Dita duduk di taman tidak jauh dari rumahnya. Dengan pakaian yang masih sama. Dia bahkan belum sempat menggantinya. Tidak lama Dita kembali menangis, namun bukan karena masalah di rumah. Tapi karena merasa janggal dengan isi hati dan pikirannya. Seolah ada kehidupan lain yang sedang menunggunya. “Kenapa…kenapa sakit sekali disini,” bisik Dita menunjuk dadanya. Dia merasa kehilangan seseorang. Disamping hatinya, Dita menyadari bahwa dia tidak sempurna, dia paham bahwa itu menjadi kekurangannya. Menikah dengan Firdaus, awalnya membuat Dita senang. Namun lama-lama ibu mertuanya dan Bella semakin mengolok-olok dirinya yang tidak kunjung hamil. Kebencian itu semakin hari semakin bertambah. Dita tidak tahu harus mengeluh kepada siapa. Ibunya di kampung pasti akan merasa sedih mengetahui dirinya seperti ini. Bahkan kepada ibunya, Dita tidak pernah melakukan yang terbaik. Setiap membeli kado, Dita membeli yang termurah. Itu benar-benar menyakiti hatinya. Namun apa yang harus Dita lakukan
“Dari mana saja kau? Aku menyuruhmu untuk mengerjakan laporan medis tapi tidak kunjung selesai juga?” Justin meneriaki Dita begitu wanita itu muncul di meja resepsionis. Dita dengan panik mencari keberadaan Aminah. Wanita itu sudah berjanji untuk melakukan tugasnya.“Dok, tadi saya menjenguk pasien. Jadi….”“Halah, alasan. Kau ini sama seperti suamimu, tidak berguna sama-sekali. Jika kau tidak bisa bekerja dengan baik, maka jangan berada di rumah sakit ini.”Justin membenci Firdaus.Awalnya dia tidak sebenci itu pada Dita. Namun karena mengetahui wanita itu adalah istri rivalnya, dia jadi membencinya juga. Semua orang yang berhubungan dengan Firdaus, dia membenci mereka.“Maaf dok, saya akan segera menyelesaikannya.”“Tidak usah. Kamu itu tidak bisa diandalkan memang.” Justin pergi melengos begitu saja.Dita mengepalkan tangannya, segera duduk di kursi dan mulai mengetik lagi. Sosok yang sejak tadi dia cari baru saja menampakkan wujudnya setelah 15 menit berlalu. Sekarang hanya ada me
“Permisi sus, bagian resepsionisnya dimana ya?”Langkah Dita berhenti saat melewati taman di depan lobby. Wanita yang sepertinya berusia 40 tahunan berdiri di depannya dengan 2 anak kecil yang sepertinya berusia 6 dan 8 tahun. Wajah wanita itu sedikit kusam. Dita tersenyum.“Ibu tinggal masuk saja ke dalam, lalu tepat di depan pintu akan ada meja resepsionis. Atau tunggu sebentar.” Dita menghampiri satpam yang berjaga di depan pintu. “Mas…tolong antarkan ibu ini ke meja resepsionis ya.”Seorang satpam yang usianya masih muda hanya menatap Dita. Tidak mengindahkan permintaan itu sama-sekali. Untungnya ada satpam lain yang usianya sudah lanjut, segera menghampiri Dita dengan tersenyum. “Oh iya mbak Dita.”“Makasih ya sus.” Dita mengangguk dan segera menuju ke kantin. Perutnya sudah kelaparan sejak tadi, dan dia harus segera mengisinya sebelum kembali bekerja lagi. Perasaan Dita hancur, tadi pagi ibu mertuanya datang dan kembali mencerca dirinya.Itu adalah pagi yang lebih buruk. Terle
Maaf. Sepertinya saya tidak bisa nanti malam.Charlie menghela nafas. Dia tengah duduk sendirian di restoran, sambil membaca pesan dari Dita. Makanan di depannya belum disentuh sama-sekali. Hari ini adalah ulang tahunnya, Charlie berharap bisa menghabiskan malam ini bersama dengan seseorang untuk kali ini saja.Tapi…sepertinya keinginannya tidak akan pernah terjadi.Harapannya selalu pupus, dan mungkin Charlie tidak beruntung kali ini. Gambar makanan di atas meja baru saja terkirim pada Dita. Lalu dia meletakkan ponselnya di atas meja. Menatap kosong bangku di depannya.Beberapa pelayanan menatap iba Charlie.“Permisi Mr.Charlie.”“Ah iya? Ada apa ya?” tatapan Charlie jatuh pada seorang pelayan yang berdiri di sebelahnya.“Selamat ulang tahun, ini ada kue ulang tahun dari pemilik restoran. Anda selalu menghabiskan malam hari di saat ulang tahun Anda di sini. Beliau menyampaikan bahwa anda orang yang hebat.”“Benarkah? Terima kasih atas hadiahnya.”Potongan kue itu dan tulisan kecil di
Firdaus melemparkan tubuh Dita ke kasur. Melucuti pakaian wanita itu dengan paksa. Menatap pakaian dalam berenda itu membuat menahan nafas. Dia memang tidur dengan Lady, namun perasaannya tidak pernah berdebar saat berhubungan dengan sang istri. Pikiran itu segera dia enyahkan saat menatap Dita yang menolaknya.Dia menarik wanita itu, menindihnya dan memberikan ciuman kasar.Nafas mereka saling terengah-engah. Firdaus masih dalam pakaian lengkap. Tangannya memasuki celah pusat Dita, memasukkan 3 jarinya sekaligus. Menikmati desahan Dita yang terdengar seksi di telinganya.“Kau sudah basah?”Senyuman mengejek itu membuat Dita merasa dilecehkan saat ini. Dia tidak bisa menolak, Firdaus mengunci kedua tangannya di atas. Nafas Dita tertahan saat jemari Firdaus memasuki miliknya. Tubuhnya memanas, dan perasaan itu muncul lagi.Remasan di buah dadanya membuat Dita terkejut. Firdaus benar-benar menyiksanya malam ini.“Katakan…kau menginginkanku malam ini.”“Mas…jangan seperti ini, please.”“
Dita menatap pergelangan tangannya yang masih memar. Dan juga lututnya yang masih terasa kebas karena terjatuh tadi pagi. “Tanganmu kenapa?”Segera Dita menyembunyikan tangannya yang sedikit memar. Sudah malam, dan dia ada shift malam lagi. Ini sangat mendadak, tapi tidak apa karena setidaknya Dita bisa punya alasan untuk tidak pulang ke rumah. Rasanya masih menyedihkan. Shiftnya memang akan berakhir beberapa menit lagi. “Sudah makan?” Charlie kembali bertanya, tidak kenal lelah. Dia duduk di sebelah Dita yang kelihatan tidak nyaman. “Atau kau menungguku untuk makan malam lagi?”“Charlie. Tolong menjauhlah, saya mohon.”Kening Charlie mengerut. Perasaan dia juga menjaga jarak. Justru terasa aneh jika dia tidak mengajak Dita bicara di saat semalam mereka dinner bersama.“Tanganmu kenapa, jawab pertanyaan saya dulu.”Wajah Dita semakin pucat, dan seolah menghindari seseorang. Tatapan Charlie tertuju pada sekeliling, dan lobby sedang sepi. Hanya ada mereka berdua, tadi Ratna masih ada
“Kemana kau membawaku?”“Ahhh…kau sudah bangun rupanya. Tenang saja, kita tidak akan jauh kok.”Meski sedikit janggal, Dita mengikuti kemana Charlie membawa pergi mobilnya. Dita tidak tahu apakah menyetujui ajakan Charlie untuk pulang bersama adalah hal yang terbaik. Namun tadi pagi, dia benar-benar melihat dokter Lady sedang memeluk suaminya.Hatinya amat sakit. Dan sekarang Dita tidak tahu harus melakukan apa. Dia kecewa. Sedih—tentu saja. Siapa wanita di dunia ini tidak akan sedih jika suaminya dipeluk sembarang wanita lain? Harusnya suaminya tahu bahwa ada hati yang harus dijaga.Dan hingga menjelang sore, dan shift nya selesai. Firdaus juga tidak menghubunginya sama-sekali. Itu menyakitkan. Terlebih saat mereka berdua bak orang asing yang tidak punya hubungan apapun.1 jam di perjalanan, dan Dita terdiam begitu melihat sebuah pemandangan indah. Mereka berdua turun. Charlie menarik tangan Dita sejenak ke arah penjual jajanan kaki lima.Charlie POV“Kau mau jagung bakar?”“Ya, ba
Dita POVPagi ini aku bangun lebih awal daripada biasanya. Mempersiapkan sarapan dengan perasaan riang karena Firdaus untuk kali ini pulang ke rumah. Dia juga tidur di sebelahku malam ini. Setidaknya sebagai seorang istri aku senang dengan perubahan sikapnya itu. Mendengar suara pintu dibuka, aku tersenyum menatap Firdaus yang bangun dengan wajah bantalnya. Tapi begitu menatapku, dia lekas melongos pergi. Tidak apa. Mungkin karena masih pagi, dan aku belum sempat mandi.Selesai. Meja makan sudah di isi oleh sarapan buatanku. Dan Firdaus sudah selesai mandi.“Mas…sarapan dulu baru berangkat.”Tidak ada jawaban. Suamiku itu masih sibuk dengan dirinya sendiri, menata penampilannya. Sakit hati? Iya. Tapi aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Apalagi jika ada mertua dan adik iparku. Tidak lama, Firdaus bergabung denganku di meja makan.Ekspresi wajahnya datar. Kami makan dalam diam. Sebenarnya ada yang ingin aku katakan padanya. Tapi pasti itu akan merusak suasana hatinya. Biarl
“Apa…apa yang kau…”“Dita…! Hey….sadarlah.”Suara itu, perlahan mata Dita terbuka dengan cepat. Melihat Charlie yang masih lengkap dengan pakain dan kening mengerutnya. Dita berubah panik dan melihat isi pakaiannya yang masih lengkap. “Apa yang terjadi, kau berteriak memanggil namaku tadi. Aku kira terjadi sesuatu makanya aku menerobos masuk!”Wajah Dita memerah, dia benar-benar tidak mengerti mimpi sialan apa yang masuk di kepalanya. “Tidak ada, maaf, sepertinya aku hanya kelelahan saja. Kau bisa keluar, Charlie.”“Lain kali tutup pintumu dengan baik, Dita. Kau tidak tau apa yang akan aku lakukan kan?”“Memangnya apa yang akan kau lakukan hah?” Teriak Dita panik. Buru-buru Charlie keluar sambil terkekeh. Membuat Dita malu bukan main dan kembali merebahkan tubuhnya. Dia benar-benar merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, persis seperti apa yang Charlie katakan. Namun, tidak bagian itu juga kan? Benar-benar membuatnya merasa malu. ******“Kemana kau membawaku?”“Ahhh…kau sudah bangun
Dita menghela nafas panjang, hari ini dia pulang lebih awal dan kembali istirahat di rumah Charlie. Setelah meminjamkannya ruang tidur, lelaki itu pergi entah kemana. Mata Dita mulai lelap, terasa seperti lelah sekali hari ini. Dia ingin tidur yang benar-benar lelap. ***Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sedang berada di dalam kereta api, menikmati pemandangan gedung-gedung indah dari balik kaca. Langit sore dan lintasan laut ditambah dengan matahari yang kembali ke peraduannya membuatku ingin berhenti sejenak.Aku ingin melihat kampungku dulu, tempat dimana aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak punya ibu membuatku tidak tahu bagaimana harus mengadu. Tidak punya ayah membuatku tidak tahu bahwa dunia itu sangat kejam.Charlie awalnya ingin ikut. Namun ada urusan mendadak sehingga aku berangkat sendiri walau dia tetap memaksa agar aku ditemani. Namun kali ini aku benar-benar ingin sendiri.Lembaran baru sudah dimulai, tapi aku ingin melihat dengan seksama. Siapakah Dita yang sekarang
Dengan marah dan tergesa-gasa Firdaus memasuki sebuah ruangan gelap dengan tangan kanannya menarik Dita. Sungguh! Dia begitu marah dan tidak bisa menahan diri terhadap apa yang sudah dilakukan istrinya. “Menurutmu, apa yang sudah kau perbuat hah? Apa maumu, katakan Dita!” “Mauku? Tidak ada, emangnya apa yang membuatmu sampai semarah ini?”Mata Firdaus memerah, dipenuhi dengan kemarahan. Dadanya naik turun sambil menghela nafas yang panjang. “Aku tau sekarang kau sedang balas dendam kepadaku, tapi apa kau pikir bisa menang melawanku? Tidak Dita! Tidak sama-sekali. Pikirmu dengan mengungkap semuanya bisa membuatmu hidup dengan bahagia dan membuatku menyesal? Tentu tidak! Seharusnya aku mendengar kata ibuku dulu untuk tidak menikahi wanita licik sepertimu. Tidak ada bedanya dengan manusia sampah!”“Benarkah? Itu membuatku sangat takut. Tapi…”Firdaus mengerutkan kening dan bulu kuduknya berdiri saat mendengar perkataan yang seolah ejekan itu. Dia…dia tidak pernah melihat bagaimana Dit
Nafas Dita terengah-engah begitu cengkraman di lehernya lepas. Tepat sebelum tamparan Firdaus mendarat di pipinya, pintu terbuka dengan lebar. Mata Dita menangkap sosok yang baru saja menyelamatkan hidupnya. “Charlie?” bisik Dita, dia tidak tau kenapa laki-laki yang baru saja mengantarkannya pulang itu, kini berada di hadapannya. Namun ponselnya yang ada bersama dengan lelaki itu cukup menjawab semuanya. “Ponselmu tertinggal di mobilku tadi, ceroboh sekali.” Perlahan melangkah mendekatinya, Dita terdiam cukup lama sampai tubuhnya di bawah jauh dari Firdaus. Dia merasa perselisihan di antara keduanya. “Siapa kau berhak masuk ke rumahku hah?” Bentak Firdaus. “Bukankah ini apartemenmu, Dita?” Dita mengangguk, itu memang apartemennya, dan semua gaji bulanannya yang tidak seberapa dia dedikasikan semua untuk apartemen dan semua perabotannya. Termasuk untuk biaya sekolah Firdaus juga. Dia memang bodoh, bahkan untuk dirinya sendiri, dia tidak memikirkannya. Selama ini Dita hidup dengan
“Kau melihat itu? Wah, aku sungguh tidak percaya dengannya, hanya selang sehari tidak masuk namun sudah bertindak sejauh ini. Atau karena kepalanya kena benturan sehingga dia kehilangan rasa hormatnya?”Firdaus masih mendengar ucapan buruk itu sejak tadi, biasanya dia akan menghiraukan mereka, namun untuk kali ini telinganya sedikit memanas mendengar nama dokter Charlie ikut disebutkan. Bahkan terang-terangan dikatakan jika dokter itu menyukai Dita. “Ah, kamu disini juga, Dokter Firdaus?”Firdaus hanya mengangguk, lalu kembali memeriksa rekam medis pasien yang baru saja selesai dia operasi. Pikirannya cukup terganggu dengan sikap Dita hari ini dan dia ingin menanyakannya sepulang ke rumah. Pintunya ditutup, tatapan Firdaus jatuh pada Lady yang berjalan ke arahnya dengan sensual. Dia tahu wanita itu tidak akan pernah menyerah. Mereka pernah melakukannya beberapa kali, namun untuk kali ini Firdaus tidak ingin. Satu hal yang ingin dia lakukan adalah pulang secepatnya. “Kau sudah berj
Mata Dita melebar, tidak menatap lelaki dengan tinggi 10 centi meter lebih tinggi darinya. Mereka berdiam di balik pintu, sambil mendengar percakapan Firdaus dan Lady yang penuh dengan hasrat. Begitu tangan lelaki itu dilepas dari mulutnya, Dita mundur beberapa langkah dan menendangnya. “Kau gila?”“Hey, aku justru membantumu. Kenapa menguping pembicaraan orang lain? Tindakanmu jelas kriminal, kau juga tau siapa Lady kan? Dia itu putri pak wadir, bisa jadi kau akan dikeluarkan jika ketahuan.”“Kenapa? Aku juga berhak tau apa yang mereka lakukan.”“Berhak? Ayolah suster Dita?” Lelaki itu berhenti sejenak untuk menatap name tag Dita, dan mengelus kakinya yang terasa sakit, “wahh, tendanganmu lumayan juga.”“Aku istri dokter Firdaus, dan apa kau dokter baru?”Anggukan itu membuat Dita diam, kepalanya sedikit pusing. Dia diam melihat punggung lelaki berjas putih itu. Rasanya familiar, aromanya menenangkan, namun dia tidak tahu kapan mereka pernah bertemu. “Setahuku dokter Firdaus masih
Mobil berjalan dengan keheningan yang menyelimuti didalam. Baik Charlie dan Dita, tidak satupun yang mengeluarkan suara. Persis dibelakang dan didepan, mobil mereka dikawal bak rombongan. Charlie melirik sekilas, mengamati wajah Dita, menggenggam tangan wanita itu dan mengelusnya dengan jari jempolnya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja setelah kejadian yang mereka lewati. Tapi beberapa saat Charlie yang sedang fokus mengemudi menarik nafas dalam. Dia selalu khawatir akan nasib mereka. Kehidupan yang dia ingin bina, bisa saja hancur dalam sekejab. Terlebih, dia bukan orang sembarangan. Banyak musuh yang ingin nyawanya. Mungkin Charlie bisa mengatakan bahwa Dita akan selalu aman dalam pengawasannya, dan itu adalah ucapan terbodoh yang pernah dia lakukan. Ucapan untuk menenangkan jiwanya yang sangat ketakutan. “Terlihat murung, ada yang ingin dibicarakan?” tanya Charlie dikeheningan mobil. Tatapannya tertuju pada Dita yang masih diam dengan raut alis yang bertaut, namun peg
Charlie berlari sekencang mungkin menuju ruangan dimana kesadarannya dibuat hampir melayang. Pintu terbuka lebar, langkahnya berhenti di ambang pintu. Bahkan kumisnya masih tersisa setengah karena mendengar kabar bahwa Dita sudah sadar. Air mata Charlie jatuh, dia berjalan perlahan. Jantungnya berdetak kencang, menatap Dita yang kini tengah duduk di ranjang namun tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah menatapnya dengan tatapan bingung dan kosong. Mengabaikan semua orang diruangan itu, Charlie memeluk tubuh rapuh itu. “Dita…sayang, akhirnya kamu sadar.”Dita mengerutkan keningnya, menatap Charlie bingung, bahkan tidak bereaksi apapun saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dengan genangan air mata. Namun rasanya nyaman, tapi Dita tidak mengingat apapun. Para dokter yang berjejer di ruangan itu menundukkan kepala, mereka belum memberitahu bahwa Dita mengalami lumpuh otak sementara yang mengakibatkan ingatannya sedikit menghilang. Sedangkan Charlie? Dia masih memeluk Dita dengan erat, m
Dita POV“Sekalipun ini mimpi, aku tetap akan bersyukur telah memilikimu. Kini, besok, seribu tahun yang akan datang, aku akan tetap berada disampingmu. Aku akan menjagamu.”“Kamu berjanji?”“Tentu saja.”“Aku akan selalu ada disampingmu! Jadi, pulanglah. Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Suara itu. Aku sudah berkali-kali mencari siapa yang berbicara. Namun tidak ada orang sama-sekali. Setiap hari aku menjalani kehidupan yang tidak ada habisnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Tubuhku seolah tidak ingin pergi dari kenangan itu. “Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Lagi. Suara serak dan penuh dengan harapan itu membuatku berlari asal, suara itu terus menghantuiku. Nafasku kian sedikit, setiap hari berlari tiada henti. “Tolong, siapapun apakah ada yang mendengarku?”Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang mendengar. Aku menarik nafas dalam, memilih untuk duduk. Namun tidak lama cahaya putih menyilaukan mata membuatku menutup