“Memang kau sudah tahu dimana ruangan rawat inapnya?”“Sudah, Gamma, tadi pagi ibu memberitahuku. Mandevila nomor 26, lantai empat.”Gamma dan Serra telah tiba di rumah sakit. Dengan langkah mantap, sepasang suami istri itu berjalan beriringan menyusuri lorong-lorong beraroma antiseptic ini. Setelah beberapa saat menaiki lift menuju lantai empat. Kabarnya Romana sudah pulang, wanita paruh baya itu hanya menegok sebentar selanjutnya pergi menuntaskan agendanya pada hari ini.Sebenarnya dalam hati Gamma tidak sepenuhnya merasa lega. masih ada sisa-sisa kemarahan tempo hari. Wajar ia hanya manusia biasa, memaafkan mungkin bisa, tapi melupakan itu butuh banyak perjuangan. Lalu merelakan, itu juga butuh beribu keikhlasan. Ia sendiri juga yakin bahwa Serra juga merasakan hal yang sama. Hanya saja mereka harus tetap melakukan, karena tak ingin membuat perpanjangan konflik di masa depan. Mereka hanya ingin Sagara—putra mereka yang belum lahir ke dunia— kedepannya akan hidup bahagia.Setelah m
Gamma menghentikan ayunan kakinya tatakala melihat sesosok pria sedang duduk di sudut taman yang sepi. Adam sahabat lama yang sejak setahun lalu memiliki jarak yang begitu panjang dengannya. Bisa ia lihat dengan jelas bagaimana lelaki berkemeja kusut itu mengacak-acak rambutnya sendiri. Kepalanya tertunduk dan bibirnya meraung tanpa suara mencerminkan kepedihan yang ia rasakan di dalam hatinya. Sebetulnya, Gamma tidak ingin ikut campur dengan masalah yang sedang dihadapi oleh Adam. Namun, mendengar semua emosi yang diluapkan beberapa saat yang lalu, hatinya cukup tersentuh. Apalagi saat Adam mengatakan bahwa sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan dirinya. Hubungan persahabatan yang pernah berantakan karena Rossa. Ya, itu kalimat yang pertama kali ia dengar saat tiba di depan ruangan. Jika benar begitu, apakah Gamma selama ini salah menilainya? Atau karena Adam berusaha memperbaiki hubungan hanya untuk mendapatkan uang saja? Entah, tetapi jika memang memiliki niat buruk terhadapn
Serra telah memanggil seorang perawat untuk menenangkan Rossa. Sedang wanita itu sudah lebih tenang dari sebelumnya. Tangis yang semula histeris sudah mereda. Tidak ada lagi jeritan-jeritan yang terdengar di indera pendengaran. Meski demikian Serra belum berani mengajak Rossa bicara. Memilih menunggu di luar, memberi waktu sejenak dengan wembiarkan wanita itu menenangkan hatinya sendiri.Setelah di rasa cukup dan merasa waktunya tepat, Serra memberanikan diri untuk memasuki ruangan rawat inap bernuansa biru. Diketuknya pintu yang terbuka itu beberapa kali sebagai symbol sapaan permisi. Namun, sang penghuni tak memberikan sepatah diksi, hanya diam menatap jendela kaca yang lebar membentang dengan tatapan tanpa emosi.Karena tak kunjung mendapat jawaban, Serra melangkah dengan perlahan, menghampiri Rossa yang terbaring di atas brankar. Jejak-jejak air itu masih tersisa bahkan deras menggelangsar. Bola matanya basah dengan kabut tipis yang samar. Sebagai sesama perempuan ia paham betul b
Haruskah? Itu pertanyaan yang terlintas di kepala Rossa. Tetapi tidak berani ia ungkapkan. Satu lagi rasa penasaran yang belum terjawab. Mengapa setelah sekian lama, setelah pertengkaran mereka yang begitu panjang, Gamma menanyakan hal aneh seperti ini? Dan mengapa baru sekarang? Mengapa tidak sejak dulu? “Gam—” “Sudah kubilang, aku akan percaya, asal kau berkata yang sebenarnya,” potong lelaki itu sebelum Rossa memberikan argument kembali. “Aku butuh pengakuanmu. Kenapa mengkhianatiku?” “Aku tidak mengkhianatimu!” bantah wanita itu. “Berhenti menuduhku berkhianat! “Lalu?” “Sejak awal kau lah yang tidak menginginkan kehadiranku,” jawab wanita itu dengan nada lemah. Sebulir air telah mengalir, terjun bebas tanpa perintah. Ada sesak yang menghantam dada kala wanita itu mengingat kisah cintanya dengan Gamma yang berantakan. Kedua tangannya meremas selimut yang menutupi Sebagian tubuhnya. “Gamma, aku benci mengingat ini! Tapi pernahkah kau bertanya dengan dirimu sendiri, kenapa aku t
