yang begitu kuat, bukti yang mampu mengguncang seluruh dunia yang ia bangun dengan kebohongannya. Namun, Samantha masih mencoba untuk menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, ia berusaha mengelak, suaranya bergetar ketika ia membuka mulut."T-tunggu, Prasetyo! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Samantha mencoba menyusun kata-kata, meskipun suaranya terdengar semakin terbata-bata. "Kamu salah paham! Aku… aku tidak tahu apa
Meski ingatannya telah kembali sepenuhnya, ia memilih untuk berpura-pura tidak ingat, bahkan bersikap seolah-olah ia masih kehilangan ingatannya. Ia tahu bahwa ini adalah langkah yang berbahaya, tetapi itu adalah cara terbaik untuk mempersiapkan dirinya menghadapi Samantha dan orang-orang yang telah menipu dan memanipulasinya selama ini. Prasetyo merasa bahwa saat ini ia harus menjadi seorang aktor yang baik, menyembunyikan perasaannya dan berakting sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Samantha dan ibunya, Kareena.Samantha, dengan segala kebohongannya, terus berusaha menambah kepingan puzzle kebohongan yang selama ini mereka bangun. Ia tahu bahwa Prasetyo masih berada di dalam genggamannya, dan ia terus mencoba untuk meyakinkannya bahwa mereka berdua adalah pasangan yang sempurna, bahwa dia adalah wanita yang terbaik untuknya. Sementara itu, Kareena, ibu Prasetyo, tampaknya juga telah membenarkan semua kebohongan itu, memberikan dukungan penuh pada Samantha, seolah-olah semuanya be
Nathalia masih berdiri di depan pintu rumah sewaannya, matanya penuh kebingungan, bercampur dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya ingin percaya, tapi rasa takut dan luka lama yang belum sembuh sepenuhnya membuatnya ragu. Namun, di tengah ketidakpastian itu, ponsel Nathalia tiba-tiba berbunyi.Dia melihat nama Akbar muncul di layar. Nathalia merasa sedikit cemas, karena dia tahu Akbar adalah salah satu orang yang paling dekat dengan Prasetyo, dan bisa jadi, Akbar tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Tanpa berpikir panjang, Nathalia mengangkat telepon itu."Halo, Akbar," sapanya dengan suara sedikit terengah-engah, masih mencoba menenangkan dirinya setelah pertemuannya dengan Prasetyo."Nat, kamu baik-baik saja?" suara Akbar terdengar prihatin dari ujung telepon. "Aku dengar Prasetyo datang menemuimu tadi. Apa yang terjadi?"Nathalia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang berlarian. "Iya, dia datang," jawabnya perlahan. "Tapi... ada banyak hal ya
Setelah beberapa waktu terpisah dan melalui berbagai kebohongan yang menjerat, hatinya kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam. Ia harus menemui Nathalia, harus melihat wajah wanita itu lagi, meskipun ia tahu ia sudah terlambat. Akibat tindakan ibunya, ia dan Nathalia kini terpisah. Tetapi, berkat bantuan Akbar, akhirnya ia berhasil mengetahui keberadaan Nathalia. Tak ada lagi waktu untuk ragu—Prasetyo merasa ia harus melangkah, walaupun ia tahu ini akan menjadi pertemuan yang penuh emosi dan kerumitan.Saat sampai di depan rumah sewaan Nathalia, perasaan Prasetyo semakin bergejolak. Rumah itu tampak sederhana, jauh berbeda dengan rumah mewah yang dulu mereka impikan bersama. Rumah ini adalah tempat di mana Nathalia harus berjuang sendiri, tanpa kehadirannya. Dalam kondisi seperti ini, Prasetyo merasa dirinya semakin tidak pantas berada di sana.Prasetyo mengatur napasnya, mengetuk pintu dengan tangan yang sedikit gemetar. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya, Nathali
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Prasetyo akhirnya keluar dan kembali ke rumah, meskipun ingatannya masih sedikit kabur. Samantha tetap berada di sisinya, menjaga setiap langkahnya. Namun, dalam hati Prasetyo, sebuah niat mulai berkembang—untuk menggali lebih dalam tentang siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Ia sadar bahwa ingatannya yang hilang bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang ada di sekitarnya.Suatu malam, saat mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Prasetyo memutuskan untuk menghubungi Akbar. Ia tidak memberi tahu Samantha sebelumnya, tapi ia tahu bahwa Akbar adalah satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya mengungkap semua yang disembunyikan. Di luar dugaan, Akbar menjawab telepon dengan cepat, suaranya tegas namun penuh kekhawatiran."Pras? Apa kabar? Kenapa tiba-tiba menghubungi aku?" tanya Akbar dengan nada cemas.Prasetyo menghela napas, menatap langit malam yang gelap di luar jendela. "Ingatan aku su