Pria bernama William itu menarik sudut bibirnya kembali. Berbeda dengan Gamma yang memasang muka datar dan bersedekap mengamati pembicaraan antara William dengan Sera. Lelaki itu memilih untuk sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Kami menawarkan jalur alternatif agar masalah ini tidak berbuntut panjang dan merugikan kedua belah pihak," ujar William lalu menyerahkan bendelan kertas yang ia pegang kepada Sera, dan perempuan itu menerimanya.
Sejenak, Sera kembali menatap kedua pria di depannya dengan seksama.
"Kami akan memberikan kompensasi yang setimpal, asalkan Anda tidak melaporkan Tuan Gamma kepada pihak yang berwajib dan membawa perkara ini ke jalur hukum," jelas William lagi.
Sera gegas mencermati kata perkata dalam barisan kalimat itu dengan seksama. Dahinya terus berkerut dari awal kalimat hingga akhir paragraf. Dalam perjanjian itu, tertulis Sera sebagai pihak terkait yang bersedia untuk tidak menggugat Gamma, dan mereka akan memberikan kompensasi uang senilai 800 juta.
Bagaimana bisa kedua pria itu berpikir seperti ini? Dasar laki-laki pengecut! Mau berbuat, tapi enggan bertanggung jawab! Kedua tangan perempuan itu mencengkeram bendelan kertas itu dengan kuat. Menahan emosi yang sejak tadi mengganggu suasana hatinya.
Bahkan, bisa Gamma lihat dengan jelas Sera membuka matanya lebar-lebar. Perempuan itu lantas menggeleng dengan cepat dan menatap ke arahnya dan William.
"Apa-apaan ini?!" murkanya seraya melemparkan kembali bendelan kertas itu di meja. Hal itu membuat William sedikit terlonjak kaget, bahkan Gamma sampai menegakkan tubuhnya.
“Apa maksud Nona Sera kompensasi tersebut masih kurang? Coba dipertimbangkan kembali, saya rasa uang 800 juta sudah lebih dari cukup membayar apartemen dan biaya hidup Anda selama beberapa waktu ke depan,”ujar William mencoba bernegosiasi.
Sementara Sera, dia justru menghela napas kasar. Dadanya sudah bergemuruh penuh dengan amarah, juga menahan rasa mual yang sejak tadi menyerang. Bukan masalah jumlah uang yang kurang, bahkan Sera tidak berharap Gamma membayarnya sepeser pun. Yang sera harapkan adalah pertanggung jawaban dari Gamma sebagai seseorang yang telah melakukan kesalahan.
Mereka pikir uang bisa menyelesaikan segalanya? Lalu jika mereka mengetahui janin dalam perutnya, mereka juga bisa menyelesaikannya dengan uang begitu saja?
Memang tidak punya perasaan."Kalian pikir harga diri seseorang bisa diganti dengan uang senilai 800 juta?" desis Sera. Perempuan itu kini bangkit berdiri dengan mata yang nyalang.
Mendengar jawaban Sera, kedua pria itu saling melempar tatapan. Namun, kini giliran Gamma yang angkat bicara. "Ya, Kurasa uangku bahkan terlalu banyak untuk membeli harga dirimu!"
“Jaga bicaramu! Harga diriku tak bisa kau nilai dengan uang itu!”
Oh, ayolah! Rasanya ia ingin menampar pria itu kencang-kencang, atau menghantam mulutnya agar tak bicara sesuka hati. Tetapi, saat Serra semakin menatap kedua netra Gamma rasa kesalnya justru berubah dorongan untuk memeluk tubuh kekarnya.
Apakah janin dalam perutnya itu tahu kedatangan sang ayah?
Namun, Sera menahan keinginan tak masuk akal itu.
"Oh, ya? Jika benar harga dirimu tak semurah itu, kau tak akan bekerja di hotel dengan pakaian yang terbuka, hm?" Gamma bangkit berdiri kemudian berjalan perlahan di hadapan Sera yang juga tengah berdiri. "Lalu mengeskpos seluruh bagian tubuhmu ini kepada pengunjung hotel dan para pria hidung belang. Atau jangan-jangan ...." Gamma menggantung kalimatnya, membuat Sera mengernyitkan dahinya, menanti penjelasan.
"Kau tidak ada bedanya dengan wanita penghibur dari Madam Lily?" lanjut Gamma yang kemudian dihadiahi oleh tamparan keras oleh Sera di pipi Kirinya.
"Jaga mulutmu!" Peringat perempuan itu. Jari telunjuknya mengacung keras di depan Gamma. Sementara kedua matanya menatap tajam lelaki yang berdiri menjulang di hadapannya dengan bengis. Pria itu sedikit terkejut, dan sekarang sedang mengusap-usap pipinya yang terasa panas akibat tamparan Sera. Di sisi lain William sempat ternganga dengan tindakan Sera barusan.
"Apa yang harus aku jaga? Jika kau benar-benar gadis baik, kau tentu tidak akan bekerja seperti itu, Nona! "Jawaban Gamma telak membungkam Sera.
Sesaat kemudian, Gamma menerbitkan sabit di bibirnya. Kedua matanya masih mengawasi raut wajah Sera yang kini diam seribu bahasa. "Kau jangan naif, Sera. Aku tahu kau membutuhkan uang membayar semua hutangmu hingga lunas, aku juga memberimu kesempatan untuk bebas dari masalah ini. Aku rasa jalan ini sudah menguntungkan untuk kita berdua."
"Tidak! Aku tetap dirugikan di sini! Aku memang miskin! Tapi, aku tidak seperti kau yang tidak memiliki rasa manusiawi!" ketusnya pada Gamma.
"Dengar—"
"Diam!"
"Listen, Me!"
"Tidak!"
"Aku tidak menawarimu dua kali, Nona Sera!" balas Gamma dengan nada memperingati. Sudah cukup ini semua bertele-tele.
Sera hanya tertawa sumbang. "Kau yang harusnya mendengarku! Dengar ini baik-baik, Tuan Gamma Pranadipta yang terhormat, saya bisa menafkahi hidup saya sendiri! saya tidak butuh penawaran Anda!" hardik perempuan itu setelah menoleh ke arah Gamma.
"Tapi, aku tidak akan bertanggungjawab apapun asal kau tahu. Jadi, Jika setelah ini kau mengeluh hamil dan memintaku bertanggung jawab atas malam itu, kau hanya akan menghancurkan reputasiku dan nama baikmu sendiri!" balas Gamma tak ingin kalah. Pria itu menatap lekat manik mata hitam milik Sera.
"Aku juga tidak akan berlutut dihadapanmu untuk minta pertanggungjawaban!" Suara Serra menggema di seluruh ruangan. Gamma yang mengira Sera adalah perempuan lemah sempat terhenyak karena ternyata wanita itu adalah orang yang keras kepala.
"Aku masih sanggup menghidupi diriku sendiri," tegasnya lagi.
“Hati-hati dengan kalimatmu, Sera. Lebih baik, kau tanda tangani perjanjian itu dan urusan kita selesai. Aku tidak mau berurusan lagi denganmu."
"Aku tidak mau!" Perempuan itu masih teguh dengan pendiriannya. Tidak akan ia menerima sepeser pun. Karena ini, bukan niat baik Gamma. Pria itu hanya ingin masalah ini cepat selesai dan menguntungkannya. Ia tidak peduli dengan keadaan Sera bagaimana. Bahkan, dia tidak ada niatan sama sekali untuk bertanggung jawab secara adil.
"Jangan memperpanjang masalah. Jika menurutmu uang itu kurang, aku akan menambahnya. Satu Miliar, bagaimana?" rayu Gamma yang ingin masalah ini segera selesai. Pria itu mendekat, menatap lekat kedua netra Sera yang hitam legam. Belum sempat Sera menjawab, bau parfum maskulin milik pria itu menusuk indra penciumannya. Memicu isi perut Sera bergejolak kembali, hingga rasa mual itu lagi-lagi mendera. Dengan spontan, Serra menutup mulutnya dan melangkahkan kaki lebar-lebar ke kamar mandi, menumpahkan isi perutnya.
Sementara Gamma dan William yang tadi sempat menurunkan ketegangan, berubah menjadi lebih tegang. Gamma membisu dan William yang tidak bisa mengeluarkan kata sepatah pun.
Lalu entah dorongan dari mana, dengan sendirinya, Gamma memngikuti perempuan bernama Sera itu. Di depan kamar mandi, ia hanya berdiri terpaku. Kepalanya sibuk menerka-nerka ada apa dengan perempuan itu. Beberapa detik kemudian William menyusul.
"Kenapa dia?" tanya William kepada Gamma yang hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh pria itu.
Sesaat kemudian Sera keluar dari kamar mandi. Perempuan itu berjalan sempoyongan. Bisa Gamma lihat Wajahnya benar-benar pucat dan tubuhnya lemas.
"Sera?" panggilan itu keluar dari bibir Gamma, tetapi Sera tidak menjawab. Perempuan itu masih fokus memegangi kepalanya.
Hingga detik berikutnya, Sera jatuh dalam pelukan Gamma.
Perempuan itu pingsan.
Gamma berdiri di depan sebuah kamar VIP rumah sakit dengan gelisah. Kedua tangannya masih berada pada saku celananya. Meski raut wajahnya masih tampak tenang dan datar, tak bisa dipungkiri saat ini Gamma sedang memikirkan banyak hal.Sedangkan Sera masih tergeletak lemas di atas brankar rumah sakit dalam ruangan itu. Perempuan itu harus menjalani rawat inap selama beberapa hari sampai kondisinya pulih dan stabil. Mau tidak mau Gamma harus menyetujui usulan dokter agar Sera beristirahat total. Lebih parahnya lagi sekarang ia sedang bersandiwara menjadi suami Serra. Dokter sudah memanggilnya beberapa saat yang lalu dan memberitahunya kabar yang seharusnya membuatnya bahagia— jika saja ia sudah menikah. Tetapi kali ini tidak. Kabar itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.Gamma tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua ketakutannya selama dua minggu ini benar-benar terjadi. Malam yang kalap itu menghadirkan sebuah janin yang kini berusia dua minggu dalam perut Sera.Anaknya. Darah da
Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar, tetapi tidak mampu membuat Gamma tersadar dari lamunannya yang entah sedang berada di mana. Pria itu duduk di bibir ranjang, menatap kosong pada jendela kamar yang sedang terbuka lebar.Seperginya Gamma dari rumah sakit tadi, entah mengapa sekarang ia merasa tidak tenang. Ada banyak hal yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Apa perempuan itu baik-baik saja? Batinnya bertanya-tanya. Namun, logikanya berusaha menyadarkannya. Kenapa juga dia harus peduli dengan Sera? Ah, perempuan itu semakin membuatnya pusing. Ditambah lagi, ia telah meloloskan kata-kata yang tidak ingin ia lakukan.Mungkin, kalimat yang tepat untuk Gamma saat ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua minggu lalu pernikahannya dengan Rosa batal, dan minggu depan, ia harus menikahi perempuan yang tidak ia inginkan hadir dalam hidupnya.Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka. William telah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu hanya bisa menggeleng ket
Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
Di kantor. Gamma baru saja tiba di ruangannya setelah ia selesai rapat dengan kolega bisnisnya. Program pembangunan sebuah hotel yang berada di pulau Bali menguras Pikirannya hingga berakibat pada kepalanya yang terasa pening tiba-tiba. Padahal, pagi tadi ia sudah sarapan seperti biasa dan sudah makan siang sebelum rapat dimulai tadi. Pun biasanya ia tak ada masalah bila terlambat makan siang. Pria itu memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kini kian menjalar di kepalanya. Di susul dengan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya. Apa ia telah salah makan? Argumen itu tentu tidak mungkin, makanan yang dipesan sekretarisnya selalu dari tempat catering yang sama dan Gamma juga sudah berulang kali makan menu tersebut. Tidak ada masalah selama ini. Namun, siang ini ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Gamma lalu menekan-nekan layar pada ponselnya yang kini telah menyala dalam genggaman. Detik setelahnya ia mendekatkan benda pipih itu di telinganya. Pada dering yang ketiga barula
Aroma kaldu yang menguar di seluruh ruangan membuat lengkungan di bibir Serra terbit dengan sempurna. Ada senandung kecil yang ia nyanyikan setelah mencicipi hasil masakannya sore ini. Hari ini entah mengapa perutnya bisa diajak berkompromi. Bahkan, rasa mual yang beberapa hari belakangan menderanya juga seakan sirna, sekalipun ia mencicipi atau mencium bau amis.Sudah empat jam lebih pula ia berkutat di dapur hanya untuk memasak satu panci kecil sup ayam dan ikan nila goreng. Bukan tanpa alasan ia membuat dua menu itu, sejak kemarin keinginannya untuk menyantap makanan itu sangat besar.Ya, Serra memang sengaja memasak porsi kecil saja, itu pun sudah cukup untuknya dan Gamma—Jika pria itu mau.Besar harapannya agar pria itu mau makan malam di rumah ini. Walaupun sikap Gamma menyakitinya, tapi dalam hati yang paling dalam, ia ingin menjadi istri yang berbakti pada suaminya sendiri.Meskipun hanya sembilan bulan lamanya. Sekalipun Serra hanyalah istri yang terpaksa Gamma nikahi. Setida
Derit pintu yang terbuka terdengar di telinga Gamma. Tetapi pria itu masih setia memejamkan mata dan engggan melihat siapa yang datang. Rasa sakit pada kepala kian menjadi-jadi. Ia terbaring lemah di kasur yang hanya berukuran singgle pada kamar bernuansa putih itu. Gamma terpaksa menghilangkan ego saat ia tidak kuat berjalan lebih lama apalagi menaiki tangga untuk berisitirahat di kamarnya. Ia menurut saja ketika Serra berinisiatif membawa Gamma ke kamar wanita itu. Mau tidak mau ia harus menurut dengan perintah istrinya. Karena nyatanya ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan sakit seperti ini.Serra meletakkan nampan berisi satu piring nasih dan satu mangkuk sup ayam yang ia masak tadi, juga segelas air teh hangat pada . Dengan telaten Serra melepaskan jas, sepatu, dan ikat pinggang yang melekat pada tubuh kekar suaminya. Setelahnya Serra menempelkan punggung tangannya pada dahi Gamma. Suhunya masih tetap sama, Tidak ada perubahan. Kedua mata pria itu mengatup rapat, dahinya berk
Begitu Serra membuka mata, Gamma buru-buru menjatuhkan dirinya tepat di ceruk leher istrinya. Mata laki-laki itu terpejam, Berpura-pura ia tak punya tenaga untuk bangkit berdiri. Sementara Serra yang baru saja terbangun merasa bingung. Mengapa Gamma berada di sini, dan sekarang pria itu sedang berada dalam pelukannya.Samar-samar wanita itu juga teringat mengapa ia tidur di ruang tengah. Serra hanya berniat menonton televisi untuk menunggu rasa kantuknya, tetapi ia malah ketiduran di tempat itu."Gamma? Kau baik-baik saja?" tanya Serra seraya menepuk lengan lelaki itu. Namun, suaminya hanya merespon dengan erangan kecil. Tubuhnya tak bisa bergerak akibat tertindih badan Gamma yang lebih besar dari tubuhnya. "Kau perlu sesuatu?""Air," jawab Gamma sekenanya. "Kalau begitu, lepas dulu, aku tidak bisa bergerak!" Dengan sekuat tenaga, Serra mendorong tubuh suaminya agar bisa memberinya ruang untuk bangkit. Sungguh pada posisi yang seperti sangat tidak mengenakkan hati. Hembusan napas Gam
Keesokan harinya.Suara air mendidih, membuat Serra yang tengah mencuci daun bawang terpaksa beralih untuk mengecilkan api. Aroma santan semakin menyeruak tatkala ia mendekat ke arah panci berisi bubur yang kini meletup-letup. Kemudian Serra meraih sebuah pisau tajam untuk memotong daun bawang yang ia cuci tadi menjadi ukuran yang lebih kecil. Sesekali dirinya kembali sibuk dengan kegiatan mengaduk bubur.Dalam suasana hening yang demikian, tiba-tiba terdengar suara Gamma yang berteriak memanggil namanya. "Iya! Sebentar," jawab wanita itu seraya menuangkan bubur ke dalam mangkuk putih bergambar ayam jago, tak lupa memberinya ayam suwir dan sedikit kaldu. Setelahnya Serra mematikan api sebelum ia membawa bubur itu meninggalkan dapur, menghampiri Gamma yang tadi memanggilnya.Dengan langkah tergesa, Serra berjalan ke arah kamar, tetapi pintu sudah terbuka dan ruangan itu kosong. Tak jauh dari situ ia mendengar bising, Serra mengandalkan indera pendengarannya untuk mencari sumber suara
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika