Tepat setelah agenda negosiasi dengan klien selesai, Gamma meminta Wiliam bertemu dengannya di ruang rapat. Ada beberapa hal penting yang harus dia diskusikan bersamanya. Tentang rencananya pada pesta nanti malam dan juga tentang Sera.
Pikiran pria itu kini berkecamuk pada banyak hal.Sungguh ia tak bisa tenang sebelum memastikan bahwa perempuan itu tidak mengandung anaknya. Ia bahkan seperti remaja ABG yang sering berpikir berlebihan. Tidak bisa ia pungkiri kata-kata madam Lily tadi pagi benar-benar mengganggu pikirannya. Bagaimana jika benar perempuan itu hamil?
Niatnya hanya ingin mencari pelampiasan, namun malah menimbulkan malapetaka!"Ada apa?" tanya Wiliam setelah ia mendudukan diri di depan Gamma. Namun, Gamma masih saja terbuai dalam lamunannya. Lantas Wiliam mengibaskan tangannya."Gamma?"
Gamma pun tersadar. Kemudian, ia mengambil sebuah flashdisk berwarna putih dari kantong jasnya dan menyerahkannya pada William."Nanti malam ada pesta makan malam bersama keluarga Rosa, aku ingin kau memutar video ini.""Kau ingin aku memutar video ini saat makan malam? Memang, video apa?" Dengan menekuk dahinya, Wiliam menerima sebuah flashdisk berwarna putih dari tangan Gamma.Sementara Gamma masih terdiam, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela kaca yang cukup lebar, berdiri di sana sembari mengamati padatnya lalu lintas kota metropolitan. "Kau hanya perlu memutarnya, Will."
Kemudian, William menancapkan benda pipih itu pada komputer jinjingnya. Setelah membuka beberapa dokumen dan memutar video di dalamnya William terkejut dibuatnya."What the hell? Apa-apaan ini?" pekik William saat mendapati rekaman video sepasang manusia sedang bergelung panas di atas ranjang. Dan yang lebih parah, Wiliam tahu bahwa kedua manusia itu adalah Rosa dan Adam.
"Ya, seperti yang kau lihat." Gamma menjawabnya dengan tenang meski dalam dadanya bergemuruh dan sesak, mengingat kembali kejadian yang menyakitkan itu."Jadi …. Ini alasan kau mencari tahu tentang Adam?" William seketika teringat bagaimana Gamma menyuruhnya untuk mencari tahu tentang Adam secepat mungkin.Gamma mengangguk pelan. "Kau benar."
"Sejak kapan mereka bermain di belakangmu?""Aku tidak tahu sejak kapan mereka berhubungan. Tapi, malam ini aku menggelar pesta makan malam sekaligus mengakhiri hubungan dengan wanita murahan itu."Anggukan kepala diberikan Wiliam. Ia setuju jika Gamma memutuskan hubungan dengan wanita parasit itu. "Aku setuju, lalu bagaimana dengan ibu?""Biar nanti aku yang menjelaskan, lagipula Ibu pasti setuju juga jika aku mengakhiri hubungan karena sebuah alasan yang jelas seperti ini."William memberikan persetujuannya lagi. "Ya. Ibu pasti mengerti. Ada lagi yang harus aku lakukan?"Gamma membalikkan badannya kemudian bersandar pada jendela. Menarik napas dan membuangnya pelan."Amati perempuan yang bernama Serra selama dua minggu ke depan," ujar Gamma tanpa menatap William.William memiringkan kepalanya, mencari jawaban dalam raut wajah Gamma, namun ia tak mendapatkan apa-apa. Hanya sebuah tatapan datar tanpa ekspresi. "Sebenarnya, ada apa dengan perempuan itu?""Tugasmu hanya perlu mengamatinya."***Malam ini, kediaman utama keluarga Pranadipta telah ramai dengan canda tawa para tamu undangan. Gamma berdiri menatap para tamu undangan yang hadir. Satu tangannya membawa gelas berisi minuman berwarna merah, sementara tangannya yang lain ia letakkan pada saku celananya.Sebuah pesta kecil yang Gamma janjikan tadi pagi tengah berlangsung. Sang ibu memang pantas diandalkan untuk masalah ini. Wanita paruh baya itu sudah mendekorasi ruangan dengan secantik mungkin, juga mengundang catering ternama untuk menjamu para tamu.Gamma menghela napasnya panjang.
Memang tak pantas menghancurkan pesta yang sederhana, namun mewah ini. Gamma juga tak tega menghancurkan hati ibunya yang tengah bahagia menyambut hari pernikahan mereka beberapa minggu lagi.Akan tetapi, lebih tak tega mana jika membiarkan Gamma menikah dengan wanita yang gila harta dan kekuasaan? Belum lagi, perempuan itu tega mengkhianati cinta tulus yang ia berikan? Bahkan, Gamma tak pernah berpikir buruk sedikitpun pada Rosa.Dulu, itu tak pernah. Ia terlalu percaya dengannya. Namun sayang, kepercayaan itu dihancurkan begitu saja oleh pengkhianatan yang dilakukan terhadapnya.
"Sayang, terima kasih kamu sudah menggelar pesta ini untukku. Ini indah sekali." Senyum telah mengembang dari bibir tipis milik Rosa yang baru saja datang menghampirinya setelah menemui para tamu. Begitu pula dengan Gamma yang sedang bersandiwara untuk bersikap baik-baik saja.
"Kau senang?" tanya Gamma seraya merangkul pinggang ramping Rosa.Lantas Rosa kegirangan. Oh, lihatlah! Perempuan ini tak merasa bersalah sama sekali. Setelah melakukan hubungan terlarang di belakang Gamma, ia masih bisa tertawa seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Lihat saja itu tak akan bertahan lama.
"Aku sangat senang, terima kasih untuk pesta yang indah ini. Happy anniversary yang keempat ya, Sayang!"Dan, cup!Sebuah kecupan telah dilayangkan Rosa di pipi kanan Gamma. Alih-alih senang, Gamma berdecih dalam hatinya. Ia tak sudi dicium oleh perempuan yang telah bermain di belakangnya."Aku sangat mencintaimu!" tambah perempuan yang tengah mengenakan dress merah maroon itu.
Bullshit!
Gamma mual mendengar ucapan itu. Ia tak bisa menunda-nunda lagi. Tak tahan dengan sikap Rosa yang semakin bertingkah berlebihan, ia semakin jijik dibuatnya."Aku ada sebuah kejutan untukmu," ujar Gamma dengan menerbitkan sebuah simpul senyum di bibirnya.
"Oh, ya? Kejutan apa? Apakah itu tas branded? Atau gaun pernikahan yang aku impikan sudah jadi?""Nanti kau akan tahu sendiri." Sesaat kemudian ia memberikan kode pada Wiliam yang tengah stand by dengan layar proyektornya. Kemudian, William mengangguk lalu memberikan kode pada para tamu undangan agar melihat apa yang akan ia putar.Awalnya, memang berisi tentang foto-foto Gamma dan Rosa yang sedang melakukan sesi foto prewedding. Akan tetapi, suasana menjadi riuh saat video rekaman milik Gamma kemarin diputar. Video panas calon istrinya bersama laki-laki lain.Senyum puas terkembang dari bibir Gamma, sementara Rosa menatap sang calon suami dengan marah. Dan para tamu undangan yang tidak percaya akan hal yang mereka lihat. Juga, ibu Gamma yang tiba-tiba menjatuhkan gelas yang ia pegang."Apa-apaan ini?!" Rosa menggeram. Kedua tangannya telah mengepal di samping tubuhnya. Seiring dengan cibiran para tamu undangan yang semakin membuatnya tak karuan. Mata perempuan itu tampak berkaca-kaca ingin menumpahkan air mata.Gamma hanya tertawa ringan. Bukan tawa bahagia, melainkan lebih terdengar seperti mengejek. "Apa hadiahku sungguh sangat bagus hingga kau emosional dan ingin menangis, Sayang?""Keterlaluan Gamma! Ini keterlaluan!""Keterlaluan?" beo pria itu lalu melayanhkan tatapan tajam pada Rosa. "Siapa yang keterlaluan? Aku? Atau, kau yang keterlaluan bermain di belakangku?!"Rahang Gamma mulai mengeras. Ia tak sanggup untuk menahan emosinya kembali.Belum sempat Rosa menimpali Gamma, sebuah tamparan keras telah mendarat di pipi mulusnya.
Romana-ibu Gamma."Kau yang keterlaluan Rosa! Kau yang telah mengkhianati putraku!" Dada Romana sudah naik turun, begemuruh hebat antara malu, sedih, dan kecewa. Semuanya bercampur menjadi satu."Apa kurangnya putraku, Rosa?! Apa?! Selama ini aku percaya padamu! Tidak pernah berpikir buruk tentangmu dan sudah kuanggap kau sebagai calon menantuku yang terbaik!"
"Tapi apa yang kau lakukan? Perilakumu tak jauh dari seorang jalang!" Begitulah kata-kata terakhir yang terlontar dari bibir Romana sebelum pergi meninggalkan pesta yang telah hancur berantakan itu.Rosa berniat mengejar wanita yang selama ini telah baik padanya."Ibu, ini salah paham, Ibu, tolong dengarkan penjelasan Rosa dulu..." katanya sembari menyeimbangkan langkah dengan calon mertuanya itu.
Namun, Romana menulikan telinga. Perempuan paruh baya itu tetap melangkah pergi meninggalkannya. Rosa kemudian menoleh kepada Gamma yang tengah berdiri menatapnya.
"Sayang, kamu percaya kan sama aku? I love you more than any word can say. I love you more than every action I take!"Namun, Gamma tetaplah Gamma. Semanis apapun rangkaian kata yang keluar dari bibir Rosa, ia yakin tak akan mampu mencairkan hatinya yang telah beku. Tidak seperti dulu saat ia masih percaya seratus persen pada susunan kalimat yang indah itu.Apapun yang akan dipermainkan Rosa saat ini, Gamma tak peduli. Pria itu mendekat, kemudian menatap kedua mata itu yang basah itu. Seaaat kemudian ia berbicara dengan lantang, "Mulai malam ini aku bukan lagi calon suamimu! Dan mulai malam ini, aku tidak ada ikatan apapun denganmu!""Kita selesai!"Dua minggu kemudian. Di tempat lain.Seorang perempuan sedang terduduk lemas, bibirnya pucat dan terkatup rapat menahan rasa mual masih mendominasi. Pagi ini sudah terhitung empat kali ia mengunjungi kamar mandi, menumpahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan. Sera, merasa aneh dengan tubuhnya beberapa hari terakhir. Terlebih, selepas malam yang suram itu.Oh, tidak! Itu malam yang menjijikan baginya! Tangan Sera kini meremas-remas pakaian yang ia gunakan. Berulang kali dirinya menggigit bibirnya sendiri sembari memijit kepalanya yang terasa pening. Apa benar dugaannya, jika ada sesuatu yang tumbuh dalam tubuhnya? Ia gelisah, sungguh. Sudah dua minggu perempuan itu menantikan periode haid yang seharusnya datang satu minggu yang lalu, tetapi sampai hari ini ia tak kunjung mendapatkannya. "Aku harus bagaimana?" desahnya frustasi.Daya kerja otaknya untuk berpikir tiba-tiba menurun. Seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa saat ia termenung, mengambil napas p
Pria bernama William itu menarik sudut bibirnya kembali. Berbeda dengan Gamma yang memasang muka datar dan bersedekap mengamati pembicaraan antara William dengan Sera. Lelaki itu memilih untuk sibuk dengan pikirannya sendiri."Kami menawarkan jalur alternatif agar masalah ini tidak berbuntut panjang dan merugikan kedua belah pihak," ujar William lalu menyerahkan bendelan kertas yang ia pegang kepada Sera, dan perempuan itu menerimanya.Sejenak, Sera kembali menatap kedua pria di depannya dengan seksama."Kami akan memberikan kompensasi yang setimpal, asalkan Anda tidak melaporkan Tuan Gamma kepada pihak yang berwajib dan membawa perkara ini ke jalur hukum," jelas William lagi.Sera gegas mencermati kata perkata dalam barisan kalimat itu dengan seksama. Dahinya terus berkerut dari awal kalimat hingga akhir paragraf. Dalam perjanjian itu, tertulis Sera sebagai pihak terkait yang bersedia untuk tidak menggugat Gamma, dan mereka akan memberikan kompensasi uang senilai 800 juta.Bagaimana
Gamma berdiri di depan sebuah kamar VIP rumah sakit dengan gelisah. Kedua tangannya masih berada pada saku celananya. Meski raut wajahnya masih tampak tenang dan datar, tak bisa dipungkiri saat ini Gamma sedang memikirkan banyak hal.Sedangkan Sera masih tergeletak lemas di atas brankar rumah sakit dalam ruangan itu. Perempuan itu harus menjalani rawat inap selama beberapa hari sampai kondisinya pulih dan stabil. Mau tidak mau Gamma harus menyetujui usulan dokter agar Sera beristirahat total. Lebih parahnya lagi sekarang ia sedang bersandiwara menjadi suami Serra. Dokter sudah memanggilnya beberapa saat yang lalu dan memberitahunya kabar yang seharusnya membuatnya bahagia— jika saja ia sudah menikah. Tetapi kali ini tidak. Kabar itu justru membuatnya pusing tujuh keliling.Gamma tidak tahu harus berkata apa lagi. Semua ketakutannya selama dua minggu ini benar-benar terjadi. Malam yang kalap itu menghadirkan sebuah janin yang kini berusia dua minggu dalam perut Sera.Anaknya. Darah da
Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar, tetapi tidak mampu membuat Gamma tersadar dari lamunannya yang entah sedang berada di mana. Pria itu duduk di bibir ranjang, menatap kosong pada jendela kamar yang sedang terbuka lebar.Seperginya Gamma dari rumah sakit tadi, entah mengapa sekarang ia merasa tidak tenang. Ada banyak hal yang bercampur menjadi satu dalam benaknya. Apa perempuan itu baik-baik saja? Batinnya bertanya-tanya. Namun, logikanya berusaha menyadarkannya. Kenapa juga dia harus peduli dengan Sera? Ah, perempuan itu semakin membuatnya pusing. Ditambah lagi, ia telah meloloskan kata-kata yang tidak ingin ia lakukan.Mungkin, kalimat yang tepat untuk Gamma saat ini adalah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua minggu lalu pernikahannya dengan Rosa batal, dan minggu depan, ia harus menikahi perempuan yang tidak ia inginkan hadir dalam hidupnya.Beberapa detik setelahnya terdengar suara pintu terbuka. William telah berdiri di ambang pintu. Lelaki itu hanya bisa menggeleng ket
Suara ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai juga panggilan dari istrinya terdengar jelas di telinga Gamma. Wanita itu memanggil namanya berulang kali. Namun, pria itu berusaha mengabaikannya, menulikan telinga, bahkan mempercepat tempo langkahnya. Ia sedang memburu waktu untuk cepat-cepat berada dalam kantornya. Tetapi bukan Serra jika ia tidak memiliki tekad yang kuat. Sebelum suaminya menjauh, Serra buru-buru melangkahkan kakinya lebar-lebar untuk menyusul Gamma dan mengikutinya dari belakang. "Gamma! Tunggu dulu!" cegahnya seraya menahan lengan Gamma, membuat pria itu menghentikan langkahnya dengan malas. diiringi dengan decakan kesal yang keluar dari bibir pria itu. "Apa lagi? Kau membuang waktuku, aku harus bekerja!" tegurnya setelah membalikkan badan dan berhadapan dengan perempuan itu. Sementara Serra justru memberikan reaksi yang berbeda. Tatapannya datar dan rahangnya mengatup rapat. Tak berapa lama kemudian, Perempuan itu melemparkan map beserta kertas putih yang d
Di kantor. Gamma baru saja tiba di ruangannya setelah ia selesai rapat dengan kolega bisnisnya. Program pembangunan sebuah hotel yang berada di pulau Bali menguras Pikirannya hingga berakibat pada kepalanya yang terasa pening tiba-tiba. Padahal, pagi tadi ia sudah sarapan seperti biasa dan sudah makan siang sebelum rapat dimulai tadi. Pun biasanya ia tak ada masalah bila terlambat makan siang. Pria itu memejamkan mata, menahan rasa sakit yang kini kian menjalar di kepalanya. Di susul dengan rasa mual yang mengaduk-aduk perutnya. Apa ia telah salah makan? Argumen itu tentu tidak mungkin, makanan yang dipesan sekretarisnya selalu dari tempat catering yang sama dan Gamma juga sudah berulang kali makan menu tersebut. Tidak ada masalah selama ini. Namun, siang ini ia merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Gamma lalu menekan-nekan layar pada ponselnya yang kini telah menyala dalam genggaman. Detik setelahnya ia mendekatkan benda pipih itu di telinganya. Pada dering yang ketiga barula
Aroma kaldu yang menguar di seluruh ruangan membuat lengkungan di bibir Serra terbit dengan sempurna. Ada senandung kecil yang ia nyanyikan setelah mencicipi hasil masakannya sore ini. Hari ini entah mengapa perutnya bisa diajak berkompromi. Bahkan, rasa mual yang beberapa hari belakangan menderanya juga seakan sirna, sekalipun ia mencicipi atau mencium bau amis.Sudah empat jam lebih pula ia berkutat di dapur hanya untuk memasak satu panci kecil sup ayam dan ikan nila goreng. Bukan tanpa alasan ia membuat dua menu itu, sejak kemarin keinginannya untuk menyantap makanan itu sangat besar.Ya, Serra memang sengaja memasak porsi kecil saja, itu pun sudah cukup untuknya dan Gamma—Jika pria itu mau.Besar harapannya agar pria itu mau makan malam di rumah ini. Walaupun sikap Gamma menyakitinya, tapi dalam hati yang paling dalam, ia ingin menjadi istri yang berbakti pada suaminya sendiri.Meskipun hanya sembilan bulan lamanya. Sekalipun Serra hanyalah istri yang terpaksa Gamma nikahi. Setida
Derit pintu yang terbuka terdengar di telinga Gamma. Tetapi pria itu masih setia memejamkan mata dan engggan melihat siapa yang datang. Rasa sakit pada kepala kian menjadi-jadi. Ia terbaring lemah di kasur yang hanya berukuran singgle pada kamar bernuansa putih itu. Gamma terpaksa menghilangkan ego saat ia tidak kuat berjalan lebih lama apalagi menaiki tangga untuk berisitirahat di kamarnya. Ia menurut saja ketika Serra berinisiatif membawa Gamma ke kamar wanita itu. Mau tidak mau ia harus menurut dengan perintah istrinya. Karena nyatanya ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan sakit seperti ini.Serra meletakkan nampan berisi satu piring nasih dan satu mangkuk sup ayam yang ia masak tadi, juga segelas air teh hangat pada . Dengan telaten Serra melepaskan jas, sepatu, dan ikat pinggang yang melekat pada tubuh kekar suaminya. Setelahnya Serra menempelkan punggung tangannya pada dahi Gamma. Suhunya masih tetap sama, Tidak ada perubahan. Kedua mata pria itu mengatup rapat, dahinya berk
“Apa yang membuat istriku ini melamun, hm?”Suara bariton itu membuyarkan lamunan Alisha. Bersamaan dengan kedua lengan kekar yang kini membelit tubuh rampignya dari arah belakang. Siapa lagi kalau bukan suaminya? Tentu hanya William, satu-satunya lelaki yang berada di rumah ini. Wanita itu hanya pasrah ketika pria itu menekan tubuhnya dan meletakkan kepala di ceruk leher jenjang miliknya. Bahkan Alisha tidak menolak sama sekali saat William mendekapnya begitu intim. Aroma susu yang menusuk indera penciuman sudah cukup memberikan informasi bahwa suaminya ini baru saja membersihkan diri. Ya, beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di rumah setelah mengunjungi sang ibu mertua. Lexa masih belum bangun dari tidur siangnya. Membuat sepasang suami istri itu bebas melakukan apapun.“Coba katakan, apa yang sedang kau pikirkan hingga melamun begini? Ada sesuatu yang terjadi padamu?” tanya William lagi sebelum mengecup tengkuk istrinya dengan lembut.“Tidak, Will. Tidak ada yang terjadi
“Setelah sekian lama. Aku pikir, tidak akan pernah betemu lagi denganmu, Alisha.”Serra menolehkan kepala ke arah Alisha yang duduk di sebelahnya. Istri Gamma itu lebih dulu memulai pembicaraan setelah sekian lama saling bertukar geming dengan adik iparnya. Sejak mereka bertemu tadi hanya sebuah senyum yang mereka lemparkan satu sama lain. Lama tak bertemu, membuat mereka bingung apa yang harus diobrolkan selain bertukar sapa dan kabar, mungkin saja demikian.Dua menantu itu sedang menunggu di depan kamar Romana, membiarkan para putra Pranadipta menyelesaikan masalah yang terjadi. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh dan memilih menunggu sembari mengamati buah hati mereka bermain kejar-kejaran. Padahal, baru beberapa detik yang lalu Sagara dan Lexa berkenalan, tak sampai hitungan menit mereka sudah dekat bagai tanpa sekat. Bahkan layaknya teman lama yang tak lama berjumpa. “Aku juga sempat berpikir begitu, Serra,” jawab Alisha setelah membuang napas panjang. Selanjutnya menguntai sen
“Siapa juga yang mau menyia-nyiakan wanita secantik istriku ini?”Sahutan dari William membuat tautan tubuh dua kaum hawa itu terlepas. Alisha langsung menyurut air matanya dan menyembunyikan wajahnya. Baru setelah semuanya terasa baik, wanita itu menoleh ke arah sumber suara. William sudah berdiri di ambang pintu bersama dengan Lexa yang sedang memegang sebuah cupcake di tangan kanannya. Entah sejak kapan mereka kembali dari dapur, Alisha hanya berharap William tidak mendengar semua kalimat yang dia ucapkan tadi. Tentu ia akan malu setengah mati.Pria itu lantas melanjutkan langkah kakinya, diikuti dengan Lexa yang sadar sang ayah lebih dulu pergi. Selanjutnya menggeser sebuah kursi yang terletak di samping nakas dan mendaratkan tubuhnya di sana.“Aku tidak akan bertindak bodoh seperti dulu,” sambungnya kemudian.“Kalau dia kembali seperti dulu lagi, laporkan padaku, Lisha! Aku yang akan maju memberinya pelajaran!” sahut Romana yang kini menoleh ke arah sang cucu. “Ah, rupanya dia be
“Hai, Grandma!”Lengkingan suara itu berasal dari Lexa. Gadis itu kegirangan saat mengetahui dirinya akan menjenguk Romana. Sejak dari rumah tak henti-hentinya mengoceh tidak sabar bertemu Grandma-nya Uncle Painter—yang notabene adalah nenek kandungnya sendiri. Saking senangnya, anak itu pula yang memilihkan bingkisan untuk Romana. Dengan langkah kecilnya, Lexa berjalan menuju ranjang Romana, tempat dimana wanita paruh baya itu beristirahat, meninggalkan kedua orang tuanya yang mengekor di belakang. Tak lupa sebuah senyum tulus dari bibir mungilnya terbit lebih dulu. Tidak ada perasaan takut, meski baru pertama kali bertemu. “Hai, Manis!” sapa Romana usai mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Sedikit terkejut dengan kedatangan seorang anak perempuan yang begitu cantik. Namun, begitu menyadari William juga Alisha muncul di ambang pintu, wanita itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Sebab pada akhirnya ia diijinkan untuk bertemu dengan cucu yang selama ini tak
Begitu pintu terbuka, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh William adalah Romana yang sedang terbaring di atas ranjang. Dengan infuse cairan berwarna kuning yang terpasang di tangan kirinya. Dua matanya terpejam. Kantungnya begitu besar dan tampak menghitam. Entah sudah seberapa sering wanita paruh baya itu tidak mengistirahatkan diri. William hanya mendengar cerita dari Bi Sumi yang mengatakan bahwa Romana sulit tidur hingga harus diberikan obat agar mendapatkan waktu rehat yang cukup selama beberapa hari terakhir. Dokter telah mendiagnosa bahwa hipertensi Romana muncul karena kelelahan dan banyak pikiran. Seolah menyadari seseorang telah datang di kamar pribadinya, Romana perlahan membuka mata. Wanita itu hampir melompat karena terkejut mendapati putra bungsunya sudah berada di hadapan mata. Bahkan sampai terduduk dan hendak menyingkap selimut guna berjalan menyambut William.Sebesar itu rindunya terhadap putranya.“Jangan bangun dulu, Ibu belum sehat, kan,” tegur William ke
Alisha mengamati setiap detail rumah besar yang baru saja ia pijak ini. Setelah mendarat di tanah air, ia dengan keluarga kecilnya itu segera menuju bangunan mewah yang sempat ia tinggali selama beberapa bulan. Rumah pribadi milik William. Rumah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan akan mereka. Mulai dari masa-masa perjodohan hingga mereka menikah. Rumah itu pula yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka.Baru berpijak di halaman rumah saja semua peristiwa yang terjadi bertahun-tahun silam langsung terputar. Peristiwa dimana William tidak mau membantunya menurunkan dan membawa koper. Juga peristiwa William membuang bekal makanan yang dibuat Alisha dengan susah payah. Ah, semua itu masih bisa mencubit hatinya.Alisha memang seperti ini. Terlalu melankolis hingga sulit melupakan hal-hal yang pernah terjadi padanya terutama kejadian buruk.“Biarkan saja kopernya, nanti biar aku dan Pak Man yang membawanya ke dalam.” William berkata demikian seraya membopong tubuh mungil putrinya ya
“Kalau kau tidak mau ikut, tidak apa-apa. Biar aku yang pulang sendiri ke Indonesia, tetapi mungkin aku akan kembali saat ibu sudah baikan.”William memutar tubuh dan melihat ke arah sang istri yang datang membawa satu piring lauk menu makan malam mereka hari ini. Lelaki yang tengah mengenakan piyama biru tua itu lantas menarik sebuah kursi berbahan kayu kemudian mendaratkan tubuhnya di sana, menunggu jawaban Alisha. Sedangkan Alisha belum mengatakan sepatah kata pun terkait hal yang sedang mereka rundingkan. Sepasang suami istri itu baru saja membahas terkait dengan kabar Romana yang jatuh sakit.Situasi itu, membuat William harus pulang sesegera mungkin. Tidak ingin keadaan ibunya semakin parah, sebab obat yang paling manjur hanyalah kedatangan dirinya. Namun, ia tak mungkin juga meninggalkan Alisha dan Lexa lagi. Untuk itu, William berinisiatif untuk mengajak mereka kembali ke Indonesia. Ia juga ingin menunjukkan pada ibunya bila dia setidaknya sudah bisa memperbaiki hubungan perni
“Mama Sha? Wau! Ada cake dari siapa, Ma?”Lexa menaiki bangku, lalu mengamati barisan cupcake brownies berhias krim warna-warni pada sebuah piring yang terletak di atas meja makan. Anak kecil berkuncir dua itu baru saja menyusul sang mama ke dapur, setelah sebelumnya asik menonton film kartun favorite-nya di ruang tengah. Bocah itu tertarik pada salah satu krim yang berwarna biru dengan taburan cokelat mutiara putih, tetapi tak berani mengambilnya sebab belum diijinkan oleh sang mama. Alisha melempar senyum pada putrinya. Lalu merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan tubuh Alexandra. “Mama baru saja beli, Sayang. Kau mau makan?”Anggukan kepala diberikan oleh gadis kecil itu. Alisha lantas mendekatkan piring berisi kue-kue itu ke arah Lexa, agar mengambil sendiri kue yang dia mau.“Blue, is my favorite!” seru Lexa dengan nada yang menggemaskan. Selanjutnya mengambil kue berwarna biru seperti yang inginnkannya. “Kalau yang itu, Ma?” Anak itu menunjuk ke potongan brownies biasa yang t
Di tempat lain.“Kau terlalu cepat membuat keputusan, Nak. William juga punya hak atas perusahaan. Kau tidak bisa memecatnya sembarangan seperti pegawai lainnya. Dan, Ibu rasa selama ini dia tidak pernah absen kecuali beberapa waktu belakangan. Itupun kau tahu karena dia sedang mengurus keluarganya. Dimana akal sehatmu, Gamma!”Teguran dengan nada cukup keras itu diberikan Romana kepada Gamma yang sedang duduk di atas kursi kerjanya. Beberapa saat yang lalu, wanita paruh baya itu mendapatkan kabar bila Putra sulungnya mengirimkan surat pemecatan kepada adiknya sendiri.Tentu saja Romana tidak terima akan hal itu. Gamma tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan William. Gamma hanya tersulut emosi sebab beberapa investor marah padanya satu hari yang lalu. “Aku tidak mau ada pengacau di perusahaan, Bu. Ibu juga tahu sendiri bagaimana para investor dan pemegang saham menegurku karena progress yang lambat. Sedangkan William pergi tanpa mengurus pekerjaannya sama sekali! Dia harus diberika