“Hal apa yang sedang berkutat di kepala cantikmu itu?” Demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh Gamma ketika mendapati istrinya sedang melamun—sembari duduk pada ayunan di pinggir kolam renang. Buku ajar bertopik parenting yang ada dipangkuannya hanya dibiarkan terbuka tanpa dibaca. Tangannya bertopang dagu dan dua manik gelap itu hanya mengarah air kolam yang bergerak-gerak terguncang angin. Sejak kembali dari rumah sakit, wanita itu lebih banyak diam daripada biasanya. Perasaan Gamma mengatakan demikian. Faktanya juga begitu. Saat meeting berlangsung ia sesekali mencuri pandang, mengamati istrinya. Ya, mereka duduk tak berjauhan, hanya berjarak beberapa meter dan terpisah dengan pintu kaca. Gamma di dalam ruangan dan Serra berada di luar membuat lelaki itu bebas memantau istrinya. Sedangkan Serra, setelah tersadar menoleh ke arah sumber suara. Gamma sedang berdiri tepat di hadapannya membawa segelas susu lengkap dengan beberapa cubes es batu yang terapung di permukaan. Pria itu s
“Aku juga tidak tahu, Sayang. Tadi saat aku mau keluar ruangan, Rossa hanya meminta jangan ditemukan denganmu dulu.” Jawaban jujur Gamma membuat istrinya kembali memajukan bibir. Wanita itu membuang napas, kemudian mengurai dekapan sang suami. “Lalu kau iya kan permintaan itu saja? Kenapa tidak membujuk untuk berdamai denganku?” Tangannya lalu bergeser, meraih segelas susu yang masih dingin dan meneguknya dengan pelan. Berharap suhu rendah yang masuk dalam tubuhnya itu mampu mendinginkan perasaannya yang mulai membara. Hati wanita mana yang tidak panas usai melihat suaminya berpelukan dengan sang mantan? Sudah berulang kali ia mencoba berpikir positif, tetapi kenyataannya tetap demikian. kendati ia tak tahu apa yang sebelumnya mereka bicarakan, tetapi hal itu tetap membuat hatinya terbakar api cemburu. Terlebih, Serra tidak diijinkan menemui Rossa dengan dalih harus segera beristirahat. Dan wanita itu sendiri mengatakan tidak ingin bertemu dengannya untuk sementara waktu. Sementara
Rencana Gamma dan Serra pada akhirnya terealisasi. Mereka memberikan sebuah pekerjaan yang sempat mereka bahas kepada Adam. Pria yang kini berstatus sebagai calon mantan suami Rossa itu mengandalkan Samasara untuk mencari penghasilan. Sudah dua minggu lamanya lelaki itu bekerja di Samsara membantu beberapa pekerjaan Serra dan mengambil alih penanganan keuangan di café tersebut. Serra sendiri juga tidak keberatan. Malah wanita itu bersyukur sebab baru dua minggu Adam sudah bisa diandalkan, ia tak perlu khawatir jika akan lebih jarang berkunjung ke cafenya itu. Ya, kandungannya sudah mulai membesar dan tentunya memberat. Beraktivitas sedikit saja badannya sudah mulai pegal-pegal. Belum lagi mual yang akhir-akhir ini datang membuatnya harus banyak-banyak istirahat.Begitupula dengan Gamma yang tidak meragukan sahabatnya itu. Keterampilan Adam memang patut diacungi jempol dan tentunya saat ini sedang dibutuhkan oleh Samsara.Kini, Gamma, Serra, Adam dan juga beberapa staff manajemen lai
Meeting yang sedang berlangsung akhirnya dibubarkan. Staff yang tadi berkumpul telah meninggalkan ruangan menuju tempat kerja masing-masing—atau barangkali malah menuju tempat yang sedang ramai dan gaduh itu, sekadar mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.Sementara Adam dilanda kebingungan.Pria itu sedang dilema antara rasa tak acuh dan juga malu. Ingin tidak menghiraukan apa yang dilakukan wanita itu saat ini, tetapi ia malu kepada Gamma dan Serra, sebab Rossa lagi-lagi membuat keributan di tempat mereka. Reputasi Samsara juga dipertaruhkan dalam tangannya. Akan tetapi jika ia tak mengabaikan rasa malu, hatinya sendiri tak lagi peduli dengan nasib wanita itu. Terserah, mau mati juga silakan! Mau bersama lelaki lain pun ia tak akan keberatan!Jadi yang mana yang harus ia pilih?Dua minggu sudah pasangan itu berpisah ranjang. Mencoba hidup sendiri-sendiri di atap masing-masing. Rossa di rumah ibunya dan Adam di apartemennya. Meskipun begitu, bukan rasa kehilangan yang tumbu
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika