Tidak ada yang tahu jalan kehidupan seseorang. Semua penuh dengan teka-teki, dan seperti berjalan di jalan buntu. Firdaus tengah merenung, menatap Lady yang bahkan merasa tidak merasa bersalah sama-sekali. Tidak sedikitpun. Lelaki itu tersenyum seperti orang bodoh.“Mau kemana?”Langkah Lady berhenti, lalu menatap Firdaus yang sedang duduk di sofa sambil menonton dengan malas. Malam ini dia ingin clubbing dengan teman-temannya.“Ke club, ada masalah?”“Lady.”Firdaus menghela nafas. Dia berusaha untuk tidak mengeluarkan kemarahannya selama satu minggu ini. Tessa selalu mengatakan padanya untuk bermain secara bijak.Tapi makin di diamkan, Lady semakin menjadi-jadi. Entah anak siapapun yang tengah dikandungnya itu, tapi Lady sama-sekali tidak pernah menjaganya dengan baik.“Tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” mata Firdaus tajam, dan lurus pada manik Lady. “Mengatakan apa?” Lady balas bertanya, menaikkan sebelah alisnya. Tapi tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa dia sedikit takut d
Pagi-pagi sekali Lady bangun. Membuatkan sarapan yang simpel, menyiapkan kemeja Firdaus yang masih tidur. Jika bukan karena permintaan Jack, tidak mungkin Lady mau bangun sepagi itu. Apalagi jadwalnya adalah pukul sembilan nanti.“Hey…sudah bangun?” Lady tersenyum, menatap Firdaus yang masih memasang wajah datar padanya. “Aku sudah menyiapkan sarapan, dan juga pakaianmu hari ini.”Kening Firdaus mengerut. Dia menatap Lady dari atas hingga bawah. Sudah rapi, dan ini masih pagi sekali untuk wanita itu.“Tumben.”Firdaus hanya diam saja. Tidak tersentuh sama-sekali. Jika ini terjadi sebelum dia mengetahui perselingkuhan sang istri, mungkin Firdaus akan merasa sangat senang. Dan tidak akan membandingkan dengan mantan istrinya. Tapi semua terasa hambar saat ini.Rasanya ini adalah lelucon di pagi hari. “Aku minta maaf karena semalam menamparmu. Selama ini mungkin sifatku tidak bisa memberikan kenyamanan untukmu. Itu benar-benar di luar kendaliku, aku sungguh minta maaf.”“Ya.”Kening Lady
Jack berlari ke arah Dita yang mendadak muncul dan menuju ke arah truk, berusaha untuk menghentikan wanita itu. Lady hendak mengejar, tapi Charlie menghambat. Menahan Lady, sambil tersenyum miring.“Dasar sialan, menyingkir dari sana, sialan.”Bruk—pukulan itu mengenai tepat di perut Jack. Dita tersenyum miring, sambil memainkan tangannya. Sebelum Jack berhasil meraihnya, dia kembali menghindar ke arah kiri. Pukulan Jack hanya mengenai angin.“Sialan, kau benar-benar wanita murahan. Sini kau, aku akan membunuhmu.”Dengan gerakan cepat, Jack berusaha menyerang lagi. Tapi gerakan Dita jauh lebih cepat. Lagi-lagi pukulan itu hanya mengenai angin kosong. Tidak menyerah, dia berusaha menyamai gerakan Dita. Satu pukulan dia tuju pada wajah Dita, namun serangan di perutnya membuatnya terlempar jauh.Jack mengerang, memegangi perutnya. Dita cekatan membuka bagasi truk itu, dan menatap Charlie yang mengangguk bangga.“Dasar sialan, kau…apa yang kau lakukan padanya.”Lady mendorong Charlie kasa
Dita PoVSuara tembakan memenuhi dermaga. Kapal-kapal berusaha bergerak menjauh, tapi itu tidak lepas dari pengawasan Charlie. Dia bergerak sangat cepat, begitu juga denganku yang berusaha mengimbangi gerakan mereka. Sebagai orang baru dalam dunia mereka, jelas aku tidak bisa se-ekspert mereka.Charlie melompat, mensejajarkan langkah larinya denganku. Kami menaiki kontainer, melompat dari satu anak tangga ke tangga lainnya.Ini menyenangkan.“Tembak, Dita.”Aku mengangguk tanpa mengulang dua kali perintah. Begitu kakiku menapak di darat, tanganku menekan pistol. Satu dua musuh di depan tumbang. Aku tersenyum puas. Bidikanku tidak meleset. Charlie tersenyum, lalu menarik tanganku berlari ke depan.Kami berada di tengah. Emilio, lelaki itu memimpin di depan bersama Curis. Beberapa orang berpakaian serba hitam mulai mengepung kami. Tapi tak mengurungkan semangat kami. Sesuai dengan rencana, aku tetap berada di dekat Charlie, dan posisi kami sudah hampir menuju ke tengah. Jantung transaks
Dita POVKehidupan terus berjalan. Alur kisah hidupku pun berubah. Ditemani segelas kopi, dan dinginnya udara malam. Aku sedang duduk di taman yang dikelilingi oleh gedung bertingkat. Di gedung itu banyak informasi penting tersimpan. Pusat bisnis salah satu teknologi besar di Indonesia sedang berjalan di sana. Diawasi dengan ketat, karena itu termasuk aset negara.Kamuflase. Aku mengatakan demikian karena setelah mengenal Charlie dan apa yang ada di bawah kekuasaannya. Kini otakku mulai paham sistem pemerintahan itu adalah bentuk halus. Gedung tinggi yang tepat di hadapanku saat ini adalah milik salah satu pemilik Shadow economic. Mereka berkamuflase, menyamar dan bekerja sama dengan pihak pemerintahan.Kenapa?Karena masyarakat percaya pemerintah bukan?Udara malam kota Jakarta malam ini cukup sepi, dan hening. Aku tidak tahu apakah karena sudah memasuki musim ujian. Jadi muda-mudi yang biasanya senang menghabiskan malam hari diluar, kini sedang bergelut dengan lembaran kertas dan
Dita POVAku tidak tahu apa yang Charlie rencanakan kali ini. Tapi semenjak kejadian itu, Firdaus selalu di suruh ini dan itu. Tanpa perlawanan. Seperti saat ini, Firdaus sedang membersihkan ruanganku. Ya, ruanganku. Charlie memberikan ruangan khusus untukku di rumah sakit. Padahal aku bukan siapa-siapa. Ruangannya dan ruanganku terhubung secara langsung, hanya di pisah dengan tirai sebenarnya. Tapi tidak apa, ini lebih daripada cukup.Firdaus berpindah ke tongkat pel. Dia sedang membersihkan lantai. Sesekali aku mendapatinya memperhatikanku.“Kau butuh sesuatu?”Dari pantulan cermin di hadapanku, dia memang sedang menatapku sendu. Aku berbalik dan menatapnya.“Tidak. Charlie sudah menyiapkan semuanya.”Wajah Firdaus langsung ditekuk. Dia lanjut membersihkan sudut-sudut lantai. Jujur aku kasihan melihatnya seperti itu. Tapi aku jauh lebih kasihan melihat diriku dulu. Ternyata dulu aku juga menjadi pesuruh baginya.Aku hendak berdiri dan pergi, tapi terhalang karena tubuh Firdaus mengh
Charlie POV“Mobil sudah siap, Tauke Besar.”Hansen gagah berdiri di belakang sofa, tempat Charlie tengah duduk dan membaca layar tabletnya. Sudah seharusnya dia yang turun tangan sendiri dengan hal ini. Dalam sekejap mobil hitam yang dikemudikan Hansen sudah melaju di jalanan Jakarta yang masih ramai. Tidak ada kata sepi untuk ibu kota ini, walau sebentar lagi gelar itu akan pindah.Dari kaca spion depan, Hansen mengamati sesekali tuannya itu. Terlihat tenang, dan tidak mengatakan apapun. Walau dia tau, kejadian di rumah sakit, itu sangat mengubah temperamen Charlie.Mobil sudah tiba di daerah gedung mall di salah satu daerah Jakarta. Sepi. Mobil memasuki daerah parkir, dan menuju ke ruangan dimana tidak ada orang tahu bahwa ruangan itu ada di sana.Butuh 30 menit mobil memutari jalan yang menuju ke bawah. Ada penjaga yang 24 jam bersiap di depan pintu. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk. Ruangan itu masih hidup, seperti tidak kenal ada siang dan malam.Itu adalah salah satu
Nama Dita terus memenuhi isi kepalanya. Bayangan apa yang dulu dia lakukan berputar kembali di pikirannya. Firdaus duduk terdiam, dengan air mata yang menetes, di dalam ruangan dimana mereka dulu pernah menghabiskan waktu bersama.Sekarang Firdaus punya kelemahan besar, yaitu fakta bahwa Dita hamil anaknya. Andai saja sosok itu tidak berbohong, mungkin Dita masih tetap di sisinya. Dan rencananya tidak akan ketahuan. Dia bisa mendapatkan impiannya, dengan wanita yang dia cintai.Pertanyaannya. Apakah Firdaus selama ini mencintai Dita?Ya. Dia mencintai Dita. Tapi tidak saat mengetahui mereka tidak bisa punya keturunan. Dan hal itu juga yang Firdaus sesali hingga detik ini. Padahal dia seorang dokter, tapi tidak tahu bahwa Lady selama ini menjadi dalang di balik hancurnya rumah tangga mereka. Tolol dan sangat bodoh.Lalu, apa sekarang dia menyerah?Firdaus tersenyum setelah air matanya berhenti mengalir. Cukup sudah beberapa jam dia habiskan untuk merenung. Dia sudah mengambil keputusan
“Apa…apa yang kau…”“Dita…! Hey….sadarlah.”Suara itu, perlahan mata Dita terbuka dengan cepat. Melihat Charlie yang masih lengkap dengan pakain dan kening mengerutnya. Dita berubah panik dan melihat isi pakaiannya yang masih lengkap. “Apa yang terjadi, kau berteriak memanggil namaku tadi. Aku kira terjadi sesuatu makanya aku menerobos masuk!”Wajah Dita memerah, dia benar-benar tidak mengerti mimpi sialan apa yang masuk di kepalanya. “Tidak ada, maaf, sepertinya aku hanya kelelahan saja. Kau bisa keluar, Charlie.”“Lain kali tutup pintumu dengan baik, Dita. Kau tidak tau apa yang akan aku lakukan kan?”“Memangnya apa yang akan kau lakukan hah?” Teriak Dita panik. Buru-buru Charlie keluar sambil terkekeh. Membuat Dita malu bukan main dan kembali merebahkan tubuhnya. Dia benar-benar merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, persis seperti apa yang Charlie katakan. Namun, tidak bagian itu juga kan? Benar-benar membuatnya merasa malu. ******“Kemana kau membawaku?”“Ahhh…kau sudah bangun
Dita menghela nafas panjang, hari ini dia pulang lebih awal dan kembali istirahat di rumah Charlie. Setelah meminjamkannya ruang tidur, lelaki itu pergi entah kemana. Mata Dita mulai lelap, terasa seperti lelah sekali hari ini. Dia ingin tidur yang benar-benar lelap. ***Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sedang berada di dalam kereta api, menikmati pemandangan gedung-gedung indah dari balik kaca. Langit sore dan lintasan laut ditambah dengan matahari yang kembali ke peraduannya membuatku ingin berhenti sejenak.Aku ingin melihat kampungku dulu, tempat dimana aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak punya ibu membuatku tidak tahu bagaimana harus mengadu. Tidak punya ayah membuatku tidak tahu bahwa dunia itu sangat kejam.Charlie awalnya ingin ikut. Namun ada urusan mendadak sehingga aku berangkat sendiri walau dia tetap memaksa agar aku ditemani. Namun kali ini aku benar-benar ingin sendiri.Lembaran baru sudah dimulai, tapi aku ingin melihat dengan seksama. Siapakah Dita yang sekarang
Dengan marah dan tergesa-gasa Firdaus memasuki sebuah ruangan gelap dengan tangan kanannya menarik Dita. Sungguh! Dia begitu marah dan tidak bisa menahan diri terhadap apa yang sudah dilakukan istrinya. “Menurutmu, apa yang sudah kau perbuat hah? Apa maumu, katakan Dita!” “Mauku? Tidak ada, emangnya apa yang membuatmu sampai semarah ini?”Mata Firdaus memerah, dipenuhi dengan kemarahan. Dadanya naik turun sambil menghela nafas yang panjang. “Aku tau sekarang kau sedang balas dendam kepadaku, tapi apa kau pikir bisa menang melawanku? Tidak Dita! Tidak sama-sekali. Pikirmu dengan mengungkap semuanya bisa membuatmu hidup dengan bahagia dan membuatku menyesal? Tentu tidak! Seharusnya aku mendengar kata ibuku dulu untuk tidak menikahi wanita licik sepertimu. Tidak ada bedanya dengan manusia sampah!”“Benarkah? Itu membuatku sangat takut. Tapi…”Firdaus mengerutkan kening dan bulu kuduknya berdiri saat mendengar perkataan yang seolah ejekan itu. Dia…dia tidak pernah melihat bagaimana Dit
Nafas Dita terengah-engah begitu cengkraman di lehernya lepas. Tepat sebelum tamparan Firdaus mendarat di pipinya, pintu terbuka dengan lebar. Mata Dita menangkap sosok yang baru saja menyelamatkan hidupnya. “Charlie?” bisik Dita, dia tidak tau kenapa laki-laki yang baru saja mengantarkannya pulang itu, kini berada di hadapannya. Namun ponselnya yang ada bersama dengan lelaki itu cukup menjawab semuanya. “Ponselmu tertinggal di mobilku tadi, ceroboh sekali.” Perlahan melangkah mendekatinya, Dita terdiam cukup lama sampai tubuhnya di bawah jauh dari Firdaus. Dia merasa perselisihan di antara keduanya. “Siapa kau berhak masuk ke rumahku hah?” Bentak Firdaus. “Bukankah ini apartemenmu, Dita?” Dita mengangguk, itu memang apartemennya, dan semua gaji bulanannya yang tidak seberapa dia dedikasikan semua untuk apartemen dan semua perabotannya. Termasuk untuk biaya sekolah Firdaus juga. Dia memang bodoh, bahkan untuk dirinya sendiri, dia tidak memikirkannya. Selama ini Dita hidup dengan
“Kau melihat itu? Wah, aku sungguh tidak percaya dengannya, hanya selang sehari tidak masuk namun sudah bertindak sejauh ini. Atau karena kepalanya kena benturan sehingga dia kehilangan rasa hormatnya?”Firdaus masih mendengar ucapan buruk itu sejak tadi, biasanya dia akan menghiraukan mereka, namun untuk kali ini telinganya sedikit memanas mendengar nama dokter Charlie ikut disebutkan. Bahkan terang-terangan dikatakan jika dokter itu menyukai Dita. “Ah, kamu disini juga, Dokter Firdaus?”Firdaus hanya mengangguk, lalu kembali memeriksa rekam medis pasien yang baru saja selesai dia operasi. Pikirannya cukup terganggu dengan sikap Dita hari ini dan dia ingin menanyakannya sepulang ke rumah. Pintunya ditutup, tatapan Firdaus jatuh pada Lady yang berjalan ke arahnya dengan sensual. Dia tahu wanita itu tidak akan pernah menyerah. Mereka pernah melakukannya beberapa kali, namun untuk kali ini Firdaus tidak ingin. Satu hal yang ingin dia lakukan adalah pulang secepatnya. “Kau sudah berj
Mata Dita melebar, tidak menatap lelaki dengan tinggi 10 centi meter lebih tinggi darinya. Mereka berdiam di balik pintu, sambil mendengar percakapan Firdaus dan Lady yang penuh dengan hasrat. Begitu tangan lelaki itu dilepas dari mulutnya, Dita mundur beberapa langkah dan menendangnya. “Kau gila?”“Hey, aku justru membantumu. Kenapa menguping pembicaraan orang lain? Tindakanmu jelas kriminal, kau juga tau siapa Lady kan? Dia itu putri pak wadir, bisa jadi kau akan dikeluarkan jika ketahuan.”“Kenapa? Aku juga berhak tau apa yang mereka lakukan.”“Berhak? Ayolah suster Dita?” Lelaki itu berhenti sejenak untuk menatap name tag Dita, dan mengelus kakinya yang terasa sakit, “wahh, tendanganmu lumayan juga.”“Aku istri dokter Firdaus, dan apa kau dokter baru?”Anggukan itu membuat Dita diam, kepalanya sedikit pusing. Dia diam melihat punggung lelaki berjas putih itu. Rasanya familiar, aromanya menenangkan, namun dia tidak tahu kapan mereka pernah bertemu. “Setahuku dokter Firdaus masih
Mobil berjalan dengan keheningan yang menyelimuti didalam. Baik Charlie dan Dita, tidak satupun yang mengeluarkan suara. Persis dibelakang dan didepan, mobil mereka dikawal bak rombongan. Charlie melirik sekilas, mengamati wajah Dita, menggenggam tangan wanita itu dan mengelusnya dengan jari jempolnya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja setelah kejadian yang mereka lewati. Tapi beberapa saat Charlie yang sedang fokus mengemudi menarik nafas dalam. Dia selalu khawatir akan nasib mereka. Kehidupan yang dia ingin bina, bisa saja hancur dalam sekejab. Terlebih, dia bukan orang sembarangan. Banyak musuh yang ingin nyawanya. Mungkin Charlie bisa mengatakan bahwa Dita akan selalu aman dalam pengawasannya, dan itu adalah ucapan terbodoh yang pernah dia lakukan. Ucapan untuk menenangkan jiwanya yang sangat ketakutan. “Terlihat murung, ada yang ingin dibicarakan?” tanya Charlie dikeheningan mobil. Tatapannya tertuju pada Dita yang masih diam dengan raut alis yang bertaut, namun peg
Charlie berlari sekencang mungkin menuju ruangan dimana kesadarannya dibuat hampir melayang. Pintu terbuka lebar, langkahnya berhenti di ambang pintu. Bahkan kumisnya masih tersisa setengah karena mendengar kabar bahwa Dita sudah sadar. Air mata Charlie jatuh, dia berjalan perlahan. Jantungnya berdetak kencang, menatap Dita yang kini tengah duduk di ranjang namun tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah menatapnya dengan tatapan bingung dan kosong. Mengabaikan semua orang diruangan itu, Charlie memeluk tubuh rapuh itu. “Dita…sayang, akhirnya kamu sadar.”Dita mengerutkan keningnya, menatap Charlie bingung, bahkan tidak bereaksi apapun saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dengan genangan air mata. Namun rasanya nyaman, tapi Dita tidak mengingat apapun. Para dokter yang berjejer di ruangan itu menundukkan kepala, mereka belum memberitahu bahwa Dita mengalami lumpuh otak sementara yang mengakibatkan ingatannya sedikit menghilang. Sedangkan Charlie? Dia masih memeluk Dita dengan erat, m
Dita POV“Sekalipun ini mimpi, aku tetap akan bersyukur telah memilikimu. Kini, besok, seribu tahun yang akan datang, aku akan tetap berada disampingmu. Aku akan menjagamu.”“Kamu berjanji?”“Tentu saja.”“Aku akan selalu ada disampingmu! Jadi, pulanglah. Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Suara itu. Aku sudah berkali-kali mencari siapa yang berbicara. Namun tidak ada orang sama-sekali. Setiap hari aku menjalani kehidupan yang tidak ada habisnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Tubuhku seolah tidak ingin pergi dari kenangan itu. “Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Lagi. Suara serak dan penuh dengan harapan itu membuatku berlari asal, suara itu terus menghantuiku. Nafasku kian sedikit, setiap hari berlari tiada henti. “Tolong, siapapun apakah ada yang mendengarku?”Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang mendengar. Aku menarik nafas dalam, memilih untuk duduk. Namun tidak lama cahaya putih menyilaukan mata membuatku menutup