"Ahh.... Ayo, Sayang. Ya .... Seperti itu masukkan lidahmu."Langkah kaki Gamma yang terburu-buru mendadak terhenti. Baru saja ingin meraih gagang pintu kamar yang tak terkunci rapat, tangannya hanya berakhir menggantung di udara ketika suara aneh samar-samar terdengar di telinga.Meski frekuensinya lemah, namun berhasil membuat tubuh lelaki itu menegang.Gamma bukan lagi pria polos yang tak tahu bunyi erotis yang membara dan bergairah. Dia dengan jelas menyadari bahwa itu adalah desahan pasangan yang sedang bercinta. Hari ini adalah hari Sabtu, bukan jadwalnya untuk berkunjung. Namun ada pertemuan mendadak yang harus dihadiri dan Gamma harus mengambil berkas pertemuan tersebut di tempat ini. Sejak awal, sudah dipastikan bahwa dirinya tak salah kamr. Ini adalah kamar yang ia tuju. Ketika ia datang, pintu apartemen memang terbuka, dan seluruh isi ruangan masih sama seperti sebelumnya, tanpa ada yang berubah sedikitpun. Seharusnya kamar ini kosong karena pemiliknya sedang berada di lu
Dering suara ponsel memaksa Gamma membuka kelopak mata. Kedua alis spontan menyatu ketika rasa pening menyerang kepala dan lampu terang itu membuat indra penglihatannya harus beradaptasi dengan cahaya. Gamma mengerang. Ia terduduk sembari memegang dahinya. Rasa mual telah membawa sebagian isi perutnya berada diujung kerongkongan. Apa yang terjadi semalam ia tak mengingatnya dengan baik, hanya ingatan samar sebuah runtutan kejadian yang membawanya ke hotel ini. Ah, ya, ia telah dikhianati kekasihnya. Lalu apalagi ini? Bau alkohol yang sangat pekat, baju berserakan di mana-mana, bantal dan guling bahkan terlempar dari tempat seharusnya. Lalu botol-botol minuman yang jumlahnya lebih dari tiga itu juga tergeletak begitu saja di lantai. Kamar hotel ini bagaikan kapal pecah. Kacau.Gamma lalu menyingkap selimut yang ia gunakan, and than, Damn! Dia tak mengenakan sehelai benang pun. Perlahan-lahan, ingatan Gamma mulai muncul walau masih berupa potongan puzzle. Semalam ia menghabiskan malam
Tepat setelah agenda negosiasi dengan klien selesai, Gamma meminta Wiliam bertemu dengannya di ruang rapat. Ada beberapa hal penting yang harus dia diskusikan bersamanya. Tentang rencananya pada pesta nanti malam dan juga tentang Sera.Pikiran pria itu kini berkecamuk pada banyak hal. Sungguh ia tak bisa tenang sebelum memastikan bahwa perempuan itu tidak mengandung anaknya. Ia bahkan seperti remaja ABG yang sering berpikir berlebihan. Tidak bisa ia pungkiri kata-kata madam Lily tadi pagi benar-benar mengganggu pikirannya. Bagaimana jika benar perempuan itu hamil? Niatnya hanya ingin mencari pelampiasan, namun malah menimbulkan malapetaka!"Ada apa?" tanya Wiliam setelah ia mendudukan diri di depan Gamma. Namun, Gamma masih saja terbuai dalam lamunannya. Lantas Wiliam mengibaskan tangannya. "Gamma?" Gamma pun tersadar. Kemudian, ia mengambil sebuah flashdisk berwarna putih dari kantong jasnya dan menyerahkannya pada William."Nanti malam ada pesta makan malam bersama keluarga Rosa,
Dua minggu kemudian. Di tempat lain.Seorang perempuan sedang terduduk lemas, bibirnya pucat dan terkatup rapat menahan rasa mual masih mendominasi. Pagi ini sudah terhitung empat kali ia mengunjungi kamar mandi, menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sera, merasa aneh dengan tubuhnya beberapa hari terakhir. Terlebih, selepas malam yang suram itu.Oh, tidak! Itu malam yang menjijikan baginya! Tangan Sera kini meremas-remas pakaian yang ia gunakan. Berulang kali dirinya menggigit bibirnya sendiri sembari memijit kepalanya yang terasa pening. Apa benar dugaannya, jika ada sesuatu yang tumbuh dalam tubuhnya? Ia gelisah, sungguh. Sudah dua minggu perempuan itu menantikan periode haid yang seharusnya datang satu minggu yang lalu, tetapi sampai hari ini ia tak kunjung mendapatkannya. "Aku harus bagaimana?" desahnya frustasi.Daya kerja otaknya untuk berpikir tiba-tiba menurun. Seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa saat ia termenung, mengambil napas p
Pria bernama William itu menarik sudut bibirnya kembali. Berbeda dengan Gamma yang memasang muka datar dan bersedekap mengamati pembicaraan antara William dengan Sera. Lelaki itu memilih untuk sibuk dengan pikirannya sendiri."Kami menawarkan jalur alternatif agar masalah ini tidak berbuntut panjang dan merugikan kedua belah pihak," ujar William lalu menyerahkan bendelan kertas yang ia pegang kepada Sera, dan perempuan itu menerimanya.Sejenak, Sera kembali menatap kedua pria di depannya dengan seksama."Kami akan memberikan kompensasi yang setimpal, asalkan Anda tidak melaporkan Tuan Gamma kepada pihak yang berwajib dan membawa perkara ini ke jalur hukum," jelas William lagi.Sera gegas mencermati kata perkata dalam barisan kalimat itu dengan seksama. Dahinya terus berkerut dari awal kalimat hingga akhir paragraf. Dalam perjanjian itu, tertulis Sera sebagai pihak terkait yang bersedia untuk tidak menggugat Gamma, dan mereka akan memberikan kompensasi uang senilai 800 juta.Bagaimana
Gamma berdiri di depan sebuah kamar VIP rumah sakit dengan gelisah. Kedua tangannya masih berada pada saku celananya. Meski raut wajahnya masih tampak tenang dan datar, tak bisa dipungkiri saat ini Gamma sedang memikirkan banyak hal.Sedangkan Sera masih tergeletak lemas di atas brankar rumah sakit dalam ruangan itu. Perempuan itu harus menjalani rawat inap selama beberapa hari sampai kondisinya pulih dan stabil. Mau tidak mau Gamma harus menyetujui usulan dokter agar Sera beristirahat total. Lebih parahnya lagi sekarang ia sedang bersandiwara menjadi suami Serra. Dokter sudah memanggilnya beberapa saat yang lalu dan memberitahunya kabar yang seharusnya membuatnya bahagia— jika saja ia sudah menikah. Tetapi kali ini tidak. Kabar itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.Gamma tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua ketakutannya selama dua minggu ini benar-benar terjadi. Malam yang kalap itu menghadirkan sebuah janin yang kini berusia dua minggu dalam perut Sera.Anaknya. Darah da
Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar, tetapi tidak mampu membuat Gamma tersadar dari lamunannya yang entah sedang berada di mana. Pria itu duduk di bibir ranjang, menatap kosong pada jendela kamar yang sedang terbuka lebar.Seperginya Gamma dari rumah sakit tadi, entah mengapa sekarang ia merasa tidak tenang. Ada banyak hal yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Apa perempuan itu baik-baik saja? Batinnya bertanya-tanya. Namun, logikanya berusaha menyadarkannya. Kenapa juga dia harus peduli dengan Sera? Ah, perempuan itu semakin membuatnya pusing. Ditambah lagi, ia telah meloloskan kata-kata yang tidak ingin ia lakukan.Mungkin, kalimat yang tepat untuk Gamma saat ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua minggu lalu pernikahannya dengan Rosa batal, dan minggu depan, ia harus menikahi perempuan yang tidak ia inginkan hadir dalam hidupnya.Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka. William telah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu hanya bisa menggeleng ket
Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika